cerpen : Andri Mulyahadi
Aku tidak banyak setuju dengan
hal di dunia ini. Karena semua itu tidak benar-benar realistis seperti apa yang
dipikirkan oleh manusia, ada unsur rekayasa, egoistis, imajinatif bahkan mereka
tidak benar-benar sepakat dengan banyak hal. Kata “setuju” hanya sebagai
kesepakatan sesaat yang suatu
waktu bisa berubah sebaliknya. Percaya atau tidak, yang jelas itu memang
manusiawi.
Aku
mempunyai bidadari. Seorang manusia mempunyai bidadari. Apa kau percaya dan
sepakat? Dia yang aku anggap bidadari saja belum tentu sepakat bahwa aku
menganggapnya bidadariku. Aku memutuskan hal tersebut dengan sepihak, bukankah
itu egois? Biar saja, itu manusiawi.
Bidadariku
sangat cantik, bahkan melebihi bidadari-bidadari yang ada di kahyangan di atas sana.
Dia terlahir sebagai sosok bidadari perempuan yang tidak memiliki sayap ataupun
kesaktian apa-apa. Sangat sederhana, namun istimewa bagiku. Aku berkata
demikian bukan karena sedang jatuh cinta, namun memang benar adanya. Kalau kau
sepakat dengan apa yang aku pikirkan, pasti kau beranggapan sama denganku
ketika melihat bidadariku, sayangnya tidak semua manusia sepakat dengan banyak
hal.
Tenang saja,
dia tidak benar-benar bidadari, dia manusia sama seperti aku, kau, atau mereka
yang tidak sepakat dengan banyak hal. Namun aku lebih menyukai menganggapnya
sebagai bidadari.
Apa aku perlu
menceritakan hal ini? Walau kau tak setuju pada akhir aku akan tetap
menceritakannya.
Namanya, Raisya
Adinda Permatasari. Bisa dibilang dia temanku, itu realitanya. Tapi karena aku
tidak sepakat, aku menganggapnya bidadariku. Aku mengaguminya melebihi
kekagumanku pada artis atau aktor di dunia. Tidak hanya cantik, dia sangat
ramah―meski
dia bilang dia sedang marah, dia baik, dan sangat peduli kepada orang lain. Perempuan
yang begitu feminim walau dia suka menyebut dirinya tomboy dan kuat, postur
tubuhnya tinggi―setara denganku― tidak kurus ataupun gemuk, ideal. Dari
penampilannya, bayangkan gabungan dari feminim dan tomboy. Memakai hijab
cantik, baju rapi panjang dengan celana jeans dan sepatu basket tinggi. Hal menarik
darinya adalah suaranya yang lembut yang akan selalu terngiang kalau saja kau
mendengar dia berbicara. Makanya banyak orang yang mengaguminya, tidak hanya
aku.
Raisya sangat
pintar dan rajin, dia selalu mendapat prestasi di kelasnya, bahkan aku selalu
ditantang dalam hal apapun, ya seperti prestasi misalnya. Walau sebenarnya aku
tak sepintar dia, Itu cukup membuat aku termotivasi.
“Aku dapat
nilai bagus lagi. nilaiku paling tinggi di kelasku dong, makashi ya sudah
mengajariku dan memberi semangat juga, bagaimana dengan kamu, Cedric?”
“oya bagus,
Sya. Aku tidak kalah hebat dengan mu, nih nilaiku juga bagus tapi tak tertinggi
di kelasku.” Aku menunjukan nilaiku. Dia tetap memberikan selamat kepadaku.
Tidak hanya
terkenal. Dia juga selalu berprestasi di kelasnya dan di kampus.
Lalu bagaimana
denganku? Aku tidak sehebat bidadariku.
Aku seorang
kutu buku, tak seterkenal bidadariku. bahkan aku tak yakin ada yang
mengagumiku. Walaupun kita sering bertemu di kampus, kita tidak terlalu sering
berbincang bersama tidak seperti waktu kita masih di SMA. Dia memang teman
SMAku dan kini kami satu perkuliahan bahkan satu jurusan pula, apa itu
kebetulan saja?
Diawal perkuliahan
kami selalu berbagi cerita, begitu menyenangkan bisa bersama dengan Raisya. Kalau
kami sudah ngobrol berdua waktu terasa begitu cepat berlalu, saking asiknya. Aku
rela mengabiskan waktu dengannya, bahkan aku rela melakukan apapun untuknya,
asal dia senang dan bahagia. Toh aku juga akan bahagia bukan.
Seperti saat
aku kehilangan separuh nyawa dari mataku.
Aku rela
pandanganku menjadi buram karena dia tidak suka aku mengenakan kacamata. Padahal
kacamataku adalah nyawa dari mataku. Tanpa kacamata, mataku tidak bisa melihat
dengan jelas.
“Hei, Cedric, sejak
kapan kamu pakai kacamata. Kamu terlihat culun pakai kacamata itu, kamu lebih
keren tidak memakainya.” Katanya sambil tertawa. Itu candaannya.
“tapi kalau
aku tidak memakainya, aku tidak..”
“kamu curang, aku
saja tidak memakai itu.”
“oya, seperti
ini.. “ aku melepas kacamataku.
Kau tahu, aku
mengumpulkan uang. Aku membelinya dari tabunganku sendiri. Saat mulai masuk
kuliah pandanganku menjadi buram, aku tidak bisa melihat jelas huruf-huruf di
buku yang aku baca. Lalu aku memeriksa ke optik mata, disarankan agar aku
mengenakannya terus. Tapi Raisya menyarankan sebaliknya.
Sebenarnya aku
tak ingin melakukankannya. Tanpa kacamata, aku kembali tidak bisa melihat
dengan jelas, terlebih aku tidak bisa melihat jelas senyum cantik dari Raisya. Tapi
karena Raisya yang memintanya, aku rela. Terkadang kalau ucapannya tidak didengar
atau dipenuhi oleh orang lain, ia tidak berani marah, ia hanya akan bersedih. Aku
tidak ingin Raisya bersedih lagi seperti waktu SMA.
Seorang lelaki
yang dulu pernah menjadi kekasih Raisya―kekasih bidadariku―menyakitinya
dengan berselingkuh hingga Raisya bersedih dan menangis, dia tidak berani marah
kepada kekasihnya itu. Maka aku hajar saja wajah si brengsek itu dengan
tanganku―aku
tak sudi memanggil kekasih Raisya setelah apa yang dia perbuat kepada Raisya.
Raisya
memperingatkanku agar tidak menghajar si brengsek itu. Namun aku tidak
mendengarkan ucapannya. Aku tidak terima bidadariku disakiti. Sejak saat itu
aku tak ingin lagi bidadariku bersedih apa lagi menangis.
Ada hal yang
terjadi padaku. Aku tidak lagi berprestasi, nilaiku mulai menurun, padahal aku
selalu belajar dengan rajin, atau mungkin karena penglihatanku yang semakin
buram. Namun aku masih tetap melihat bidadariku tersenyum. Walau kami semakin
jarang berbicara berdua. Dan dia yang jarang menemuiku lagi, aku tetap berpikir
optimis dan positif bahwa dia mungkin sedang sibuk.
Aku tak lagi
kutu buku, bagaimana tidak. Aku bahkan tidak bisa membaca dengan jelas. Buku-bukuku
kini hanya sebagai hiasan saja di rak di kamarku. Sayang sekali, buku-buku itu
tak banyak berguna bagiku. Lalu aku memberikan sebagian koleksi bukuku kepada
perpustakaan kecil. Aku senang bisa membantu dan berbagi dengan orang lain. Itu
yang selalu Raisya ajarkan kepadaku untuk selalu berbagi dan menolong orang
lain.
Semakin lama,
hari berganti hari prestasiku benar-benar menurun, aku selalu terlambat masuk
kelas yang sebelumnya aku tidak pernah terlambat. Aku tidak lagi mengendarai
motor, setelah aku menabrak dan jatuh dari sepeda motorku, aku beralih naik
angkot ke kampus.
Aku bukan lagi
mahasiswa teladan. Aku selalu dimarahi dosen karena tidak benar dalam
mengerjakan tugas, bahkan aku hampir tidak bisa mengerjakan soal yang
diberikan. Apa yang terjadi padaku. Aku tak ingin memberitahu Raisya kalau
prestasiku menurun. Itu akan membuatnya bersedih.
Aku tidak
pernah menyerah dan putus asa, Rasya selalu mengajariku untuk tetap kuat dan
tidak menyerah dengan keadaan, walaupun sesulit apapun yang terjadi.
Saat itu aku
sakit, mataku terasa begitu sakit, aku merasa mataku hampir kehilangan separuh
nyawanya. Hingga aku bertemu dengan Raisya.
“Hei, Cedric. Kamu
terlihat pucat. Apa kamu baik-baik saja?” Raisya terheran melihatku.
“Hei Sya. Tidak,
aku tidak apa-apa Sya, aku hanya kecapean saja.”
Raisya memperlihatkan
hasil ujiannya kepadaku.
“Kamu lihat? Aku
dapat nilai seratus lagi, Cedric. Hebat bukan. Kamu dapat nilai berapa?”
“Selamat ya, a..
aku belum dapat hasil nilainya Sya. Aku permisi masuk kelas dulu ya, aku sudah
terlambat. Aku takut dimarahi oleh dosen.” Aku terpaksa berbohong, nilaiku
buruk aku tidak ingin Raisya tahu. Aku bergegas berjalan, dan berlari hingga
aku tersandung dan jatuh.
Waktu berlalu
begitu cepat pula. Ada yang aneh dari kami. Kami hanya bertatap muka saja tanpa
ada obrolan panjang seperti dulu, bahkan tak ada lagi kalimat, “hei, Cedric”
atau “hei, Raisya”
Kami seperti
orang asing yang tidak saling kenal. Bukankah itu hal yang aneh, dulu kami
begitu dekat saling curhat, bercerita, menunjukan nilai kami, kumpul bareng,
tertawa bercanda, makan, jalan, dan lain sebagainya. Kini tak ada hal itu lagi.
Kini aku tahu
hal lain lagi, Raisya memang sudah punya kekasih di kampus. Namun dia tidak
pernah memberitahuku tentang kekasihnya―kekasih bidadariku. Dan sepertinya
kali ini Raisya senang dan bahagia dengan kekasihnya. Dan kekasihnya tidak
membuatnya bersedih. Bukankah itu bagus, Raisya tidak bersedih dan menangis. Aku
turut senang dan bahagia juga.
Suatu hari,
pulang kuliah Raisya hampir saja tertabrak truk besar yang melintas ketika
hendak menyebrang, aku yang melihatnya dari sebrang bergegas mengejar Raisya,
aku menarik lengan Raisya hingga dia terjatuh ke trotoar, beruntung bidadariku
tidak apa-apa. Kemana kekasihnya itu. Kenapa tidak ada disaat Raisya hampir
saja celaka. Aku tidak akan pernah memaafkannya jika terjadi apa-apa pada
bidadariku.
Namun ada hal yang tidak menyenangkan, aku merasa
terpental keras sekali, tubuhku terserempet truk, wajahku terseret body mobil
besar itu, lalu kepalaku terbentur pinggir trotoar, tubuhku terbaring tanpa
energi. Seketika aku merasakan sakit yang luarbiasa. Aku melihat seseorang, aku
mengenalinya walau tidak jelas, itu bidadariku tapi kenapa tidak tersenyum.
Pandanganku gelap,
sangat gelap, aku tidak dapat melihat apapun dan tidak mendengar apapun kecuali
suara lembut yang terngiang di telingaku berteriak.
“Cedric..
Cedric.. bangun.. Cedric..”
Lalu suara itu
lenyap. Aku pun tidak ingat apa-apa.
Apa kau pernah
berpikir, kenapa bukan aku kekasih Raisya? Bukan seperti itu ceritanya.
Raisya memang
bidadariku, tapi bukan kekasihku. Dia sudah mempunyai kekasih. Kekasihnya tampan,
baik, dan sepertinya kekasihnya itu sangat mencintai Raisya. Aku bukan
siapa-siapa aku hanya orang yang mengagumi Raisya dan beruntung bisa bertemu
dengannya hingga sempat berteman dan bersaing prestasi dengannya.
Sebelum insiden
itu terjadi aku menulis pesan singkat kepada Raisya bersama kacamata yang
pernah aku beli dan pakai.
Hei Raisya,
maafkan aku sudah berbohong kepadamu. Tentang nilaiku, prestasiku, dan kuliahku
yang menurun, aku tidak bisa bersaing lagi denganmu. Maaf aku tidak
memberitahumu soal itu. Aku takut kamu bersedih. Tapi kamu harus tetap
berprestasi.
Maaf juga
aku pernah curang dengan sengaja memakai kacamata ini lagi saat tidak ada kamu.
Tapi jangan khawatir aku berinisiatif untuk tidak memakainya setelah kamu
mengatakan aku keren tanpa kacamata.
Ada yang
terasa aneh pada diriku saat itu, entah apa. Padahal bidadariku tidak sedang
bersedih. Aku merasa ada yang hilang dari kehidupanku. Bagian terpenting dari
dalam diriku hilang. Harusnya aku bahagia melihat bidadariku bahagia tapi
kenapa hatiku malah menangis. Perasaan yang sudah lama terpendam namun tidak
bisa diungkapkan.
Apakah aku
jatuh cinta kepada bidadariku sendiri? Yang benar saja, itu tidak bisa terjadi.
Manusia mencintai bidadari. Kurasa tidak ada yang sepakat akan hal itu. Kecuali
aku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar