Potongan Cerpen : Andri Mulyahadi
Bunga,
apa kamu ada waktu untuk kita bertemu?
Aku
menulis pesan dua hari yang lalu kepadamu. Namun kamu tak kunjung membalasnya.
Aku ingin berbicara denganmu, menanyakan apakah kamu baik-baik saja? sekaligus
aku ingin meminta maaf. Kalau nanti kita bertemu, aku ingin memberitahumu
sesuatu.
Esoknya,
kamu membalas pesanku dengan singkat.
“Pram,
besok aku pulang ke Bandung, kalau kamu ingin bicara denganku, temui aku di
Alun-alun Bandung.”
Aku
mencoba menelponmu, menghubungimu beberapa kali namun kamu tidak mengangkatnya.
Pesan yang kamu kirimkan memang sudah jelas memberitahuku kalau kamu tidak bisa
bicara denganku sebelum kita bertemu.
Tiga
puluh menit berlalu aku menunggumu tepat di Alun-alun Bandung. Tempat yang
memang sudah tidak asing lagi untukmu. Kamu bilang tempat itu sangat nyaman dan
bisa membuat kita bahagia, makanya kenapa orang-orang banyak berkunjung kesana
dan mengisi hari-hari bahagia mereka. Aku berharap bisa seperti mereka.
“Hai,
Pram, sudah lama?” Kamu datang dari arah samping dengan tiba-tiba.
“Hai
Bunga, tidak terlalu lama. Tempat ini membuatku lupa waktu.”
Kamu
melihatku dengan tersenyum―memang kita sudah hampir dua bulan tidak bertemu―dan
aku pun demikian. Namun mataku tertuju pada seseorang yang datang bersamamu,
seorang lelaki.
“Oya
Pram, sampai lupa, ini Damar.” Kamu mengenalkan lelaki itu kepadaku. Kami
saling bersalaman. Senyumku lenyap seketika saat Damar berkata dia adalah calon
suamimu. Aku ingin menanyakan padamu, apa itu benar?
“So
kita sudah bertemu, kamu ingin bicara apa, Pram?”
Aku
melihat hal yang berbeda padamu saat kamu melihatku dan saat kamu berbicara.
Seperti bukan kamu yang aku kenal. Harusnya memang lelaki itu tidak berkata
demikian, bukan? Aku setengah tidak percaya dengan perkataan Damar. Ingin
rasanya aku menyangkal perkataannya di hadapanmu, namun kamu seperti sudah tahu
lebih dulu daripada aku.
“Aku
ingin berpamitan kepadamu, minggu depan aku akan berangkat ke Australia,
mengambil beasiswa S2 di sana.”
“Wah,
kamu hebat Pram, semoga berhasil ya, aku mendukungmu”
“Iya,
terimakasih, Bunga.”
Tak
banyak yang aku bicarakan kepadamu. Aku berpamitan pulang, kurasa aku harus
mempersiapkan keberangkatanku ke Australia. Aku meninggalkanmu bersama Damar.
Entah
apa yang sebenarnya terjadi saat itu, harusnya aku memberitahumu bahwa aku tak
jadi mengambil beasiswa disana, kamu sendiri yang bilang tidak setuju aku pergi
ke sana. Namun kenapa sekarang kamu malah mendukungku.
Dan
yang membuatku membatin saat tahu bahwa kekasihku sendiri mempunyai calon suami
orang lain. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Hatiku merasa terpukul
ketika Damar berkata kalian akan segera menikah. Bukankah kita masih sepasang
kekasih, Bunga?
Semua
kekeliruan ini terjawab ketika aku tahu, kamu mengalami kecelakaan sebulan yang
lalu yang ngakibatkan kepalamu terbentur keras hingga menderita amnesia. Dan
tak ada satupun dari keluargamu yang memberitahuku.
Padahal
aku ingin memberimu sesuatu yang selalu kau suka, yang selalu aku berikan
kepadamu, ya, Bunga Kemuning. Bunga yang tak bisa dilupakan. Aku menaruhnya di
depan rumahmu yang dulu. Aku berharap kau mengingatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar