Cerpen : Andri Mulyahadi
Mereka sudah terbangun jauh sebelum
matahari membangunkan mereka, bahkan sebelum fajar berganti subuh. Suara
ayat-ayat Al-quran berkumandang perlahan membangunkan tidur Raka yang pulas. Ia
melihat ke sekeliling ruangan, tempat tidur tampak sudah rapi dan tak ada orang
kecuali dirinya. Kemana para santri yang lain?
Raka beranjak dari tempat tidur
menuju jendela kamar. Dibukanya daun jendela perlahan, udara dingin berebut
masuk menyentuh tubuhnya, lalu ia melihat halaman pesantren dan langit dengan
mata yang masih mengantuk. Ternyata pemandangan di luar masih gelap, ia
menggosok-gosokan kedua matanya yang masih setengah merapat dan melihat langkah-langkah
kaki bergegas menuju masjid. Ia berbalik melihat jam dinding tua yang
mengantung di dinding. Jam menunjukan pukul empat pagi.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
“Siapa?” Ujar Raka.
“Asep.” kemudian Asep perlahan
membuka pintu.
“Kang Raka? Sudah bangun? Akang teh
ditunggu sama Pak Kiai di masjid, kita siap-siap untuk shalat shubuh
berjamaah.” Ujar Asep salah satu santri.
“Iya Kang Asep, sebentar saya
menyusul.” Balas Raka.
Raka keluar kamar dan mengambil air
wudhu, rasa kantuk masih menyelimuti tubuhnya, adzan shubuh mulai berkumandang
dari speker masjid, kemudian ia menuju masjid pesantren. Ini kali pertama ia
berada di pesantren dan ikut shalat shubuh berjamaah. Sebelumnya ia hanya
shalat shubuh di rumah saja, itu pun hanya kalau dibangunkan oleh ibunya,
seringnya ia selalu melewatkan shalat shubuh dengan bangun siang.
Di masjid Pak Kiai melihat para
jamaah santri. Dan melihat ke arah Asep.
“Sudah Pak Kiai, Kang Raka menyusul
katanya. Mungkin lagi ambil air wudhu.” Balas Asep.
Shalat berjamaah pun hendak dimulai,
salah satu santri sedang beriqomah, Pak Kiai sebagai imam shalat dan yang lain
merapihkan barisan shaf. Raka kemudian masuk dan ikut dalam barisan belakang
setelah rakaat kedua. Raka tertinggal satu rakaat shalat.
Pagi hari telah tiba dan matahari
mulai menyinari langit pesantren. Tempat dimana Raka dikirim untuk belajar
lebih dalam ilmu Agama Islam oleh orangtuanya. Raka termasuk orang yang kurang
akan agama Islam, bahkan sebelum dititipkan di pesantren, kerjaannya hanya bermain-main,
pulang larut malam dan berhura-hura di kota. Kuliahnya pun terbengkalai
gara-gara sering bolos, usaha yang diamanatkan orangtuanya kepadanya tidak berjalan
dengan baik. Itu sebabnya orangtuanya mengamanatkan Raka pada Pak Kiai untuk
belajar agama dengan baik dan merubah semua sikapnya yang buruk.
Awalnya Raka menolak untuk
dititipkan di pesantren, namun ia terpaksa menurut kepada orangtuanya karena
semua uang dan barang yang dipakai Raka termasuk mobil disita oleh orangtuanya.
Di pesantren Raka harus mandiri, merubah sikapnya dan berakhlak baik.
Belum sampai satu minggu, Raka
benar-benar tidak tahan hidup di pesantren. Ia harus belajar mengaji—sebelumnya
Raka jarang sekali mengaji, ia harus bekerja bersama santri lain sebelum dapat
makan, bahkan ia harus selalu bangun subuh. Ia benar-benar harus menaati semua
aturan di pesantren. Raka kemudian menelepon orangtuanya untuk meminta pulang,
namun sudah pasti orangtuanya menolak kemauannya itu.
Orangtua Raka hanya akan
mengizinkannya pulang apabila ia sudah bisa merubah sikap dan akhlaknya menjadi
lebih baik.
Pagi ini, jadwal semua santri untuk
bekerja bakti membersihkan lingkungan pesantren. Pak Kiai dan para Ustad
mengumpulkan semua santri laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama bekerja
bakti. Raka pun dipanggil oleh Pak Kiai untuk ikut bersama santri lain.
“Raka, antum harus ikut bantu kerja
bakti membersihkan pesantren ini bersama yang lain.”
“Tapi Pak Kiai.. “ Raka menyanggah
perkataan Pak Kiai.
“Sudah antum laksanakan saja. Sep,
temani Raka ya”. Ujar Pak Kiai.
“Siap Pak Kiai.” Asep mengganguk.
Raka pun akhirnya menerima perintah Pak Kiai.
Semua santri terlihat sedang
membersihkan pesantren, Raka bersama Asep mendapat giliran menyapu halaman
pesantren. Namun seketika Raka menghentikan pekerjaannya. Matanya tertuju pada
seseorang yang membuatnya terdiam. Disebrang seorang santri perempuan yang
mengenakan hijab merah muda dengan pakaian putih dan rok panjang coklat
menutupi mata kakinya tampak menyapu daun-daun kering.
“Lah, antum kenapa berhenti atuh?”
Asep menepuk pundak Raka.
Raka
menarik Asep dan menunjuk santri perempuan di sebrang sana.
“Sep, kamu kenal perempuan di sana
itu?” Ujar Raka.
“Anu mana, santri eta? Ya tentu atuh
saya kenal, semua orang di sini juga pada tahu. Memangnya kunaon kitu?”
Raka terus memandangi santri itu
dari sebrang.
“Subhanallah, cantik sekali.
Memangnya dia siapa, Sep?”
“Anjeuna putrinya Pak Kiai, namanya
Annisa. Antum suka ya?” Asep tertawa merayu.
Raka baru mengetahui bahwa Pak Kiai
memiliki seorang Putri yang juga santri di pesantren tersebut. Ia mulai
menyukai Annisa, putri Pak Kiai. Namun ia tidak bisa bertemu langsung dengan
Annisa, itu karena asrama laki-laki dan perempuan memang terpisah. Walau berada
satu lingkungan pesantren namun kedua asrama berada bersebrangan tempat yang
dihalang oleh tembok dan hanya ada gerbang utama dan belakang saja sebagai
penghubung. Maka ia pun selalu menyempatkan waktu sebentar untuk melihat Annisa
dari balik pagar.
“Gak heran, kalau Neng Annisa teh
banyak yang suka. Tapi antum terlambat, Neng Annisa teh sudah dilamar sama
Ustad Ibrahim.” Ujar Asep.
“Yang benar kamu, Sep? Apa ada
kesempatan buat saya untuk mendekati putri Pak Kiai?” balas Raka.
“Apa antum pantas untuk Neng Annisa?
Coba antum tanyakan sendiri sama Pak Kiai.”
Mendengar bahwa Annisa sudah ada
yang melamar, Raka mulai mengurungkan niatnya untuk mendekati Annisa. Namun karena
rasa penasarannya, ia menemui dan menanyakan langsung ke pada Pak Kiai.
“Assalamualaikum Pak Kiai.” Raka
mengetuk pintu ruangan Pak Kiai.
“Waalaikumsalam Warohmatullahi
Wabarokatuh, masuk.” Saut Pak Kiai.
Raka pun masuk dan Pak Kiai tengah
duduk di ruang tamu sedang merapihkan berkas penting.
“Eh Raka, sok mangga duduk. Ada apa
Nak Raka?”
“Iya Pak Kiai, anu.. saya.. mau
nanya?” Ujar Raka dengan nada tersendat.
“Kunaon Raka? Sok mau nanya apa sama
Pak Kiai?”
Raka seperti malu untuk menanyakan
sesuatu tentang putri Pak Kiai, ia takut bahwa perkataannya itu lancang, namun
ia tidak dapat mempungkiri bahwa memang dia menyukai Annisa. Ketika Raka
bertanya kepada Pak Kiai mengenai putrinya, Pak Kiai terdiam sejenak dan
menghentikan pekerjaannya lalu menatap Raka.
“Bapak hanya akan menikahkan Annisa
dengan laki-laki yang memang pantas untuk menjadi suaminya, dan kelak
bertanggung jawab kepada keluarga.”
Annisa mendengar percakapan Pak Kiai
dengan Raka di ruang tamu. Ia melihat dari balik kamar. Sebelumnya Annisa
memang sudah tahu tentang keberadaan Raka. Ia tahu bahwa diam-diam ia sering
diperhatikan oleh seorang laki-laki, yaitu Raka. Namun ia belum
memberitahukannya kepada Pak Kiai.
Raka tidak menjawab perkataan Pak
Kiai. Ia terdiam dan menundukan kepala. Kemudian Pak Kiai melanjutkan
perkataannya.
“Annisa sudah ada yang melamar..”
“Ustad Ibrahim?” Raka memotong
perkataan Pak Kiai.
“Ya. Ustad Ibrahim, tempo lalu
beliau datang untuk melamar dan ingin menikah dengan Annisa.”
Raka semakin tak ada harapan untuk
mendekati Annisa. Hatinya seolah dipatahkan oleh perkataan itu. Ia tahu
dibandingkan dengan Ustad Ibrahim, apalah dirinya itu. Ilmu agama Ustad Ibrahim
jauh lebih tinggi dari dirinya, ia merasa hanya laki-laki biasa yang bermimpi
untuk menjadi menantu Pak Kiai.
Saat itu Pak Kiai memberi syarat
bagi yang melamar putrinya, ia tidak ingin sekadar menikahkan putrinya begitu
saja, namun demi kebaikan putrinya ia harus siap menitipkan amanah itu kepada
seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan menjadi imam yang baik untuk
putrinya kelak.
“Tapi Bapak belum menyetujuinya. Ada
syarat lain yang belum dipenuhi. Ujar Pak Kiai.
“Apa itu Pak Kiai?”
“Menghafal dan menafsirkan bacaan
ayat-ayat Yasin.”
Mendengar syarat yang begitu berat
dari Pak Kiai. Raka mencoba untuk bisa memenuhi syarat tersebut walau tahu
bahwa ia tak pandai mengaji, bahkan ia lupa kapan kali terakhir membaca
ayat-ayat Al-quran.
Hari demi hari Raka mulai banyak
berubah menjadi lebih baik. Dulu ia suka terlambat saat berjamaah shalat shubuh
di pesantren, namun kini ia datang ke masjid lebih awal bahkan sempat
melaksanakan shalat malam yang pernah diajarkan Pak Kiai. Raka pernah merasa
angkuh saat pertama di pesantren, kini ia sangat peduli kepada para santri lain
dan ikut membantu pekerjaan di sana.
Setiap selesai shalat Raka selalu
mencoba menghafal dan menafsirkan bacaaan surat Yasin, tetapi jangankan
menghafal atau menafsirkan surat tersebut, membaca ayatnya saja ia masih banyak
yang salah. Meskipun sudah dibantu oleh
Asep untuk mengajarinya.
Diam-diam Raka selalu melihat Ustad
Ibrahim ketika sedang membaca Al-quran. Ia mendengarkan secara khidmat lantunan
ayat-ayat yang sangat merdu keluar dari suara Ustad Ibrahim. Mungkin bagi Ustad
Ibrahim syarat ini bukan hal yang sulit untuk dilakukan, tapi untuk Raka, sulit
untuk bisa memenuhi syarat dari Pak Kiai. Namun Raka tidak berhenti, ia terus
belajar dan mencobanya.
Kemana-mana Raka selalu membawa dan
menghafal surat Yasin. Bahkan ketika sedang menyapu halaman.
“Yaa Siin. Wal qur.. annil hakim..”
( Yaa siin. Demi Al-quran yang
penuh hikmah).
Dari sebrang Annisa tersenyum, ia
tak sengaja melihat Raka sedang mengeja bacaan surat tersebut.
“Kenapa antum berhenti. Ayo teruskan
!” Ujar Asep.
“Maaf saya belum hafal ayat
selanjutnya.” Raka tertawa kecil.
Seperti biasa ketika sehabis shalat
Raka selalu mencoba menghafal surat Yasin, namun lagi-lagi ia kesulitan untuk
membacanya. Saat itulah ia berdoa, bersipu, dan menadahkan tangan kepada Allah
SWT.
“Ya
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bantulah hamba untuk bisa melantunkan
ayat-ayat-Mu yang suci ini. Antarkan hamba menuju Ridho dan Surgamu dengan
ayat-ayat yang hamba bacakan ini. Amiin.”
Tiba saat ketika Ustad Ibrahim
mencoba memenuhi syarat dari Pak Kiai atas lamarannya itu. Di dalam Masjid, Pak
Kiai meminta Ustad Ibrahim untuk membaca dan menafsirkan surat Yasin di depan
Annisa dan para santri lain. Dengan suara yang merdu dan bekal ilmu yang cukup
Ustad Ibrahim berhasil memenuhi syarat dari Pak Kiai.
Raka tahu ia tidak bisa seperti
Ustad Ibrahim, tapi setidaknya ia telah belajar tentang keikhlasan. Mungkin perkataan
Asep tempo lalu ada benarnya bahwa ia mungkin tak pantas untuk Annisa.
Namun, Allah mungkin mempunyai
rencana lain. Tiba-tiba saja Annisa menolak lamaran Ustad Ibrahim.
“Maaf Ustab Ibrahim, Annisa tidak bisa
menerima lamaran Ustad. Ada seseorang yang lebih pantas menjadi Imam Annisa.”
Tegas Annisa.
“Siapa Annisa?” Ujar Ustad Ibrahim.
Annisa langsung menengok dan
memandang ke arah Raka.
“Kang Raka. Ayo Kang Raka !” Annisa
meminta Raka untuk membaca surat tersebut.
Kemudian Raka terkejut. Semua mata
tertuju kepadanya. Ia tak tahu mengapa Annisa tiba-tiba bisa berkata demikian.
Apa yang harus dilakukan Raka, sedangkan ia merasa belum dapat memenuhi syarat
tersebut. Namun karena Annisa meminta dengan sepenuh hati kepada Raka, maka ia
pun menghampirinya di depan Pak Kiai.
Mungkin Annisa mempunyai alasan
lain, atas keputusannya itu.
“Nak Raka. Ayo mangga bacakan surat
Yasin.” Ujar Pak Kiai.
Raka terdiam sejenak dan mengambil
napas panjang, ia melihat ke arah Pak Kiai, Annisa dan para santri. Kemudian ia
pun membacanya.
“Yaa
Siin. Wal qur.. annil hakim..”
(
Yaa siin. Demi Al-quran yang penuh hikmah).
“Cukup Raka. Bapak mengizinkan antum untuk menikah
dengan Annisa.” Ujar Pak Kiai.
“Tapi Pak Kiai.. saya..”
“Sudah Nak Raka. Annisa sudah
memberitahu semuanya kepada Bapak.”
Rasa heran, sedih, dan bahagia
bercampur menjadi satu. Tak ada lagi kata yang terucap dari mulut Raka. Ia
hanya terdiam dengan perasaan yang tidak menyangka. Semua santri ikut terkejut
dalam kejadian itu, termasuk Ustad Ibrahim.
Mengapa
bukan Ustad Ibrahim yang mendampingi Annisa? Bukankah beliau sudah berhasil
memenuhi syarat dari Pak Kiai?
Ustad
Ibrahim memang sudah berhasil memenuhi syarat tersebut, namun Annisa tahu
beliau melakukannya karena niat benar-benar ingin menikah dengannya, memang itu
niat yang mulia, tapi bukan sesuatu yang diharapkan Annisa begitupun Pak Kiai.
Pak
Kiai pernah berkata kepada para santrinya, bahwa awalilah segala sesuatu yang
baik itu dengan niat hanya mencari Ridho Allah.
Dan
Raka pada akhirnya berhasil melakukannya dengan ikhlas, walau hanya satu ayat
yang ia lantunkan, ia percaya ayat tersebut Insya Allah bisa mengantarkan
niatnya itu menuju Surganya Allah SWT.
Orangtua Raka akhirnya datang ke pesantren karena
telah mendapat kabar bahwa selama ini Raka sudah banyak berubah menjadi pribadi
yang lebih baik. Mereka berencana untuk menjemput Raka pulang ke rumahnya.
Namun Raka malah tidak lagi menginginkan pulang, ia hanya ingin kedua
orangtuanya menjadi saksi ketika ia berkata.
“Aku
ingin menikahi Annisa, Karena Allah Ta’ala.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar