Senin, 29 Agustus 2016

Senja yang Hilang Di Pelupuk Mata

Andai saja senja memiliki pasangan. Mungkin sebuah kesedihan tak membentang di sana. Atau setidaknya, ketika sementara ia tidak terus merasa sendiri. Ada sedikit obrolan yang bisa mereka ciptakan sebelum malam datang.

Aku duduk menghadap jendela, membayangkan senja tadi berpapasan
dengan senja lainnya kemudian terbesit obrolan kecil.
"Bagaimana kabarmu?"
"Seperti biasa, hadir memudar lalu hilang. Bagaimana denganmu?"
"Aku senja yang berkelana, dari senja satu ke senja lainnya. Angin-angin ini, mereka membawaku, walau pada akhirnya sama sepertimu, menghilang."
Entah seperti apa, tiap aku melihat senja di depan mataku, aku serasa dibius oleh warna-warna jingganya.
Waktu menungguku terasa begitu singkat. Sesekali aku meneguk secangkir cappucino latte manis.

"Kamu sudah lama?"
"Tidak terlalu lama kok?" Sudah lebih dari empat puluh lima menit aku menunggunya di sudut meja, seberkas senja melukiskan bayangan segelas cappucino latte di hadapanku.
"Maaf sudah menunggu."
Dia menarik kursi di sebrang mejaku, duduk perlahan.
Aku melihat matanya, seberkas senja memantul dan membenam di sana. Indah namun sementara.

"Ya, jadi, apa yg mau kamu bicarakan?"
Dia mematikan sambungan telepon, dan menaruhnya di meja.
"Aku tau ini sulit untuk kita, tapi kurasa ini juga akan lebih baik untuk kita ke depannya."
"Apa maksudmu, Ve?"
Aku melihat seorang lelaki menunggu di luar sana, lelaki yang datang bersama Ve.
"Kamu masih berhubungan dengannya, Ve?" aku menanyainya.
"Ya? Ehm Apa maksudmu?"
"Lelaki tua itu, masih sering menemuimu?"
Aku melihat ke arah lelaki itu, lalu ku beralih lagi memandangnya.
Ia terdiam. Senja menghapus senyuman di bibirnya.
"Kamu ini bicara apa, Ken?"
"Sudahlah, aku sudah tahu semuanya, kenapa kamu bersama lelaki itu, Ve?"
"Tahu apa kamu?" Dia meninggikan nada suaranya. "Kamu tidak tau apa-apa
tentangku, bahkan kamu tidak tau ketika aku membutuhkan kamu saat itu.
Kamu tidak ada !"
"Aku sedang menyelesaikan kuliahku, harusnya kamu paham, Ve"
"Urus saja diri kamu sendiri, kamu bahkan tak peduli lagi padaku."
Hari ini aku baru bertemu lagi dengan kekasihku. Aku mengatur waktu
bertemu di sebuah caffe favorit kami. Setelah lebih dari sebulan aku tak
bertemu dengannya. Harusnya pertemuanku dengan Ve berbuah manis,
sayangnya pertemuanku tak semanis cappucino latte.

"Apa kamu masih mencintaiku, Ve?"
"Dengar ya, Ken. Menjalani hubungan itu tidak melulu soal cinta. Aku butuh uang, untuk aku hidup. Juga yg lainnya."
"Tapi, aku.."
"Lebih baik, kita akhiri saja hubungan kita, aku tak yakin ini akan bertahan.
Terimakasih untuk semuanya."

Dia pergi meninggalkan tempat itu. Mengakhiri pertemuan, sekaligus
mengakhiri hubungan kami. Aku tak lagi melihat senja di pelupuk matanya.
Aku seperti tak kuasa untuk berkata lagi, senja ini membiusku.
Lelaki itu menggandeng kekasihku--mantan kekasihku--menaiki ssebuah
mobil mewah, senyuman mereka bertemu di depan mataku.

Mengapa senja menghadirkan keadaan seperti ini, aku tidak pernah mengharapkan hubunganku dengan Ve berakhir. Justru aku ingin
memperbaiki bagian yang hilang karena kesalahpahaman. Namun nyatanya semuanya menghilang, seperti senja di depanku.

Aku pun pergi dari tempat ini, tempat yang mungkin tidak akan ku singgahi lagi, bukan lagi menjadi tempat favoritku, favorit kami. Biarlah semua yang lalu membenam di sana. Aku tak ingin melukai lebih dalam perasaan ini. Yang tersisa hanyalah, senja di sudut meja
dengan cappucino latte yang tersisa satu tegukan.

Kau tahu, mengapa terkadang orang tak ingin menetapkan waktu pertemuan di kala senja? Karena waktu senja itu begitu singkat, tak ada yg menginginkan pertemuan berlangsung singkat, kecuali
mereka yg ingin mengakhiri kisah cintanya.

Senja memang indah namun hanya sesaat, sesaat hadir memberi warna merah-jingga sesaat lagi memudar lalu menghilang.
Begitu mereka menyebutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar