Senin, 08 Februari 2016

Bidadari



 cerpen : Andri Mulyahadi

              Aku tidak banyak setuju dengan hal di dunia ini. Karena semua itu tidak benar-benar realistis seperti apa yang dipikirkan oleh manusia, ada unsur rekayasa, egoistis, imajinatif bahkan mereka tidak benar-benar sepakat dengan banyak hal. Kata “setuju” hanya sebagai kesepakatan sesaat yang suatu waktu bisa berubah sebaliknya. Percaya atau tidak, yang jelas itu memang manusiawi.

                Aku mempunyai bidadari. Seorang manusia mempunyai bidadari. Apa kau percaya dan sepakat? Dia yang aku anggap bidadari saja belum tentu sepakat bahwa aku menganggapnya bidadariku. Aku memutuskan hal tersebut dengan sepihak, bukankah itu egois? Biar saja, itu manusiawi.

                Bidadariku sangat cantik, bahkan melebihi bidadari-bidadari yang ada di kahyangan di atas sana. Dia terlahir sebagai sosok bidadari perempuan yang tidak memiliki sayap ataupun kesaktian apa-apa. Sangat sederhana, namun istimewa bagiku. Aku berkata demikian bukan karena sedang jatuh cinta, namun memang benar adanya. Kalau kau sepakat dengan apa yang aku pikirkan, pasti kau beranggapan sama denganku ketika melihat bidadariku, sayangnya tidak semua manusia sepakat dengan banyak hal.

Tenang saja, dia tidak benar-benar bidadari, dia manusia sama seperti aku, kau, atau mereka yang tidak sepakat dengan banyak hal. Namun aku lebih menyukai menganggapnya sebagai bidadari.

Apa aku perlu menceritakan hal ini? Walau kau tak setuju pada akhir aku akan tetap menceritakannya.

Namanya, Raisya Adinda Permatasari. Bisa dibilang dia temanku, itu realitanya. Tapi karena aku tidak sepakat, aku menganggapnya bidadariku. Aku mengaguminya melebihi kekagumanku pada artis atau aktor di dunia. Tidak hanya cantik, dia sangat ramahmeski dia bilang dia sedang marah, dia baik, dan sangat peduli kepada orang lain. Perempuan yang begitu feminim walau dia suka menyebut dirinya tomboy dan kuat, postur tubuhnya tinggisetara denganku tidak kurus ataupun gemuk, ideal. Dari penampilannya, bayangkan gabungan dari feminim dan tomboy. Memakai hijab cantik, baju rapi panjang dengan celana jeans dan sepatu basket tinggi. Hal menarik darinya adalah suaranya yang lembut yang akan selalu terngiang kalau saja kau mendengar dia berbicara. Makanya banyak orang yang mengaguminya, tidak hanya aku.

Raisya sangat pintar dan rajin, dia selalu mendapat prestasi di kelasnya, bahkan aku selalu ditantang dalam hal apapun, ya seperti prestasi misalnya. Walau sebenarnya aku tak sepintar dia, Itu cukup membuat aku termotivasi.

“Aku dapat nilai bagus lagi. nilaiku paling tinggi di kelasku dong, makashi ya sudah mengajariku dan memberi semangat juga, bagaimana dengan kamu, Cedric?”

“oya bagus, Sya. Aku tidak kalah hebat dengan mu, nih nilaiku juga bagus tapi tak tertinggi di kelasku.” Aku menunjukan nilaiku. Dia tetap memberikan selamat kepadaku. 

Tidak hanya terkenal. Dia juga selalu berprestasi di kelasnya dan di kampus.

Lalu bagaimana denganku? Aku tidak sehebat bidadariku.

Aku seorang kutu buku, tak seterkenal bidadariku. bahkan aku tak yakin ada yang mengagumiku. Walaupun kita sering bertemu di kampus, kita tidak terlalu sering berbincang bersama tidak seperti waktu kita masih di SMA. Dia memang teman SMAku dan kini kami satu perkuliahan bahkan satu jurusan pula, apa itu kebetulan saja? 

Diawal perkuliahan kami selalu berbagi cerita, begitu menyenangkan bisa bersama dengan Raisya. Kalau kami sudah ngobrol berdua waktu terasa begitu cepat berlalu, saking asiknya. Aku rela mengabiskan waktu dengannya, bahkan aku rela melakukan apapun untuknya, asal dia senang dan bahagia. Toh aku juga akan bahagia bukan.

Seperti saat aku kehilangan separuh nyawa dari mataku.

Aku rela pandanganku menjadi buram karena dia tidak suka aku mengenakan kacamata. Padahal kacamataku adalah nyawa dari mataku. Tanpa kacamata, mataku tidak bisa melihat dengan jelas.

“Hei, Cedric, sejak kapan kamu pakai kacamata. Kamu terlihat culun pakai kacamata itu, kamu lebih keren tidak memakainya.” Katanya sambil tertawa. Itu candaannya.

“tapi kalau aku tidak memakainya, aku tidak..”

“kamu curang, aku saja tidak memakai itu.”

“oya, seperti ini.. “ aku melepas kacamataku.

Kau tahu, aku mengumpulkan uang. Aku membelinya dari tabunganku sendiri. Saat mulai masuk kuliah pandanganku menjadi buram, aku tidak bisa melihat jelas huruf-huruf di buku yang aku baca. Lalu aku memeriksa ke optik mata, disarankan agar aku mengenakannya terus. Tapi Raisya menyarankan sebaliknya.

Sebenarnya aku tak ingin melakukankannya. Tanpa kacamata, aku kembali tidak bisa melihat dengan jelas, terlebih aku tidak bisa melihat jelas senyum cantik dari Raisya. Tapi karena Raisya yang memintanya, aku rela. Terkadang kalau ucapannya tidak didengar atau dipenuhi oleh orang lain, ia tidak berani marah, ia hanya akan bersedih. Aku tidak ingin Raisya bersedih lagi seperti waktu SMA.

Seorang lelaki yang dulu pernah menjadi kekasih Raisyakekasih bidadarikumenyakitinya dengan berselingkuh hingga Raisya bersedih dan menangis, dia tidak berani marah kepada kekasihnya itu. Maka aku hajar saja wajah si brengsek itu dengan tangankuaku tak sudi memanggil kekasih Raisya setelah apa yang dia perbuat kepada Raisya. 

Raisya memperingatkanku agar tidak menghajar si brengsek itu. Namun aku tidak mendengarkan ucapannya. Aku tidak terima bidadariku disakiti. Sejak saat itu aku tak ingin lagi bidadariku bersedih apa lagi menangis.  

Ada hal yang terjadi padaku. Aku tidak lagi berprestasi, nilaiku mulai menurun, padahal aku selalu belajar dengan rajin, atau mungkin karena penglihatanku yang semakin buram. Namun aku masih tetap melihat bidadariku tersenyum. Walau kami semakin jarang berbicara berdua. Dan dia yang jarang menemuiku lagi, aku tetap berpikir optimis dan positif bahwa dia mungkin sedang sibuk.

Aku tak lagi kutu buku, bagaimana tidak. Aku bahkan tidak bisa membaca dengan jelas. Buku-bukuku kini hanya sebagai hiasan saja di rak di kamarku. Sayang sekali, buku-buku itu tak banyak berguna bagiku. Lalu aku memberikan sebagian koleksi bukuku kepada perpustakaan kecil. Aku senang bisa membantu dan berbagi dengan orang lain. Itu yang selalu Raisya ajarkan kepadaku untuk selalu berbagi dan menolong orang lain.

Semakin lama, hari berganti hari prestasiku benar-benar menurun, aku selalu terlambat masuk kelas yang sebelumnya aku tidak pernah terlambat. Aku tidak lagi mengendarai motor, setelah aku menabrak dan jatuh dari sepeda motorku, aku beralih naik angkot ke kampus. 

Aku bukan lagi mahasiswa teladan. Aku selalu dimarahi dosen karena tidak benar dalam mengerjakan tugas, bahkan aku hampir tidak bisa mengerjakan soal yang diberikan. Apa yang terjadi padaku. Aku tak ingin memberitahu Raisya kalau prestasiku menurun. Itu akan membuatnya bersedih. 

Aku tidak pernah menyerah dan putus asa, Rasya selalu mengajariku untuk tetap kuat dan tidak menyerah dengan keadaan, walaupun sesulit apapun yang terjadi. 

Saat itu aku sakit, mataku terasa begitu sakit, aku merasa mataku hampir kehilangan separuh nyawanya. Hingga aku bertemu dengan Raisya.

“Hei, Cedric. Kamu terlihat pucat. Apa kamu baik-baik saja?” Raisya terheran melihatku.

“Hei Sya. Tidak, aku tidak apa-apa Sya, aku hanya kecapean saja.”

Raisya memperlihatkan hasil ujiannya kepadaku.

“Kamu lihat? Aku dapat nilai seratus lagi, Cedric. Hebat bukan. Kamu dapat nilai berapa?”

“Selamat ya, a.. aku belum dapat hasil nilainya Sya. Aku permisi masuk kelas dulu ya, aku sudah terlambat. Aku takut dimarahi oleh dosen.” Aku terpaksa berbohong, nilaiku buruk aku tidak ingin Raisya tahu. Aku bergegas berjalan, dan berlari hingga aku tersandung dan jatuh.

Waktu berlalu begitu cepat pula. Ada yang aneh dari kami. Kami hanya bertatap muka saja tanpa ada obrolan panjang seperti dulu, bahkan tak ada lagi kalimat, “hei, Cedric” atau “hei, Raisya”
Kami seperti orang asing yang tidak saling kenal. Bukankah itu hal yang aneh, dulu kami begitu dekat saling curhat, bercerita, menunjukan nilai kami, kumpul bareng, tertawa bercanda, makan, jalan, dan lain sebagainya. Kini tak ada hal itu lagi.

Kini aku tahu hal lain lagi, Raisya memang sudah punya kekasih di kampus. Namun dia tidak pernah memberitahuku tentang kekasihnyakekasih bidadariku. Dan sepertinya kali ini Raisya senang dan bahagia dengan kekasihnya. Dan kekasihnya tidak membuatnya bersedih. Bukankah itu bagus, Raisya tidak bersedih dan menangis. Aku turut senang dan bahagia juga.

Suatu hari, pulang kuliah Raisya hampir saja tertabrak truk besar yang melintas ketika hendak menyebrang, aku yang melihatnya dari sebrang bergegas mengejar Raisya, aku menarik lengan Raisya hingga dia terjatuh ke trotoar, beruntung bidadariku tidak apa-apa. Kemana kekasihnya itu. Kenapa tidak ada disaat Raisya hampir saja celaka. Aku tidak akan pernah memaafkannya jika terjadi apa-apa pada bidadariku.

 Namun ada hal yang tidak menyenangkan, aku merasa terpental keras sekali, tubuhku terserempet truk, wajahku terseret body mobil besar itu, lalu kepalaku terbentur pinggir trotoar, tubuhku terbaring tanpa energi. Seketika aku merasakan sakit yang luarbiasa. Aku melihat seseorang, aku mengenalinya walau tidak jelas, itu bidadariku tapi kenapa tidak tersenyum.

Pandanganku gelap, sangat gelap, aku tidak dapat melihat apapun dan tidak mendengar apapun kecuali suara lembut yang terngiang di telingaku berteriak.

“Cedric.. Cedric.. bangun.. Cedric..”

Lalu suara itu lenyap. Aku pun tidak ingat apa-apa.

Apa kau pernah berpikir, kenapa bukan aku kekasih Raisya? Bukan seperti itu ceritanya.

Raisya memang bidadariku, tapi bukan kekasihku. Dia sudah mempunyai kekasih. Kekasihnya tampan, baik, dan sepertinya kekasihnya itu sangat mencintai Raisya. Aku bukan siapa-siapa aku hanya orang yang mengagumi Raisya dan beruntung bisa bertemu dengannya hingga sempat berteman dan bersaing prestasi dengannya.

Sebelum insiden itu terjadi aku menulis pesan singkat kepada Raisya bersama kacamata yang pernah aku beli dan pakai.

Hei Raisya, maafkan aku sudah berbohong kepadamu. Tentang nilaiku, prestasiku, dan kuliahku yang menurun, aku tidak bisa bersaing lagi denganmu. Maaf aku tidak memberitahumu soal itu. Aku takut kamu bersedih. Tapi kamu harus tetap berprestasi.
Maaf juga aku pernah curang dengan sengaja memakai kacamata ini lagi saat tidak ada kamu. Tapi jangan khawatir aku berinisiatif untuk tidak memakainya setelah kamu mengatakan aku keren tanpa kacamata.

Ada yang terasa aneh pada diriku saat itu, entah apa. Padahal bidadariku tidak sedang bersedih. Aku merasa ada yang hilang dari kehidupanku. Bagian terpenting dari dalam diriku hilang. Harusnya aku bahagia melihat bidadariku bahagia tapi kenapa hatiku malah menangis. Perasaan yang sudah lama terpendam namun tidak bisa diungkapkan. 

Apakah aku jatuh cinta kepada bidadariku sendiri? Yang benar saja, itu tidak bisa terjadi. Manusia mencintai bidadari. Kurasa tidak ada yang sepakat akan hal itu. Kecuali aku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar