Rabu, 02 Maret 2016

Problematika Mahasiswa Tradisional dan Post-modern di Indonesia


Oleh : Andri Mulyahadi
 
            Mari bersantai sejenak, dari tugas kuliah maupun pekerjaan yang mungkin membuat pikiran kita agak jenuh. Dengan melakukan relaksasi yang benar, maka akan membuat pikiran menjadi lebih tenang dan mengurangi risiko kejenuhan yang menyerang otak. Karena ketika otak sedang dalam keadaan jenuh, kita sulit mengimpuls hal positif yang akan diterima oleh panca indera kita. Maka dari itu biarkan tulisan ini mengalir sebagai renungan dari kehidupan realitas mahasiswa di Indonesia.

            Apa sebenarnya yang melatarbelakangi dan membedakan mahasiswa tradisional, modern hingga post-modern terhadap probelmatika yang terjadi?


            Pada dasarnya semua mahasiswa merupakan makhluk terpelajar yang memiliki pemikiraan-pemikiran kritis terhadap suatu fenomena yang terjadi. Hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri lagi, karena berbeda dari pelajar baik dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Mahasiswa memiliki tingkat interpretasi yang lebih tinggi dan harusnya memiliki wawasan yang luas dari bidang ilmu yang tengah dipelajarinya. 

            Tuntutan dalam berpikir contohnya, mereka harus dapat berpikir sistematis, rasionalis, empiris, konstruktivitis, dan kritis. Perkembangan pola pemikiran mahasiswa terlihat sangat signifikan ketika bersinggungan dengan kehidupan politik-hukum, sosial-budaya, serta ekonomi yang kemudian beriringan dengan beban kuliah yang harus dihadapi.

            Mahasiswa tradisional merupakan indikasi sejarah yang harusnya menjadi pedoman yang baik untuk kehidupan bangsa di kemudian hari. Ketika kita mendengar pemahaman tersebut, mereka membawa kita pada perspektif dimana kehidupan mahasiswa tradisional penuh dengan perjuangan dan pengorbanan, tumbuhnya rasa nasionalisme dan konstruktivisme yang tinggi. Membuat nama mahasiswa “diagungkan” oleh bangsa Indonesia. Para tokoh negarawan maupun orang-orang penting pada masanya, melihat sosok mahasiswa sebagai agent of change. Berharap membawa perubahan yangbesar ketika Bangsa Indonesia sedang dalam masa perjuangan. Mereka seperti barisan muda terdepan yang mengaliri indonesia oleh pengetahuan dan wawasan yang melimpah. 

            Bukankah mahasiswa tradisional tidak mengenal perkembangan teknologi dan tidak terjerat ke dalam arus globalisasi, seperti mahasiswa modern dan post-modern?

            Mahasiswa tradisional layaknya hidup seperti roda kayu yang berputar, mereka bahkan tidak pernah terhalang walau kerikil setajam pisau. Namun ada masanya roda kayu itu berhenti berputar oleh waktu. Mereka bukan tidak mengenal adanya perkembangan teknologi dan globalisasi. Mereka tahu, ada periode pascatradisional yang akan terjadi dan di sana arus globalisasi mulai tampak. Dan kini bukan mereka lagi yang merasakan namun kita sebagai generasi modern dan post-modern.

            Mungkin ada hal yang tidak diketahui lebih dalam oleh mahasiswa modern dan post-modern dari pandangan mahasiswa tradisional. Mereka memberikan jejak dan bekal kepada generasi penerus agar dapat menghadapi arus globalisasi yang terbawa bahkan terjerumus dalam arus tersebut. Realitasnya globalisasi penuh dengan unsur-unsur negatif bagi mereka-mereka yang lemah dan kalah dalam bertahan. Namun, kita yang mungkin satu dari jutaan mahasiswa post-modern menganggap mereka hanya mahasiswa yang tidak tahu makna perkembangan zaman. 

            Kita masuk dalam perspektif mahasiswa modern dan post-modern. Zaman dimana teknologi informasi dan komunikasi semakin canggih dan terjadi perubahan gaya hidup yang drastis. Mahasiswa yang menganggap mereka lebih cerdas dan updatedari mahasiswa tradisional cenderung menggunakan perkembangan teknologi ini sebagai kekuatan atas perubahan yang terjadi dalam Bangsa Indonesia.

            Mulai dari pengaruh budaya pop, remaja yang semakin menganut hedonisme dan egoisme, lunturnya budaya bangsa, gadget addicted (kecanduan alat canggih) dan perilaku-perilaku lainnya yang menyimpang akibat terseretnya arus globalisasi yang kurang di-filterisasi.

            “kita harus berubah, tinggalkan yang lama, ganti yang baru, ikuti setiap perkembangan”. Itu salah satu motto dari mahasiswa yang mengganggap mereka agent of change.

            Positifnya, mereka memiliki pemikiran yang jauh lebih modern dari mahasiswa tradisional. Artinya segala hal yang bersinggungan dengan teknologi menjadi barang yang lazim untuk dikonsumsi sebagai alat informasi. Semakin pesatnya perkembangan tersebut, memudahkan mereka mengaplikasikan segala sesuatu dengan cepat dan efektif. Dulu mahasiswa tradisional harus belajar dan membawa berpuluh-puluh buku-buku tua nan tebal atau rajin mengunjungi perpustakaan dan dengan tabah mencari kata-kata pengetahuan di sana untuk mencari informasi atau sekadar melengkapi referensi studinya. Namun kini mahasiswa modern tidak perlu lelah atau menghabiskan banyak waktu untuk itu, karena segala fasilitas seperti perpustakaan dan yang lainnya sudah terpenuhi dengan adanya media elektronik seperti radio, televisi, bahkan internet.

                Realitasnya dewasa ini, mahasiswa post-modern semakin menurun taraf keingintahuannya terhadap pengetahuan, kurangnya budaya membaca buku yang berakibat meningkatkan rentan kemalasan, dan cenderung lebih banyak menghabiskan waktu sebagai mahasiswa malas dari pada mahasiswa cerdas sebagaimana mestinya.

            Faktanya, kini banyak Perguruan Tinggi, baik Universitas maupun Sekolah Tinggi yang menghasilkan lulusan tidak sebanding dengan penerimaan mahasiswa. Bahkan dari tahun ke tahun semakin banyak remaja menjadi mahasiswa, namun sangat sedikit pula dari mahasiswa yang lulus di bidangnya. Kemana mahasiswa yang lainnya?

            Apakah mereka betah akan dunia mahasiswa dan perkuliahan? Sampai kapan? Hal ini yang membuat Indonesia prihatin terhadap bangsa sendiri. Kalau bukan pemuda-pemudi mahasiswa yang merubahIndonesia, siapa lagi penerus bangsa yang melanjutkannya. Bukan lagi presiden yang hanya menjabat lima tahun saja, bukan para pejabat negara yang rajin mengkonsumsi uang korupsi, bukantokoh-tokoh pahlawan bangsa yang kini sudah menua dan pensiun—mereka bahkan tak punya semangat lagi untuk memuda.

            Cerminan diri dan kesadaran sikap yang menjadi solusi sederhana sekaligus utama dari problematika mahasiswa.

            Hanya mahasiswa yang cerdas dan kritis yang dapat menjadi penerus Bangsa Indonesia. Bagaimana kita sebagai generasi muda dapat melihat lebih dalam umur Bangsa Indonesia ke depan dan melihat cerminan diri sebagai orang yang pantas merubah semuanya menjadi lebih baik. Berbenah diri dan meningkatkan kembali kualitas studi dan pengetahuan yang tertinggal, karena itu salah satu langkah awal yang lebih baik. Tidak lupa untuk selalu mem-filter dan membatasi arus globalisasi yang dikhawatirkan akan menyerang anak cucu kita kelak. Karena kita semua pastinya tidak ingin hal tersebut terjadi dan kita sudah tahu seperti apa Bangsa Indonesia jika tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik.

            Memang hal yang sepele melihat problematika mahasiswa yang kini bahkan sudah menjadi budaya bukan masalah lagi. Kita bahkan tak sadar telah melakukannya selama menjadi mahasiswa post-modern yang konsumtif akan teknologi yang berlebihan. Kurangnya akan pemahaman terdahulu dan dampak yang mungkin akan terjadi, menyebabkan permasalahan tersebut menjadi budaya. Di situlah perlunya kesadaran diri dengan melihat kedalam diri pribadi kita seperti apa kenyataannya sehingga dapat introspeksi diri sebelum introspeksi diri orang lain. Ketika hal terkecil tersebut mulai tumbuh kembali (regenerasi) dalam diri kita, maka perlahan problematika tersebut akan digantikan dengan resolusi.

            Masihkah kita sebagai mahasiswa post-modern tidak tahu problematika yang terjadi di bangsa ini? 

            Sudahkah kita melakukan hal kecil untuk Indonesia? Maka jadilah mahasiswa yang bijak. 

Catatan : Tulisan ini pernah diajukan dan diikutsertakan dalam "lomba penulisan artikel" di ICPR kampus Univ. Pakuan (5/01/2016). Terinspirasi dari kehidupan realita mahasiswa kampus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar