Mengapa
manusia berada di persimpangan? Bagaimana manusia memilih jalan di
persimpangan? Dan apa yang dilakukan manusia di persimpangan?...
Manusia dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang
menentukan kemana mereka akan melangkah. Manusia juga disuguhi tempat untuk
memilih dan bertanya. Tapi tidak saat mereka berada di persimpangan. Bagaimana
jika dipersimpangan itu tak ada siapapun. Dia seorang diri. Tak bisa bertanya.
Dunia hidupnya seakan mati. Itulah ada saatnya manusia merenung atas apa yang
ada di pikiran dan hatinya.
Persimpangan adalah tempat dimana satu titik jalan memiliki
lebih dari satu arah antara kanan dan kiri serta depan dan belakang. Saat manusia
berada di jalan yang lurus maka kemudian manusia disuguhkan oleh sebuah
persimpangan. Persimpangan mementukan kemana arah yang akan diambil ketika
manusia tiba di sebuah persimpangan.
Manusia yang terdiam akan mengalami kebingungan saat tiba
di persimpangan. Dia tak tahu kemana langkahnya harus di pijakan. Semua tampak
semu dan samar. Kanan dan kirinya bagaikan kembar yang tak ada ciri yang
membedakannya. Keduanya seperti cermin yang hanya dibedakan oleh arah saja. Bukan
untuk dipilih tapi untuk memutuskan arah mana yang benar-benar nyata.
Baginya jalan yang lurus adalah jalan yang tak perlu
membuatnya berhenti sejenak, karena itu akan membuatnya bingung dan berdiam
pada satu titik persimpangan. Sebenarnya dia hanya perlu satu arah yang nyata
yang membawanya kepada arah yang tepat. Sebuah persimpangan membuatnya menjadi
tak punya kekuatan untuk berjalan terus. Dia butuh sesuatu untuk membantunya
melangkah. Dia yang tak kuasa harus memilih terbaring diantara dua arah atau
lebih. Dia tak ingin saat memilih menghadapi resiko yang membuatnya berhenti
berjalan. Bukan karena dia takut menghadapi resikonya tapi ada sesuatu yang
membuat sebuah hati bersedih.
Dia harus tahu bahwa tak ada jalan pintas, karena
perjalanan masih panjang. Tapi dia tak ingin akan jatuh karena dia pernah jatuh
sebelumnya. Dia tak ingin jatuh untuk kedua kalinya. Dia harus tahu mana jalan
yang tak berbatu dan berbatu. Jalan yang pasti itu adalah jalan yang akan
membawa dan memastikannya nyaman saat sedang berjalan dan melewatinya. Dan dia
harus tahu jalan mana yang bebas dari perkara tak menyenangkan dan membuatnya
kehilangan semangat.
Dia pernah mencoba sebelumnya. Memilih arah yang dia
anggap itu pilihan yang pasti. Awalnya tampak indah. Tapi apakah keindahan itu
selalu hadir tanpa keburukan? Dan itu yang dia takutkan. Terkadang penafsiran
pada sebuah pemikiran bahwa sugesti apa yang dia pakai tak menuntut apa yang
pasti berada di depannya. Dia pernah memberikan yang terbaik ketika berada di
jalan yang pasti tetapi saat jalan tersebut berubah menjadi persimpangan, semuanya
tampak samar dan membingungkan.
Apakah setelah satu harus ada dua? Mengapa tidak langsung
tiga, empat atau sepuluh sekalian? Semuanya itu membingungkan dia. Dia tahu dia
hanya seorang diri. Tak ada orang yang bisa dia pintai bantuan. Bukan tidak
mungkin ia tak bisa bertanya hanya saja pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya
tak ada ini membuatnya terus berfikir saat berada hendak di persimpangan.
“kau tahu kenapa kini
aku berdiam? Aku tak hanya berhenti tapi merenung sejenak. Sebenarnya aku tak
ingin berhenti karena itu membuatku lelah untuk berjalan kembali. Itu akan
membuatku berjalan berlipat ganda. Tapi mengapa aku disuguhkan oleh arah yang
tak pasti? Menurutku ini ambigu. Tak sepantasnya orang sepertiku melakukan ini.
aku merasa tak ada yang harus aku lakukan selanjutnya sampai persimpangan ini
benar-benar tiada. Setidaknya ada sesuatu yang memastikan aku melangkah
kembali. Itu akan meminimalisir kebimbangan yang sempat membuat pikiranku
berfikir untuk memilih hal yang tak pasti.”
…manusia di
persimpangan…
Tak tahu kemana harus
melangkah…
Seorang diri dan
tiada berhenti…
Tiada tempat untuk
mengaduh…
Diantara sesal dan
pilu…
Satu kepastian yang
menghapus kepalsuan…
Sebuah jalan berujung
kebimbangan…
Manusia hilap akan
kesenjangan…
Kemudian jatuh dan
menunggu pertolongan…
…manusia tak seharusnya di
persimpangan
…dia harus pulang
menjemput tujuan
…mengakhiri
ketidakpastian
…yang penuh ragu dan
rasa bimbang
…manusia tak
seharusnya di persimpangan
…ketika pada saat
yang sama dia berhenti berdiam
…kembali mundur yang
tak seindah melaju di depan
…melambaikan
perpisahan pada kanan dan kiri persimpangan
…mencari kepastian
yang sempat jatuh
…membawanya ke persimpangan
…yang tiada kiri
ataupun kanan
Bahkan sebuah bait demi bait pun tak cukup bisa merubah
sebuah persimpangan. Itu yang seharusnya membuat luluh ketidakpastian, tapi
malah membuatnya tampak semakin samar. Dia tak hanya membuat pikirannya bercabang,
tapi juga tujuannya membuatnya engga menyentuh kepastian.
Kini dia mencoba melangkah diantara satu garis titik
persimpangan yang sebenarnya tak berpengaruh pada pilihannya. Tapi setidaknya
ada hal yang harus dia lakukan sebelum langkahnya itu benar-benar mati. Ada beberapa
pilihan yang patut dia ramalkan sebelum resiko itu benar benar menjemputnya di
depan kelak. Ada empat pilihan terkecuali berdiam diri. Apa yang tampak itu di
depan, di kanan, di kiri, dan di jalan yang dia lewati sebelumnya yakni di
belakang.
Saat berada di depan itu seperti tak berpengaruh pada
sebuah persimpangan, karena menurutnya ketika dia sedang berjalan di belakang dan
tak perlu untuk mengubah arah jalannya yang dia anggap bahwa kepastian itu
berjalan lurus tanpa ada gangguan yang mengubahnya beralih arah. Tapi biasanya
yang sempat ia lewati adalah resiko dari arah tadi inilah arah yang beresiko
besar karena tak seharusnya hidup itu berjalan lurus. Ada saatnya kelak berubah
arah seperti tangga dramatik yang denyutnya seperti detak jantung manusia di
layar denyut jantung pada seorang pasien. Di depan pun dia tak harus memikirkan
apa yang akan terjadi di kanan maupun di kiri. Apalagi di belakang. Karena itu
menurutnya harus kembali ke masa yang tidak dia inginkan yang dia sebut “masa
lalu”. Kemudian apa resiko yang berada di depan?
Saat berada di kanan itu seperti mengubah kemandirian dan
pendirian seseorang dalam berjalan dan menghadapi persimpangan. Yang tadinya
dia setia pada jalan yang pasti, tapi ia kembali berfikir saat persimpangan
datang menghadapnya. Dia menganggapnya itu jalan untuk move on kearah yang
lebih baik atau hanya sebuah alternatif saja sebelum jalannya benar-benar
berubah kembali. Di kanan pun dia tak perlu melihat kebelakang karena itu
adalah sebuah kebohongan besar yang sengaja di rubah untuk mengelabui dia
berada di kanan. Di belakang itu sebenarnya di kiri yang sebelum beralih
kekanan kirinya itu berganti menjadi belakang yang dia anggap itu menyeramkan sekali
harus berbalik kearah yang penuh kebohongan. Resiko yang siap dia hadapi ketika
berada di kanan adalah sebuah persimpangan baru lagi yang akan menguji seperti
persimpangan sebelumnya yang sempat dia lewati.
Saat berada di kiri, dia menyebutnya sebuah penghianatan
dari kanan. Tapi di kiri tak seburuk apa yang pernah di kanan bilang tentang
sebuah kebohongan. Dia juga pernah bilang di kiri itu bukan pelampiasan saat
dia tak memilih ke kanan karena di kiri adalah memang benar-benar pilihan yang
dia kehendaki. Dia tak perlu bilang bahwa kanan itu kini menjadi belakang
baginya, tapi kanan tetaplah kanan dan kiri tetaplah kiri. Tinggal resiko yang
siap dia hadapi di depannya yang tadinya kiri tapi semuanya sama menjadi di
depan.
Ini adalah saat yang berbeda dari ketiga arah
persimpangan tadi. Ini lebih disebut flashback. Sesuatu yang mesti di ulang ke
masa sebelumnya yang pernah terlalui sebelum menginjak ke masa datang. Dia menyebutnya
pilihan pasrah. Ketika belakang itu adalah sesuatu yang tertinggal bukan karena
ia harus kembali untuk mengulangnya lagi tapi memperbaiki keraguan yang pernah
tergores disana. Sebuah keputusasaan yang menjadi alasan kenapa dia harus
memilih ke belakang. Dia tak sanggup bila harus berpapasan dengan sebuah persimpangan.
Sebuah kata yang menakutkan yang tak pasti tujuan arah jalannya. Secara tidak
langsung dia takut menghadapi resiko yang telah menanti di ketiga jalan tadi.
Ada kesimpulan lain yang akhirnya dia ambil yaitu mundur.
Itu lebih baik dari pada hanya berdiam ataupun memilih jalan yang tak pasti
tujuan jalannya. Dia lebih memilih berjalan mundur yang mempunyai makna bahwa “pandanganku tetap berada di depan tetapi
aku lebih baik berjalan mundur, daripada aku harus melihat keraguan dalam diri
seseorang.” Berjalan ke belakang berbeda dengan berjalan mundur. Berjalan kebelakang
hanya berpasrah dan tak sanggup memilih resiko yang mengejutkan. Sedangkan berjalan
mundur adalah merelakan untuk tidak salah memilih yang akhirnya membuat
kesimpulan sendiri untuk tidak membuat orang lain bersedih tetapi memberi jalan
yang lain untuk mencapai tujuannya. Berjalan mundur tak secepat berjalan maju
karena jika terburu-buru itu akan jatuh dan terasa sakit untuk pertama atau
kedua kalinya atau bahkan beberapa kalinya. Yang pasti dia membutuhkan orang
untuk menemaninya berjalan mundur karena saat jatuh dia mempunyai teman atau
setidaknya jatuh bersama.
Kesimpulan untuk para pengambil resiko adalah pribadi
yang berjiwa petarung besar karena jika tak berani mencoba mana tahu kita akan
berhasil, tetapi jika kita tidak berani mencoba kita tidak akan tahu kita
berhasil atau tidak. Dia tak banyak berbicara dan berfikir saat terus melaju ke
arah yang pasti karena dia yakin bahwa jalan yang dia ambil ini akan dia
pertanggungjawabkan resikonya.
Kembali pada cerita diatas, dan pertanyaan terakhir dari
saya. Kemana akhirnya dia memilih jalan saat di persimpangan??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar