Kamis, 30 Januari 2014

Di Balik Jendela


     Akhir-akhir ini jendela itu tak pernah dibuka kembali. Saat ku tahu mungkin tak pantas untuk melihat kehadiranku dihadapannya. Tak ku pungkiri setiap pulang sekolah aku menyempatkan untuk memandang jendela itu, berdiam dan bertanya pada diriku sendiri.
“apa Leung Lie tak ingin bertemu dengan ku lagi?”. Pernah terjadi saat aku memanggil Lie dari luar pagar dekat jendela kamarnya tapi Lie pun tak kunjung membukakan jendelanya untuk bertemu denganku. Saat itu tampak seorang lelaki tua yang berdiri didepan pintu memandangiku dengan wajah yang marah. Dan ku tahu itu ayahnya Leung Lien.

“hei you, uwe uda penah bilang sama lu. Lu jangan lagi deketin anak uwe si Leung Lien. Lu ngerti gak? Tuan Wong Lien menunjuk ke arah ku dengan wajah marahnya.

“tidak koh, saya cuma ingin ketemu sama Leung Lie sebentar, Leung Lienya ada koh?” aku memberanikan diri untuk menanyakan keadaan Leung Lie.

“apa lu kata?, gak ada ketemu-ketemu buat lu. Siapa lu Cuma anak tukang sayur belagu mau deketin anak uwe. Asal lu tau ya Leung Lie udah uwe jodohin sama orang tajir, jadi lu gak usah nemuin anak uwe lagi. Ngerti lu!”

“Leung Lie…Leung Lie…” aku berteriak ke dalam rumahnya berharap Leung Lie mendengarnya.

“eh lu anak bandel banget yak, uwe bilang pergi pergi lu” Tuan wong mengusirku.

“baiklah, permisi koh”.

            Aku akhirnya pergi dengan perasaan yang tak tentu. Tak sempat aku bertemu dengan Lie kini dia telah dijodohkan dengan orang lain. Tuan Wong benar. Ku tahu ku hanya anak tukang sayur yang tak pantas untuk Leung Lie. Tapi sungguh itu benar-benar tak adil. Cinta itu tak memandang status aku anak siapa tapi bagaimana aku bisa membahagiakannya kelak. Pernah ku sadari terkadang cinta itu memilih. Tak ada yang benar-benar nyata dibalik itu semua. Saat ku kembali menengok kearah rumah Lie tiba-tiba jendela kamar Lie terbuka dan tampak Lie dibalik jendela itu. Ia memandangku dengan senyuman dan tanpa suara. Aku membalas senyumnya dan Lie langsung sedih dan menutup jendelanya kembali. Aku bisa merasakan apa yang lie rasakan saat ini.

            Saat pulang sekolah aku kembali melewati rumah Lie dan berharap jendela itu terbuka untukku. Tetapi tak ada suara apapun yang terdengar dari balik jendela itu hanya sepucuk surat putih yang terselip di celah-celah jendela itu. Lalu ku mengambilnya yang bertuliskan “ Untuk Raya” di bagian luar amplop. Ternyata ini surat untuk ku yang ditulis oleh Leung Lie. Entah apa yang aku rasakan saat ini saat ku melihat surat ini hatiku merasa senang dan sedih. 


Untuk Raya,

            Entah apa yang harus aku katakan. Aku terlalu bingung untuk memilih, karena bagiku pilihanku tak pernah sekalipun mendukungku. Tapi ku tahu aku harus memilih, memilih dari pilihanku yang sulit. Sesungguhnya hidupku ini terlalu sempit untuk aku pilih.

            Mungkin hanya ini yang bisa aku tulis dan sampaikan lewat surat ini. Aku mungkin tak punya kesempatan untuk bisa mendengar lagi kata-kata dari mu. Kau yang setiap malam memberiku puisi di balik jendela dan kau yang membuat hari-hari ku berwarna. Apakah kini aku masih bisa mendengarkan itu semua? Kini, keadaan yang memisahkan kita. Yang seharusnya ada jalan yang akan menyatukan kita kembali. Tapi jalan itu tak pernah ada. Dan aku tak lagi bisa berada di dekatmu…   

Aku kini hanya bisa menatap mu dari balik jendela ini. Ingin sekali aku mengatakan bahwa aku merindukanmu. Tapi aku tak sanggup untuk itu dan tak sanggup untuk bertahan. Ku tau ayahku melarangku untuk menemuimu, tapi aku sangat ingin bertemu denganmu. Kau perlu tahu Raya, aku tidak pernah ingin dijodohkan oleh lelaki pilihan ayahku. Karena aku hanya mencintaimu. Maafkan aku aku tidak bisa jujur padamu. Ku harap kau mengerti keadaanku saat ini. Aku tahu ayahku hanya ingin memberikanku yang terbaik. Aku tak ingin membuatmu sedih juga aku tak ingin mengecewakan ayahku. Dia satu satunya yang aku miliki.

Untuk saat ini kau tak perlu menungguku di depan jendelaku, karena ku takkan pernah ada di balik jendela itu lagi. Dan untuk kesekian kalinya aku minta maaf aku tidak memberi tahu mu kalau aku akan pindah ke luar kota dan tidak akan kembali lagi. Aku berharap kau bisa bahagia disana. Dan aku akan selalu mengingatmu Raya. Kau yang pernah ada didalam hatiku. Kini aku pamit…
                                                                                                            Salam Leung Lien


Saat ku tak ingin membaca surat ini, hatiku pun akhirnya mengetahuinya. Entah apa yang harus ku rasakan dan ku katakan tapi ku tahu ini adalah tulisan Lie. Dia rela mengorbankan cintanya demi orangtuanya. Sejujurnya ingin ku berontak, ingin ku teriak, tapi semua itu percuma kini aku menyadarinya bahwa cintaku tak akan berhasil. Seharusnya Lie bertahan untuk cintanya itu jika ia benar tulus mempertahankan cintanya ia tak mungkin rela membiarkan cintanya menangis, hatinya sedih. Walaupun sebesar apapun halangan cinta dia seharusnya bisa melaluinya. Tapi itu hanya anggapan keegoisanku yang terbenak dipikiranku, karena ku tahu Lie harus meninggalkanku selamanya.

Rani datang kepadaku dengan tergesa-gesa dan memberitahuku bahwa Lie akan berangkat sekarang.

“Ray, aku mendapat pesan dari Lie bahwa dia akan pergi sekarang dan Lie ingin kamu menemuinya untuk terakhir kalinya. Dia ingin berpamitan sebelum berangkat, sebaiknya kau cepat kerumah Lie”

“benarkah itu yang Lie katakan?”

“sudahlah tidak ada waktu lagi cepatlah sebelum terlambat, nanti kau akan menyesal”

Tanpa pikir panjang aku kembali kerumah Lie dan ternyata Lie akan meninggalkan rumahnya dan bersiap untuk berangkat. Aku berlari dengan membawa surat dari Lie yang semoga aku masih bisa bertemu dengan Lie untuk terakhir kalinya.

“Aku menunggumu Raya. Kau dimana. Ini saatnya aku pergi dan aku ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya. Ku tahu ini berat untukku, tapi aku tak punya pilihan lain.” 

Mungkinkah aku tak bertemu dengan Raya untuk terakhir kalinya? Semoga Raya membaca surat dari ku. Yang sebenarnya aku tak kuasa untuk menulisnya, hanya membuat hatiku semakin sedih. Kini aku harus rela untuk melepasmu Raya. Aku harus melupakan Raya yang ku tahu itu akan membuatku sakit, tapi itu pilihan terbaik.

“Leung Lie, cepat kau masukan barang-barangmu ke dalam mobil, kita segera berangkat.”

“iya ayah,” Aku memasukan tasku sembari melihat ke jalan berharap Raya ada menemuiku.

“kau ini kenapa Leung Lie? Kenapa kau tekuk begitu wajahmu, ayo cepatlah kau masuk ke dalam mobil” Ayahku terheran melihatku.

“sebentar ayah aku…”

“kau menunggu apa lagi? sudahlah kita sudah terlambat nanti pesawatnya keburu berangkat”

Aku kembali menatap ke arah jalan, kenapa Raya tidak datang menemuiku untuk terakhir kalinya. Apa memang Raya tidak datang. Aku pun memasuki mobil dan perlahan mobil melaju. Ku menatap ke belakang jendela mobil tampak lelaki berlari mengejar mobil yang sedang aku tumpangi. Teryata itu Raya. Tapi terlambat aku sudah berangkat. Aku hanya bisa melambaikan tangan dan berteriak di luar jendela mobilku kepada Raya.

“selamat tinggal Raya aku tidak akan melupakanmu…” ? Leung Lie berteriak dengan melambaikan tangan

“selamat tinggal Leung Lie aku juga takkan melupakanmu…” Aku pun melambaikan tangan kembali kepada Leung Lie.

Aku tahu aku terlambat untuk perpisahan dengan Leung Lie. Kini ku hanya bisa menatap mobil Lie yang melaju semakin jauh meninggalkanku dan ku hanya bisa berdiam diri menatap surat ini dan takkan ada lagi harapan untukku. Ku tahu cintaku telah meninggalkanku bersama surat ini. Dan takkan pernah bertemu dengan Lie lagi.

Dan saatku menatap jendela itu lagi, aku teringat saat kali pertamaku bertemu dengan Lie. Aku tak sengaja menabrak depan jendela itu dan kepalaku membentur jendela yang terbuka oleh Lie. Ternyata rasa sakitku saat itu tak terasa sakit karena menatap senyuman Lie yang begitu cantik. Kini saatku melewati jendela itu aku hanya bisa terbayang bahwa selalu ada Lie yang menatapku dengan senyuman di balik jendela itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar