Kita adalah entitas yang seharusnya bisa bersama-sama.
Sebelum aku kehilangan kamu,
banyak buku-buku yang membahas soal kita. Aku tidak tahu seberapa bahagianya
kata “kita” di dalam buku-buku romansa. Aku ingin menyelaminya bersama kamu
mencari buku-buku itu di daftar rak di toko buku. Di sana banyak berjejer karya-karya
sastrawan seperti Pramoedya Ananta, Tere Liye, Andrea Hirata, Dee Lestari,
hingga manusia hebat pengrajin puisi yakni Sapardi Djoko Damono.
Tidak hanya membahas kita,
rindu, cinta, kasih, semuanya soal hati. Kalau sudah seperti itu rasanya tidak
ingin meninggalkan rak tersebut. Aku dan kamu ingin belajar menjadi kita yang
baik.
Aku membaca lembar-lembar
Rindunya Tere Liye.
“Kamu tau kan dimana kalau mau
mencariku?”
“Di rak-rak buku Tere Liye.”
Sesuatu yang sudah hafal di luar
kepala, setiap kali kita mengunjungi toko buku favorit kita. Aku biasa menuju
buku-buku romansa sedang kamu masih sibuk melihat-lihat buku fantasi. Kamu
selalu bertanya kepada pegawai buku jika berada di rak buku fantasi.
Kamu membaca lembar-lembar Joanne
Kathleen Rowling.
“Mas, buku J.K Rowling terbaru
belum ada yah?” kamu sesekali memilah-milah susunan buku terbaru.
“J.K? Bola Bowling, Mbak?” jawab
seorang lelaki berseragam putih-hitam seperti seseorang yang sedang magang.
“Bukan-bukan, Bukan Bowling. J.K
Rowling. Itu loh penulis Harry Potter.”
“Oh Harry Potter. Iya ini yang
terbaru semua, Mbak.”
“Yang ‘Relikui Kematian’?”
“Rekli.. Relik, gimana
maksudnya, Mbak? Saya kurang paham.”
“Hemm.. Harry Potter and The
Deathly Halloooowws. Please deh, Mas. Sudahlah.”
Kamu sangat kesal saat itu.
Moodmu mencari buku keenam Harry Potter jadi hilang gara-gara pegawai baru itu.
Kamu menyebutnya si tukang cleaning service yang di angkat menjadi pegawai toko
buku.
Kamu menuju rak tempat aku
berdiam diri. Sebenarnya kamu bukan termasuk pembaca karya-karyanya Tere atau
Dee, tapi karena kamu selalu senang melihat aku berada di antara buku-buku
mereka, kamu akhirnya menemani aku hingga sampai di halaman terakhir.
Aku mungkin patah hati ketika
berada di halaman terakhir, namun aku sangat bahagia saat kita menyelaminya
bersama. Percayalah sesedih apapun sebuah kisah atau sepahit apapun alurnya,
jika kita selalu bisa bersama, semua itu bagiku akan selalu bahagia.
Aku kembali ke toko buku itu.
Berdiri di antara karya-karya Tere Liye. Setelah sekian lama semuanya masih
tampak seperti dulu, daftar rak buku, penulisnya, hanya susunan bukunya saja
yang berubah. Aku rindu menyelami Rindu-nya Tere, tentunya bersama kamu. Aku
menemukan kata-kata di dalam sana. Sesuatu tentang kita, kami, rindu, dan
kehilangan.
Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat
kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah
arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah?
Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci
dan tidak menuntut apapun?
Wahai,
bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan
melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis
benang saja.
Ini
adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada
seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang
cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang
kerinduan.
Rindu – Tere Liye
Semenjak aku kehilangan kamu, aku selalu terduduk patah hati bersama
Rindu-nya Tere dan Madre-nya Dee Lestari. Sebahagia apapun mereka menciptakan
kisah cinta, sama saja jika kita tidak menyelaminya bersama, atau tidak
sama-sama menyaksikan halaman terakhir dengan kedua senyum di wajah kita.
Aku singgah di rak-rak buku
fantasi. Harry Potter yang dulu kamu cari, sekarang sudah ada part duanya.
Bahkan tidak banyak orang yang mencari lagi buku J.K Rowling yang satu ini.
Mereka sudah beralih ke karyanya yang lain seperti Fantastic Beast, Quidditch
Through the Ages, dan lain-lain.
Aku rindu saat kita mengucapkan
selamat pagi sebelum masuk sekolah.
“Selamat pagi.”
“Pagi.”
“Kamu terlambat lagi?”
“Iya. Soalnya tadi aku..” Aku
disambut sebuah kebahagiaan dari senyum milikmu di pagi hari. Napasku kembali
normal setelah berlari dari pemberhentian kendaraan umum sampai gerbang
sekolah. Aku melanjutkan,”terimakasih yah.”
Kamu hanya mengangguk kecil
menuju kelas. Lagi-lagi aku ingin selalu berterimakasih karena kamu yang sering
menungguku di gerbang sekolah setiap pagi sebelum masuk kelas.
“Selamat pagi,” tegurmu di hari
berikutnya.
“Selamat pagi, terimakasih sudah
menunggu.”
“Hemm.. harusnya kamu minta
maaf, bukan terimakasih.”
“Maaf karena apa? Aku kan gak
terlambat masuk lagi.”
“Sudah lupakan saja.”
Memang seharusnya aku meminta
maaf karena aku lagi-lagi tidak menepati janji kita untuk berangkat bersama
menuju sekolah, setidaknya berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Bagiku itu
hal yang sepele, toh nanti juga kita bisa bertemu dan bersama di dalam sekolah.
Namun, bagimu itu adalah salah satu hal yang membahagiakan untukmu. Mulai saat
itu aku berusaha untuk berangkat lebih awal untuk memenuhi janji kita.
Tetapi sayangnya, kita tidak
pernah bisa melakukannya. Meski aku menunggumu pagi-pagi sekali, kamu tidak
lagi berada di gerbang sekolah. Tidak ada lagi ucapan selamat pagi. Bahkan aku
menyesal sekali pernah berkata bahwa itu percakapan yang membosankan.
Sesuatu yang membosankan
terkadang akan menumbuhkan perasaan rindu yang mendalam. Apalagi saat aku
kehilangan kamu. Rasanya semua itu adalah mimpi. Mimpi yang nyaris nyata namun
tidak pernah sampai terjadi.
Aku rindu mendengar selamat pagi
di gerbang sekolah. Apakah kamu juga demikian?
Aku rindu saat kita makan
ketoprak di depan sekolah.
Kamu awalnya tertawa bahkan
menganggap aku aneh saat aku sanggup menraktir kamu makan ketoprak setengah
harga. Kamu menganggap aku main-main, padahal aku tidak pernah main-main saat
itu, begitupun saat mencari kamu. Aku tidak pernah ingin main-main selagi aku
belum menemukan kamu, maksudku bagaimana aku bisa bermain-main saat aku
kehilangan kamu dalam waktu yang tidak singkat.
Semenjak kita sering makan
ketoprak saat waktu istirahat atau sepulang sekolah. Kita jadi berlangganan dan
hobi terduduk bersama di warung ketoprak sambil bercerita.
“Kamu mau menraktir ketoprak
setengah harga lagi?”
“Mas, Yanto. Satu porsi full
untuk tuan putri, ya,” aku berteriak kepada tukang ketoprak.
“Siap.”
“Kamu apa-apaan sih.”
“Hari ini spesial, aku traktir
kamu satu porsi ketoprak, bagaimana?”
“Sama saja jika kamu tidak
memesannya juga.”
“Lain kali aku juga memesannya.
Aku janji.”
“Tidak perlu. Kita bisa makan
sepiring berdua.”
Bagaimana bisa aku melupakan
tradisi kita yang satu ini. Ketika ingatan tentang ketoprak membesit di kepala
atau terlacak di depan mata. Aku langsung teringat kita. Kita punya sejuta
kisah tentang ketoprak. Ketoprak juga yang menumbuhkan perasaan rindu di antara
kita.
Kita selalu membuat kesepakatan
sambil makan ketoprak.
“Sepakatlah jika kita gak bisa
makan ketoprak hari ini, kita makannya besok hari, bagaimana?”
“Kalau besok itu libur, atau
tanggal merah bagaimana?”
“Yaudah lusa berarti.”
“Misal lusa Mas Yanto gak
jualan, gimana?
“Yaudah besoknya lagi.”
“Kalau dia pulang kampung dan
baliknya lagi lama?”
“Yaudah kita ke warung ketoprak
lain, atau kita belajar untuk beralih makan selain di warung ketoprak.”
“Kalau..”
“Udahlah..” Aku akhirnya memotong
sanggahanmu. “Dengar! Dimanapun dan kapanpun kita makan ketoprak atau tidak,
selagi kita bersama-sama, aku tidak masalah.”
Aku
menemukan kebahagiaan lagi, sebongkah senyum berbaris di bibirmu.
Sesuatu itu hilang seiring
berjalannya waktu. Tiada lagi warung ketoprak Mas Yanto. Aku tidak tahu kabar
tentangnya apakah ia pindah berjualan atau memang sudah tidak berjualan lagi.
Di sana tidak ada lagi apa-apa hanya bekas jejak-jejak kita pernah bercerita
tentang ketoprak dan teman-teman. Andai saja bangku di sana masih utuh, tentu
aku bisa merasakan kita pernah terduduk cukup lama dan tabah sambil
menghabiskan sepiring berdua.
Aku mencoba makan ketoprak di
tempat lain, rasanya tak seperti di tempat biasa kita memakannya. Atau memang
tidak ada kamu di sana.
Aku ingin kita bercerita lagi
sambil makan ketoprak. Aku rindu saat kisah-kisah selalu menjadi teman kita
menikmatinya. Tidaklah kamu rindu akan saat itu?
Aku rindu saat kita duduk manis
bercerita tentang hujan.
Kemarin aku menghabiskan waktu
menunggu di depan sebuah ruko kosong dekat sekolah kita dulu. Masih sama
seperti dulu, tidak banyak berubah, hanya besi rantai kunci yang mengarat di
makan usia. Aku mengintip langit, awan mulai berubah gelap, akhirnya hujan
turun juga. Aku mulai menepi, seberkas ingatan menyerang kepalaku.
“Kamu ingat tempat ini?” kamu
menarik lenganku menuju sebuah pinggiran ruko.
Saat itu tiba-tiba saja hujan
deras, aku dan kamu menepi ke sebuah ruko kosong di dekat gerbang sekolah.
Entah kenapa aku selalu meneduh di sana, padahal bisa berteduh di tempat lain
yang lebih luas. Aku tidak begitu peduli karena kamu selalu ada di sampingku
saat itu.
“Ya, ini kan tempat kita biasa
neduh kalo tiba-tiba hujan.”
“Lebih dari itu..”
“Apa?” aku menatap wajahmu.
Sepasang matamu menatap hujan dengan khidmat. Seolah-olah mereka rintik-rintik
itu sedang berbicara padamu.
“Ini tempat pertama kali kita
ketemu, kamu lupa?”
“Ehmm.. oh iya. Aku ingat.”
“Engga, kamu lupa.”
Aku
terlambat menyadarinya. Yang kamu lakukan adalah yang pernah aku lakukan dulu
saat kita pertama ketemu. Memang yang seharusnya mengingatnya duluan adalah
aku, bukan kamu.
Tempat tersebut sebenarnya biasa
saja, namun bagi kita itu adalah tempat istimewa dengan kenangan dan
bekas-bekas rindu menjejakinya. Aku pulang, sore itu hujan turun kembali, aku
tak lagi melihatmu berteduh. Seketika aku lupa pernah berada di sana bersamamu.
Semua itu rasanya seperti mimpi.
Kita pernah nyaris berpisah di
persimpangan yang rumit.
Kita pernah tidak satu pemikiran
ketika menghadapi persimpangan-persimpangan. Ketika aku tak bisa lagi
menemanimu ke toko buku favorit karena sedang intensif mengejar ujian nasional
dan SNMPTN. Waktu kita menjadi sangat
singkat untuk bersama.
Seketika kamu memilih jalan
lain. Kamu menganggap aku egois, aku pun demikian. Jalan menuju perpisahan
sangat dekat dan rawan. Rasanya begitu dilema seorang remaja dihadapkan pada waktu
dan keadaan yang rumit. Bukankah kewajiban seorang pelajar adalah belajar?
“Bagaimana soal hati? Apakah
hatimu sudah ditumbuhi rasa cinta?”
“Aku tau soal itu. Aku masih
peduli sama kamu, akan selalu peduli? Tapi..”
“Kalau kamu bilang selalu,
kenapa mesti ada tapi?”
“Kita
bisa menjalaninya bersama-sama.”
Bukankah itu janji kita? Mungkin
aku baru menyadari sehebat-hebatnya orang mengutarakan janji, seiring waktu
berjalan dan merubah semua keadaan. Janji itupun seakan kandas seperti debu.
Orang-orang akan berkata bahwa waktu sudah berubah, dulu tidak seperti
sekarang. Apakah kamu menginginkan hal itu?
Aku masih menyimpan kita di
dalam ingatanku. Bahkan jika suatu hari aku kehilangan seluruh ingatanku, kita
masih ada di dalam diriku, di lubuk hati.
Aku ingin menjadi kita lagi
seperti dulu.
Setelah kamu menghilang di
keseharianku, kita tak lagi bersinar dan tertawa. Bagaimana bisa aku
melakukannya sendiri tanpa kamu. Aku ingin mengembalikan memori kita yang
nyaris hancur dan membayar rindu-rindu yang sudah menjadi tumpukan di kepala.
Mengapa kamu begitu jauh untuk aku cari, apakah tidak ada jalan yang
mendekatkan kita, atau jembatan yang menghubungkan kita?
Kini aku menjadi orang asing
yang mencari kamu yang dulu. Meski kamu berada di hadapanku, namun kamu telah memiliki
jalanmu sendiri, jalan yang aku takuti, bukan jalan kita dulu.
Aku kehilangan kita setelah kamu
berubah.
Aku merasa takut, setelah aku
menemukanmu lagi, kita tidak menjadi kita yang dulu. Kita yang selalu bercerita
tentang buku, obrolan hujan, makan ketoprak, ritual selamat pagi hingga
angan-angan tentang perpisahan kita di kemudian hari.
“Kamu pernah berpikir gak sih,
apa kita akan seperti ini terus?”
“Maksud kamu?”
“Apa kita masih tetap melakukan
kebiasaan kita setelah kita lulus sekolah, kemudian bekerja lalu membangun
keluarga?”
“Kita bisa tetap melakukannya
meski kita sudah dewasa. Intinya selagi kita tetap bersama, aku akan selalu
menemanimu melakukan apapun pekerjaan di dunia ini.”
“Hahah.. omongan kamu itu loh.
Seolah-olah tidak akan tua saja.”
Aku paham dengan yang kamu
risaukan. Untuk hal itu, aku hanya ingin menjawab kebingunganmu dengan hal yang
sederhana. Aku tidak ingin beranggan-anggan yang akan menuju ke sebuah
perpisahan. Aku tak ingin semua pemikiran itu menjadi doa yang akan menjadi
nyata.
“Bisa jadi setelah aku selesai
sekolahku, aku tidak lagi tinggal di sini.”
Perkataanmu mirip sebagai
ancaman terbesar dalam hidupku. Hal yang tak ingin aku dengar setelah
perpisahan.
“Emangnya kamu mau kemana?”
ucapku sambil mengodamu.
“Kamu tau, Ayah berencana mutasi
dan kemungkinan tidak dinas lagi di sini.”
“Kamu akan ikut?”
“Yaiyalah, aku kan masih
anaknya, gimana sih kamu.”
Kamu tertawa seakan kamu
menipuku dengan sebuah lawakan lama. Aku tau, itu agar aku tidak bersedih. Tentu
aku pasti bersedih. Satu-satunya hal yang membuatku sedih adalah kehilanganmu.
“Aku tidak mengkhawatirkan kamu
tidak akan tinggal lagi di sini bersamaku, atau akan tinggal berbeda tempat
denganku sekalipun. Yang aku khawatirkan adalah ketika aku dan kamu tidak bisa
lagi menjadi kita yang seperti biasanya.”
Aku tak ingin beristirahat
mencari kamu.
Jujur,
rasanya tak pernah ingin firasatku menjadi nyata saat itu. Sesuatu yang terlalu
dikhawatirkan akan menjadi nyata di kemudian hari. Dan itu terjadi kepadaku,
kepada kita. Kita tak lagi menjadi kita yang dulu, yang seperti biasanya.
Aku tak ingin beristirahat untuk
mencari kamu yang dulu, yang menciptakan kita dan menghadirkan cinta yang kita
sendiri tak ingin menyebutnya itu cinta. Dengan selalu bersama-sama tidak ada
hal apapun yang memisahkan jalan kita. Sekalipun itu sebuah perpisahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar