Selasa, 02 Oktober 2018

Kisah Luka-luka Andri - Episode Uland


Petuah

            Cara menyembuhkan luka kata Nenek saya adalah jangan menangis.

            “Aduh.. sakit.”

            “Kamu kenapa, Dri?”

            “Aku jatuh, Nek, dari sepeda.”

            “Yaudah jangan nangis, nanti juga lukanya sembuh sendiri.”

Dulu sewaktu saya umur enam tahun, saya pernah terjatuh tergelincir ketika mengendarai sepeda. Saya mengalami luka di bagian siku dan lutut, meski tidak begitu parah, namun, namanya anak kecil ketika ada bagian tubuh yang terluka sedikit saja maka refleks akan menangis.

            Saya pun mengadu kepada Nenek saya, beliau memberitahu saya agar tidak menangis, katanya kalau saya menangis ketika terluka maka lukanya tidak cepat sembuh. 

            Ketika saya tumbuh besar, saya menyadari perkataan nenek saya adalah sebuah sugesti yang positif bahwa “ketika kita terluka baik fisik maupun perasaan, berusahalah untuk tidak membuat suasana pikiran dan tubuh dalam kondisi sedih, karena kondisi tubuh dan pikiran yang menurun membuat keadaan kita semakin tidak baik. Begitupun sebaliknya, berusaha untuk merasakan senang dalam hati dan pikiran, akan menurunkan perasaan sakit dan luka.”


            Terkadang kita menyepelekan perkataan orangtua kita yang jadul dan terlalu berbau mitos. Namun sebenarnya, perkataan yang sering kita dengar adalah sebuah petuah yang disampaikan dengan hal-hal yang sederhana seperti pamali atau sekadar nasihat. Semua itu semata-mata bahwa orangtua dulu menginginkan anak-anaknya untuk tidak salah melangkah, mereka bisa berkata demikian karena sebuah pengalaman mengajarkan kepada mereka untuk lebih bijak dalam menentukan pilihan hidup.

            Baiklah! rasanya saya terlalu mengawang-awangkan perkataan orangtua dulu. Meski demikian saya banyak belajar berbagai metode tradisional dalam menyembuhkan luka hati dari para leluhur dahulu. Intinya jangan pernah takut dan berhenti ketika terluka, setiap luka memiliki cerita dan cara penyembuhan yang berbeda-beda.

            Kali ini saya kembali pulih dari lukameski sepertiganya masih dalam masa penyembuhandan kembali menjalani cerita-cerita yang berbeda. Saya akan bercerita kisah saya di masa sekolah SMU dimana tahun 2011 menjadi tahun-tahun penuh dengan cinta lokasi dan patah hati lokasi. Keduanya seakan berjalan dengan beriringan. Saat ada yang jadian, disaat yang sama juga ada yang putusan. Saat ada yang sedang jatuh cinta, saat yang sama juga ada yang patah hati. Ada yang berlomba-lomba mengejar cinta, ada pula yang berusaha untuk menjomblo. Semua itu berpasang-pasangan. Hampir semua teman dan orang-orang di sekitar saya terkena wabahnya. Dan saya saat itu belum sanggup untuk jatuh cinta lagi, setidaknya hingga saya melewati fase penyembuhan.

            Saya hendak memperbaiki nilai-nilai pelajaran saya yang menurun di kelas sebelumnya. Di kelas 11 ini, saya berusaha mencetak hasil nilai yang baik dan berencana mendapat peringkat setidaknya sepuluh besar. Dengan demikian, saya akan merasa senang dan bangga, maka saya akan kembali pulih dari penyembuhan.

            Jika di kisah-kisah sebelumnya saya lebih banyak bergaul dengan para playboyers dan playgirlyers (atau apalah namanya), beruntung saya dekat dengan teman yang rajin belajar sehingga saya lebih mudah untuk berdiskusi dan mengikuti setiap pelajaran. Teman-teman bangku terdekat saya, Wisnu, Desi, Fanisa. Teman-teman yang baik dan pintar menjadi motivasi saya untuk bangkit dan kembali rajin belajar. Saya pun mengalami perkembangan belajar yang semakin membaik, mulai dari saya tidak terlambat masuk sekolah, nilai-nilai pelajaran membaik, dan yang paling penting absen dalam kehidupan percintaan.



Pelajaran vs percintaan        

Kau tahu? Ketika masa sekolah kita akan merasa sulit untuk membagi fokus antara belajar dengan percintaan. Itu kenapa orang-orang yang semasa sekolahnya punya banyak pengalaman dalam percintaan, namun tidak lebih pintar dalam hal pelajaran. Begitupun sebaliknya, orang-orang yang maniak akan belajar akan fokus pada pelajaran sekolah namun minim sekali pengetahuan tentang masa percintaan sekolah.

Kamu, tipe yang mana? Lebih memilih pelajaran atau percintaan?

            Bagaimana jika ada orang yang hebat dalam kedua hal tersebut? saya pastikan ada dua hal tipe orang seperti itu. Baik cewek maupun cowok sama saja.

            Yang pertama, dia berada di tingkat yang normal dan standar. Artinya seperti kebanyakan orang pada umumnya punya naluri suka terhadap lawan jenis di taraf abg atau remaja tapi masih memiliki kewajiban dalam belajar. Sederhananya adalah pacaran atau menjalin hubungan sewajarnya juga berusaha untuk tidak ketinggalan pelajaran, setidaknya jika tidak bisa menjadi yang terbaik di kelas ya jangan jadi yang terbelakang di kelas. Contoh orang yang seperti ini tidak sedikit yang saya temui, saya pun mungkin termasuk dalam tipe ini.

            Yang kedua, ini adalah tipe orang yang jarang atau sedikit sekali kita temui. Dimana dia hebat dalam dua hal sekaligus berjalan secara beriringan. Biasanya orang-orang yang seperti ini ada dalam tingkat ketenaran dan popularitas yang tinggi di sekolah. Seperti artis sekolah, ketua osis yang kece badai. Orang yang seperti ini sudah dipastikan memiliki kecerdasan di atas rata-rata (rumus polularitas mendongkrak prestasi : nanti akan saya beritahu analisanya) dan tidak menutup kemungkinan bahwa dia berada di posisi anak terpintar di kelas, bisa jadi di sekolah. Kelebihan lainnya adalah memiliki kharisma ketampanan atau kecantikan yang menjadi idola sekolah. Hal ini yang menjadi perempuan atau laki-laki tergila-gila pada tipe yang seperti ini. Sudah ganteng pintar tenar pula. Dan secara otomatis memiliki pengalaman percintaan yang luarbiasa.

            Bagaimana, kau termasuk salah satu dari dua kategori tersebut atau mempunyai teman sahabat yang tergolong kategori tersebut, atau kau malah ingin menjadi seperti mereka? semua itu tentunya ada pilihan dan konsekuensinya.



Rumus Popularitas dan kepintaran ( menurut Seelayingleeyeur)

            Sebelum membahas kisah luka saya selanjutnya, saya akan sedikit sharing tentang sebuah rumusan mendapat smart rate more atau tingkat kepintaran di atas rata-rata menggunakan popularitas, yang saya pelajari dari Dr. Boyke Seelayingleeyeur. Cara menghitung tingkat kepintarannya adalah sebagai berikut:

Diketahui :

·         Kepintaran = Smart (S)

·         Popularitas = Popularity (P)

·         Kepercayaan diri = Confidence (C)

·         Rata-rata nilai pelajaran = a

·         Rata-rata anak pintar = x1

·         Rata-rata anak malas = x2

·         Gaya = F

·         Usaha = W

·         Haters = H

·         Tingkat kegagalan = Error Failed (Ef)

  

Rumus Seelayingleeyeur :



S =       P (C+F+W) x a (x2 – x1)
            ---------------------------------  x Ef
                             H





           Tingkat kepintaran sama dengan tingkat popularitas dikali hasil penggabungan dari kepercayaan, Gaya, dan Usaha lalu dikalikan hasil pengurangan nilai rata-rata anak malas dan pintar di kelas/sekolah lalu dikali presentase tingkat kegagalan yang mungkin terjadi kemudian dibagi tingkat haters yang ada.

            Seelayingleeyeur membagi tingkat kepintaran menjadi 3 kategori, yaitu “pintar” berada dalam nilai <5000 ; “cerdas” berada dalam nilai 5000-6000 ; dan “jenius” berada dalam nilai >6000.

            Tingkat popularitas siswa sekolah umumnya berada di angka skala 80-100, kurang dari 80 termasuk minim atau dibawah rata-rata dan lebih dari 100 diatas rata-rata popularitas. Tingkat Haters rendah skala 0-10, tingkat normal skala 10 – 20, tingkat tinggi skala > 20.  Kepribadian berjumlah skala 1-10.

Contoh soal :

Seorang cowok pelajar SMA N 101 bernama Alvindo adalah seorang ketua OSIS yang cukup terkenal di sekolah. Alvindo memiliki popularitas 200 dan skala Haters 25. Ia terkadang mendapat nilai pelajaran bagus yakni rata-rata 8. Mempunyai kepercayaan diri 10, Gaya 10, Usaha 8, Jika tingkat kepintaran kelas 35 dan rata-rata kemalasan anak suatu kelas 65, Berapa nilai tingkat kepintaran Alvindo bila ia memiliki kegagalan 10 %?  

Diketahui :

P = 200                        x1 = 35

H = 25                          x2 = 65

a = 8                            Ef = 10 %

C = 10, F = 10, W = 8


Ditanya : S ?
Dijawab ya :

S          = P  (C+F+W) x a (x2 – x1)

             ------------------------------------ x Ef

                               H


            = 200 (10+10+8) x 8 (65-35)

              ----------------------------------- x 10 %

                                    25       


            = 200 (28) x 8 (30)

              ----------------------------------- x  10/100

                        25                         



            = 5600 x 24/25


            = 5376

           

            Kesimpulannya, jadi Alvindo mendapat nilai tingkat kepintaran adalah 5376, artinya Alvindo termasuk dalam kategori cerdas. Tentu itu adalah tingkat kepintaran yang luarbiasa.



Renny Wulandari

            Seseorang yang memberikan saya pelajaran kisah cinta yang luarbiasa. Ini merupakan salah satu pelajaran terbaik yang saya bisa pelajari. Saya kenal seorang perempuan yang membuat saya tidak bisa memujinya dengan pujian lain kecuali, lucu. Dia bernama Renny Wulandari biasa dipanggil Uland. Mempunyai tubuh tidak terlalu tinggi, tidak gemuk, dan berambut panjang lurus. Saya tidak banyak mendeskripsikan Uland yang jelas dia itu, lucu.          

            Di tahun 2011, saya berada di kelas 11 sedangkan Uland berada di kelas 12. Uland adalah senior lucu saya. Saya sedikit tidak menyangka bisa bertemu dengan Uland, namun yang pasti kehadiran Uland menjadi obat mujarab bagi luka hati saya. Ketika saya melihat Uland secara ajaib saya lupa tentang luka hati, patah hati, galau, sedih dan sejenisnya. Ada taman kebahagiaan di diri Uland saat itu, lalu yang harus saya lakukan saat itu adalah berterimakasih kepadanya.

            Tidak seperti perempuan kebanyakan, Uland termasuk perempuan yang tidak banyak bersosialisasi dengan kehidupan sekolah, sedikit pemalu dan sulit untuk didekati. Saya tahu itu dari temannya Uland yaitu Mitha. Biasanya ketika saya perlu dengan seseorang atau hendak menyampaikan sesuatu saya langsung menemui orang tersebut. Namun rasanya saya sulit sekali untuk bisa berbicara langsung dengan Uland.

            Ada tiga waktu yang mungkin saya bisa melihat Uland berada di sekolah. Pertama, saat pagi jam masuk sekolah, kedua, jam sepulang sekolah, dan ketiga pada saat upacara (itu pun tidak selalu).

            Lantas bagaimana dengan waktu lain?

            Itu alasannya kenapa saya bilang sulit, Uland berada di kelas yang dipenuhi oleh anak-anak senior yang terkenal parah dan suka berulah. Saya pernah mencoba untuk bertemu dengan Uland pada waktu istirahat ke kelasnya. Para senior itu selalu menjahili juniornya yang bermain di area kelas mereka. menendang dan mengusirnya jauh-jauh, haha. Kelas dua belas berada di gedung kelas lantai dua, sedangkan kelas sepuluh dan sebelas berada di lantai bawah. Itu kenapa gedung lantai atas sudah dikudeta oleh para senior. Hampir jarang menemukan anak kelas sebelas apalagi sepuluh di lantai atas, kecuali ada hal penting.

            Otoritas mereka terasa sangat kental. Karakteristik anak-anak kelas Uland bukan seperti anak-anak kelas dua belas yang nakal dan seram, tapi mereka lebih punya ciri khas dalam sebuah kelas seperti suka jahil, suka melawak, solidaritas yang sangat tinggi, dan selalu membuat kekonyolan-kekonyolan yang membuat kagum dan tertawa seisi sekolah.

            Kembali ke Uland. Dia hampir tidak pernah pergi ke kantin sekolah, saya heran apakah setiap hari dia puasa, atau mungkin selalu membawa bekal makanan dari rumah. Waktunya banyak dihabiskan di kelas bersama teman semejanya yaitu Mitha. Entah untuk mengerjakan apa (selain belajar) bahkan hobinya pun saya tidak tahu. Meski sulit untuk bertemu langsung dengan Uland, saya tidak pernah menyerah. Meski hanya untuk berkata “terimakasih Uland.” Saya percaya terkadang keajaiban itu ada.



Betul! Keajaiban itu ada

            Hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, ketika menyaksikan keajaiban itu memang betul-betul ada. Ini bukan kisah yang saya rekayasa, ini adalah sebuah kenyataan yang tidak pernah saya lupakan. Ada sesuatu yang unik yang mempertemukan saya dengan senior lucu itu.

            Itulah bukti bahwa Tuhan selalu mendengar doa-doa hamba-Nya yang tulus dan ikhlas. Di saat saya sulit bertemu dengan Uland, Tuhan memberikan jalan yang indah untuk saya. Melalui keajaiban itu.

            Baik, saya akan beritahu, ada sesuatu yang unik yang tadi saya katakan yaitu ada kebijakan baru dari sekolah dimana sistem setiap ujian akan dipersatukan dengan kelas yang berbeda tingkat. Dan itu terjadi hanya pada kelas sebelas dan kelas dua belas, dimana pada saat ujian baik ujian tengah semester ataupun ujian akhir semester, kelasnya dipersatukan.

Sistem pembagiannya adalah sebagai berikut :

·         Ujian menyatukan kelas ini hanya berlaku di kelas 11 dan 12

·         Penggabungan kelas berdasarkan kategori masing-masing jenis kelas, contoh : kelas 11 IPA 1 bergabung dengan kelas 12 IPA 1, kelas 11 IPS 2 bergabung dengan 12 IPS 2, begitu seterusnya.

·         Kelas 11 duduk semeja dengan kelas 12, dimana kelas 11 berada di bangku posisi kiri dan kelas 12 di bangku posisi kanan.

·         Setiap siswa baik kelas 11 ataupun kelas 12 dibagi dua ruangan, diurutkan  berdasarkan absensi kelas. Contoh : absen 1-20 di ruangan 3.1, lalu absen 21-40 di ruangan 3.2, begitupun yang lain.



Skill menyontek

            Sebelum bercerita tentang kisah luka, saya ingin berbagi kisah menarik yang pernah terjadi sewaktu sekolah. Meski keajaiban itu ada, tapi gak semua tepat sasaran. Keajaiban itu sedikit meleset. Saya sudah sangat gembira ketika tahu bahwa kelas saya yaitu 11 IPA 4 disatukan dengan kelas Uland yaitu 12 IPA 3.

            Mengapa bisa berbeda kelas tapi disatukan?

            Penjelasannya adalah jumlah siswa tiap kelas berbeda2 yang mengakibatkan kelas saya yang absennya 1-20 disatukan dengan kelas Uland yang absennya 20-40. Itupun gak full semua.

            Jari dan mata saya langsung mencari seperti mesin pencari pada jadwal kertas yang tertempel di jendela kelas. Daftar siswa kelas 11 dan 12 yang semeja.

            Kau tahu apa yang ada dipikiran saya saat itu? Yap, berharap semeja dengan Uland, namun sayang, tebakan saya meleset Uland berada di meja sebrang saya, meja kelima paling belakang sedangkan saya berada di meja keempat. Jarak kami lumayan dekat. Dan yang tak saya sangka adalah saya satu meja dengan temannya Uland yaitu Mitha. Saya mempunyai ide ketika melihat Mitha. Dengan kesempatan ini saya harap bisa berbicara langsung dengan Uland.

            Tiba di hari pertama ujian akhir semester kami mulai dengan suasana baru. Tepat prediksi saya bahwa sebelum ujian dimulai, kelas Uland mulai dengan kerusuhan dan ulahnya. Ada yang menjahili junior, meminta bekal, membuat contekan, menyusun rencana kerjasama. Saya dan teman-teman kelas saya tidak banyak bertingkah karena kami tidak ingin dituduh melawan senior. Namun menurut penilaian saya, kelas Uland itu tidak ada yang nakal atau jahat, mereka hanya penyuka humor yang tinggi. Tidak ada anak kelas saya yang dijahili keterlaluan.

            “Oe dewa penyelamat, jangan lupa nanti kasih tau gue ya, jangan pelit lu awas!” ujar salah satu anak lelaki kelas 12.

            “Oke santai aja para fans, hahah.” Ketawa dewa penyelamat.

            Ada siswa pintar di kelas mereka dipanggil “dewa penyelamat” karena merekalah harapan terakhir yang akan membantu ketika ujian.

            “Bro kita bikin contekan dulu, Ntar lau sms gue jawabannya.”

            “Wah siap bro, pokoknya rebes.”

            “Mantap.”

            Sungguh pemandangan yang tak bisa saya komen satu persatunya. Baik laki-laki atau perempuan keakraban mereka sangat terasa, seperti ketika ujian kali ini.

            Guru pengawas mulai memasuki ruangan, semua siswa tertib. Saya sedikit takjub dengan anak-anak kelas Uland. Mereka bisa sekejap tertib padahal sebelum guru datang mereka sedang rusuh dan panik menyusun contekan. Seketika ruangan disihir untuk tertib.

            Bagaimana dengan saya? Tenang saja di kelas 11 ini saya sudah banyak kemajuan dalam hal pelajaran akademik. Tentunya tak perlu contekan atau apalah. Semua rumus-rumus dan hafalan seperti amunisi sudah siap tempur di kepala saya. Karena sebelumnya saya bekerja keras belajar sebelum ujian datang.

            Di menit pertama hingga 10 menit seisi ruangan tampak hening, tak ada suara gemuruh atau bisik-bisik meminta contekan. Hanya terdengar goresan pensil dan pulpen serta suara sibakan kertas soal. Pengawas awalnya memeriksa kartu peserta dan absen ujian, setelah itu ia duduk membaca koran pagi sambil menikmati kue nastar dan permen di meja.

            Hal yang keren selama ujian ini, mereka para senior betul-betul menyusun strategi yang keren dan ciamik, tidak hanya rencana menyontek yang luarbiasa juga memanipulasi pengawas dengan suguhan di meja. Mereka sengaja menyiapkan koran baru dan kue nastar di atas meja pengawas agar pengawas kurang memperhatikan siswa yang sedang ujian. Dan itu terbukti.

            Namun sesungguhnya saya tidak pernah ada niat untuk mengajarkan hal yang tidak baik ini (menyontek). Saya hanya bercerita tentang pengalaman yang menarik di masa sekolah. Semoga kamu membaca cerita ini tidak meniru perilaku senior kami. “Hal itu hanya dilakukan oleh para profesional.

            Mapel pertama adalah fisika, sebuah musuh yang cukup tangguh diawal-awal ujian ini. Saya cukup menikmati tiap soal yang ada. Sesekali saya melihat Uland. Ia terfokus mengerjakan soal, saya tebak Uland salah satu murid pintar di kelas, namun ia tak banyak berbaur dengan teman yang lainnya.

            Waktu sudah lewat 40 menit, bahasa isyarat dan bisikan setan mulai bermunculan. Saya tergerak melirik senior saya ke sebelah kiri. Sebuah pemandangan yang langka dengan apa yang saya lihat. Tiga cowok senior di sebelah barisan saya sebut saja mereka Kemal, Firdy, dan Adit. Tengah asik beradu gambar manga satu sama lain. Mereka menggunakan kertas coretan untuk menggambar manga anime seperti Bleach dan Naruto. Sedangkan kertas jawaban mereka masih bersih belum ada satupun nomor yang mereka isi.

            Saya tidak mungkin bisa selama satu jam berlalu belum mengerjakan satu soalpun. Tapi mereka dengan tenang dan santai, bukannya mengerjakan ujian malah adu gambar manga. Saya tidak habis pikir dengan senior-senior ini. entah strategi apa yang mereka rencanakan, saya belum mengetahuinya.

            Tiba-tiba saya dicolek oleh seorang manusia. Saya terkaget lalu menengok ke sebelah kanan. Mitha melihat saya. Saya langsung melihat Mitha, mata kami bertemu, apakah akan terjadi gejolak cinta? Cukup ini bukan sinetron, Halah.

            “Oe, jago banget keknya lu ngerjain soal, bala banget itu kertas coretan.” Bisik Mitha.

            Saya mengeryitkan dahi dan alis, saya tidak membalas omongan Mitha. Saya kembali mengerjakan soal, toh bukan hal yang baik ngobrol disaat ujian?

            “Oe, kaku banget lu, nama lu siapa? Bisa bantuin gue?” bisik Mitha lagi sambil melihat nama saya di lembar jawaban saya.

            Saya melirik Mitha, ia menujuk-nunjuk kertas soalnya. Saya melihat sekilas, sama seperti tiga sekawan tadi, jawabannya masih bersih belum satupun nomor ia jawab, bahkan tak banyak coretan di kertas coretan. Saya heran, ini cewek kerjaannya ngapain aja dari tadi, ngekhayal apa tidur. Waktu udah berjalan satu jam, tapi belum satupun soal yang ia kerjakan. Sedangkan waktu tinggal 30 menit lagi.

            “Kenapa?” jawab saya singkat.

            “Bantuin kerjain soal gue dong, please Dri, yah?”

            Saya melihat soal Mitha, saya rasa ada beberapa nomor yang saya bisa kerjakan. Namun, percayalah di dunia ini gak ada yang gratis, ya kecuali napas sama buang angin. Saya memiliki ide di kepala saya.

            “Gimana kalo kita buat kesepakatan?”

            “Kesepakatan? Gimana maksud lu?” Mitha terheran.

            “Gini gua kerjain beberapa nomor yang gua bisa kerjain, tapi gua juga mau minta tolong sama lu.”

            “Apaan tuh?”

            “Nanti salamin gua ke Uland yah, tanyain kapan gua bisa ngomong sama dia?”

            Mitha langsung menahan ketawanya, ia menutup mulutnya dengan tangannya. Lalu berkata.

            “Hahaanjir, gue kira apaan.. lu suka sama si Uland? Oke ntar gue salamin, gampang itu. Udah buru bantuin gue.”

            “Bener ya?”

            “Elah ni anak, iye..”

            Saya pun membantu mengerjakan soal Mitha, Meski saya sedikit bingung dengan pelajaran Fisika kelas 12, saya tidak peduli, benar atau salah gak masalah, toh saya cuma disuruh ngerjain aja kan? Gak ada tuntutan harus bener atau salah. Hesteg Thug Life.

            Saya melihat Mitha ia tampak fokus dengan ponselnya, sedangkan soalnya saya yang kerjakan. Setelah saya membantu Mitha, saya menyelesaikan soal yang belum selesai. Waktu tinggal 10 menit lagi, beberapa sudah ada yang mengumpulkan kertas ujian, kepanikan mulai terasa untuk siswa yang belum selesai ketika melihat teman-temannya satu-persatu keluar meninggalkan ruangan.

            “Dadah, aku duluan yah, ahaha.”

            “Eh kasih tau gua dulu dong jangan udahan dulu, gua belum nih parah.”

            “Kasian deh.”

            Keganasan mulai semakin terasa, yang tadinya bisik-bisik tetangga kini berubah menjadi saling adu omongan. Sampai pengawas menyuruh tenang dan diam. Ketika saya selesai saya melihat trio penggambar manga anime tadi dengan santainya selesai bersamaan.

            Bagaimana bisa mereka selesai tanpa melihat dan menyentuh kertas soal? Apakah mereka putus asa dan mengerjakan asal saja? Saya rasa raut wajah mereka tidak menandakan semua hal itu. Raut wajah yang santai dan sombong.

            Rahasianya saya ketahui setelah ujian di hari ketiga. Ternyata mereka sudah janjian terlebih dulu dengan para dewa penyelamat untuk membagikan jawabannya kepada mereka melalui sms, satu orang bertugas sebagai penerima pesan sms anggap saja si Firdy lalu menyalinnya dengan menandai dengan titik setiap pilihan ganda yang adamemang ujian akhir semester ini tidak ada soal esai, semuanya pilihan gandakemudian jawaban disalin kedua temannya yang lain. Hebatnya mereka mengerjakan di 5 sampai 10 menit terakhir sebelum waktu ujian selesai tanpa diketahui pengawas. Selama menunggu pesan tersebut mereka menggambar manga anime sebagai pengulur waktu.

            Kertas coretan tersebut yang keren dengan gambaran manga nyaris seperti komik diberikan ke junior, judulnya “Kemal VS Firdy”. Lalu Adit, anak bawang. Begitu kata mereka sambil tertawa. Sungguh skill menyontek yang gila dan berisiko.



Pertemuan dengan Uland

            “Gimana Mit, Uland? Gua bisa ngomong sama dia?”

            “Gue udah salamin lo ke Uland, dia cuma bilang. ‘oh, yaudah ngomong aja’ gitu,” ujar Mitha dengan bibirnya yang so seksi.

            “Gitu doang, gak ada ekspresi gimana gitu?”

            “Emang lo pikir Uland bakal gimana, jingkrak-jingkrak kek topeng monyet? Haha.”

            Memang hal yang wajar jika belum kenal, seorang perempuan sangat dingin ketika mendapat salam dari seorang laki-laki asing, apalagi orang macam Uland.

            “Oe, Dri. Bantuin gue ngerjain soal lagi dong. Hehe.”

            Sial. Dalam hati. Lama kelamaan ini senior kurang asem. Masa setiap mapel saya yang ngerjain soal dia. Mana saya banyak yang gak ngerti lagi. Lagi-lagi saya gak peduli benar atau salah jawaban dia.

            “Kali ini coba lo mulai deketin Uland, ngomong pelan-pelan. Jangan cuma ngeliatin doang, ntar dilalerin loh, gimana mau deket.”

            Saya mendengar ucapan Mitha. Saya rasa ada betulnya juga, sudah saatnya untuk memberanikan diri berbicara langsung, selama ini saya hanya memandangnya saja, makanya kurang berhasil. Uland pun tampak tak banyak peduli jika ada yang melihat dan memerhatikannya.

            “Gimana caranya gua ngomong sama Uland, Mit?”

            “Elah ini bocah. Masa iya mesti gue ajarin juga.. hhh”

            “Bukan maksud gua teh..”

            “Apa tong? Udah lo todong aja dia jegat gitu pas balik, atau lo culik aja sekalian anak orang haha.”

            Inilah sosok Mitha yang sesungguhnya, frontal dan blak-blakan, sangat berbeda sekali dengan Uland yang kalem dan gak banyak bicara.

            Seusai ujian, saya memberanikan diri untuk langsung menemui Uland. Ia tampak sedang duduk di koridor kelas, membuka tas dan hendak meminum air yang ia bawa dari rumah. Saya sudah mempersiapkan semua percakapan nanti dengan Uland, saya tahu harus bicara apa dan bertanya apa semuanya seperti rumusan di kepala saya yang siap tempur.

            Saya perlahan mendekati Uland dan duduk di sebelahnya.

            “Hai, Uland yah? Gua mau bilang...” saya berhenti bicara.

            “Iya, ada apa?” jawab Uland.

            Saya melihat Uland. Seketika saya membeku seperti es, sulit berkata-kata. Sungguh Uland sangat lucu, pujian itu mewakili semua pujian seperti cantik, manis, atau apalah. Saya tidak dapat mendefinisikan apapun, tingkat lucunya tak bisa terukur. Ia memakai antik kecil mungil, ia sedikit tersenyum dan itu renyah sekali. Dia baru saja membius saya. seketika membuat saya terhipnotis.

            “Hei, kamu gak apa-apa?” tanya Uland.

            “Oe, lagi ngapain lo?” Mitha tiba-tiba datang dan menepuk pundak saya. saya langsung panik. Dan langsung meninggalkan mereka berdua.”

            “Gua duluan yah..”

            “Dia kenapa Lan?”

            “Gatau, aneh.”



Hujan dan percakapan di Sore hari

            Entah kenapa saat itu saya sangat bodoh sekali, seperti bukan saya yang biasanya. Bertingkah panik, gugup, dan gak jelas. Sungguh Uland tidak hanya membuat saya lupa akan luka hati saya sebelumnya, namun juga merubah saya dengan seketika. Beruntung, sikap saya tidak terulang kembali. Sungguh betapa malunya saat itu.    

            Ujian di hari terakhir saya tidak juga memberanikan diri di hadapan Uland. Bahkan hari itu terakhir saya satu kelas dengan Uland. Saya pulang tanpa berpamitan pada siapapun, saya menikmati rintik hujan di gerbang sekolah. Saya menatap langit, berharap hujan ini menghapus sisa-sisa luka di diri saya. Saya membiarkan separuh tubuh saya ditetesin butir-butir itu.

            Hujan malah semakin deras, saya berlari menuju tempat teduh, dan tak ingin buku dan teman-temannya basah. Saya masih membutuhkan mereka hingga akhir sekolah. Mereka yang menemani saya ketika sedang sedih dan sendiri. Pelajaran selalu menghibur saya dari dunia luka karena percintaan.

            Saya memeluk erat tas ransel dan menuju samping ruko depan gapura jalan sekolah. Hujan tak memberi saya untuk pulang lebih awal. Lalu memeriksa tiap bagian isi tas, beruntung buku dan yang lain masih terselamatkan. Siswa-siswa yang lain tampak berlarian menepi di tempat aman hanya untuk meneduh dari hujan. Beberapa ada yang langsung naik angkutan kota dan beberapa dijemput orangtua mereka menggunakan mobil atau naik motor dengan jas hujan mereka. saya tidak mengendarai motor, saya sedang ingin naik angkutan kota.

            Saya sedang menikmati suasana tenang ini, tiba-tiba seseorang berbicara kepada saya.

            “Hei, kamu yang kemarin kan?”

            Saya melihat orang di samping saya berteduh. Saya sedikit terkaget. Uland sedang bersama saya. Sejak kapan Uland ada di sana. Saya tidak menyadarinya. Saya berusaha untuk tidak panik. Kali ini saya berhasil menenangkan diri. Karena sedari tadi suasana hati saya sedang sayu.

            “Iya, eh Uland,” saya menjawab tanpa gugup.

            “Kok kamu tau nama aku?”

            “Hmm..” saya memalingkan pandangan ke arah hujan, “aku selalu merhatiin kamu.”

            Saya melihat Uland. Raut wajah yang heran dengan perkataan saya. Ia berhenti bertanya, begitupun saya. Hujan mengiringi sela-sela percakapan kami.

            “Waktu itu kamu mau bilang apa?”

            “Maaf kalo saat itu aku gak sopan, langsung pergi gitu aja.”

            “hahah..” Uland tertawa. Hal yang kali pertama saya melihatnya tertawa. Saya nyaris menilai Uland itu adalah cewek yang jutek karena saya jarang melihat ia tersenyum apalagi tertawa. Ternyata Uland tidak seperti yang saya pikirkan ketika hanya melihatnya dari jauh.

            Uland melanjutkan, “Yaa. Kamu aneh.”

            “Aku cuma gugup aja, tiba-tiba jadi panik saat Mitha datang.”

            “Aku mau nanya deh, kamu ngerjain soalnya Mitha yah?”

            Ternyata Uland tahu kalau setiap ujian saya suka membantu mengerjakan soal ujian Mitha. Mungkin Mitha yang cerita ke dia.

            “I..Iya abis aku gak tega ngeliat dia belum satu soalpun dikerjain.”

            “Dasar Mitha.. tapi kok,  kamu emang ngerti pelajaran kelas 12?”

            “Ya ada yang ngerti ada yang engga, toh aku suka latihan soal UN, tentunya pelajaran kelas 12 juga aku kerjakan kan.”

            “Wah berarti kamu pinter dong,” Uland tersenyum.

            Mendengar Uland memuji saya, seketika saya sembuh dari luka-luka hati. Saya sangat senang ketika Uland berkata demikian. Saya tersipu malu. Namun saya tidak menunjukannya.

            “Ah.. Engga juga, hehe.”

            Saya curiga. Jangan-jangan Mitha banyak cerita kepada Uland, masalahnya Mitha kadang suka berlebihan ketika cerita yang hendak disampaikan. Karena karekternya itu, yang blak-blakan. Saya melanjutkan bicara.

            “Mitha cerita yah?”

            “Iya.”

            Aduh. Saya takut Mitha ngomong yang macem-macem saat kesepakatan kami di ruang ujian.

            Uland melanjutkan, “Kata Mitha, kamu nitip salam buat aku?

            Aku hanya tersenyum kepada Uland.

            “Aku boleh cerita?” Kata Uland.

            “Iya silahkan.”

            “Baru kali ini, ada cowok yang suka merhatiin aku, nitip salam terus malu-malu pula.” Uland melihat saya, saya memalingkan pandangan ke hujan. Uland melanjutkan, “Anak-anak kelas bahkan gak banyak tau tentang aku, ya aku gak banyak ikut berbaur sama kelakuan mereka yang.. kamu tau kan? gitu deh. Paling cerita sama Mitha atau sama anak-anak yang kalem. Kamu kenapa suka merhatiin aku?”

            Waktu tak terasa, percakapan kami semakin seru dan semakin akrab, saya beruntung bisa kenal Uland, ternyata sikapnya gak sedingin yang saya pikirkan, Uland orangnya menyenangkan, kami bercerita sampai lupa bahwa hujan sudah mereda. Saking asyiknya. Terkadang tertawa mencairkan suasana. Rupanya Uland sudah mau pulang.

            “Hujannya udah reda ya, Kayanya aku langsung pulang.”

            “Iya, aku juga.”

            “Eh btw. Kamu ko curang sih !” tegur Uland. “Kamu udah tau nama aku, kok gak kasih tau kamu siapa.”

            “Panggil aja, Andri.”

            “Oke. Oiya kamu belum bilang waktu itu mau bilang apa sama aku?”

            “Aku mau bilang, makasih ya Uland.”

            “Makasih buat apa?”

            “Karena kamu.. Luka hati saya sembuh.”

            Uland terdiam. Tidak berkata apa-apa lagi, Ia hanya tersenyum sambil berpamitan pulang. kami menaiki angkutan kota yang berbeda arah tujuan. Sore itu hujan mempertemukan saya dengan perempuan lucu itu. Saya berharap setiap pulang sekolah turun hujan.



Saya, Uland, dan Mitha

            Saya kembali ke kehidupan kelas 11, meski pelajaran sudah tidak ada lagi, namun guru masih masuk untuk memberikan hasil ujian kemarin dan memberi kesempatan kepada siswa yang nilainya tidak memenuhi standar kelulusan. Saya dan teman-teman tentunya harap-harap cemas ketika menunggu hasil ujian. Ada banyak yang mendapat nilai bagus dan tidak sedikit pula yang mendapat nilai yang tidak lulus. Padahal ini adalah ujian kenaikan kelas.

            Saya dengan ketiga teman saya mendapat nilai yang cukup bagus dan memuaskan. Saya bersyukur ternyata belajar sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil yang sungguh pula.

            Sudah tiga hari saya tidak bertemu Uland sejak percakapan kami sore itu. rasa rindu mulai menyerang hati saya. Apa benar saya merindukan Uland? Saya menunggunya di gerbang sekolah namun, Uland tidak ada. Akhirnya saya menunggu di gapura tempo lalu. Uland pun tak kunjung ada, apa dia sudah pulang duluan.

            Lagi-lagi seseorang menepuk keras pundak saya. Betul saja, kelakuan si Mitha.

            “Oe, Bro, ngapain di sini sendirian? Nungguin Uland yah?” Mitha meledek saya.

            “Engga, gua cuma..”

            “Alah.. cuy. Masih aja lu boong. Nih Uland.” Uland berada di belakang Mitha.

            “Kenapa Dri?” tanya Uland.

            “Ada yang kangen sama lu gitu Lan.” Mitha melanjutkan, “kebaca banget bro. Ahaha”

            Saya hanya terdiam. Saya diskakmat oleh manusia frontal itu. Mitha mengajak saya untuk makan bareng di depan ruko. Kami pun hendak makan siang ketoprak.

            “Nilai gue keren-keren dong, semua ini dibantuin juga sama brader Andri. Haha thanks ya bro. Nilai lu gimana Lan?” Mitha membuka obrolan.

            “Wah dasar si Mitha. Bagus deh, aku juga nilainya baik, cuma ada beberapa yang pas-pasan,” ujar Uland.

            “Ya lo, ujian sendiri mulu. Gue aja yang gak belajar dapet nilai bagus,” tukas Mitha.

            Saya mendengarkan percakapan mereka. saya hanya tersenyum saja. Bagi saya melihat Uland sudah mengobati rasa rindu saya kepadanya. Mitha mulai menggoda saya.

            “Oe, senyam senyum mulu lo, udah ngapain aja lo sama Uland?”

            Pertanyaan macam apa itu. Dia pikir saya sering bertemu dengan Uland.

            “Engga, apaan sih Mit. Waktu itu gua cuma ngobrol yah sama Uland. ”

            “Cie.. Gimana Lan? Nih anak udah nembak lo? Diterima gak?”

            “Apaan sih Mitha, ngaco deh.”

            Mitha mulai dengan tertawa jahatnya. Rasa usilnya sangat kental bahkan saya belum lama kenal dengan Mitha, dia sudah mengejek saya sampai skakmat. Saya tidak menyangka kenal dan satu meja dengan orang itu. Uland tampaknya tak menanggapi omongan Mitha dengan serius, ia tahu bahwa Mitha memang suka berbicara seperti itu. Saat kami makan ketoprak, sesekali saya melihat Uland, dan Uland pun sesekali melihat saya. Mitha malah asik dengan ketopraknya.

            Kami pun selesai makan dan hendak pulang. Tak banyak kata-kata berpamitan di antara kami. Saya pun tkali ini tak banyak berbicara dengan Uland karena saya takut ada sambaran dari Mitha yang frontal. Perasaan suka mulai tumbuh dan berkembang kepada Uland. Sosok yang dulu hanya bisa saya kagumi karena berhasil menyembuhkan luka-luka saya, kini saya merasa nyaman dan tidak lagi canggung jika bertemu dan berbicara dengan Uland. Meski seperti biasa, saya tidak mudah menemui Uland, saya selalu menunggunya saat pulang sekolah.


            Class Meeting

            Sebelum kenaikan kelas, sekolah selalu mengadakan class meeting bagi setiap kelas untuk berlomba dan beradu di bidang olahraga, saya mengikuti class meeting itu sebagai pasukan sepakbola, dan pasukan basket 11 IPA 4. Kami menghadapi turnamen antar kelas dari mulai kelas 10 hingga kelas 12. Bertanding dan berkompetisi untuk menjadi juara.

            Ada sesuatu yang mengganjal di hati saya. Saya ingin bertemu dengan Uland, namun saya tidak bisa meninggalkan skuad kelas saya. Meski saya dan Uland tidak membuat janji untuk bertemu, namun perasaan kami menginginkan untuk bertemu. Dengan jadwal class meeting yang padat, rasanya saya sulit untuk bisa menunggu Uland. Sedangkan dia kemungkinan juga tidak menunggu saya. saya takut menghilangkan kesempatan saya untuk dekat dengan Uland. Terlebih saya sudah memulai untuk bersama dia. Sayapun tidak pernah mengontek dia lewat ponsel.

            Akhirnya saya terpaksa memilih untuk mendukung kelas saya hingga menuju semi final, meski kami tidak berhasil menjadi juara, kami sudah berusaha dan berjuang sebaik yang kami bisa.

            Sudah hampir sebulan saya tidak bertemu dan melihat Uland. Saya tahu bahwa kelas 12 kini sudah ada pengumuman kelulusan sekolah pekan lalu. saya mencari tahu tentang Uland, bahkan saya menanyakannya kepada teman satu kelasnya, yaitu Firdy.

            “Firdy, lu sekelas sama Uland? Lu tau si Uland masuk atau engga?”

            “Hah, si Renny? Kurang tau gua, setau gua kelas 12 udah gak ada kegiatan lagi setelah kelulusan, selain class meeting kemaren. Gua gak liat dia masuk.”

            Mungkin Uland beberapa hari ini tidak ke sekolah karena memang kelas 12 sudah tidak ada kegiatan akademik lagi. Mereka yang masih ke sekolah itu, hanya untuk janjian dengan teman, mengikuti class meeting, dan sekedar nongkrong. Melihat Uland tidak terlalu berbaur dengan kelasnya, bisa dipastikan ia tak banyak mengikuti class meeting kelasnya.

            Kemana saya harus mencari Uland, sedangkan Mitha saya tak lagi melihat batang hidungnya. Harusnya memang saat itu saya bertemu dulu dengan Uland, membuat janji atau waktu bertemu. Jika seperti ini, luka-luka saya mulai kembali hidup. Saya menyadari rasa cinta mulai tumbuh di hati bersama rasa sedih.



Pertemuan Terakhir

            Luka-luka lama memang sudah sembuh, namun bekas-bekasnya menumbuhkan luka-luka baru seperti spora jamur yang tumbuh kemudian berkoloni, membelah menjadi beberapa sel hingga membentuk jaringan yang semakin besar.

            Satu-satunya yang bisa mencegah itu semua adalah Uland. Saya harus bertemu Uland, menyatakan semuanya kepadanya, rasa terimakasih saya, juga perasaan saya. Perasaan dan firasatnya tidak menentu karena Uland tidak juga mencari saya. Memang saya bukan siapa-siapa, tidak ada urusannya lagi.  Apakah mungkin sebuah perasaan cinta tidak bisa merasakan keberadaan satu sama lain?

            Saat hendak pulang saya melihat Uland, ia hendak berjalan menuju gerbang sekolah. Saya dengan cepat langsung mengejar dan memanggil Uland. Ia pun berhenti dan melihat saya sedang berlari ke arahnya.

            “Uland? Tunggu.”

            “Andri, ada apa?”

            “Kamu kemana aja Lan, kamu gak ke sekolah lagi?”

            “Ya. Berhubung udah gak ada kegiatan sekolah lagi tinggal mengurusi berkas-berkas kelulusan aja.”

            Saya melihat Uland. Saya tidak melihat dia yang kemarin-kemarin. Ekspresi dan suasananya berbeda ketika bertemu lagi dengan saya. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang penuh senyum dan tawa.

            “Aku pengen ngomong sesuatu,” saya memberanikan diri untuk berbicara dengan Uland.

            “Apa?” Singkatnya.

            Saya menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “Jujur, udah lama aku suka sama kamu.”

            Uland terdiam sejenak, mulutnya membuka seperti ingin mengatakan sesuatu namun tak jadi.

            “Hemm..” senyumnya hilang seketika.

            “Ada apa?”

            “Kenapa kamu baru bilang?”

            “Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”

            “Bukan soal itu..” Uland menegaskan.

            “Kamu gak suka sama aku?”

            Uland terdiam lagi sambil memalingkan pandangannya dari saya.

            “Kamu harusnya bisa melihat keadaan, sesuatu terkadang berubah tidak seperti apa yang kita inginkan. Keadaan kemarin tidak lagi sama dengan hari ini, mungkin juga esok hari.”

            Uland hendak meninggalkan saya. lalu saya memanggilnya lagi. Saya tidak akan menyerah.

            “Uland..”

            “Aku udah sama yang lain.”

            Kini saya yang terdiam. Melihat mata lucu Uland. Seolah waktu berhenti berdetak bahkan saya nyaris tak merasakan degub jantung lagi.

            “Aku kasih tau yah,” Uland melanjutkan, “cinta itu memang tak terikat oleh waktu, tapi perempuan sangat terikat oleh waktu. Saat kamu membiarkan seorang perempuan menunggu, itu artinya kamu memberi kesempatan kepada lelaki lain untuk mendekati perempuan itu.”

            “Aku kira aku masih memiliki kesempatan.”

            “Kesempatan itu ada, tapi kamu melewatkan kesempatan itu.”

            Tiba-tiba sesuatu mengalir dari mata saya,”kamu tau, susahnya aku buat dapetin hati kamu itu kaya gimana?”

            Saya melanjutkan, “Bagi laki-laki, buat menarik hati perempuan itu gak semudah yang mereka pikirkan, perempuan itu seperti tulang rusuk, saat kita paksa meluruskannya maka akan patah, dan jika dibiarkan maka akan terus bengkok. Meski demikan, laki-laki melakukannya dengan tabah dan tidak menyerah. Hingga akhirnya aku tau aku akan kalah dengan orang lain.”

            “Jika sudah tau akhirnya akan seperti itu, kenapa kamu tetap melakukannya, bukankah itu hal yang sia-sia?”

            “Mungkin ini memang bukan jalan yang terbaik untuk aku berharap bisa bersama-sama dengan kamu. Setidaknya aku sudah berusaha untuk mendapatkan cinta kamu. Meski pada akhirnya Tuhan berkata lain. ”

            Hari itu hari terakhir saya bersama Uland. Entah Uland akan melanjutkan kuliah atau bekerja. Yang pasti perempuan yang saya tahu dari dulu ia tak pernah ada laki-laki yang mendekatinya, kini sudah bersama orang lain.

            “Sekali lagi aku berterimakasih padamu, kamu tidak hanya menyembuhkan luka-luka lama aku, kamu juga berhasil membuat aku jatuh cinta padamu, dan di saat yang sama, kamu membuat luka baru untukku.” Itu adalah kata-kata terakhir yang bisa saya ucapkan kepada Uland.

            Menurut saya, kisah cinta akan benar-benar terasa saat melewati sebuah proses, perjuangan dan kesabaran. Dari situlah kita akan tahu, pahit manisnya sebuah cinta. Seharusnya luka-luka saya membaik dan sembuh, namun Uland membuatnya menjadi semakin lebar, luka baru yang membuat saya semakin patah hati. Saya lebih merasakan luka-luka karena tidak pernah bisa bersama orang yang sudah membuat saya sembuh dari luka-luka hati sebelumnya, daripada seseorang yang pernah mengisi hati saya.

            Kini rasa penolakan itu sangat kental bernaung di sepasang mata. Sesuatu yang tak ingin lagi ia lihat. Dan sesuatu yang tidak bisa lagi saya lihat.

Saya belum cerita bahwa sejak kapan saya mengagumi Uland?

            Semenjak saya berada di kelas 11 dan lalu saya sudah berada di kelas 12, selama dua semester itulah saya menjadi pengagumnya dan berharap bisa mengucapkan terimakasih karena telah menjadi obat untuk penyembuh luka hati saya. Ya, saya sudah mengucapkannya dia pun sudah mengetahuinya, namun perasaan cinta saya, tak bisa diterimanya.  

            Mungkin saya terlalu banyak berharap. Sesuatu yang terlalu berharap banyak, tidak akan mendapat hasil yang diharapkan, karena kita tidak melihat sesuatu itu dengan sebuah proses dan kenyataan yang ada. Waktu adalah sesuatu yang bisa merubah keadaan dan kenyataan tersebut. Sama seperti yang Uland katakan.

            Namun, untuk urusan cinta saya kurang setuju. Cinta yang benar-benar cinta tidak pernah punya alasan apapun untuk tidak menerima, bagaimanapun rintangannya, berapa lamapun waktunya, seberapa beratpun ujiannya, cinta selalu menemukan jalannya, jalan untuk mempersatukan. Dan itu bukan hanya keajaiban.

            Hingga di akhir cerita, saya tidak pernah bisa bersama senior lucu saya itu. lagi-lagi saya mendapat pelajaran yang berharga. Tidak hanya pelajaran akademik, percintaan juga. Luka-luka kali ini semakin membuat saya tegar, saya sudah terbiasa dan bersahabat dengan mereka, layaknya hewan peliharaan, tanpa luka-luka tersebut saya mungkin bisa lupa diri dan tidak menjadi diri saya sendiri. Luka-luka itu mengajarkan saya untuk tetap sabar dan selalu rendah hati. Bisa menerima kenyataan dan berusaha menjadi yang terbaik.

            Sore itu.. hujan kembali turun. Saya tak lagi melihat Uland meneduh.. bahkan saya lupa pernah berada di sana bersamanya.. semua itu rasanya seperti mimpi. Mimpi yang tidak akan pernah menjadi nyata.

            Seseorang memanggil saya..

            “Oe, men balik engga?”

            “Oy, tungguin.” Saya berlari menuju angkutan kota.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar