Sabtu, 25 Februari 2017

Ayat Pengantar Surga



Cerpen : Andri Mulyahadi

            Mereka sudah terbangun jauh sebelum matahari membangunkan mereka, bahkan sebelum fajar berganti subuh. Suara ayat-ayat Al-quran berkumandang perlahan membangunkan tidur Raka yang pulas. Ia melihat ke sekeliling ruangan, tempat tidur tampak sudah rapi dan tak ada orang kecuali dirinya. Kemana para santri yang lain?
            Raka beranjak dari tempat tidur menuju jendela kamar. Dibukanya daun jendela perlahan, udara dingin berebut masuk menyentuh tubuhnya, lalu ia melihat halaman pesantren dan langit dengan mata yang masih mengantuk. Ternyata pemandangan di luar masih gelap, ia menggosok-gosokan kedua matanya yang masih setengah merapat dan melihat langkah-langkah kaki bergegas menuju masjid. Ia berbalik melihat jam dinding tua yang mengantung di dinding. Jam menunjukan pukul empat pagi.

          
  Tiba-tiba terdengar ketukan pintu.

            “Siapa?” Ujar Raka.
            “Asep.” kemudian Asep perlahan membuka pintu. 

            “Kang Raka? Sudah bangun? Akang teh ditunggu sama Pak Kiai di masjid, kita siap-siap untuk shalat shubuh berjamaah.” Ujar Asep salah satu santri.
            “Iya Kang Asep, sebentar saya menyusul.” Balas Raka.

            Raka keluar kamar dan mengambil air wudhu, rasa kantuk masih menyelimuti tubuhnya, adzan shubuh mulai berkumandang dari speker masjid, kemudian ia menuju masjid pesantren. Ini kali pertama ia berada di pesantren dan ikut shalat shubuh berjamaah. Sebelumnya ia hanya shalat shubuh di rumah saja, itu pun hanya kalau dibangunkan oleh ibunya, seringnya ia selalu melewatkan shalat shubuh dengan bangun siang.
            Di masjid Pak Kiai melihat para jamaah santri. Dan melihat ke arah Asep.
            “Sep, kamana si Raka? Antum sudah panggil anjeuna?” Tanya Pak Kiai.
            “Sudah Pak Kiai, Kang Raka menyusul katanya. Mungkin lagi ambil air wudhu.” Balas Asep.

            Shalat berjamaah pun hendak dimulai, salah satu santri sedang beriqomah, Pak Kiai sebagai imam shalat dan yang lain merapihkan barisan shaf. Raka kemudian masuk dan ikut dalam barisan belakang setelah rakaat kedua. Raka tertinggal satu rakaat shalat. 

            Pagi hari telah tiba dan matahari mulai menyinari langit pesantren. Tempat dimana Raka dikirim untuk belajar lebih dalam ilmu Agama Islam oleh orangtuanya. Raka termasuk orang yang kurang akan agama Islam, bahkan sebelum dititipkan di pesantren, kerjaannya hanya bermain-main, pulang larut malam dan berhura-hura di kota. Kuliahnya pun terbengkalai gara-gara sering bolos, usaha yang diamanatkan orangtuanya kepadanya tidak berjalan dengan baik. Itu sebabnya orangtuanya mengamanatkan Raka pada Pak Kiai untuk belajar agama dengan baik dan merubah semua sikapnya yang buruk.

            Awalnya Raka menolak untuk dititipkan di pesantren, namun ia terpaksa menurut kepada orangtuanya karena semua uang dan barang yang dipakai Raka termasuk mobil disita oleh orangtuanya. Di pesantren Raka harus mandiri, merubah sikapnya dan berakhlak baik.

            Belum sampai satu minggu, Raka benar-benar tidak tahan hidup di pesantren. Ia harus belajar mengaji—sebelumnya Raka jarang sekali mengaji, ia harus bekerja bersama santri lain sebelum dapat makan, bahkan ia harus selalu bangun subuh. Ia benar-benar harus menaati semua aturan di pesantren. Raka kemudian menelepon orangtuanya untuk meminta pulang, namun sudah pasti orangtuanya menolak kemauannya itu.

            Orangtua Raka hanya akan mengizinkannya pulang apabila ia sudah bisa merubah sikap dan akhlaknya menjadi lebih baik.

            Pagi ini, jadwal semua santri untuk bekerja bakti membersihkan lingkungan pesantren. Pak Kiai dan para Ustad mengumpulkan semua santri laki-laki dan perempuan untuk bersama-sama bekerja bakti. Raka pun dipanggil oleh Pak Kiai untuk ikut bersama santri lain.

            “Raka, antum harus ikut bantu kerja bakti membersihkan pesantren ini bersama yang lain.”
            “Tapi Pak Kiai.. “ Raka menyanggah perkataan Pak Kiai.
            “Sudah antum laksanakan saja. Sep, temani Raka ya”. Ujar Pak Kiai.
            “Siap Pak Kiai.” Asep mengganguk. Raka pun akhirnya menerima perintah Pak Kiai.

            Semua santri terlihat sedang membersihkan pesantren, Raka bersama Asep mendapat giliran menyapu halaman pesantren. Namun seketika Raka menghentikan pekerjaannya. Matanya tertuju pada seseorang yang membuatnya terdiam. Disebrang seorang santri perempuan yang mengenakan hijab merah muda dengan pakaian putih dan rok panjang coklat menutupi mata kakinya tampak menyapu daun-daun kering.

            “Lah, antum kenapa berhenti atuh?” Asep menepuk pundak Raka.
Raka menarik Asep dan menunjuk santri perempuan di sebrang sana.
            “Sep, kamu kenal perempuan di sana itu?” Ujar Raka.
            “Anu mana, santri eta? Ya tentu atuh saya kenal, semua orang di sini juga pada tahu. Memangnya kunaon kitu?”

            Raka terus memandangi santri itu dari sebrang.
            “Subhanallah, cantik sekali. Memangnya dia siapa, Sep?”
            “Anjeuna putrinya Pak Kiai, namanya Annisa. Antum suka ya?” Asep tertawa merayu.

            Raka baru mengetahui bahwa Pak Kiai memiliki seorang Putri yang juga santri di pesantren tersebut. Ia mulai menyukai Annisa, putri Pak Kiai. Namun ia tidak bisa bertemu langsung dengan Annisa, itu karena asrama laki-laki dan perempuan memang terpisah. Walau berada satu lingkungan pesantren namun kedua asrama berada bersebrangan tempat yang dihalang oleh tembok dan hanya ada gerbang utama dan belakang saja sebagai penghubung. Maka ia pun selalu menyempatkan waktu sebentar untuk melihat Annisa dari balik pagar.

            “Gak heran, kalau Neng Annisa teh banyak yang suka. Tapi antum terlambat, Neng Annisa teh sudah dilamar sama Ustad Ibrahim.” Ujar Asep.

            “Yang benar kamu, Sep? Apa ada kesempatan buat saya untuk mendekati putri Pak Kiai?” balas Raka.
            “Apa antum pantas untuk Neng Annisa? Coba antum tanyakan sendiri sama Pak Kiai.”
            Mendengar bahwa Annisa sudah ada yang melamar, Raka mulai mengurungkan niatnya untuk mendekati Annisa. Namun karena rasa penasarannya, ia menemui dan menanyakan langsung ke pada Pak Kiai.

            “Assalamualaikum Pak Kiai.” Raka mengetuk pintu ruangan Pak Kiai.
            “Waalaikumsalam Warohmatullahi Wabarokatuh, masuk.” Saut Pak Kiai.
            Raka pun masuk dan Pak Kiai tengah duduk di ruang tamu sedang merapihkan berkas penting.
            “Eh Raka, sok mangga duduk. Ada apa Nak Raka?”
            “Iya Pak Kiai, anu.. saya.. mau nanya?” Ujar Raka dengan nada tersendat.
            “Kunaon Raka? Sok mau nanya apa sama Pak Kiai?” 

            Raka seperti malu untuk menanyakan sesuatu tentang putri Pak Kiai, ia takut bahwa perkataannya itu lancang, namun ia tidak dapat mempungkiri bahwa memang dia menyukai Annisa. Ketika Raka bertanya kepada Pak Kiai mengenai putrinya, Pak Kiai terdiam sejenak dan menghentikan pekerjaannya lalu menatap Raka.
            “Bapak hanya akan menikahkan Annisa dengan laki-laki yang memang pantas untuk menjadi suaminya, dan kelak bertanggung jawab kepada keluarga.” 

            Annisa mendengar percakapan Pak Kiai dengan Raka di ruang tamu. Ia melihat dari balik kamar. Sebelumnya Annisa memang sudah tahu tentang keberadaan Raka. Ia tahu bahwa diam-diam ia sering diperhatikan oleh seorang laki-laki, yaitu Raka. Namun ia belum memberitahukannya kepada Pak Kiai.

            Raka tidak menjawab perkataan Pak Kiai. Ia terdiam dan menundukan kepala. Kemudian Pak Kiai melanjutkan perkataannya.
            “Annisa sudah ada yang melamar..”
            “Ustad Ibrahim?” Raka memotong perkataan Pak Kiai.
            “Ya. Ustad Ibrahim, tempo lalu beliau datang untuk melamar dan ingin menikah dengan Annisa.”

            Raka semakin tak ada harapan untuk mendekati Annisa. Hatinya seolah dipatahkan oleh perkataan itu. Ia tahu dibandingkan dengan Ustad Ibrahim, apalah dirinya itu. Ilmu agama Ustad Ibrahim jauh lebih tinggi dari dirinya, ia merasa hanya laki-laki biasa yang bermimpi untuk menjadi menantu Pak Kiai.
            Saat itu Pak Kiai memberi syarat bagi yang melamar putrinya, ia tidak ingin sekadar menikahkan putrinya begitu saja, namun demi kebaikan putrinya ia harus siap menitipkan amanah itu kepada seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan menjadi imam yang baik untuk putrinya kelak.

            “Tapi Bapak belum menyetujuinya. Ada syarat lain yang belum dipenuhi. Ujar Pak Kiai.
            “Apa itu Pak Kiai?”
            “Menghafal dan menafsirkan bacaan ayat-ayat Yasin.”

            Mendengar syarat yang begitu berat dari Pak Kiai. Raka mencoba untuk bisa memenuhi syarat tersebut walau tahu bahwa ia tak pandai mengaji, bahkan ia lupa kapan kali terakhir membaca ayat-ayat Al-quran.

            Hari demi hari Raka mulai banyak berubah menjadi lebih baik. Dulu ia suka terlambat saat berjamaah shalat shubuh di pesantren, namun kini ia datang ke masjid lebih awal bahkan sempat melaksanakan shalat malam yang pernah diajarkan Pak Kiai. Raka pernah merasa angkuh saat pertama di pesantren, kini ia sangat peduli kepada para santri lain dan ikut membantu pekerjaan di sana.

            Setiap selesai shalat Raka selalu mencoba menghafal dan menafsirkan bacaaan surat Yasin, tetapi jangankan menghafal atau menafsirkan surat tersebut, membaca ayatnya saja ia masih banyak yang salah. Meskipun sudah  dibantu oleh Asep untuk mengajarinya.

            Diam-diam Raka selalu melihat Ustad Ibrahim ketika sedang membaca Al-quran. Ia mendengarkan secara khidmat lantunan ayat-ayat yang sangat merdu keluar dari suara Ustad Ibrahim. Mungkin bagi Ustad Ibrahim syarat ini bukan hal yang sulit untuk dilakukan, tapi untuk Raka, sulit untuk bisa memenuhi syarat dari Pak Kiai. Namun Raka tidak berhenti, ia terus belajar dan mencobanya.

            Kemana-mana Raka selalu membawa dan menghafal surat Yasin. Bahkan ketika sedang menyapu halaman.

Yaa Siin. Wal qur.. annil hakim..”
( Yaa siin. Demi Al-quran yang penuh hikmah).

            Dari sebrang Annisa tersenyum, ia tak sengaja melihat Raka sedang mengeja bacaan surat tersebut.
            “Kenapa antum berhenti. Ayo teruskan !” Ujar Asep.
            “Maaf saya belum hafal ayat selanjutnya.” Raka tertawa kecil.

            Seperti biasa ketika sehabis shalat Raka selalu mencoba menghafal surat Yasin, namun lagi-lagi ia kesulitan untuk membacanya. Saat itulah ia berdoa, bersipu, dan menadahkan tangan kepada Allah SWT.

            “Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bantulah hamba untuk bisa melantunkan ayat-ayat-Mu yang suci ini. Antarkan hamba menuju Ridho dan Surgamu dengan ayat-ayat yang hamba bacakan ini. Amiin.”

            Tiba saat ketika Ustad Ibrahim mencoba memenuhi syarat dari Pak Kiai atas lamarannya itu. Di dalam Masjid, Pak Kiai meminta Ustad Ibrahim untuk membaca dan menafsirkan surat Yasin di depan Annisa dan para santri lain. Dengan suara yang merdu dan bekal ilmu yang cukup Ustad Ibrahim berhasil memenuhi syarat dari Pak Kiai.

            Raka tahu ia tidak bisa seperti Ustad Ibrahim, tapi setidaknya ia telah belajar tentang keikhlasan. Mungkin perkataan Asep tempo lalu ada benarnya bahwa ia mungkin tak pantas untuk Annisa.

            Namun, Allah mungkin mempunyai rencana lain. Tiba-tiba saja Annisa menolak lamaran Ustad Ibrahim.
            “Maaf Ustab Ibrahim, Annisa tidak bisa menerima lamaran Ustad. Ada seseorang yang lebih pantas menjadi Imam Annisa.” Tegas Annisa.
            “Siapa Annisa?” Ujar Ustad Ibrahim.
            Annisa langsung menengok dan memandang ke arah Raka.
            “Kang Raka. Ayo Kang Raka !” Annisa meminta Raka untuk membaca surat tersebut.

            Kemudian Raka terkejut. Semua mata tertuju kepadanya. Ia tak tahu mengapa Annisa tiba-tiba bisa berkata demikian. Apa yang harus dilakukan Raka, sedangkan ia merasa belum dapat memenuhi syarat tersebut. Namun karena Annisa meminta dengan sepenuh hati kepada Raka, maka ia pun menghampirinya di depan Pak Kiai.

            Mungkin Annisa mempunyai alasan lain, atas keputusannya itu.
            “Nak Raka. Ayo mangga bacakan surat Yasin.” Ujar Pak Kiai.
            Raka terdiam sejenak dan mengambil napas panjang, ia melihat ke arah Pak Kiai, Annisa dan para santri. Kemudian ia pun membacanya.

            Yaa Siin. Wal qur.. annil hakim..”
            ( Yaa siin. Demi Al-quran yang penuh hikmah).

            “Cukup Raka. Bapak mengizinkan antum untuk menikah dengan Annisa.” Ujar Pak Kiai.
            “Tapi Pak Kiai.. saya..”
            “Sudah Nak Raka. Annisa sudah memberitahu semuanya kepada Bapak.”

            Rasa heran, sedih, dan bahagia bercampur menjadi satu. Tak ada lagi kata yang terucap dari mulut Raka. Ia hanya terdiam dengan perasaan yang tidak menyangka. Semua santri ikut terkejut dalam kejadian itu, termasuk Ustad Ibrahim. 

            Mengapa bukan Ustad Ibrahim yang mendampingi Annisa? Bukankah beliau sudah berhasil memenuhi syarat dari Pak Kiai?

            Ustad Ibrahim memang sudah berhasil memenuhi syarat tersebut, namun Annisa tahu beliau melakukannya karena niat benar-benar ingin menikah dengannya, memang itu niat yang mulia, tapi bukan sesuatu yang diharapkan Annisa begitupun Pak Kiai.

            Pak Kiai pernah berkata kepada para santrinya, bahwa awalilah segala sesuatu yang baik itu dengan niat hanya mencari Ridho Allah. 

            Dan Raka pada akhirnya berhasil melakukannya dengan ikhlas, walau hanya satu ayat yang ia lantunkan, ia percaya ayat tersebut Insya Allah bisa mengantarkan niatnya itu menuju Surganya Allah SWT.

            Orangtua Raka akhirnya datang ke pesantren karena telah mendapat kabar bahwa selama ini Raka sudah banyak berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Mereka berencana untuk menjemput Raka pulang ke rumahnya. Namun Raka malah tidak lagi menginginkan pulang, ia hanya ingin kedua orangtuanya menjadi saksi ketika ia berkata.

            “Aku ingin menikahi Annisa, Karena Allah Ta’ala.”




[1]Antum adalah panggilan kepada seseorang serapan dari bahasa Arab
[2]Anjeuna adalah Dia dalam bahasa sunda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar