Petuah
Cara
menyembuhkan luka kata Nenek saya adalah jangan menangis.
“Aduh..
sakit.”
“Kamu
kenapa, Dri?”
“Aku
jatuh, Nek, dari sepeda.”
“Yaudah
jangan nangis, nanti juga lukanya sembuh sendiri.”
Dulu
sewaktu saya umur enam tahun, saya pernah terjatuh tergelincir ketika
mengendarai sepeda. Saya mengalami luka di bagian siku dan lutut, meski tidak
begitu parah, namun, namanya anak kecil ketika ada bagian tubuh yang terluka
sedikit saja maka refleks akan menangis.
Saya
pun mengadu kepada Nenek saya, beliau memberitahu saya agar tidak menangis,
katanya kalau saya menangis ketika terluka maka lukanya tidak cepat
sembuh.
Ketika
saya tumbuh besar, saya menyadari perkataan nenek saya adalah sebuah sugesti
yang positif bahwa “ketika kita terluka
baik fisik maupun perasaan, berusahalah untuk tidak membuat suasana pikiran dan
tubuh dalam kondisi sedih, karena kondisi tubuh dan pikiran yang menurun
membuat keadaan kita semakin tidak baik. Begitupun sebaliknya, berusaha untuk
merasakan senang dalam hati dan pikiran, akan menurunkan perasaan sakit dan
luka.”
------------------------------------ x Ef
----------------------------------- x
10 %
= 200 (28) x 8 (30)
----------------------------------- x 10/100
= 5600 x 24/25
Terkadang
kita menyepelekan perkataan orangtua kita yang jadul dan terlalu berbau mitos.
Namun sebenarnya, perkataan yang sering kita dengar adalah sebuah petuah yang disampaikan
dengan hal-hal yang sederhana seperti pamali atau sekadar nasihat. Semua itu
semata-mata bahwa orangtua dulu menginginkan anak-anaknya untuk tidak salah
melangkah, mereka bisa berkata demikian karena sebuah pengalaman mengajarkan
kepada mereka untuk lebih bijak dalam menentukan pilihan hidup.
Baiklah!
rasanya saya terlalu mengawang-awangkan perkataan orangtua dulu. Meski demikian
saya banyak belajar berbagai metode tradisional dalam menyembuhkan luka hati
dari para leluhur dahulu. Intinya jangan pernah takut dan berhenti ketika
terluka, setiap luka memiliki cerita dan cara penyembuhan yang berbeda-beda.
Kali
ini saya kembali pulih dari luka—meski
sepertiganya masih dalam masa penyembuhan—dan kembali
menjalani cerita-cerita yang berbeda. Saya akan bercerita kisah saya di masa
sekolah SMU dimana tahun 2011 menjadi tahun-tahun penuh dengan cinta lokasi dan
patah hati lokasi. Keduanya seakan berjalan dengan beriringan. Saat ada yang
jadian, disaat yang sama juga ada yang putusan. Saat ada yang sedang jatuh
cinta, saat yang sama juga ada yang patah hati. Ada yang berlomba-lomba
mengejar cinta, ada pula yang berusaha untuk menjomblo. Semua itu
berpasang-pasangan. Hampir semua teman dan orang-orang di sekitar saya terkena
wabahnya. Dan saya saat itu belum sanggup untuk jatuh cinta lagi, setidaknya
hingga saya melewati fase penyembuhan.
Saya
hendak memperbaiki nilai-nilai pelajaran saya yang menurun di kelas sebelumnya.
Di kelas 11 ini, saya berusaha mencetak hasil nilai yang baik dan berencana
mendapat peringkat setidaknya sepuluh besar. Dengan demikian, saya akan merasa
senang dan bangga, maka saya akan kembali pulih dari penyembuhan.
Jika
di kisah-kisah sebelumnya saya lebih banyak bergaul dengan para playboyers dan
playgirlyers (atau apalah namanya), beruntung saya dekat dengan teman yang
rajin belajar sehingga saya lebih mudah untuk berdiskusi dan mengikuti setiap
pelajaran. Teman-teman bangku terdekat saya, Wisnu, Desi, Fanisa. Teman-teman
yang baik dan pintar menjadi motivasi saya untuk bangkit dan kembali rajin
belajar. Saya pun mengalami perkembangan belajar yang semakin membaik, mulai
dari saya tidak terlambat masuk sekolah, nilai-nilai pelajaran membaik, dan
yang paling penting absen dalam kehidupan percintaan.
Pelajaran vs percintaan
Kau tahu?
Ketika masa sekolah kita akan merasa sulit untuk membagi fokus antara belajar
dengan percintaan. Itu kenapa orang-orang yang semasa sekolahnya punya banyak
pengalaman dalam percintaan, namun tidak lebih pintar dalam hal pelajaran.
Begitupun sebaliknya, orang-orang yang maniak akan belajar akan fokus pada
pelajaran sekolah namun minim sekali pengetahuan tentang masa percintaan
sekolah.
Kamu, tipe yang mana? Lebih memilih
pelajaran atau percintaan?
Bagaimana
jika ada orang yang hebat dalam kedua hal tersebut? saya pastikan ada dua hal
tipe orang seperti itu. Baik cewek maupun cowok sama saja.
Yang
pertama, dia berada di tingkat yang normal dan standar. Artinya seperti
kebanyakan orang pada umumnya punya naluri suka terhadap lawan jenis di taraf
abg atau remaja tapi masih memiliki kewajiban dalam belajar. Sederhananya
adalah pacaran atau menjalin hubungan sewajarnya juga berusaha untuk tidak
ketinggalan pelajaran, setidaknya jika tidak bisa menjadi yang terbaik di kelas
ya jangan jadi yang terbelakang di kelas. Contoh orang yang seperti ini tidak
sedikit yang saya temui, saya pun mungkin termasuk dalam tipe ini.
Yang
kedua, ini adalah tipe orang yang jarang atau sedikit sekali kita temui. Dimana
dia hebat dalam dua hal sekaligus berjalan secara beriringan. Biasanya
orang-orang yang seperti ini ada dalam tingkat ketenaran dan popularitas yang
tinggi di sekolah. Seperti artis sekolah, ketua osis yang kece badai. Orang
yang seperti ini sudah dipastikan memiliki kecerdasan di atas rata-rata (rumus
polularitas mendongkrak prestasi : nanti
akan saya beritahu analisanya) dan tidak menutup kemungkinan bahwa dia
berada di posisi anak terpintar di kelas, bisa jadi di sekolah. Kelebihan
lainnya adalah memiliki kharisma ketampanan atau kecantikan yang menjadi idola
sekolah. Hal ini yang menjadi perempuan atau laki-laki tergila-gila pada tipe
yang seperti ini. Sudah ganteng pintar tenar pula. Dan secara otomatis memiliki
pengalaman percintaan yang luarbiasa.
Bagaimana,
kau termasuk salah satu dari dua kategori tersebut atau mempunyai teman sahabat
yang tergolong kategori tersebut, atau kau malah ingin menjadi seperti mereka?
semua itu tentunya ada pilihan dan konsekuensinya.
Rumus Popularitas dan kepintaran ( menurut Seelayingleeyeur)
Sebelum
membahas kisah luka saya selanjutnya, saya akan sedikit sharing tentang sebuah
rumusan mendapat smart rate more atau
tingkat kepintaran di atas rata-rata menggunakan popularitas, yang saya
pelajari dari Dr. Boyke Seelayingleeyeur. Cara menghitung tingkat kepintarannya
adalah sebagai berikut:
Diketahui :
·
Kepintaran = Smart (S)
·
Popularitas = Popularity (P)
·
Kepercayaan diri = Confidence (C)
·
Rata-rata nilai pelajaran = a
·
Rata-rata anak pintar = x1
·
Rata-rata anak malas = x2
·
Gaya = F
·
Usaha = W
·
Haters = H
·
Tingkat kegagalan = Error Failed (Ef)
Rumus Seelayingleeyeur :
S = P (C+F+W) x a (x2 – x1)
--------------------------------- x Ef
H
|
Tingkat
kepintaran sama dengan tingkat popularitas dikali hasil penggabungan dari
kepercayaan, Gaya, dan Usaha lalu dikalikan hasil pengurangan nilai rata-rata
anak malas dan pintar di kelas/sekolah lalu dikali presentase tingkat kegagalan
yang mungkin terjadi kemudian dibagi tingkat haters yang ada.
Seelayingleeyeur
membagi tingkat kepintaran menjadi 3 kategori, yaitu “pintar” berada dalam
nilai <5000 ; “cerdas” berada dalam nilai 5000-6000 ; dan “jenius” berada
dalam nilai >6000.
Tingkat
popularitas siswa sekolah umumnya berada di angka skala 80-100, kurang dari 80
termasuk minim atau dibawah rata-rata dan lebih dari 100 diatas rata-rata
popularitas. Tingkat Haters rendah skala 0-10, tingkat normal skala 10 – 20,
tingkat tinggi skala > 20. Kepribadian
berjumlah skala 1-10.
Contoh soal :
Seorang cowok pelajar SMA N 101
bernama Alvindo adalah seorang ketua OSIS yang cukup terkenal di sekolah.
Alvindo memiliki popularitas 200 dan skala Haters 25. Ia terkadang mendapat nilai
pelajaran bagus yakni rata-rata 8. Mempunyai kepercayaan diri 10, Gaya 10,
Usaha 8, Jika tingkat kepintaran kelas 35 dan rata-rata kemalasan anak suatu
kelas 65, Berapa nilai tingkat kepintaran Alvindo bila ia memiliki kegagalan 10
%?
Diketahui :
P = 200 x1 = 35
H = 25 x2 = 65
a = 8 Ef = 10 %
C = 10, F = 10, W = 8
Ditanya : S ?
Dijawab ya :
S = P (C+F+W) x a (x2 – x1)
H
= 200 (10+10+8) x 8
(65-35)
25
25
= 5376
Kesimpulannya,
jadi Alvindo mendapat nilai tingkat kepintaran adalah 5376, artinya Alvindo
termasuk dalam kategori cerdas. Tentu itu adalah tingkat kepintaran yang
luarbiasa.
Renny Wulandari
Seseorang
yang memberikan saya pelajaran kisah cinta yang luarbiasa. Ini merupakan salah
satu pelajaran terbaik yang saya bisa pelajari. Saya kenal seorang perempuan
yang membuat saya tidak bisa memujinya dengan pujian lain kecuali, lucu. Dia
bernama Renny Wulandari biasa dipanggil Uland. Mempunyai tubuh tidak terlalu
tinggi, tidak gemuk, dan berambut panjang lurus. Saya tidak banyak
mendeskripsikan Uland yang jelas dia itu, lucu.
Di
tahun 2011, saya berada di kelas 11 sedangkan Uland berada di kelas 12. Uland
adalah senior lucu saya. Saya sedikit tidak menyangka bisa bertemu dengan
Uland, namun yang pasti kehadiran Uland menjadi obat mujarab bagi luka hati
saya. Ketika saya melihat Uland secara ajaib saya lupa tentang luka hati, patah
hati, galau, sedih dan sejenisnya. Ada taman kebahagiaan di diri Uland saat
itu, lalu yang harus saya lakukan saat itu adalah berterimakasih kepadanya.
Tidak
seperti perempuan kebanyakan, Uland termasuk perempuan yang tidak banyak
bersosialisasi dengan kehidupan sekolah, sedikit pemalu dan sulit untuk
didekati. Saya tahu itu dari temannya Uland yaitu Mitha. Biasanya ketika saya
perlu dengan seseorang atau hendak menyampaikan sesuatu saya langsung menemui
orang tersebut. Namun rasanya saya sulit sekali untuk bisa berbicara langsung
dengan Uland.
Ada
tiga waktu yang mungkin saya bisa melihat Uland berada di sekolah. Pertama,
saat pagi jam masuk sekolah, kedua, jam sepulang sekolah, dan ketiga pada saat
upacara (itu pun tidak selalu).
Lantas
bagaimana dengan waktu lain?
Itu
alasannya kenapa saya bilang sulit, Uland berada di kelas yang dipenuhi oleh
anak-anak senior yang terkenal parah dan suka berulah. Saya pernah mencoba
untuk bertemu dengan Uland pada waktu istirahat ke kelasnya. Para senior itu
selalu menjahili juniornya yang bermain di area kelas mereka. menendang dan
mengusirnya jauh-jauh, haha. Kelas dua belas berada di gedung kelas lantai dua,
sedangkan kelas sepuluh dan sebelas berada di lantai bawah. Itu kenapa gedung
lantai atas sudah dikudeta oleh para senior. Hampir jarang menemukan anak kelas
sebelas apalagi sepuluh di lantai atas, kecuali ada hal penting.
Otoritas
mereka terasa sangat kental. Karakteristik anak-anak kelas Uland bukan seperti
anak-anak kelas dua belas yang nakal dan seram, tapi mereka lebih punya ciri
khas dalam sebuah kelas seperti suka jahil, suka melawak, solidaritas yang
sangat tinggi, dan selalu membuat kekonyolan-kekonyolan yang membuat kagum dan
tertawa seisi sekolah.
Kembali
ke Uland. Dia hampir tidak pernah pergi ke kantin sekolah, saya heran apakah
setiap hari dia puasa, atau mungkin selalu membawa bekal makanan dari rumah.
Waktunya banyak dihabiskan di kelas bersama teman semejanya yaitu Mitha. Entah
untuk mengerjakan apa (selain belajar) bahkan hobinya pun saya tidak tahu.
Meski sulit untuk bertemu langsung dengan Uland, saya tidak pernah menyerah.
Meski hanya untuk berkata “terimakasih Uland.” Saya percaya terkadang keajaiban
itu ada.
Betul! Keajaiban itu ada
Hal
yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, ketika menyaksikan keajaiban itu
memang betul-betul ada. Ini bukan kisah yang saya rekayasa, ini adalah sebuah
kenyataan yang tidak pernah saya lupakan. Ada sesuatu yang unik yang
mempertemukan saya dengan senior lucu itu.
Itulah
bukti bahwa Tuhan selalu mendengar doa-doa hamba-Nya yang tulus dan ikhlas. Di
saat saya sulit bertemu dengan Uland, Tuhan memberikan jalan yang indah untuk
saya. Melalui keajaiban itu.
Baik,
saya akan beritahu, ada sesuatu yang unik yang tadi saya katakan yaitu ada
kebijakan baru dari sekolah dimana sistem setiap ujian akan dipersatukan dengan
kelas yang berbeda tingkat. Dan itu terjadi hanya pada kelas sebelas dan kelas
dua belas, dimana pada saat ujian baik ujian tengah semester ataupun ujian
akhir semester, kelasnya dipersatukan.
Sistem pembagiannya adalah sebagai
berikut :
·
Ujian menyatukan kelas ini hanya berlaku di kelas 11
dan 12
·
Penggabungan kelas berdasarkan kategori masing-masing
jenis kelas, contoh : kelas 11 IPA 1 bergabung dengan kelas 12 IPA 1, kelas 11 IPS
2 bergabung dengan 12 IPS 2, begitu seterusnya.
·
Kelas 11 duduk semeja dengan kelas 12, dimana kelas 11
berada di bangku posisi kiri dan kelas 12 di bangku posisi kanan.
·
Setiap siswa baik kelas 11 ataupun kelas 12 dibagi dua
ruangan, diurutkan berdasarkan absensi
kelas. Contoh : absen 1-20 di ruangan 3.1, lalu absen 21-40 di ruangan 3.2,
begitupun yang lain.
Skill menyontek
Sebelum
bercerita tentang kisah luka, saya ingin berbagi kisah menarik yang pernah
terjadi sewaktu sekolah. Meski keajaiban itu ada, tapi gak semua tepat sasaran.
Keajaiban itu sedikit meleset. Saya sudah sangat gembira ketika tahu bahwa
kelas saya yaitu 11 IPA 4 disatukan dengan kelas Uland yaitu 12 IPA 3.
Mengapa
bisa berbeda kelas tapi disatukan?
Penjelasannya
adalah jumlah siswa tiap kelas berbeda2 yang mengakibatkan kelas saya yang
absennya 1-20 disatukan dengan kelas Uland yang absennya 20-40. Itupun gak full
semua.
Jari
dan mata saya langsung mencari seperti mesin pencari pada jadwal kertas yang
tertempel di jendela kelas. Daftar siswa kelas 11 dan 12 yang semeja.
Kau
tahu apa yang ada dipikiran saya saat itu? Yap, berharap semeja dengan Uland,
namun sayang, tebakan saya meleset Uland berada di meja sebrang saya, meja
kelima paling belakang sedangkan saya berada di meja keempat. Jarak kami
lumayan dekat. Dan yang tak saya sangka adalah saya satu meja dengan temannya
Uland yaitu Mitha. Saya mempunyai ide ketika melihat Mitha. Dengan kesempatan
ini saya harap bisa berbicara langsung dengan Uland.
Tiba
di hari pertama ujian akhir semester kami mulai dengan suasana baru. Tepat prediksi
saya bahwa sebelum ujian dimulai, kelas Uland mulai dengan kerusuhan dan
ulahnya. Ada yang menjahili junior, meminta bekal, membuat contekan, menyusun
rencana kerjasama. Saya dan teman-teman kelas saya tidak banyak bertingkah
karena kami tidak ingin dituduh melawan senior. Namun menurut penilaian saya,
kelas Uland itu tidak ada yang nakal atau jahat, mereka hanya penyuka humor
yang tinggi. Tidak ada anak kelas saya yang dijahili keterlaluan.
“Oe
dewa penyelamat, jangan lupa nanti kasih tau gue ya, jangan pelit lu awas!”
ujar salah satu anak lelaki kelas 12.
“Oke
santai aja para fans, hahah.” Ketawa dewa penyelamat.
Ada
siswa pintar di kelas mereka dipanggil “dewa penyelamat” karena merekalah
harapan terakhir yang akan membantu ketika ujian.
“Bro
kita bikin contekan dulu, Ntar lau sms gue jawabannya.”
“Wah
siap bro, pokoknya rebes.”
“Mantap.”
Sungguh
pemandangan yang tak bisa saya komen satu persatunya. Baik laki-laki atau
perempuan keakraban mereka sangat terasa, seperti ketika ujian kali ini.
Guru
pengawas mulai memasuki ruangan, semua siswa tertib. Saya sedikit takjub dengan
anak-anak kelas Uland. Mereka bisa sekejap tertib padahal sebelum guru datang
mereka sedang rusuh dan panik menyusun contekan. Seketika ruangan disihir untuk
tertib.
Bagaimana
dengan saya? Tenang saja di kelas 11 ini saya sudah banyak kemajuan dalam hal pelajaran
akademik. Tentunya tak perlu contekan atau apalah. Semua rumus-rumus dan
hafalan seperti amunisi sudah siap tempur di kepala saya. Karena sebelumnya
saya bekerja keras belajar sebelum ujian datang.
Di
menit pertama hingga 10 menit seisi ruangan tampak hening, tak ada suara
gemuruh atau bisik-bisik meminta contekan. Hanya terdengar goresan pensil dan
pulpen serta suara sibakan kertas soal. Pengawas awalnya memeriksa kartu
peserta dan absen ujian, setelah itu ia duduk membaca koran pagi sambil
menikmati kue nastar dan permen di meja.
Hal
yang keren selama ujian ini, mereka para senior betul-betul menyusun strategi
yang keren dan ciamik, tidak hanya rencana menyontek yang luarbiasa juga
memanipulasi pengawas dengan suguhan di meja. Mereka sengaja menyiapkan koran
baru dan kue nastar di atas meja pengawas agar pengawas kurang memperhatikan
siswa yang sedang ujian. Dan itu terbukti.
Namun
sesungguhnya saya tidak pernah ada niat untuk mengajarkan hal yang tidak baik
ini (menyontek). Saya hanya bercerita tentang pengalaman yang menarik di masa
sekolah. Semoga kamu membaca cerita ini tidak meniru perilaku senior kami. “Hal itu hanya dilakukan oleh para
profesional.”
Mapel
pertama adalah fisika, sebuah musuh yang cukup tangguh diawal-awal ujian ini. Saya
cukup menikmati tiap soal yang ada. Sesekali saya melihat Uland. Ia terfokus
mengerjakan soal, saya tebak Uland salah satu murid pintar di kelas, namun ia
tak banyak berbaur dengan teman yang lainnya.
Waktu
sudah lewat 40 menit, bahasa isyarat dan bisikan setan mulai bermunculan. Saya
tergerak melirik senior saya ke sebelah kiri. Sebuah pemandangan yang langka
dengan apa yang saya lihat. Tiga cowok senior di sebelah barisan saya sebut
saja mereka Kemal, Firdy, dan Adit. Tengah asik beradu gambar manga satu sama
lain. Mereka menggunakan kertas coretan untuk menggambar manga anime seperti
Bleach dan Naruto. Sedangkan kertas jawaban mereka masih bersih belum ada
satupun nomor yang mereka isi.
Saya
tidak mungkin bisa selama satu jam berlalu belum mengerjakan satu soalpun. Tapi
mereka dengan tenang dan santai, bukannya mengerjakan ujian malah adu gambar
manga. Saya tidak habis pikir dengan senior-senior ini. entah strategi apa yang
mereka rencanakan, saya belum mengetahuinya.
Tiba-tiba
saya dicolek oleh seorang manusia. Saya terkaget lalu menengok ke sebelah
kanan. Mitha melihat saya. Saya langsung melihat Mitha, mata kami bertemu,
apakah akan terjadi gejolak cinta? Cukup ini bukan sinetron, Halah.
“Oe,
jago banget keknya lu ngerjain soal, bala banget itu kertas coretan.” Bisik
Mitha.
Saya
mengeryitkan dahi dan alis, saya tidak membalas omongan Mitha. Saya kembali
mengerjakan soal, toh bukan hal yang baik ngobrol disaat ujian?
“Oe,
kaku banget lu, nama lu siapa? Bisa bantuin gue?” bisik Mitha lagi sambil
melihat nama saya di lembar jawaban saya.
Saya
melirik Mitha, ia menujuk-nunjuk kertas soalnya. Saya melihat sekilas, sama
seperti tiga sekawan tadi, jawabannya masih bersih belum satupun nomor ia
jawab, bahkan tak banyak coretan di kertas coretan. Saya heran, ini cewek
kerjaannya ngapain aja dari tadi, ngekhayal apa tidur. Waktu udah berjalan satu
jam, tapi belum satupun soal yang ia kerjakan. Sedangkan waktu tinggal 30 menit
lagi.
“Kenapa?”
jawab saya singkat.
“Bantuin
kerjain soal gue dong, please Dri, yah?”
Saya
melihat soal Mitha, saya rasa ada beberapa nomor yang saya bisa kerjakan.
Namun, percayalah di dunia ini gak ada yang gratis, ya kecuali napas sama buang angin. Saya memiliki ide di kepala saya.
“Gimana
kalo kita buat kesepakatan?”
“Kesepakatan?
Gimana maksud lu?” Mitha terheran.
“Gini
gua kerjain beberapa nomor yang gua bisa kerjain, tapi gua juga mau minta
tolong sama lu.”
“Apaan
tuh?”
“Nanti
salamin gua ke Uland yah, tanyain kapan gua bisa ngomong sama dia?”
Mitha
langsung menahan ketawanya, ia menutup mulutnya dengan tangannya. Lalu berkata.
“Hahaanjir,
gue kira apaan.. lu suka sama si Uland? Oke ntar gue salamin, gampang itu. Udah
buru bantuin gue.”
“Bener
ya?”
“Elah
ni anak, iye..”
Saya
pun membantu mengerjakan soal Mitha, Meski saya sedikit bingung dengan
pelajaran Fisika kelas 12, saya tidak peduli, benar atau salah gak masalah, toh
saya cuma disuruh ngerjain aja kan? Gak ada tuntutan harus bener atau salah. Hesteg Thug Life.
Saya
melihat Mitha ia tampak fokus dengan ponselnya, sedangkan soalnya saya yang
kerjakan. Setelah saya membantu Mitha, saya menyelesaikan soal yang belum
selesai. Waktu tinggal 10 menit lagi, beberapa sudah ada yang mengumpulkan kertas
ujian, kepanikan mulai terasa untuk siswa yang belum selesai ketika melihat
teman-temannya satu-persatu keluar meninggalkan ruangan.
“Dadah,
aku duluan yah, ahaha.”
“Eh
kasih tau gua dulu dong jangan udahan dulu, gua belum nih parah.”
“Kasian
deh.”
Keganasan
mulai semakin terasa, yang tadinya bisik-bisik tetangga kini berubah menjadi
saling adu omongan. Sampai pengawas menyuruh tenang dan diam. Ketika saya
selesai saya melihat trio penggambar manga anime tadi dengan santainya selesai
bersamaan.
Bagaimana
bisa mereka selesai tanpa melihat dan menyentuh kertas soal? Apakah mereka
putus asa dan mengerjakan asal saja? Saya rasa raut wajah mereka tidak
menandakan semua hal itu. Raut wajah yang santai dan sombong.
Rahasianya
saya ketahui setelah ujian di hari ketiga. Ternyata mereka sudah janjian
terlebih dulu dengan para dewa penyelamat untuk membagikan jawabannya kepada
mereka melalui sms, satu orang bertugas sebagai penerima pesan sms anggap saja
si Firdy lalu menyalinnya dengan menandai dengan titik setiap pilihan ganda
yang ada—memang
ujian akhir semester ini tidak ada soal esai, semuanya pilihan ganda—kemudian jawaban disalin kedua temannya yang lain.
Hebatnya mereka mengerjakan di 5 sampai 10 menit terakhir sebelum waktu ujian
selesai tanpa diketahui pengawas. Selama menunggu pesan tersebut mereka
menggambar manga anime sebagai pengulur waktu.
Kertas
coretan tersebut yang keren dengan gambaran manga nyaris seperti komik
diberikan ke junior, judulnya “Kemal VS Firdy”. Lalu Adit, anak bawang. Begitu
kata mereka sambil tertawa. Sungguh skill menyontek yang gila dan berisiko.
Pertemuan
dengan Uland
“Gimana Mit,
Uland? Gua bisa ngomong sama dia?”
“Gue udah
salamin lo ke Uland, dia cuma bilang. ‘oh, yaudah ngomong aja’ gitu,” ujar
Mitha dengan bibirnya yang so seksi.
“Gitu doang,
gak ada ekspresi gimana gitu?”
“Emang lo
pikir Uland bakal gimana, jingkrak-jingkrak kek topeng monyet? Haha.”
Memang
hal yang wajar jika belum kenal, seorang perempuan sangat dingin ketika
mendapat salam dari seorang laki-laki asing, apalagi orang macam Uland.
“Oe, Dri.
Bantuin gue ngerjain soal lagi dong. Hehe.”
Sial.
Dalam hati. Lama kelamaan ini senior kurang asem. Masa setiap mapel saya yang
ngerjain soal dia. Mana saya banyak yang gak ngerti lagi. Lagi-lagi saya gak
peduli benar atau salah jawaban dia.
“Kali
ini coba lo mulai deketin Uland, ngomong pelan-pelan. Jangan cuma ngeliatin
doang, ntar dilalerin loh, gimana mau deket.”
Saya
mendengar ucapan Mitha. Saya rasa ada betulnya juga, sudah saatnya untuk
memberanikan diri berbicara langsung, selama ini saya hanya memandangnya saja,
makanya kurang berhasil. Uland pun tampak tak banyak peduli jika ada yang
melihat dan memerhatikannya.
“Gimana
caranya gua ngomong sama Uland, Mit?”
“Elah
ini bocah. Masa iya mesti gue ajarin juga.. hhh”
“Bukan
maksud gua teh..”
“Apa
tong? Udah lo todong aja dia jegat gitu pas balik, atau lo culik aja sekalian
anak orang haha.”
Inilah
sosok Mitha yang sesungguhnya, frontal dan blak-blakan, sangat berbeda sekali
dengan Uland yang kalem dan gak banyak bicara.
Seusai
ujian, saya memberanikan diri untuk langsung menemui Uland. Ia tampak sedang
duduk di koridor kelas, membuka tas dan hendak meminum air yang ia bawa dari
rumah. Saya sudah mempersiapkan semua percakapan nanti dengan Uland, saya tahu
harus bicara apa dan bertanya apa semuanya seperti rumusan di kepala saya yang
siap tempur.
Saya
perlahan mendekati Uland dan duduk di sebelahnya.
“Hai,
Uland yah? Gua mau bilang...” saya berhenti bicara.
“Iya,
ada apa?” jawab Uland.
Saya
melihat Uland. Seketika saya membeku seperti es, sulit berkata-kata. Sungguh
Uland sangat lucu, pujian itu mewakili semua pujian seperti cantik, manis, atau
apalah. Saya tidak dapat mendefinisikan apapun, tingkat lucunya tak bisa
terukur. Ia memakai antik kecil mungil, ia sedikit tersenyum dan itu renyah
sekali. Dia baru saja membius saya. seketika membuat saya terhipnotis.
“Hei,
kamu gak apa-apa?” tanya Uland.
“Oe,
lagi ngapain lo?” Mitha tiba-tiba datang dan menepuk pundak saya. saya langsung
panik. Dan langsung meninggalkan mereka berdua.”
“Gua
duluan yah..”
“Dia
kenapa Lan?”
“Gatau,
aneh.”
Hujan dan percakapan di Sore hari
Entah
kenapa saat itu saya sangat bodoh sekali, seperti bukan saya yang biasanya.
Bertingkah panik, gugup, dan gak jelas. Sungguh Uland tidak hanya membuat saya
lupa akan luka hati saya sebelumnya, namun juga merubah saya dengan seketika.
Beruntung, sikap saya tidak terulang kembali. Sungguh betapa malunya saat itu.
Ujian
di hari terakhir saya tidak juga memberanikan diri di hadapan Uland. Bahkan
hari itu terakhir saya satu kelas dengan Uland. Saya pulang tanpa berpamitan
pada siapapun, saya menikmati rintik hujan di gerbang sekolah. Saya menatap
langit, berharap hujan ini menghapus sisa-sisa luka di diri saya. Saya
membiarkan separuh tubuh saya ditetesin butir-butir itu.
Hujan
malah semakin deras, saya berlari menuju tempat teduh, dan tak ingin buku dan
teman-temannya basah. Saya masih membutuhkan mereka hingga akhir sekolah.
Mereka yang menemani saya ketika sedang sedih dan sendiri. Pelajaran selalu
menghibur saya dari dunia luka karena percintaan.
Saya
memeluk erat tas ransel dan menuju samping ruko depan gapura jalan sekolah.
Hujan tak memberi saya untuk pulang lebih awal. Lalu memeriksa tiap bagian isi
tas, beruntung buku dan yang lain masih terselamatkan. Siswa-siswa yang lain
tampak berlarian menepi di tempat aman hanya untuk meneduh dari hujan. Beberapa
ada yang langsung naik angkutan kota dan beberapa dijemput orangtua mereka
menggunakan mobil atau naik motor dengan jas hujan mereka. saya tidak
mengendarai motor, saya sedang ingin naik angkutan kota.
Saya
sedang menikmati suasana tenang ini, tiba-tiba seseorang berbicara kepada saya.
“Hei,
kamu yang kemarin kan?”
Saya
melihat orang di samping saya berteduh. Saya sedikit terkaget. Uland sedang
bersama saya. Sejak kapan Uland ada di sana. Saya tidak menyadarinya. Saya
berusaha untuk tidak panik. Kali ini saya berhasil menenangkan diri. Karena
sedari tadi suasana hati saya sedang sayu.
“Iya,
eh Uland,” saya menjawab tanpa gugup.
“Kok
kamu tau nama aku?”
“Hmm..”
saya memalingkan pandangan ke arah hujan, “aku selalu merhatiin kamu.”
Saya
melihat Uland. Raut wajah yang heran dengan perkataan saya. Ia berhenti
bertanya, begitupun saya. Hujan mengiringi sela-sela percakapan kami.
“Waktu
itu kamu mau bilang apa?”
“Maaf
kalo saat itu aku gak sopan, langsung pergi gitu aja.”
“hahah..”
Uland tertawa. Hal yang kali pertama saya melihatnya tertawa. Saya nyaris
menilai Uland itu adalah cewek yang jutek karena saya jarang melihat ia
tersenyum apalagi tertawa. Ternyata Uland tidak seperti yang saya pikirkan
ketika hanya melihatnya dari jauh.
Uland
melanjutkan, “Yaa. Kamu aneh.”
“Aku
cuma gugup aja, tiba-tiba jadi panik saat Mitha datang.”
“Aku
mau nanya deh, kamu ngerjain soalnya Mitha yah?”
Ternyata
Uland tahu kalau setiap ujian saya suka membantu mengerjakan soal ujian Mitha.
Mungkin Mitha yang cerita ke dia.
“I..Iya
abis aku gak tega ngeliat dia belum satu soalpun dikerjain.”
“Dasar
Mitha.. tapi kok, kamu emang ngerti pelajaran kelas 12?”
“Ya
ada yang ngerti ada yang engga, toh aku suka latihan soal UN, tentunya
pelajaran kelas 12 juga aku kerjakan kan.”
“Wah
berarti kamu pinter dong,” Uland tersenyum.
Mendengar
Uland memuji saya, seketika saya sembuh dari luka-luka hati. Saya sangat senang
ketika Uland berkata demikian. Saya tersipu malu. Namun saya tidak
menunjukannya.
“Ah..
Engga juga, hehe.”
Saya
curiga. Jangan-jangan Mitha banyak cerita kepada Uland, masalahnya Mitha kadang
suka berlebihan ketika cerita yang hendak disampaikan. Karena karekternya itu,
yang blak-blakan. Saya melanjutkan bicara.
“Mitha
cerita yah?”
“Iya.”
Aduh.
Saya takut Mitha ngomong yang macem-macem saat kesepakatan kami di ruang ujian.
Uland
melanjutkan, “Kata Mitha, kamu nitip salam buat aku?
Aku
hanya tersenyum kepada Uland.
“Aku
boleh cerita?” Kata Uland.
“Iya
silahkan.”
“Baru
kali ini, ada cowok yang suka merhatiin aku, nitip salam terus malu-malu pula.”
Uland melihat saya, saya memalingkan pandangan ke hujan. Uland melanjutkan, “Anak-anak
kelas bahkan gak banyak tau tentang aku, ya aku gak banyak ikut berbaur sama
kelakuan mereka yang.. kamu tau kan? gitu deh. Paling cerita sama Mitha atau
sama anak-anak yang kalem. Kamu kenapa suka merhatiin aku?”
Waktu
tak terasa, percakapan kami semakin seru dan semakin akrab, saya beruntung bisa
kenal Uland, ternyata sikapnya gak sedingin yang saya pikirkan, Uland orangnya
menyenangkan, kami bercerita sampai lupa bahwa hujan sudah mereda. Saking
asyiknya. Terkadang tertawa mencairkan suasana. Rupanya Uland sudah mau pulang.
“Hujannya
udah reda ya, Kayanya aku langsung pulang.”
“Iya,
aku juga.”
“Eh
btw. Kamu ko curang sih !” tegur Uland. “Kamu udah tau nama aku, kok gak kasih
tau kamu siapa.”
“Panggil
aja, Andri.”
“Oke.
Oiya kamu belum bilang waktu itu mau bilang apa sama aku?”
“Aku
mau bilang, makasih ya Uland.”
“Makasih
buat apa?”
“Karena
kamu.. Luka hati saya sembuh.”
Uland
terdiam. Tidak berkata apa-apa lagi, Ia hanya tersenyum sambil berpamitan
pulang. kami menaiki angkutan kota yang berbeda arah tujuan. Sore itu hujan
mempertemukan saya dengan perempuan lucu itu. Saya berharap setiap pulang
sekolah turun hujan.
Saya,
Uland, dan Mitha
Saya
kembali ke kehidupan kelas 11, meski pelajaran sudah tidak ada lagi, namun guru
masih masuk untuk memberikan hasil ujian kemarin dan memberi kesempatan kepada
siswa yang nilainya tidak memenuhi standar kelulusan. Saya dan teman-teman
tentunya harap-harap cemas ketika menunggu hasil ujian. Ada banyak yang
mendapat nilai bagus dan tidak sedikit pula yang mendapat nilai yang tidak
lulus. Padahal ini adalah ujian kenaikan kelas.
Saya
dengan ketiga teman saya mendapat nilai yang cukup bagus dan memuaskan. Saya
bersyukur ternyata belajar sungguh-sungguh akan mendapatkan hasil yang sungguh
pula.
Sudah
tiga hari saya tidak bertemu Uland sejak percakapan kami sore itu. rasa rindu
mulai menyerang hati saya. Apa benar saya merindukan Uland? Saya menunggunya di
gerbang sekolah namun, Uland tidak ada. Akhirnya saya menunggu di gapura tempo
lalu. Uland pun tak kunjung ada, apa dia sudah pulang duluan.
Lagi-lagi
seseorang menepuk keras pundak saya. Betul saja, kelakuan si Mitha.
“Oe,
Bro, ngapain di sini sendirian? Nungguin Uland yah?” Mitha meledek saya.
“Engga,
gua cuma..”
“Alah..
cuy. Masih aja lu boong. Nih Uland.” Uland berada di belakang Mitha.
“Kenapa
Dri?” tanya Uland.
“Ada
yang kangen sama lu gitu Lan.” Mitha melanjutkan, “kebaca banget bro. Ahaha”
Saya
hanya terdiam. Saya diskakmat oleh manusia frontal itu. Mitha mengajak saya
untuk makan bareng di depan ruko. Kami pun hendak makan siang ketoprak.
“Nilai
gue keren-keren dong, semua ini dibantuin juga sama brader Andri. Haha thanks
ya bro. Nilai lu gimana Lan?” Mitha membuka obrolan.
“Wah
dasar si Mitha. Bagus deh, aku juga nilainya baik, cuma ada beberapa yang
pas-pasan,” ujar Uland.
“Ya
lo, ujian sendiri mulu. Gue aja yang gak belajar dapet nilai bagus,” tukas
Mitha.
Saya
mendengarkan percakapan mereka. saya hanya tersenyum saja. Bagi saya melihat
Uland sudah mengobati rasa rindu saya kepadanya. Mitha mulai menggoda saya.
“Oe,
senyam senyum mulu lo, udah ngapain aja lo sama Uland?”
Pertanyaan
macam apa itu. Dia pikir saya sering bertemu dengan Uland.
“Engga,
apaan sih Mit. Waktu itu gua cuma ngobrol yah sama Uland. ”
“Cie..
Gimana Lan? Nih anak udah nembak lo? Diterima gak?”
“Apaan
sih Mitha, ngaco deh.”
Mitha
mulai dengan tertawa jahatnya. Rasa usilnya sangat kental bahkan saya belum
lama kenal dengan Mitha, dia sudah mengejek saya sampai skakmat. Saya tidak
menyangka kenal dan satu meja dengan orang itu. Uland tampaknya tak menanggapi
omongan Mitha dengan serius, ia tahu bahwa Mitha memang suka berbicara seperti
itu. Saat kami makan ketoprak, sesekali saya melihat Uland, dan Uland pun
sesekali melihat saya. Mitha malah asik dengan ketopraknya.
Kami
pun selesai makan dan hendak pulang. Tak banyak kata-kata berpamitan di antara
kami. Saya pun tkali ini tak banyak berbicara dengan Uland karena saya takut
ada sambaran dari Mitha yang frontal. Perasaan suka mulai tumbuh dan berkembang
kepada Uland. Sosok yang dulu hanya bisa saya kagumi karena berhasil
menyembuhkan luka-luka saya, kini saya merasa nyaman dan tidak lagi canggung
jika bertemu dan berbicara dengan Uland. Meski seperti biasa, saya tidak mudah
menemui Uland, saya selalu menunggunya saat pulang sekolah.
Class Meeting
Sebelum
kenaikan kelas, sekolah selalu mengadakan class
meeting bagi setiap kelas untuk berlomba dan beradu di bidang olahraga, saya
mengikuti class meeting itu sebagai pasukan
sepakbola, dan pasukan basket 11 IPA 4. Kami menghadapi turnamen antar kelas
dari mulai kelas 10 hingga kelas 12. Bertanding dan berkompetisi untuk menjadi
juara.
Ada
sesuatu yang mengganjal di hati saya. Saya ingin bertemu dengan Uland, namun
saya tidak bisa meninggalkan skuad kelas saya. Meski saya dan Uland tidak
membuat janji untuk bertemu, namun perasaan kami menginginkan untuk bertemu. Dengan
jadwal class meeting yang padat,
rasanya saya sulit untuk bisa menunggu Uland. Sedangkan dia kemungkinan juga tidak
menunggu saya. saya takut menghilangkan kesempatan saya untuk dekat dengan
Uland. Terlebih saya sudah memulai untuk bersama dia. Sayapun tidak pernah
mengontek dia lewat ponsel.
Akhirnya
saya terpaksa memilih untuk mendukung kelas saya hingga menuju semi final,
meski kami tidak berhasil menjadi juara, kami sudah berusaha dan berjuang sebaik
yang kami bisa.
Sudah
hampir sebulan saya tidak bertemu dan melihat Uland. Saya tahu bahwa kelas 12
kini sudah ada pengumuman kelulusan sekolah pekan lalu. saya mencari tahu
tentang Uland, bahkan saya menanyakannya kepada teman satu kelasnya, yaitu Firdy.
“Firdy,
lu sekelas sama Uland? Lu tau si Uland masuk atau engga?”
“Hah,
si Renny? Kurang tau gua, setau gua kelas 12 udah gak ada kegiatan lagi setelah
kelulusan, selain class meeting
kemaren. Gua gak liat dia masuk.”
Mungkin
Uland beberapa hari ini tidak ke sekolah karena memang kelas 12 sudah tidak ada
kegiatan akademik lagi. Mereka yang masih ke sekolah itu, hanya untuk janjian
dengan teman, mengikuti class meeting,
dan sekedar nongkrong. Melihat Uland tidak terlalu berbaur dengan kelasnya,
bisa dipastikan ia tak banyak mengikuti class
meeting kelasnya.
Kemana
saya harus mencari Uland, sedangkan Mitha saya tak lagi melihat batang
hidungnya. Harusnya memang saat itu saya bertemu dulu dengan Uland, membuat
janji atau waktu bertemu. Jika seperti ini, luka-luka saya mulai kembali hidup.
Saya menyadari rasa cinta mulai tumbuh di hati bersama rasa sedih.
Pertemuan
Terakhir
Luka-luka
lama memang sudah sembuh, namun bekas-bekasnya menumbuhkan luka-luka baru
seperti spora jamur yang tumbuh kemudian berkoloni, membelah menjadi beberapa
sel hingga membentuk jaringan yang semakin besar.
Satu-satunya
yang bisa mencegah itu semua adalah Uland. Saya harus bertemu Uland, menyatakan
semuanya kepadanya, rasa terimakasih saya, juga perasaan saya. Perasaan dan
firasatnya tidak menentu karena Uland tidak juga mencari saya. Memang saya
bukan siapa-siapa, tidak ada urusannya lagi.
Apakah mungkin sebuah perasaan cinta tidak bisa merasakan keberadaan
satu sama lain?
Saat
hendak pulang saya melihat Uland, ia hendak berjalan menuju gerbang sekolah. Saya
dengan cepat langsung mengejar dan memanggil Uland. Ia pun berhenti dan melihat
saya sedang berlari ke arahnya.
“Uland?
Tunggu.”
“Andri,
ada apa?”
“Kamu
kemana aja Lan, kamu gak ke sekolah lagi?”
“Ya.
Berhubung udah gak ada kegiatan sekolah lagi tinggal mengurusi berkas-berkas
kelulusan aja.”
Saya
melihat Uland. Saya tidak melihat dia yang kemarin-kemarin. Ekspresi dan
suasananya berbeda ketika bertemu lagi dengan saya. Tidak seperti
sebelum-sebelumnya yang penuh senyum dan tawa.
“Aku
pengen ngomong sesuatu,” saya memberanikan diri untuk berbicara dengan Uland.
“Apa?”
Singkatnya.
Saya menarik
napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “Jujur, udah lama aku suka sama
kamu.”
Uland
terdiam sejenak, mulutnya membuka seperti ingin mengatakan sesuatu namun tak
jadi.
“Hemm..”
senyumnya hilang seketika.
“Ada apa?”
“Kenapa kamu
baru bilang?”
“Bukankah
lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”
“Bukan soal
itu..” Uland menegaskan.
“Kamu gak
suka sama aku?”
Uland
terdiam lagi sambil memalingkan pandangannya dari saya.
“Kamu
harusnya bisa melihat keadaan, sesuatu terkadang berubah tidak seperti apa yang
kita inginkan. Keadaan kemarin tidak lagi sama dengan hari ini, mungkin juga
esok hari.”
Uland
hendak meninggalkan saya. lalu saya memanggilnya lagi. Saya tidak akan
menyerah.
“Uland..”
“Aku udah
sama yang lain.”
Kini saya yang
terdiam. Melihat mata lucu Uland. Seolah waktu berhenti berdetak bahkan saya
nyaris tak merasakan degub jantung lagi.
“Aku
kasih tau yah,” Uland melanjutkan, “cinta itu memang tak terikat oleh waktu,
tapi perempuan sangat terikat oleh waktu. Saat kamu membiarkan seorang
perempuan menunggu, itu artinya kamu memberi kesempatan kepada lelaki lain
untuk mendekati perempuan itu.”
“Aku kira
aku masih memiliki kesempatan.”
“Kesempatan
itu ada, tapi kamu melewatkan kesempatan itu.”
Tiba-tiba
sesuatu mengalir dari mata saya,”kamu tau, susahnya aku buat dapetin hati kamu
itu kaya gimana?”
Saya
melanjutkan, “Bagi laki-laki, buat menarik hati perempuan itu gak semudah yang
mereka pikirkan, perempuan itu seperti tulang rusuk, saat kita paksa
meluruskannya maka akan patah, dan jika dibiarkan maka akan terus bengkok.
Meski demikan, laki-laki melakukannya dengan tabah dan tidak menyerah. Hingga
akhirnya aku tau aku akan kalah dengan orang lain.”
“Jika sudah
tau akhirnya akan seperti itu, kenapa kamu tetap melakukannya, bukankah itu hal
yang sia-sia?”
“Mungkin
ini memang bukan jalan yang terbaik untuk aku berharap bisa bersama-sama dengan
kamu. Setidaknya aku sudah berusaha untuk mendapatkan cinta kamu. Meski pada
akhirnya Tuhan berkata lain. ”
Hari
itu hari terakhir saya bersama Uland. Entah Uland akan melanjutkan kuliah atau
bekerja. Yang pasti perempuan yang saya tahu dari dulu ia tak pernah ada laki-laki
yang mendekatinya, kini sudah bersama orang lain.
“Sekali
lagi aku berterimakasih padamu, kamu tidak hanya menyembuhkan luka-luka lama
aku, kamu juga berhasil membuat aku jatuh cinta padamu, dan di saat yang sama,
kamu membuat luka baru untukku.” Itu adalah kata-kata terakhir yang bisa saya
ucapkan kepada Uland.
Menurut
saya, kisah cinta akan benar-benar terasa saat melewati sebuah proses,
perjuangan dan kesabaran. Dari situlah kita akan tahu, pahit manisnya sebuah
cinta. Seharusnya luka-luka saya membaik dan sembuh, namun Uland membuatnya menjadi
semakin lebar, luka baru yang membuat saya semakin patah hati. Saya lebih
merasakan luka-luka karena tidak pernah bisa bersama orang yang sudah membuat
saya sembuh dari luka-luka hati sebelumnya, daripada seseorang yang pernah
mengisi hati saya.
Kini
rasa penolakan itu sangat kental bernaung di sepasang mata. Sesuatu yang tak
ingin lagi ia lihat. Dan sesuatu yang tidak bisa lagi saya lihat.
Saya belum cerita bahwa sejak kapan
saya mengagumi Uland?
Semenjak
saya berada di kelas 11 dan lalu saya sudah berada di kelas 12, selama dua
semester itulah saya menjadi pengagumnya dan berharap bisa mengucapkan
terimakasih karena telah menjadi obat untuk penyembuh luka hati saya. Ya, saya
sudah mengucapkannya dia pun sudah mengetahuinya, namun perasaan cinta saya,
tak bisa diterimanya.
Mungkin
saya terlalu banyak berharap. Sesuatu yang terlalu berharap banyak, tidak akan
mendapat hasil yang diharapkan, karena kita tidak melihat sesuatu itu dengan sebuah
proses dan kenyataan yang ada. Waktu adalah sesuatu yang bisa merubah keadaan
dan kenyataan tersebut. Sama seperti yang Uland katakan.
Namun,
untuk urusan cinta saya kurang setuju. Cinta yang benar-benar cinta tidak
pernah punya alasan apapun untuk tidak menerima, bagaimanapun rintangannya,
berapa lamapun waktunya, seberapa beratpun ujiannya, cinta selalu menemukan
jalannya, jalan untuk mempersatukan. Dan itu bukan hanya keajaiban.
Hingga
di akhir cerita, saya tidak pernah bisa bersama senior lucu saya itu. lagi-lagi
saya mendapat pelajaran yang berharga. Tidak hanya pelajaran akademik,
percintaan juga. Luka-luka kali ini semakin membuat saya tegar, saya sudah
terbiasa dan bersahabat dengan mereka, layaknya hewan peliharaan, tanpa
luka-luka tersebut saya mungkin bisa lupa diri dan tidak menjadi diri saya
sendiri. Luka-luka itu mengajarkan saya untuk tetap sabar dan selalu rendah
hati. Bisa menerima kenyataan dan berusaha menjadi yang terbaik.
Sore
itu.. hujan kembali turun. Saya tak lagi melihat Uland meneduh.. bahkan saya
lupa pernah berada di sana bersamanya.. semua itu rasanya seperti mimpi. Mimpi yang
tidak akan pernah menjadi nyata.
Seseorang
memanggil saya..
“Oe,
men balik engga?”
“Oy,
tungguin.” Saya berlari menuju angkutan kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar