Entah
mengapa aku merasa rindu setiap kali melihat pintu tua itu. Ku tahu itu akan
membawaku ke masa keemasan dimana jejak-jejak tanganku berada di sana. Membuat
kenangan menjadi nyata dan menghapuskannya sejak pintu itu kembali ditutupnya
untuk waktu yang tak sedikit. Begitu kesepian saat tak ada jejak tangan yang
tertinggal di sana. Kurasa tak lagi kesepian tapi lebih dari itu, dingin dan
tak tersentuh. Tapi itu yang membuatku terpanggil untuk membukakan pintu dan
menghadiri ruangan yang sudah lama tak tersentuh langkah kaki.
Ada suasana
dimana aku harus terdiam untuk beberapa saat ketika berada disana. Tampak hening
dan sunyi di setiap tatapan mata yang tak sengaja melihatnya. Seperti yang ada
di pandangan pertamaku, sorotan cahaya bersama kawan-kawan kecil menyambutku
untuk mengingatkan arti kehadiran mereka. Kini aku termenung lagi di sudut hari
dimana ku lihat butiran-butiran itu kian beterbangan di depan pandanganku.
Kembali itu adalah cahaya matahari yang menyoroti lewat genting kaca dan
mengajariku tentang ada satu sinar dalam jiwa walaupun itu segelap apapun tetap
memiliki arti dan makna. Aku melihat butiran debu beterbangan kesana kemari
yang hanya terlihat dalam sorotan cahaya saja. Berlarian dan menari-nari
kemudian hilang dan kemudian ada lagi.
- - Debu
kurasa kami
sudah sepuluh kali, bukan seratus, bukan seribu, atau lebih dari itu menari dan
beterbangan di bawah sorotan matahari, dan itu menyenangkan sekali. Kami begitu
tampak oleh sebuah mata yang menyaksikan kami melambai lambai dan berlarian di
udara. Tapi tanpa adanya matahari kami tak pernah terlihat sampai kami benar
benar tertidur. Itu benar-benar terjadi saat kami bersama kawan-kawan kecil
menutupi kaleng tua itu sebagai alas kami. Siapa peduli, tak ada yang peduli. Kami
bebas berekspresi dan berinspirasi tapi mereka itu selalu memandang kami
menutupi kenangan mereka. Sebenarnya mereka yang tak pernah peduli pada
kenangan mereka sendiri. Maka dari itu kami bebas bersama kenangan kami juga
kenangan mereka dan kembali kawan kecil kami. Menari nari dan melambai lambai. Begitu
seterusnya. Dan tidak lupa, tertawa.
- - Sorotan matahari
Aku bukan seperti
apa yang debu-debu itu pikirkan juga mereka, kalian lebih tepatnya. Dan satu
lagi, bukan seperti apa yang kau pikirkan. Aku selalu bercahaya dan menyinari
jauh lebih luas dari hanya menyoroti tempat yang kusam dan penuh dengan
debu-debu sombong ini. bukan apa-apa hanya saja genting ini yang memohon padaku
untuk menyinari kenangan yang telah lama ini terkubur debu dan kesepian. Dan kurasa
kaleng ini menjadi aset berharga yang mesti disinari agar keharmonisannya tetap
di ingat. Sekali lagi tak perlu aku banyak peran hanya membantu permohonan itu
terwujud. Dan untuk yang lain juga. Begitu seterusnya.
Entah
apa yang debu dan cahaya itu bicarakan. Itu
membuatku pusing saja. Aku tau mereka ingin beranjak dan berkomentar. Tapi sayang
aku lebih rindu pada aset itu daripada harus menyaksikan perbincangan yang tak
perlu lagi di bahas. Begitu seharusnya.
Terkadang
tersenyum dan merayu ku untuk ikut terhanyut, tapi apa? ku tak bisa bersama
mereka yang hanya bisa tertawa dalam satu sisi saja sedangkan mereka menangis
dalam sisi yang lainnya. Ku tahu mereka hanya bisa dilihat, tidak bisa disentuh
ataupun dihirup tapi aku bisa merasakannya lewat tulisan ini yang tergores dan
tersirat disini. Dulu aku pernah menyentuhnya dan setelah sekian lama satu
persatu mereka berkumpul, tidak itu puluhan, ribuan, atau bahkan lebih dari
itu. Perlahan menutup sesuatu yang indah yang pernah ku miliki karena itu pernah
menjadi satu kenangan yang tak bisa terlupakan saat aku melihatnya lagi. Tapi
saat aku tak lagi menyentuhnya merekalah yang menyentuh hingga membuatnya kusam
dan berdebu. Aku hanya bisa membiarkannya dalam waktu yang lama dan saat ku
coba mengingatnya kembali aku teringat dulu saat balapan ku bersama dia.
Mobil
kaleng balapku yang selalu menemaniku dalam susah dan senang dalam hamparan
sunyi dan tawaan sendu. Merekatkan setiap candaaan bersamanya melewati balapan
demi balapan yang tiada hentinya. Kita pernah menang dan kita pernah kalah kita
pernah jatuh dan kita pernah bangkit. Semua kita lalui bersama. Kau yang
mengajariku tentang arti kebersamaan, kemenangan, kerja keras, pantang
menyerah, dan kesabaran. Kau seperti orangtua ku yang selalu menjadi penyemangat
dalam melaju di lintasan. Kau beri belokan-belokan maut yang akan melewati
semua lawan dan semua pembalap. Mereka yang menghadang dari segala sisi walau
kau rela tergores sayap-sayapmu demi kita menang.
Itulah
yang ada dalam janji bersama kita menang dan bersama kita siap kalah. Ku tahu
foto itu yang memberikan kenangan saat aku mengangkat tropy bersama luka
goresmu itu. Kita tertawa dan tersenyum bersama. Tapi kini aku membiarkan
kenangan itu menjadi debu dan kusam yang pada saatnya sinar itu yang memberikan
aku ingatan. Sama seperti debu-debu itu yang tak bisa aku hitung berapa
banyaknya kenanganku bersama mobil ini.
Ku
usapkan debu ini di atas kalengmu yang kusam dan semakin berkarat dan tua. Tapi
hingga kini aku juga sudah tak kuasa untuk melaju di lintasan, kau tetap teman
kalengku yang luarbiasa yang pernah aku miliki. Walau kini sayap-sayap dan
rodamu tak seperti dulu tapi aku terkesan dengan goresan luka itu yang
mengantarkan kau menjadi juara bersamaku. Sayangnya kini hanya debu-debu itu saja
yang menemanimu dalam ruangan yang gelap dan dingin bersama jejak tanganku di
setir itu. Ingin rasanya aku mengendaraimu lagi seperti dulu saat aku masih
muda dan hebat. Apakah hanya harapan saja, tapi kau selalu menjadi teman dan
juaraku. Aku hanya bisa berharap akan ada saatnya kita kembali menjadi sang
pembalap hebat bersama-sama.
Kini
ku hanya bisa membersihkanmu dari debu-debu itu saja walau kau tak bisa
bersamaku lagi tapi aku yakin kau selalu ada dalam jiwaku. Selamat tinggal
kawan kalengku, selamat tinggal foto kemenangan dan selamat tinggal semuanya
yang telah menjadi bagian dari masa terindahku. Hingga aku menutup pintu ini
dan berharap kau akan menemukan seseorang yang akan menjadi temanmu yang
mengantarkan kemenangan dan menjadikan partner baru yang lebih hebat dengan
memutar setirmu kelak seperti aku.
Kemudian setelah sekian lama pintu
itu terbuka kembali. Ini bukan aku tapi yang lain.
“Aku setelah ku masuk, ku lihat mobil balap ini begitu hebat,
wahai kau raja lintasan ijinkan aku menjadi teman balapmu. Kan ku putar setir
mu itu, seperti pemutar setir terdahulu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar