Jumat, 10 Januari 2014

Hujan di Tengah Malam



“Hujan itu tetesan yang ku anggap butiran pesan yang akan menghempas saat ia jatuh… dan membasahi apapun yang ia sentuh.”
 
http://www.shnews.co/foto_berita/49hujan-cicisilent.blogspot.com.jpg-          Aku sebagai tetesan hujan. Aku sama seperti tetesan-tetesan lainnya berlomba-lomba membasahi permukaan tanah. Begitu cepat dan rintik kami bergemericik bersama mereka. Itu terdengar jelas saat tengah malam saat orang-orang terlelap dalam tidurnya dan kami diam-diam melantunkan melodinya. Tak ada yang tahu bahwa kami bernyanyi begitu merdunya dan itu sangat hening dan sunyi hanya terdengar tik…tik…tik… dan tik tik tik…tik…tik tik…tik… tik tik…tik yang berirama seperti nada lagu yang indah. Dan aku tahu ada orang yang suka mendengarkan tetesan hujan di tengah malam.


“Kurasa aku harus pulang, ini sudah sangat malam aku lembur. Kasihan isteri ku pasti menungguku di rumah” kataku sembari merapihkan meja dan memasukan dokumen-dokumen penting ke dalam tas ku.

“Ia sebaiknya kau cepat pulang saja, sepertinya akan hujan” Rena menanggapi perkataanku

“yang benar saja, hujan malam malam gini. Langit pun tak tahu mendung atau tidak” aku mengibaskan gordeng dan menatap ke luar jendela.

“kau pikir ini siang hari, dengan kita bisa mengira kapan akan turun hujan. Tapi aku bisa merasakannya” Rena menatap ke arahku.

“baiklah, aku harus cepat pulang kalau-kalau hujan itu benar-benar turun. Oya, kau pulang kapan Ren?” aku hendak membuka pintu kantor dan menengok kebelakang Rena.

“sebentar lagi. Suami ku akan menjemputku dengan mobil” Rena menatap ke layar computer dengan tangan masih mengetik di atas keyboard.

“oke, aku pulang duluan yah Ren.” Ku tutup pintu kantor dan terdengar suara Rena menjawab “ya”.

Kenapa ku harus cepat pulang karena memang benar tetesan itu satu per satu menetes dari langit membasahi kemejaku yang sudah kusut. Dan aku harus berjalan kaki karena jarak rumahku memang tak jauh dari kantor. Tampak jalanan sudah mulai hening hanya sepintas dan  sedikit kendaraan melaju dengan sangat cepat serta jalanan yang semakin sepi. Ku tahu udara dingin sesekali menembus bajuku yang tipis tanpa jaket. Ku berjalan di atas trotoar yang sedikit gelap karena lampu jalan yang meredup dan sebentar lagi mungin akan mati. Tiba-tiba tetesan-tetesan itu semakin banyak saja dan ku semakin berlari menghindarinya.

http://www.rimanews.com/sites/default/files/imagecache/article/hujan1_1.jpg
Perjalanan pulangku terhenti saat hujan itu menguyurku dengan sangat kejam dan dengan terpaksa aku harus mencari tempat yang aman untuk singgah sementara menunggu hujan itu mereda. Ku lihat kedai kopi sederhana dipinggir jalan yang agak jarang terlihat. Ku menghampirinya dengan niat memesan kopi hangat sembari meneduh. Ku tak tahu kedai ini masih buka tengah malam, apa memang tengah malam seperti ini bukanya, terserahlah itu tak penting yang penting aku harus pulang cepat seusai hujan yang cukup deras ini. 

Malam semakin malam terlintas dalam benakku saat menunggu tetesan itu semakin lama semakin deras saja. Mereka tak tahu disini membuatku risih akan harus menunggu seperti orang-orang yang akan menyebrang tapi dengan kendaran yang tak kunjung henti. Aku tak tahu hingga kapan aku ini bisa menanti. Perlu kau tahu hujan ini tak seperti hujan-hujan yang biasa ku lihat. Mereka merekam setiap gerak gerik ku selama aku menunggu dan mereka tahu aku menontonnya. Tapi kau hanya tertawa bersama pria-pria itu dan tak kenal rasa dingin yang amat membuat tubuh ini bergetar. Tak ada kehangatan lain selain kopi cappuccino yang nikmatnya selalu terasa saat menyentuh bibirku dan bersama aroma yang selalu mengingatkanku dengan kopi yang selalu menemaniku saat base camp.

Aku tahu tak banyak yang harus aku lakukan tapi hanya apa, apa aku harus pergi?, tapi tak mungkin. Apa ku rela membiarkan kertas dan dokumen penting ini habis oleh hujan itu? Atau ku pilih yang lain? Kurasa tak ada pilihan lain yang berakhir sempurna. Saat ini ku hanya menatapmu sekali saja.

Ku tak bisa pergi. Ku tahu hujan melarangku. Tapi juga ku tak kuasa melihat mu dengan pria-pria yang sama sekali tak ku kenal. Tapi kau rela tubuh dan lenganmu disentuhnya hingga tiada perantara setebal kain kapas yang tebalnya tak seperti bulu domba yang halus. Tak baik jika ku harus melihat pemandangan yang seperti ini. Apa ku harus menyebutmu wanita malam yang diselimuti aura hujan malam?. Tapi sudahlah tak perlu aku mencampuri urusan orang. Tapi memang seperti itulah dirimu.

Terkadang apa yang aku pikirkan berbeda dengan apa yang aku lihat dan rasakan malam ini. Sama seperti hujan yang terkadang terlihat menawan dengan tetesan-tetesan deras yang merayuku untuk menikmati hangatnya malam ini. Seperti pria-pria di depan pandanganku kepada wanita itu. Yang sebenarnya itu hanya bibit kesengsaraan bagi kaum yang tidak pantas menerimanya.mereka tahu, mereka hanya dapat tertawa saat penunggu rumah mereka merintih menunggunya. Aku tak seperti mereka yang selalu menghangatkan pesona malam yang ku anggap ini malam yang luarbiasa dinginnya mencekram lebih seperti tajamnya udara di kutub es. Tapi itu kenyataan yang terlintas di benak dan pandanganku dan hujan inilah yang menjadi saksinya. Hujan itu seraya tersenyum.

Apa yang aku pikirkan ternyata terjadi saat wanita itu benar-benar menghampiriku dan duduk disebelah kursi tempatku sedang menunggu.

“ mas, sendirian aja? Gak ada yang nemenin? Mau aku temeni?” ku tahu wanita ini mencoba merayuku.

Ku tahu tak banyak yang harus ku lakukan dan ku katakan jika keadaanku seperti ini. Hanya aku mesti menstabilkan detak jantungku saat wanita ini memegang pundakku.

“tidak mbak, saya hanya memesan kopi hangat saja!” itu juga untuk menunggu hujan ini reda.” Ku tahu itu jawaban bodoh yang dilontarkan pria saat ditanya wanita seksi di depan mata.

“aku juga bisa menghangatkan mas kalau mau? Dan lupa tentang hujan itu” wanita itu menunjuk kearah hujan. Wanita ini semakin menggoda. Ku tahu jantung ini semakin terasa tak karuan saat nafasnya itu mendesus seperti ular derik yang sedang kehausan mencari kehangatan. Ku tak sengaja menghirup minyak wanginya yang beraroma, itu seperti Blueberry Pearce Paris. Tapi mungkin itu hanya aroma pemikat. Tapi memang enak sekali saat tercium di hidungku.

“ku rasa kopi ini sudah cukup untuk menghangatkanku. Dan aku hanya perlu menghabiskannya lalu pergi”. Itu memang seharusnya aku katakan, ya memang, jika ku ingin selamat keluar dari penantian yang membuatku harus melihat kerasnya dunia malam.

“apa mas yakin, mas tak ingin apa yang aku punya?” gila.! Wanita ini semakin tak waras saja. Atau hanya memancingku untuk bersama-sama masuk ke kelamnya malam ini. Kurasa ini harus ku akhiri sebelum hujan ini semakin deras.

“maaf , kurasa isteriku punya lebih apa yang mbak punya dan itu membuatku lebih dari cukup.” Ku membayar kopi yang tak sempat habis dan segera meninggalkan tempat itu. Wanita itu hanya melihatku terheran dan tak bicara apa-apa.

           Kini kusadari dunia malam tak selamanya gelap banyak cahaya-cahaya yang menerangi setiap sudut dunia, bahkan apa yang sedang ku alami ini. Perjalanan malam yang ku alami ini seperti mempunyai resiko tersendiri yang ku tahu cahaya-cahaya itu hanya cahaya sesaat yang tak sepenuhnya terang, kala saatnya mereka meredup. Kini aku tahu hujan ini memberiku peringatan bahwa aku mempunyai kewajiban yang harus aku pertahankan. Hujan ini memberhentikan tetesannya saat aku kembali ke rumah dan itu seperti isyarat hebat yang sebelumnya tak pernah ku sadari bahwa hujan di tengah malam itu tak pernah berhenti, tapi hanya saat aku melintasinya hujan itu berhenti sesaat dan kembali deras saat mereka kembali menghangatkan malam.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAAVW0nycdDXIplLz-LXP3NnLv1I3nT4nnj9YKkkfU1vCga-_HoDOYdMsqdRnsxh8XA1_3um3bp6FcX6HuRJlmy071Mg9t2NNUaXEJji2saiAAGGQVELzUgTY3w5SE-LiERcAPyVlJPyti/s400/night_rain_by_michelleelyse-d343rk7.jpg 
            Jalan-jalan tergenang air yang sangat deras tadi akibatnya aku harus memilih langkahku agar tidak tetrkena cipratan air itu. Hujan memang tidak berhenti tapi aku masih sedikit berlari hingga sampai di depan rumah. Dan saat ku membukakan pintu rumah, isteriku menungguku hingga tertidur di atas sofa “bu, ayah pulang”. 

Bagi ku tak perlu aku merasakan kehangatan karena hujan tengah malam ini telah mengajariku bagaimana caranya menghilangkan kedinginan. Itu bedanya hujan di siang hari dan di malam hari. Dan seperti tulisan yang pernah aku tulis.

“ The Rain with Love Temptation”
When I can wait the rain is over
When I see it in the a round
It’s very bad
When I know the rain help me
From peoples are temptation
Opened what was you have?
Or closed without try again
            And the rain give me attentions
            Give me stopped in tonight
            Coz I have love in my love
            Not love temptation… and this just
            The rain with love temptation
           
*)  @andrimhp -  The Rain with Love





Tidak ada komentar:

Posting Komentar