Selasa, 22 November 2016

Bunga Kemuning


Potongan Cerpen : Andri Mulyahadi


            Bunga, apa kamu ada waktu untuk kita bertemu?
            Aku menulis pesan dua hari yang lalu kepadamu. Namun kamu tak kunjung membalasnya. Aku ingin berbicara denganmu, menanyakan apakah kamu baik-baik saja? sekaligus aku ingin meminta maaf. Kalau nanti kita bertemu, aku ingin memberitahumu sesuatu.
            Esoknya, kamu membalas pesanku dengan singkat.
            “Pram, besok aku pulang ke Bandung, kalau kamu ingin bicara denganku, temui aku di Alun-alun Bandung.”
            Aku mencoba menelponmu, menghubungimu beberapa kali namun kamu tidak mengangkatnya. Pesan yang kamu kirimkan memang sudah jelas memberitahuku kalau kamu tidak bisa bicara denganku sebelum kita bertemu.
            Tiga puluh menit berlalu aku menunggumu tepat di Alun-alun Bandung. Tempat yang memang sudah tidak asing lagi untukmu. Kamu bilang tempat itu sangat nyaman dan bisa membuat kita bahagia, makanya kenapa orang-orang banyak berkunjung kesana dan mengisi hari-hari bahagia mereka. Aku berharap bisa seperti mereka.
            “Hai, Pram, sudah lama?” Kamu datang dari arah samping dengan tiba-tiba.
            “Hai Bunga, tidak terlalu lama. Tempat ini membuatku lupa waktu.”
            Kamu melihatku dengan tersenyum―memang kita sudah hampir dua bulan tidak bertemu―dan aku pun demikian. Namun mataku tertuju pada seseorang yang datang bersamamu, seorang lelaki.
            “Oya Pram, sampai lupa, ini Damar.” Kamu mengenalkan lelaki itu kepadaku. Kami saling bersalaman. Senyumku lenyap seketika saat Damar berkata dia adalah calon suamimu. Aku ingin menanyakan padamu, apa itu benar?
            “So kita sudah bertemu, kamu ingin bicara apa, Pram?”
            Aku melihat hal yang berbeda padamu saat kamu melihatku dan saat kamu berbicara. Seperti bukan kamu yang aku kenal. Harusnya memang lelaki itu tidak berkata demikian, bukan? Aku setengah tidak percaya dengan perkataan Damar. Ingin rasanya aku menyangkal perkataannya di hadapanmu, namun kamu seperti sudah tahu lebih dulu daripada aku.
            “Aku ingin berpamitan kepadamu, minggu depan aku akan berangkat ke Australia, mengambil beasiswa S2 di sana.”
            “Wah, kamu hebat Pram, semoga berhasil ya, aku mendukungmu”
            “Iya, terimakasih, Bunga.”
            Tak banyak yang aku bicarakan kepadamu. Aku berpamitan pulang, kurasa aku harus mempersiapkan keberangkatanku ke Australia. Aku meninggalkanmu bersama Damar.
            Entah apa yang sebenarnya terjadi saat itu, harusnya aku memberitahumu bahwa aku tak jadi mengambil beasiswa disana, kamu sendiri yang bilang tidak setuju aku pergi ke sana. Namun kenapa sekarang kamu malah mendukungku.
            Dan yang membuatku membatin saat tahu bahwa kekasihku sendiri mempunyai calon suami orang lain. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Hatiku merasa terpukul ketika Damar berkata kalian akan segera menikah. Bukankah kita masih sepasang kekasih, Bunga?
            Semua kekeliruan ini terjawab ketika aku tahu, kamu mengalami kecelakaan sebulan yang lalu yang ngakibatkan kepalamu terbentur keras hingga menderita amnesia. Dan tak ada satupun dari keluargamu yang memberitahuku.
            Padahal aku ingin memberimu sesuatu yang selalu kau suka, yang selalu aku berikan kepadamu, ya, Bunga Kemuning. Bunga yang tak bisa dilupakan. Aku menaruhnya di depan rumahmu yang dulu. Aku berharap kau mengingatnya. 

Selasa, 11 Oktober 2016

Pada Percakapan yang Begitu Singkat

Pada percakapan yang begitu singkat..
Kau sempat mengenalkan suaramu di ruang percakapan. Disana kau dan aku dengan tabah membangun kata demi kata hingga menciptakan narasi yang utuh dan chemistry yang mengalir.

Pada percakapan yang begitu singkat..
Kali pertama kau membiarkanku mendengarkan suaramu. Mempersilahkan untuk singgah di ruang-ruang terdekat di pikiranku. Melihat perpustakaan kecil di sana untuk sekedar berbagi kisah dan mentitipkan suaramu untuk melengkapi ruang-ruang kosong di kepalaku. Agar aku selalu mengingat bahwa kau pernah mengunjunginya.

Pada percakapan yang begitu singkat..
Aku memasang telinga agar dapat bertemu dan melihat suaramu lebih dekat. Ku dengarkan dengan khidmat cerita yang kau sampaikan. Hingga terdengar hembusan napasmu di jeda-jeda percakapan. Di sana suara-suaramu memaksaku memejamkan kedua mata, sesekali membayangkan kau tersenyum dan membiarkanku menunggu kisah-kisah lucu.

Pada percakapan yang begitu singkat..
Ijinkan aku membalas tiap bait suaramu. Tiap jeda napas yang kau hembuskan. Tiap senyuman yang mungkin sempat ada. Tiap suara degup jantung. Tawa kecil. Dan suara hati yang mungkin tak sempat ku dengarkan.

Pada percakapan yang akan akhiri..
Ada pesan-pesan yang tak sempat diucap dan kalimat-kalimat yang harus berpamitan. Begitupun cerita-cerita yang tak bisa dilanjutkan. Dan telinga yang harus berpisah dengan suaramu. Jika terkadang kata “singkat” memaksa waktu menghentikan sebuah percakapan, maka kubiarkan tulisan ini mengabadikan sebuah percakapan yang begitu singkat.

Bogor. 11/10/2016
Andri Mulyahadi


Senin, 29 Agustus 2016

Senja yang Hilang Di Pelupuk Mata

Andai saja senja memiliki pasangan. Mungkin sebuah kesedihan tak membentang di sana. Atau setidaknya, ketika sementara ia tidak terus merasa sendiri. Ada sedikit obrolan yang bisa mereka ciptakan sebelum malam datang.

Aku duduk menghadap jendela, membayangkan senja tadi berpapasan
dengan senja lainnya kemudian terbesit obrolan kecil.
"Bagaimana kabarmu?"
"Seperti biasa, hadir memudar lalu hilang. Bagaimana denganmu?"
"Aku senja yang berkelana, dari senja satu ke senja lainnya. Angin-angin ini, mereka membawaku, walau pada akhirnya sama sepertimu, menghilang."
Entah seperti apa, tiap aku melihat senja di depan mataku, aku serasa dibius oleh warna-warna jingganya.
Waktu menungguku terasa begitu singkat. Sesekali aku meneguk secangkir cappucino latte manis.

"Kamu sudah lama?"
"Tidak terlalu lama kok?" Sudah lebih dari empat puluh lima menit aku menunggunya di sudut meja, seberkas senja melukiskan bayangan segelas cappucino latte di hadapanku.
"Maaf sudah menunggu."
Dia menarik kursi di sebrang mejaku, duduk perlahan.
Aku melihat matanya, seberkas senja memantul dan membenam di sana. Indah namun sementara.

"Ya, jadi, apa yg mau kamu bicarakan?"
Dia mematikan sambungan telepon, dan menaruhnya di meja.
"Aku tau ini sulit untuk kita, tapi kurasa ini juga akan lebih baik untuk kita ke depannya."
"Apa maksudmu, Ve?"
Aku melihat seorang lelaki menunggu di luar sana, lelaki yang datang bersama Ve.
"Kamu masih berhubungan dengannya, Ve?" aku menanyainya.
"Ya? Ehm Apa maksudmu?"
"Lelaki tua itu, masih sering menemuimu?"
Aku melihat ke arah lelaki itu, lalu ku beralih lagi memandangnya.
Ia terdiam. Senja menghapus senyuman di bibirnya.
"Kamu ini bicara apa, Ken?"
"Sudahlah, aku sudah tahu semuanya, kenapa kamu bersama lelaki itu, Ve?"
"Tahu apa kamu?" Dia meninggikan nada suaranya. "Kamu tidak tau apa-apa
tentangku, bahkan kamu tidak tau ketika aku membutuhkan kamu saat itu.
Kamu tidak ada !"
"Aku sedang menyelesaikan kuliahku, harusnya kamu paham, Ve"
"Urus saja diri kamu sendiri, kamu bahkan tak peduli lagi padaku."
Hari ini aku baru bertemu lagi dengan kekasihku. Aku mengatur waktu
bertemu di sebuah caffe favorit kami. Setelah lebih dari sebulan aku tak
bertemu dengannya. Harusnya pertemuanku dengan Ve berbuah manis,
sayangnya pertemuanku tak semanis cappucino latte.

"Apa kamu masih mencintaiku, Ve?"
"Dengar ya, Ken. Menjalani hubungan itu tidak melulu soal cinta. Aku butuh uang, untuk aku hidup. Juga yg lainnya."
"Tapi, aku.."
"Lebih baik, kita akhiri saja hubungan kita, aku tak yakin ini akan bertahan.
Terimakasih untuk semuanya."

Dia pergi meninggalkan tempat itu. Mengakhiri pertemuan, sekaligus
mengakhiri hubungan kami. Aku tak lagi melihat senja di pelupuk matanya.
Aku seperti tak kuasa untuk berkata lagi, senja ini membiusku.
Lelaki itu menggandeng kekasihku--mantan kekasihku--menaiki ssebuah
mobil mewah, senyuman mereka bertemu di depan mataku.

Mengapa senja menghadirkan keadaan seperti ini, aku tidak pernah mengharapkan hubunganku dengan Ve berakhir. Justru aku ingin
memperbaiki bagian yang hilang karena kesalahpahaman. Namun nyatanya semuanya menghilang, seperti senja di depanku.

Aku pun pergi dari tempat ini, tempat yang mungkin tidak akan ku singgahi lagi, bukan lagi menjadi tempat favoritku, favorit kami. Biarlah semua yang lalu membenam di sana. Aku tak ingin melukai lebih dalam perasaan ini. Yang tersisa hanyalah, senja di sudut meja
dengan cappucino latte yang tersisa satu tegukan.

Kau tahu, mengapa terkadang orang tak ingin menetapkan waktu pertemuan di kala senja? Karena waktu senja itu begitu singkat, tak ada yg menginginkan pertemuan berlangsung singkat, kecuali
mereka yg ingin mengakhiri kisah cintanya.

Senja memang indah namun hanya sesaat, sesaat hadir memberi warna merah-jingga sesaat lagi memudar lalu menghilang.
Begitu mereka menyebutnya.

Kamis, 03 Maret 2016

Misal Aku Jadi Hujan



“Misal kamu jadi hujan, apa yang akan kamu lakukan?” Ia bertanya kepadaku.

“Tentu aku akan cepat reda dan pergi jauh-jauh.” Singkatku.

Dia tertawa sambil memejamkan matanya. Aku melihat wajahnya, ia beranggapan seolah ada yang lucu dibalik perkataanku itu. Sambil menunggu hujan reda, kami duduk di beranda sekolah dan bercerita kecil.

“Kenapa kamu tertawa, memangnya ada yang lucu?” aku merayu.

“Aku tahu, kamu berkata demikian karena tak ingin kebasahan kan? Hujan membuatmu menjadi orang aneh ketika mereka membasahimu.”

Dia masih tertawa, sedang aku tersenyum melihatnya tertawa. Ku julurkan tanganku ke arah hujan dan menatap langit, berharap butiran air itu cepat berlalu.

“Kalau hujan ini masih belum reda juga, kapan aku bisa pulang? Pasti sekarang orangtuaku sedang menungguku di rumah.”

“Besok kamu  benar mau pergi ke luar kota?” 

“Ya, aku ikut ayahku karena beliau mendapat tugas di luar kota untuk jangka waktu yang lama. Dan kemungkinan aku akan kuliah di sana.”

Aku kembali duduk di sebelahnya. Namun aku tak melihat tawa renyahnya lagi. Ia hanya tersenyum, aku tahu ada yang berbeda dari senyuman itu.

“Berarti kamu akan pindah rumah dan gak akan kembali lagi kesini dong.” Ia tersenyum tipis. Aku hanya mengangguk dan menatap hujan.

“Kalau kamu, misal kamu jadi hujan, apa yang akan kamu lakukan?” kini aku yang bertanya kepadanya.

“Misal aku jadi hujan, aku tidak akan berhenti menjatuhkan butiran-butiran ini, meski pada akhirnya aku harus melakukannya, aku akan izin kepada Tuhan untuk menundanya sehari ini saja,  setidaknya aku ingin memberi waktu lebih kepada dua orang yang duduk di sana untuk menghabiskan waktu bersama, sebelum salah satu dari mereka akan meninggalkannya pergi.

Rabu, 02 Maret 2016

Problematika Mahasiswa Tradisional dan Post-modern di Indonesia


Oleh : Andri Mulyahadi
 
            Mari bersantai sejenak, dari tugas kuliah maupun pekerjaan yang mungkin membuat pikiran kita agak jenuh. Dengan melakukan relaksasi yang benar, maka akan membuat pikiran menjadi lebih tenang dan mengurangi risiko kejenuhan yang menyerang otak. Karena ketika otak sedang dalam keadaan jenuh, kita sulit mengimpuls hal positif yang akan diterima oleh panca indera kita. Maka dari itu biarkan tulisan ini mengalir sebagai renungan dari kehidupan realitas mahasiswa di Indonesia.

            Apa sebenarnya yang melatarbelakangi dan membedakan mahasiswa tradisional, modern hingga post-modern terhadap probelmatika yang terjadi?

Senin, 08 Februari 2016

Bidadari



 cerpen : Andri Mulyahadi

              Aku tidak banyak setuju dengan hal di dunia ini. Karena semua itu tidak benar-benar realistis seperti apa yang dipikirkan oleh manusia, ada unsur rekayasa, egoistis, imajinatif bahkan mereka tidak benar-benar sepakat dengan banyak hal. Kata “setuju” hanya sebagai kesepakatan sesaat yang suatu waktu bisa berubah sebaliknya. Percaya atau tidak, yang jelas itu memang manusiawi.

                Aku mempunyai bidadari. Seorang manusia mempunyai bidadari. Apa kau percaya dan sepakat? Dia yang aku anggap bidadari saja belum tentu sepakat bahwa aku menganggapnya bidadariku. Aku memutuskan hal tersebut dengan sepihak, bukankah itu egois? Biar saja, itu manusiawi.