Kamis, 17 Oktober 2019

Kisah-kisah yang Hilang dalam Memori : #4 - Kita dan Rindu



               Kita adalah entitas yang seharusnya bisa bersama-sama. 

             Sebelum aku kehilangan kamu, banyak buku-buku yang membahas soal kita. Aku tidak tahu seberapa bahagianya kata “kita” di dalam buku-buku romansa. Aku ingin menyelaminya bersama kamu mencari buku-buku itu di daftar rak di toko buku. Di sana banyak berjejer karya-karya sastrawan seperti Pramoedya Ananta, Tere Liye, Andrea Hirata, Dee Lestari, hingga manusia hebat pengrajin puisi yakni Sapardi Djoko Damono.

               Tidak hanya membahas kita, rindu, cinta, kasih, semuanya soal hati. Kalau sudah seperti itu rasanya tidak ingin meninggalkan rak tersebut. Aku dan kamu ingin belajar menjadi kita yang baik.

                Aku membaca lembar-lembar Rindunya Tere Liye.
                “Kamu tau kan dimana kalau mau mencariku?”
                “Di rak-rak buku Tere Liye.”

                Sesuatu yang sudah hafal di luar kepala, setiap kali kita mengunjungi toko buku favorit kita. Aku biasa menuju buku-buku romansa sedang kamu masih sibuk melihat-lihat buku fantasi. Kamu selalu bertanya kepada pegawai buku jika berada di rak buku fantasi.


              Kamu membaca lembar-lembar Joanne Kathleen Rowling.
                “Mas, buku J.K Rowling terbaru belum ada yah?” kamu sesekali memilah-milah susunan buku terbaru.
                “J.K? Bola Bowling, Mbak?” jawab seorang lelaki berseragam putih-hitam seperti seseorang yang sedang magang.
                “Bukan-bukan, Bukan Bowling. J.K Rowling. Itu loh penulis Harry Potter.”
                “Oh Harry Potter. Iya ini yang terbaru semua, Mbak.”
                “Yang ‘Relikui Kematian’?”
                “Rekli.. Relik, gimana maksudnya, Mbak? Saya kurang paham.”
                “Hemm.. Harry Potter and The Deathly Halloooowws. Please deh, Mas. Sudahlah.”

             Kamu sangat kesal saat itu. Moodmu mencari buku keenam Harry Potter jadi hilang gara-gara pegawai baru itu. Kamu menyebutnya si tukang cleaning service yang di angkat menjadi pegawai toko buku.  

           Kamu menuju rak tempat aku berdiam diri. Sebenarnya kamu bukan termasuk pembaca karya-karyanya Tere atau Dee, tapi karena kamu selalu senang melihat aku berada di antara buku-buku mereka, kamu akhirnya menemani aku hingga sampai di halaman terakhir.

         Aku mungkin patah hati ketika berada di halaman terakhir, namun aku sangat bahagia saat kita menyelaminya bersama. Percayalah sesedih apapun sebuah kisah atau sepahit apapun alurnya, jika kita selalu bisa bersama, semua itu bagiku akan selalu bahagia.

           Aku kembali ke toko buku itu. Berdiri di antara karya-karya Tere Liye. Setelah sekian lama semuanya masih tampak seperti dulu, daftar rak buku, penulisnya, hanya susunan bukunya saja yang berubah. Aku rindu menyelami Rindu-nya Tere, tentunya bersama kamu. Aku menemukan kata-kata di dalam sana. Sesuatu tentang kita, kami, rindu, dan kehilangan.    

                Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami? Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
                Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?
                Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.
                Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.

Rindu – Tere Liye

         Semenjak aku kehilangan kamu, aku selalu terduduk patah hati bersama Rindu-nya Tere dan Madre-nya Dee Lestari. Sebahagia apapun mereka menciptakan kisah cinta, sama saja jika kita tidak menyelaminya bersama, atau tidak sama-sama menyaksikan halaman terakhir dengan kedua senyum di wajah kita.

                Aku singgah di rak-rak buku fantasi. Harry Potter yang dulu kamu cari, sekarang sudah ada part duanya. Bahkan tidak banyak orang yang mencari lagi buku J.K Rowling yang satu ini. Mereka sudah beralih ke karyanya yang lain seperti Fantastic Beast, Quidditch Through the Ages, dan lain-lain.
                Aku rindu saat kita mengucapkan selamat pagi sebelum masuk sekolah.
                “Selamat pagi.”
                “Pagi.”
                “Kamu terlambat lagi?”
            “Iya. Soalnya tadi aku..” Aku disambut sebuah kebahagiaan dari senyum milikmu di pagi hari. Napasku kembali normal setelah berlari dari pemberhentian kendaraan umum sampai gerbang sekolah. Aku melanjutkan,”terimakasih yah.”

                Kamu hanya mengangguk kecil menuju kelas. Lagi-lagi aku ingin selalu berterimakasih karena kamu yang sering menungguku di gerbang sekolah setiap pagi sebelum masuk kelas.

                “Selamat pagi,” tegurmu di hari berikutnya.
                “Selamat pagi, terimakasih sudah menunggu.”
                “Hemm.. harusnya kamu minta maaf, bukan terimakasih.”
                “Maaf karena apa? Aku kan gak terlambat masuk lagi.”
                “Sudah lupakan saja.”

                Memang seharusnya aku meminta maaf karena aku lagi-lagi tidak menepati janji kita untuk berangkat bersama menuju sekolah, setidaknya berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Bagiku itu hal yang sepele, toh nanti juga kita bisa bertemu dan bersama di dalam sekolah. Namun, bagimu itu adalah salah satu hal yang membahagiakan untukmu. Mulai saat itu aku berusaha untuk berangkat lebih awal untuk memenuhi janji kita.

         Tetapi sayangnya, kita tidak pernah bisa melakukannya. Meski aku menunggumu pagi-pagi sekali, kamu tidak lagi berada di gerbang sekolah. Tidak ada lagi ucapan selamat pagi. Bahkan aku menyesal sekali pernah berkata bahwa itu percakapan yang membosankan.

             Sesuatu yang membosankan terkadang akan menumbuhkan perasaan rindu yang mendalam. Apalagi saat aku kehilangan kamu. Rasanya semua itu adalah mimpi. Mimpi yang nyaris nyata namun tidak pernah sampai terjadi.  
          Aku rindu mendengar selamat pagi di gerbang sekolah. Apakah kamu juga demikian?

                Aku rindu saat kita makan ketoprak di depan sekolah.
              Kamu awalnya tertawa bahkan menganggap aku aneh saat aku sanggup menraktir kamu makan ketoprak setengah harga. Kamu menganggap aku main-main, padahal aku tidak pernah main-main saat itu, begitupun saat mencari kamu. Aku tidak pernah ingin main-main selagi aku belum menemukan kamu, maksudku bagaimana aku bisa bermain-main saat aku kehilangan kamu dalam waktu yang tidak singkat.

                Semenjak kita sering makan ketoprak saat waktu istirahat atau sepulang sekolah. Kita jadi berlangganan dan hobi terduduk bersama di warung ketoprak sambil bercerita.
                “Kamu mau menraktir ketoprak setengah harga lagi?”
          “Mas, Yanto. Satu porsi full untuk tuan putri, ya,” aku berteriak kepada tukang ketoprak.
                “Siap.”
                “Kamu apa-apaan sih.”
                “Hari ini spesial, aku traktir kamu satu porsi ketoprak, bagaimana?”
                “Sama saja jika kamu tidak memesannya juga.”
                “Lain kali aku juga memesannya. Aku janji.”
                “Tidak perlu. Kita bisa makan sepiring berdua.”

                Bagaimana bisa aku melupakan tradisi kita yang satu ini. Ketika ingatan tentang ketoprak membesit di kepala atau terlacak di depan mata. Aku langsung teringat kita. Kita punya sejuta kisah tentang ketoprak. Ketoprak juga yang menumbuhkan perasaan rindu di antara kita.

               Kita selalu membuat kesepakatan sambil makan ketoprak.
                “Sepakatlah jika kita gak bisa makan ketoprak hari ini, kita makannya besok hari, bagaimana?”
                “Kalau besok itu libur, atau tanggal merah bagaimana?”
                “Yaudah lusa berarti.”
                “Misal lusa Mas Yanto gak jualan, gimana?
                “Yaudah besoknya lagi.”
                “Kalau dia pulang kampung dan baliknya lagi lama?”
                “Yaudah kita ke warung ketoprak lain, atau kita belajar untuk beralih makan selain di warung ketoprak.”
                “Kalau..”
         “Udahlah..” Aku akhirnya memotong sanggahanmu. “Dengar! Dimanapun dan kapanpun kita makan ketoprak atau tidak, selagi kita bersama-sama, aku tidak masalah.”

                Aku menemukan kebahagiaan lagi, sebongkah senyum berbaris di bibirmu.
                Sesuatu itu hilang seiring berjalannya waktu. Tiada lagi warung ketoprak Mas Yanto. Aku tidak tahu kabar tentangnya apakah ia pindah berjualan atau memang sudah tidak berjualan lagi. Di sana tidak ada lagi apa-apa hanya bekas jejak-jejak kita pernah bercerita tentang ketoprak dan teman-teman. Andai saja bangku di sana masih utuh, tentu aku bisa merasakan kita pernah terduduk cukup lama dan tabah sambil menghabiskan sepiring berdua.

            Aku mencoba makan ketoprak di tempat lain, rasanya tak seperti di tempat biasa kita memakannya. Atau memang tidak ada kamu di sana.
             Aku ingin kita bercerita lagi sambil makan ketoprak. Aku rindu saat kisah-kisah selalu menjadi teman kita menikmatinya. Tidaklah kamu rindu akan saat itu?
                Aku rindu saat kita duduk manis bercerita tentang hujan.
         Kemarin aku menghabiskan waktu menunggu di depan sebuah ruko kosong dekat sekolah kita dulu. Masih sama seperti dulu, tidak banyak berubah, hanya besi rantai kunci yang mengarat di makan usia. Aku mengintip langit, awan mulai berubah gelap, akhirnya hujan turun juga. Aku mulai menepi, seberkas ingatan menyerang kepalaku.

              “Kamu ingat tempat ini?” kamu menarik lenganku menuju sebuah pinggiran ruko.
                Saat itu tiba-tiba saja hujan deras, aku dan kamu menepi ke sebuah ruko kosong di dekat gerbang sekolah. Entah kenapa aku selalu meneduh di sana, padahal bisa berteduh di tempat lain yang lebih luas. Aku tidak begitu peduli karena kamu selalu ada di sampingku saat itu.
                “Ya, ini kan tempat kita biasa neduh kalo tiba-tiba hujan.”
                “Lebih dari itu..”
                “Apa?” aku menatap wajahmu. Sepasang matamu menatap hujan dengan khidmat. Seolah-olah mereka rintik-rintik itu sedang berbicara padamu.
                “Ini tempat pertama kali kita ketemu, kamu lupa?”
                “Ehmm.. oh iya. Aku ingat.”
                “Engga, kamu lupa.”
                Aku terlambat menyadarinya. Yang kamu lakukan adalah yang pernah aku lakukan dulu saat kita pertama ketemu. Memang yang seharusnya mengingatnya duluan adalah aku, bukan kamu.
                Tempat tersebut sebenarnya biasa saja, namun bagi kita itu adalah tempat istimewa dengan kenangan dan bekas-bekas rindu menjejakinya. Aku pulang, sore itu hujan turun kembali, aku tak lagi melihatmu berteduh. Seketika aku lupa pernah berada di sana bersamamu. Semua itu rasanya seperti mimpi.

                Kita pernah nyaris berpisah di persimpangan yang rumit.
      Kita pernah tidak satu pemikiran ketika menghadapi persimpangan-persimpangan. Ketika aku tak bisa lagi menemanimu ke toko buku favorit karena sedang intensif mengejar ujian nasional dan  SNMPTN. Waktu kita menjadi sangat singkat untuk bersama.
                Seketika kamu memilih jalan lain. Kamu menganggap aku egois, aku pun demikian. Jalan menuju perpisahan sangat dekat dan rawan. Rasanya begitu dilema seorang remaja dihadapkan pada waktu dan keadaan yang rumit. Bukankah kewajiban seorang pelajar adalah belajar?
                “Bagaimana soal hati? Apakah hatimu sudah ditumbuhi rasa cinta?”
                “Aku tau soal itu. Aku masih peduli sama kamu, akan selalu peduli? Tapi..”
                “Kalau kamu bilang selalu, kenapa mesti ada tapi?”
                “Kita bisa menjalaninya bersama-sama.”

           Bukankah itu janji kita? Mungkin aku baru menyadari sehebat-hebatnya orang mengutarakan janji, seiring waktu berjalan dan merubah semua keadaan. Janji itupun seakan kandas seperti debu. Orang-orang akan berkata bahwa waktu sudah berubah, dulu tidak seperti sekarang. Apakah kamu menginginkan hal itu?

               Aku masih menyimpan kita di dalam ingatanku. Bahkan jika suatu hari aku kehilangan seluruh ingatanku, kita masih ada di dalam diriku, di lubuk hati. 

                Aku ingin menjadi kita lagi seperti dulu.
          Setelah kamu menghilang di keseharianku, kita tak lagi bersinar dan tertawa. Bagaimana bisa aku melakukannya sendiri tanpa kamu. Aku ingin mengembalikan memori kita yang nyaris hancur dan membayar rindu-rindu yang sudah menjadi tumpukan di kepala. Mengapa kamu begitu jauh untuk aku cari, apakah tidak ada jalan yang mendekatkan kita, atau jembatan yang menghubungkan kita?

                Kini aku menjadi orang asing yang mencari kamu yang dulu. Meski kamu berada di hadapanku, namun kamu telah memiliki jalanmu sendiri, jalan yang aku takuti, bukan jalan kita dulu.
                 Aku kehilangan kita setelah kamu berubah.
            Aku merasa takut, setelah aku menemukanmu lagi, kita tidak menjadi kita yang dulu. Kita yang selalu bercerita tentang buku, obrolan hujan, makan ketoprak, ritual selamat pagi hingga angan-angan tentang perpisahan kita di kemudian hari.
                “Kamu pernah berpikir gak sih, apa kita akan seperti ini terus?”
                “Maksud kamu?”
                “Apa kita masih tetap melakukan kebiasaan kita setelah kita lulus sekolah, kemudian bekerja lalu membangun keluarga?”
                “Kita bisa tetap melakukannya meski kita sudah dewasa. Intinya selagi kita tetap bersama, aku akan selalu menemanimu melakukan apapun pekerjaan di dunia ini.”
                “Hahah.. omongan kamu itu loh. Seolah-olah tidak akan tua saja.”

                Aku paham dengan yang kamu risaukan. Untuk hal itu, aku hanya ingin menjawab kebingunganmu dengan hal yang sederhana. Aku tidak ingin beranggan-anggan yang akan menuju ke sebuah perpisahan. Aku tak ingin semua pemikiran itu menjadi doa yang akan menjadi nyata.
                “Bisa jadi setelah aku selesai sekolahku, aku tidak lagi tinggal di sini.”
                Perkataanmu mirip sebagai ancaman terbesar dalam hidupku. Hal yang tak ingin aku dengar setelah perpisahan.
          “Emangnya kamu mau kemana?” ucapku sambil mengodamu.
              “Kamu tau, Ayah berencana mutasi dan kemungkinan tidak dinas lagi di sini.”
                “Kamu akan ikut?”
                “Yaiyalah, aku kan masih anaknya, gimana sih kamu.”
         Kamu tertawa seakan kamu menipuku dengan sebuah lawakan lama. Aku tau, itu agar aku tidak bersedih. Tentu aku pasti bersedih. Satu-satunya hal yang membuatku sedih adalah kehilanganmu.

              “Aku tidak mengkhawatirkan kamu tidak akan tinggal lagi di sini bersamaku, atau akan tinggal berbeda tempat denganku sekalipun. Yang aku khawatirkan adalah ketika aku dan kamu tidak bisa lagi menjadi kita yang seperti biasanya.”

              Aku tak ingin beristirahat mencari kamu.
       Jujur, rasanya tak pernah ingin firasatku menjadi nyata saat itu. Sesuatu yang terlalu dikhawatirkan akan menjadi nyata di kemudian hari. Dan itu terjadi kepadaku, kepada kita. Kita tak lagi menjadi kita yang dulu, yang seperti biasanya.
       Aku tak ingin beristirahat untuk mencari kamu yang dulu, yang menciptakan kita dan menghadirkan cinta yang kita sendiri tak ingin menyebutnya itu cinta. Dengan selalu bersama-sama tidak ada hal apapun yang memisahkan jalan kita. Sekalipun itu sebuah perpisahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar