Dia sudah lama memperhatikannya jauh
sebelum ia mengenalnya. Dari caranya melihat, menatap, dan tersenyum anggun
tetapi wanita itu belum menyadarinya bahwa ada pria yang diam-diam menyukainya.
Saat itu udara benar-benar membuatku
merasakan bagaimana menyapa pagi yang indah ini. Seperti biasa di taman ini
orang-orang senang dengan kegiatan mereka yakni berjogging dan bersantai. Dia
tampak ceria melewati pagi ini bersama alunan kicauan burung yang sesekali
merayunya untuk menikmati saat-saat ini. Dia benar-benar energik, bersemangat
sekali hingga melewati lima putaran lebih taman ini. Terlihat seperti
atlet-atlet maraton yang nafasnya terus membara hingga detik-detik kejuarannya.
Seperti dugaanku, dia tidak menyadarinya wanita itu diam-diam memperhatikan dia
yang tampak sering sekali muncul dihadapannya. Wanita itu memang sedang duduk
di bangku taman di depan jalan yang biasa dia pakai untuk beristirahat. Berapa
kali pria itu dilihatnya lagi. Aku tak mengerti apa yang ada di pikiran wanita
itu tentang pria yang terus melewat di depannya itu. Lalu tiba-tiba pria itu
berhenti tepat dihadapannya.
Dia tampak kelelahan membungkuk dan
memegang kedua lututnya dengan nafas yang tersengak-sengak. Lalu wanita itu
menawarkan sebotol minuman.
“kau kenapa? Ini
minumlah”
“tidak, tidak
apa-apa, aku hanya lelah saja belum sampai target putaranku aku sudah
terhenti.”
“kulihat kau dari
tadi lebih dari sepuluh kali memutari taman ini?”
“ya aku lupa sudah
berapa tadi itu, tapi terima kasih minumannya”
Pria itu duduk di sebelah wanita
itu. Dia tau bahwa ia memang menyukai wanita itu sejak awal tapi hingga
sekarang dia tak pernah mengungkapkan perasaannya itu. Dia masih
dibayang-bayangi sosok menakutkan yang ia sebut “khianat”. Tapi perlahan ia
lenyapkan sebuah perasaan negatif itu karena akan menghapuskan keindahannya
saat ini. Menurutnya ini adalah moment indah yang Tuhan kirimkan untuk
menggerakkan hatinya dan berkata “bolehkan aku berkenalan?” “namamu siapa?”
menurutku itu pertanyaan yang wajar untuk sekedar awal yang baik.
“wait… aku seperti
pernah melihatmu di kampus, tapi aku lupa waktu kapan”
“waktu bukumu jatuh
dan aku yang membantumu merapihkannya”
“waktu seperti
berpihak padamu. Aku seperti pernah amnesia, oya makasih ya. Siapa namamu?”
Entah mengapa ada yang ingin aku
ungkapkan tapi dia begitu tau isi pikiranku apa. Atau dia bisa mencuri apa yang
aku sedang pikirkan. Baru saja aku ingin menanyakan itu. Ternyata dia yang
menanyakan itu terlebih dulu kepadaku. Perlahan aku tersipu.
“hei… kok bengong
gitu? Namamu siapa?” wanita itu tersenyum dan tertawa kecil membuat dia
terpesona.
“eh iya maaf, aku
Rey”
“oh, namaku Silvia.
Panggil aja Vie.”
“iya Vie”
Entah mengapa pria itu sulit sekali
untuk berbicara dengan wanita itu. Aku rasa dia gugup. Dia tidak bisa mengontrol
perasaannya itu saat berhadapan dengan wanita pujaannya itu. Itu memang wajar
saja. Tapi mungkin perlahan dia tau apa yang harus dia lakukan.
Kini dia sudah tahu namanya, Vie.
Dan mulai-mulai sering menyapanya jika berpapasan jalan atau tak sengaja
bertemu lagi di kampus. Kurasa itu terlalu dramatik untuk diterjemahkan. Kini
ia semakin memberanikan diri untuk semakin dekat dengan wanita pujaannya itu.
Dia tau, Vie belum mempunyai kekasih dan dia semakin membara semangatnya untuk
mendapatkan hatinya seperti atlet maraton yang menjadi raja di lintasan
pembalap.
Ada hari dimana pohon kapas itu
menggugurkan kapasnya dan merelakan kepergiannya tuk selamanya, melepas setiap
benih kerinduan dan kedamaian yang terlahir dari sang pohon tua. Terbang
terbawa angin dengan ringannya dan sampai di bawah tanah yang ditumbuhi
rumput-rumput hijau kecil yang pemalu. Dan menyapaku dari situ.
Sebagian kapas yang lain memilih
untuk tak bersama rumput itu. Tapi mengapung menyentuh permukaan air di atas
danau yang tenang lalu terdengar lirih kecil saat kapas itu menyentuh permukaan
air dan membuat gelombang kecil yang perlahan membesar seperti tetesan hujan
yang sering menjatuhkan rintiknya di danau ini. kau tau seperti apa?.
Kapas-kapas itu terlepas dari
kulitnya dan seolah melambai-lambai dan menari-nari seperti penari lemah
gemulai yang pernah aku tonton di panggung pertunjukan. Itu adalah caranya
mempesonakan kecantikannya ketika hendak jatuh dengan perlahan. Entah kapan
jatuh entah kapan terbang terus, itu masih menjadi misteri bagiku.
Kembali pria itu melakukan
joggingnya itu di pagi dimana kapas-kapas itu tersenyum. Tampaknya ia tidak
lari seperti biasanya. Ia membawa bungkusan kecil dan duduk di bangku itu di
samping pohon kapas yang tadi kuceritakan. Dia tampak lain seperti telah akan
kedatangan bidadari yang sangat cantik dan mengajaknya makan di depan danau di
bawah sejuknya pohon kapas.
Sudah ku duga rey akan bertemu
dengan wanita pujaannya itu. Dia sudah hafal betul pagi ini jadwalnya Vie
jogging kembali dan dia sudah mempersiapkan itu semua.
Rey benar-benar pria yang romantis,
tak hanya pintar dan tampan ia tahu bagaimana membuat wanita merasa nyaman dan
bahagia. Dia seperti sutradara yang telah mengatur moment ini sedemikian rupa
hingga menjadi sesuatu yang indah. Dengan tempat yang luarbiasa indahnya di
pinggir taman di bangku di depan danau yang dihuni angsa-angsa yang cantik dan
ditemani pohon kapas yang begitu anggun. Sungguh ku tak pernah menyangka bahwa
Rey akan menyatakan cintanya di depan itu semua.
Menurutku jarang sekali ada orang
yang akan menyatakan cintanya itu di pagi hari dengan suasana yang jarang pula,
tampak mengesankan sekali. Tapi dia tersenyum-senyum seperti mimpinya itu
benar-benar terkabul.
Seperti yang telah diperhitungkan
sebelumnya Vie datang di ujung jalan bersama para pejogging yang lain menikmati
hari itu untuk sekedar mengisi hari yang istimewa ini. Dengan penampilan yang
cantik dan sederhana berlari kecil melewati tempat Rey menantinya.
“Vie, selamat pagi,
mau ikut sarapan denganku pagi ini” Rey menawarkan makanan yang telah ia buat
sendiri.
“hey Rey, ehmm boleh
kebetulan aku belum sarapan. Pas sekali kau ada di sini” Vie menghampiri Rey
dan duduk di sebelahnya.
“ini aku membuat
sandwich untukku dan juga untukmu, kita makan bersama”
“oh terimakasih ya
Rey, kau yang membuat ini untukku, ohh manis sekali, enak maksudku”
Vie hanya tertawa
kecil dan malu-malu bersama Rey, begitupun sebaliknya. Mereka seperti dua angsa
kecil yang tak tahu bagaimana memulai cinta yang indah. Tapi memang, begitu
menawan sekali tampak bersama kapas-kapas itu.
“inilah pemandangan yang
bisa kita rasakan di pagi yang indah ini, vie”
“benar, ada angsa
pula di tengah-tengah danau ini dan kapas-kapas yang tergoyangkan angin, ini
indah sekali.”
“kau tahu Vie,
rasanya aku ingin berpuisi”
“Kapas dan Cinta Angsa”
Pernah ku lihat cinta itu seperti kapas dan angsa…
Putih terlintas memadu kasih antara rindu dan cintanya…
Memang beda tapi karena bersamanya kau melukiskan
senyuman di danau ini…
Melambai-lambai seakan melantunkan setiap bait cinta
bernyanyi…
Perlahan jatuh dan menyentuh permukakan air yang sunyi…
Bersama angsa-angsa ini menari-nari tiada henti…
Kau dan aku menyaksikannya dari atas sini…
“ohh sungguh puisi yang bagus sekali
Rey”
“itu karena ada kau
di sini bersamaku”. Mereka semakin romantis saja dan menghanyutkan setiap
suasana dihadapannya.
Entah bagaimana Rey akan memulainya,
ia sedikit bingung dan agak gugup. Tapi perlu ia tahu, kesempatan ini tidak
boleh ia lewatkan begitu saja karena kesempatan yang langka ini tidak akan
datang untuk kedua kalinya. Dan dengan perasaan yang tinggi ia sekejap membuka
bungkusan bawaannya itu dan memberikannya di hadapan Vie sambil berkata di atas
bangku penyaksian.
“vie, di depan
penyaksian ini semua aku ingin mengutarakan perasaanku selama ini kepadamu. aku
menyukaimu, aku mencintaimu, maukah engkau menjadi kekasihku?”
Rey
menatap penuh cinta kepada Vie dengan tangan memegang bungkusan itu yang dibuka
ternyata setangkai bunga mawar putih dan dikelilingi mawar merah menghiasinya. Sekejap
vie terkejut dan tersenyum manja kepada Rey, ia sempat tak bisa berkata-kata
lagi dihadapan lelaki yang sedang menyatakan cintanya. Ia merasa tersentuh
dengan apa yang di tunjukan oleh Rey.
“vie,
jika kau menerima cintaku, kau ambil mawar ini, dan kalau kau menolaknya kau
bisa buang mawar ini”
Vie
bingung, mana mungkin ia membuang mawar yang ia sukai itu. Dan kurasa ia akan…
“aku
juga mencintaimu, dan kau mau menjadi kekasihmu.” Rey mengambil mawar itu dan
tersenyum manis.
Lalu
mereka tersenyum bersama dan perlahan berpegangan tangan. Seperti ada efek slow
motion yang mengaturnya. Tak lama mereka meninggalkan tempat yang begitu indah
itu. Ku tahu angsa-angsa itu telah menjadi saksi percintaan mereka, dan danau
itu yang telah merestuinya, lalu bangku itu tempat peresmian cinta mereka. Bagaimana
dengan pohon kapas itu…??
Inilah
saat aku menghampiri tempat indah ini yang sejak tadi hanya menyaksikan mereka
saling memadu cinta. Begitu indah dan menawan saatku melihatnya dari dekat. Aku
duduk di bangku ini tidak untuk menyatakan cinta seperti mereka. Aku hanya
seorang diri menatap kedua angsa itu di tengah danau yang hanya ditemani
kapas-kapas putih ini. mereka berguguran jatuh perlahan hingga sampai di
telapak tanganku ini.
Ku tahu cintaku tak seperti mereka dan juga tak seperti
angsa-angsa itu. Aku pernah menyatakan cinta kepada seorang wanita yang sangat
aku cintai, seperti lelaki itu kepada wanita pujaannya tapi sayang Cintaku bertepuk
sebelah tangan, hampa, sunyi dan terhembuskan. Mungkin sampai sekarang aku
masih mencintainya walau ia tak pernah mencintaiku. Tak ada rasa dan warna di
setiap tatapnya sama seperti kapas putih ini.
Lalu
kapas putih itu ku tiup hingga menyentuh permukaan air yang sunyi. Berharap ia
mendengar isi hatiku yang masih menunggu cintanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar