Kamis, 27 Maret 2014

Manusia di Persimpangan

Mengapa manusia berada di persimpangan? Bagaimana manusia memilih jalan di persimpangan? Dan apa yang dilakukan manusia di persimpangan?...





Manusia dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menentukan kemana mereka akan melangkah. Manusia juga disuguhi tempat untuk memilih dan bertanya. Tapi tidak saat mereka berada di persimpangan. Bagaimana jika dipersimpangan itu tak ada siapapun. Dia seorang diri. Tak bisa bertanya. Dunia hidupnya seakan mati. Itulah ada saatnya manusia merenung atas apa yang ada di pikiran dan hatinya.
Persimpangan adalah tempat dimana satu titik jalan memiliki lebih dari satu arah antara kanan dan kiri serta depan dan belakang. Saat manusia berada di jalan yang lurus maka kemudian manusia disuguhkan oleh sebuah persimpangan. Persimpangan mementukan kemana arah yang akan diambil ketika manusia tiba di sebuah persimpangan.
Manusia yang terdiam akan mengalami kebingungan saat tiba di persimpangan. Dia tak tahu kemana langkahnya harus di pijakan. Semua tampak semu dan samar. Kanan dan kirinya bagaikan kembar yang tak ada ciri yang membedakannya. Keduanya seperti cermin yang hanya dibedakan oleh arah saja. Bukan untuk dipilih tapi untuk memutuskan arah mana yang benar-benar nyata.
Baginya jalan yang lurus adalah jalan yang tak perlu membuatnya berhenti sejenak, karena itu akan membuatnya bingung dan berdiam pada satu titik persimpangan. Sebenarnya dia hanya perlu satu arah yang nyata yang membawanya kepada arah yang tepat. Sebuah persimpangan membuatnya menjadi tak punya kekuatan untuk berjalan terus. Dia butuh sesuatu untuk membantunya melangkah. Dia yang tak kuasa harus memilih terbaring diantara dua arah atau lebih. Dia tak ingin saat memilih menghadapi resiko yang membuatnya berhenti berjalan. Bukan karena dia takut menghadapi resikonya tapi ada sesuatu yang membuat sebuah hati bersedih.
Dia harus tahu bahwa tak ada jalan pintas, karena perjalanan masih panjang. Tapi dia tak ingin akan jatuh karena dia pernah jatuh sebelumnya. Dia tak ingin jatuh untuk kedua kalinya. Dia harus tahu mana jalan yang tak berbatu dan berbatu. Jalan yang pasti itu adalah jalan yang akan membawa dan memastikannya nyaman saat sedang berjalan dan melewatinya. Dan dia harus tahu jalan mana yang bebas dari perkara tak menyenangkan dan membuatnya kehilangan semangat.
Dia pernah mencoba sebelumnya. Memilih arah yang dia anggap itu pilihan yang pasti. Awalnya tampak indah. Tapi apakah keindahan itu selalu hadir tanpa keburukan? Dan itu yang dia takutkan. Terkadang penafsiran pada sebuah pemikiran bahwa sugesti apa yang dia pakai tak menuntut apa yang pasti berada di depannya. Dia pernah memberikan yang terbaik ketika berada di jalan yang pasti tetapi saat jalan tersebut berubah menjadi persimpangan, semuanya tampak samar dan membingungkan.
Apakah setelah satu harus ada dua? Mengapa tidak langsung tiga, empat atau sepuluh sekalian? Semuanya itu membingungkan dia. Dia tahu dia hanya seorang diri. Tak ada orang yang bisa dia pintai bantuan. Bukan tidak mungkin ia tak bisa bertanya hanya saja pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tak ada ini membuatnya terus berfikir saat berada hendak di persimpangan.
“kau tahu kenapa kini aku berdiam? Aku tak hanya berhenti tapi merenung sejenak. Sebenarnya aku tak ingin berhenti karena itu membuatku lelah untuk berjalan kembali. Itu akan membuatku berjalan berlipat ganda. Tapi mengapa aku disuguhkan oleh arah yang tak pasti? Menurutku ini ambigu. Tak sepantasnya orang sepertiku melakukan ini. aku merasa tak ada yang harus aku lakukan selanjutnya sampai persimpangan ini benar-benar tiada. Setidaknya ada sesuatu yang memastikan aku melangkah kembali. Itu akan meminimalisir kebimbangan yang sempat membuat pikiranku berfikir untuk memilih hal yang tak pasti.”

…manusia di persimpangan…
Tak tahu kemana harus melangkah…
Seorang diri dan tiada berhenti…
Tiada tempat untuk mengaduh…
Diantara sesal dan pilu…
Satu kepastian yang menghapus kepalsuan…
Sebuah jalan berujung kebimbangan…
Manusia hilap akan kesenjangan…
Kemudian jatuh dan menunggu pertolongan…

                                                            …manusia tak seharusnya di persimpangan
…dia harus pulang menjemput tujuan
…mengakhiri ketidakpastian
…yang penuh ragu dan rasa bimbang
…manusia tak seharusnya di persimpangan
…ketika pada saat yang sama dia berhenti berdiam
…kembali mundur yang tak seindah melaju di depan
…melambaikan perpisahan pada kanan dan kiri persimpangan
…mencari kepastian yang sempat jatuh
…membawanya ke persimpangan
…yang tiada kiri ataupun kanan

Bahkan sebuah bait demi bait pun tak cukup bisa merubah sebuah persimpangan. Itu yang seharusnya membuat luluh ketidakpastian, tapi malah membuatnya tampak semakin samar. Dia tak hanya membuat pikirannya bercabang, tapi juga tujuannya membuatnya engga menyentuh kepastian.
Kini dia mencoba melangkah diantara satu garis titik persimpangan yang sebenarnya tak berpengaruh pada pilihannya. Tapi setidaknya ada hal yang harus dia lakukan sebelum langkahnya itu benar-benar mati. Ada beberapa pilihan yang patut dia ramalkan sebelum resiko itu benar benar menjemputnya di depan kelak. Ada empat pilihan terkecuali berdiam diri. Apa yang tampak itu di depan, di kanan, di kiri, dan di jalan yang dia lewati sebelumnya yakni di belakang.
Saat berada di depan itu seperti tak berpengaruh pada sebuah persimpangan, karena menurutnya ketika dia sedang berjalan di belakang dan tak perlu untuk mengubah arah jalannya yang dia anggap bahwa kepastian itu berjalan lurus tanpa ada gangguan yang mengubahnya beralih arah. Tapi biasanya yang sempat ia lewati adalah resiko dari arah tadi inilah arah yang beresiko besar karena tak seharusnya hidup itu berjalan lurus. Ada saatnya kelak berubah arah seperti tangga dramatik yang denyutnya seperti detak jantung manusia di layar denyut jantung pada seorang pasien. Di depan pun dia tak harus memikirkan apa yang akan terjadi di kanan maupun di kiri. Apalagi di belakang. Karena itu menurutnya harus kembali ke masa yang tidak dia inginkan yang dia sebut “masa lalu”. Kemudian apa resiko yang berada di depan?
Saat berada di kanan itu seperti mengubah kemandirian dan pendirian seseorang dalam berjalan dan menghadapi persimpangan. Yang tadinya dia setia pada jalan yang pasti, tapi ia kembali berfikir saat persimpangan datang menghadapnya. Dia menganggapnya itu jalan untuk move on kearah yang lebih baik atau hanya sebuah alternatif saja sebelum jalannya benar-benar berubah kembali. Di kanan pun dia tak perlu melihat kebelakang karena itu adalah sebuah kebohongan besar yang sengaja di rubah untuk mengelabui dia berada di kanan. Di belakang itu sebenarnya di kiri yang sebelum beralih kekanan kirinya itu berganti menjadi belakang yang dia anggap itu menyeramkan sekali harus berbalik kearah yang penuh kebohongan. Resiko yang siap dia hadapi ketika berada di kanan adalah sebuah persimpangan baru lagi yang akan menguji seperti persimpangan sebelumnya yang sempat dia lewati.
Saat berada di kiri, dia menyebutnya sebuah penghianatan dari kanan. Tapi di kiri tak seburuk apa yang pernah di kanan bilang tentang sebuah kebohongan. Dia juga pernah bilang di kiri itu bukan pelampiasan saat dia tak memilih ke kanan karena di kiri adalah memang benar-benar pilihan yang dia kehendaki. Dia tak perlu bilang bahwa kanan itu kini menjadi belakang baginya, tapi kanan tetaplah kanan dan kiri tetaplah kiri. Tinggal resiko yang siap dia hadapi di depannya yang tadinya kiri tapi semuanya sama menjadi di depan.
Ini adalah saat yang berbeda dari ketiga arah persimpangan tadi. Ini lebih disebut flashback. Sesuatu yang mesti di ulang ke masa sebelumnya yang pernah terlalui sebelum menginjak ke masa datang. Dia menyebutnya pilihan pasrah. Ketika belakang itu adalah sesuatu yang tertinggal bukan karena ia harus kembali untuk mengulangnya lagi tapi memperbaiki keraguan yang pernah tergores disana. Sebuah keputusasaan yang menjadi alasan kenapa dia harus memilih ke belakang. Dia tak sanggup bila harus berpapasan dengan sebuah persimpangan. Sebuah kata yang menakutkan yang tak pasti tujuan arah jalannya. Secara tidak langsung dia takut menghadapi resiko yang telah menanti di ketiga jalan tadi.
Ada kesimpulan lain yang akhirnya dia ambil yaitu mundur. Itu lebih baik dari pada hanya berdiam ataupun memilih jalan yang tak pasti tujuan jalannya. Dia lebih memilih berjalan mundur yang mempunyai makna bahwa “pandanganku tetap berada di depan tetapi aku lebih baik berjalan mundur, daripada aku harus melihat keraguan dalam diri seseorang.” Berjalan ke belakang berbeda dengan berjalan mundur. Berjalan kebelakang hanya berpasrah dan tak sanggup memilih resiko yang mengejutkan. Sedangkan berjalan mundur adalah merelakan untuk tidak salah memilih yang akhirnya membuat kesimpulan sendiri untuk tidak membuat orang lain bersedih tetapi memberi jalan yang lain untuk mencapai tujuannya. Berjalan mundur tak secepat berjalan maju karena jika terburu-buru itu akan jatuh dan terasa sakit untuk pertama atau kedua kalinya atau bahkan beberapa kalinya. Yang pasti dia membutuhkan orang untuk menemaninya berjalan mundur karena saat jatuh dia mempunyai teman atau setidaknya jatuh bersama.
Kesimpulan untuk para pengambil resiko adalah pribadi yang berjiwa petarung besar karena jika tak berani mencoba mana tahu kita akan berhasil, tetapi jika kita tidak berani mencoba kita tidak akan tahu kita berhasil atau tidak. Dia tak banyak berbicara dan berfikir saat terus melaju ke arah yang pasti karena dia yakin bahwa jalan yang dia ambil ini akan dia pertanggungjawabkan resikonya.


Kembali pada cerita diatas, dan pertanyaan terakhir dari saya. Kemana akhirnya dia memilih jalan saat di persimpangan??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar