Oleh : Andri Mulyahadi
Mari bersantai sejenak, dari tugas
kuliah maupun pekerjaan yang mungkin membuat pikiran kita agak jenuh. Dengan
melakukan relaksasi yang benar, maka akan membuat pikiran menjadi lebih tenang
dan mengurangi risiko kejenuhan yang menyerang otak. Karena ketika otak sedang
dalam keadaan jenuh, kita sulit mengimpuls hal positif yang akan diterima oleh
panca indera kita. Maka dari itu biarkan tulisan ini mengalir sebagai renungan
dari kehidupan realitas mahasiswa di Indonesia.
Apa
sebenarnya yang melatarbelakangi dan membedakan mahasiswa tradisional, modern
hingga post-modern terhadap probelmatika yang terjadi?
Pada dasarnya semua mahasiswa
merupakan makhluk terpelajar yang memiliki pemikiraan-pemikiran kritis terhadap
suatu fenomena yang terjadi. Hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri lagi,
karena berbeda dari pelajar baik dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas. Mahasiswa memiliki tingkat interpretasi yang lebih tinggi dan
harusnya memiliki wawasan yang luas dari bidang ilmu yang tengah dipelajarinya.
Tuntutan dalam berpikir contohnya,
mereka harus dapat berpikir sistematis, rasionalis, empiris, konstruktivitis,
dan kritis. Perkembangan pola pemikiran mahasiswa terlihat sangat signifikan
ketika bersinggungan dengan kehidupan politik-hukum, sosial-budaya, serta ekonomi
yang kemudian beriringan dengan beban kuliah yang harus dihadapi.
Mahasiswa tradisional merupakan
indikasi sejarah yang harusnya menjadi pedoman yang baik untuk kehidupan bangsa
di kemudian hari. Ketika kita mendengar pemahaman tersebut, mereka membawa kita
pada perspektif dimana kehidupan mahasiswa tradisional penuh dengan perjuangan
dan pengorbanan, tumbuhnya rasa nasionalisme dan konstruktivisme yang tinggi.
Membuat nama mahasiswa “diagungkan” oleh bangsa Indonesia. Para tokoh negarawan
maupun orang-orang penting pada masanya, melihat sosok mahasiswa sebagai agent of change. Berharap membawa
perubahan yangbesar ketika Bangsa Indonesia sedang dalam masa perjuangan.
Mereka seperti barisan muda terdepan yang mengaliri indonesia oleh pengetahuan
dan wawasan yang melimpah.
Bukankah
mahasiswa tradisional tidak mengenal perkembangan teknologi dan tidak terjerat
ke dalam arus globalisasi, seperti mahasiswa modern dan post-modern?
Mahasiswa tradisional layaknya hidup
seperti roda kayu yang berputar, mereka
bahkan tidak pernah terhalang walau kerikil setajam pisau. Namun ada masanya
roda kayu itu berhenti berputar oleh waktu. Mereka bukan tidak mengenal
adanya perkembangan teknologi dan globalisasi. Mereka tahu, ada periode
pascatradisional yang akan terjadi dan di sana arus globalisasi mulai tampak.
Dan kini bukan mereka lagi yang merasakan namun kita sebagai generasi modern
dan post-modern.
Mungkin ada hal yang tidak diketahui
lebih dalam oleh mahasiswa modern dan post-modern dari pandangan mahasiswa
tradisional. Mereka memberikan jejak dan bekal kepada generasi penerus agar
dapat menghadapi arus globalisasi yang terbawa bahkan terjerumus dalam arus
tersebut. Realitasnya globalisasi penuh dengan unsur-unsur negatif bagi
mereka-mereka yang lemah dan kalah dalam bertahan. Namun, kita yang mungkin
satu dari jutaan mahasiswa post-modern menganggap mereka hanya mahasiswa yang
tidak tahu makna perkembangan zaman.
Kita masuk dalam perspektif
mahasiswa modern dan post-modern. Zaman dimana teknologi informasi dan
komunikasi semakin canggih dan terjadi perubahan gaya hidup yang drastis.
Mahasiswa yang menganggap mereka lebih cerdas dan updatedari mahasiswa tradisional cenderung menggunakan perkembangan
teknologi ini sebagai kekuatan atas perubahan yang terjadi dalam Bangsa
Indonesia.
Mulai dari pengaruh budaya pop,
remaja yang semakin menganut hedonisme dan egoisme, lunturnya budaya bangsa, gadget addicted (kecanduan alat canggih)
dan perilaku-perilaku lainnya yang menyimpang akibat terseretnya arus
globalisasi yang kurang di-filterisasi.
“kita
harus berubah, tinggalkan yang lama, ganti yang baru, ikuti setiap
perkembangan”. Itu salah satu
motto dari mahasiswa yang mengganggap mereka agent of change.
Positifnya, mereka memiliki
pemikiran yang jauh lebih modern dari mahasiswa tradisional. Artinya segala hal
yang bersinggungan dengan teknologi menjadi barang yang lazim untuk dikonsumsi
sebagai alat informasi. Semakin pesatnya perkembangan tersebut, memudahkan
mereka mengaplikasikan segala sesuatu dengan cepat dan efektif. Dulu mahasiswa
tradisional harus belajar dan membawa berpuluh-puluh buku-buku tua nan tebal
atau rajin mengunjungi perpustakaan dan dengan tabah mencari kata-kata
pengetahuan di sana untuk mencari informasi atau sekadar melengkapi referensi
studinya. Namun kini mahasiswa modern tidak perlu lelah atau menghabiskan
banyak waktu untuk itu, karena segala fasilitas seperti perpustakaan dan yang
lainnya sudah terpenuhi dengan adanya media elektronik seperti radio, televisi,
bahkan internet.
Realitasnya dewasa ini, mahasiswa post-modern
semakin menurun taraf keingintahuannya terhadap pengetahuan, kurangnya budaya
membaca buku yang berakibat meningkatkan rentan kemalasan, dan cenderung lebih
banyak menghabiskan waktu sebagai mahasiswa malas dari pada mahasiswa cerdas
sebagaimana mestinya.
Faktanya, kini banyak Perguruan
Tinggi, baik Universitas maupun Sekolah Tinggi yang menghasilkan lulusan tidak
sebanding dengan penerimaan mahasiswa. Bahkan dari tahun ke tahun semakin
banyak remaja menjadi mahasiswa, namun sangat sedikit pula dari mahasiswa yang
lulus di bidangnya. Kemana mahasiswa yang lainnya?
Apakah mereka betah akan dunia
mahasiswa dan perkuliahan? Sampai kapan? Hal ini yang membuat Indonesia
prihatin terhadap bangsa sendiri. Kalau bukan pemuda-pemudi mahasiswa yang
merubahIndonesia, siapa lagi penerus bangsa yang melanjutkannya. Bukan lagi
presiden yang hanya menjabat lima tahun saja, bukan para pejabat negara yang
rajin mengkonsumsi uang korupsi, bukantokoh-tokoh pahlawan bangsa yang kini
sudah menua dan pensiun—mereka bahkan tak punya semangat lagi untuk memuda.
Cerminan
diri dan kesadaran sikap yang menjadi solusi sederhana sekaligus utama dari
problematika mahasiswa.
Hanya mahasiswa yang cerdas dan
kritis yang dapat menjadi penerus Bangsa Indonesia. Bagaimana kita sebagai
generasi muda dapat melihat lebih dalam umur Bangsa Indonesia ke depan dan
melihat cerminan diri sebagai orang yang pantas merubah semuanya menjadi lebih
baik. Berbenah diri dan meningkatkan kembali kualitas studi dan pengetahuan
yang tertinggal, karena itu salah satu langkah awal yang lebih baik. Tidak lupa
untuk selalu mem-filter dan membatasi
arus globalisasi yang dikhawatirkan akan menyerang anak cucu kita kelak. Karena
kita semua pastinya tidak ingin hal tersebut terjadi dan kita sudah tahu
seperti apa Bangsa Indonesia jika tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik.
Memang hal yang sepele melihat
problematika mahasiswa yang kini bahkan sudah menjadi budaya bukan masalah
lagi. Kita bahkan tak sadar telah melakukannya selama menjadi mahasiswa
post-modern yang konsumtif akan teknologi yang berlebihan. Kurangnya akan
pemahaman terdahulu dan dampak yang mungkin akan terjadi, menyebabkan
permasalahan tersebut menjadi budaya. Di situlah perlunya kesadaran diri dengan
melihat kedalam diri pribadi kita seperti apa kenyataannya sehingga dapat
introspeksi diri sebelum introspeksi diri orang lain. Ketika hal terkecil tersebut
mulai tumbuh kembali (regenerasi) dalam diri kita, maka perlahan problematika
tersebut akan digantikan dengan resolusi.
Masihkah
kita sebagai mahasiswa post-modern tidak tahu problematika yang terjadi di
bangsa ini?
Sudahkah kita melakukan hal kecil
untuk Indonesia? Maka jadilah mahasiswa yang bijak.
Catatan : Tulisan ini pernah diajukan dan diikutsertakan dalam "lomba penulisan artikel" di ICPR kampus Univ. Pakuan (5/01/2016). Terinspirasi dari kehidupan realita mahasiswa kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar