Dia
adalah entitas yang tak pernah ingin aku temui di dalam kata-kata.
Aku
ingin pulang ke rumah lalu membuka diary dimana kamu pernah bersemayam cukup
lama di sana. Meski pada akhirnya, semua hanya menjadi debu-debu.
Aku
membuka diary.
Aku
cukup rindu saat melakukan pencarian kamu kemana-mana. Bahkan ketika aku pulang
dan menemukan diary yang sudah nyaris tak berbentuk diary lagi. Kata-kata di
sana, goresan pena, dan bercak-bercak memberitahukan semuanya kepadaku. Meski
kamu pernah bersemayam di sana, kamu tak lagi menjadi kenangan atau hadiah masa
lalu. Ada sosok yang membuatnya berubah, dia.
Ketidaksepakatanku
perihal “dia.”
Jujur
rasanya aku sama sekali tak ingin menceritakan hal ini dalam bentuk cerita,
kisah, syair, atau apapun. Semua hal berbau dia rasanya membuat gairahku lenyap
begitu saja. Kalau bukan karena kamu, sebenarnya aku tak ingin membahas dia. Aku
tak ingin dia berada dalam jejak penjelahanku mencari kamu.
Bagaimanapun
tidak ada kesepakatan saat kamu tak lagi bersamaku, kamu memilih bersama dia.
Aku tahu kamu dulu tidak pernah berpikiran seperti itu, kita sama-sama tidak
sepakat akan kehadiran dia. Kita sama-sama tidak ingin ada orang lain di antara
kita. Namun, mungkin sekarang lain cerita ketika kamu tiba-tiba saja menghilang.
Dia
adalah salah satu alasan aku kehilangan kamu.
Ada
sesuatu yang membisikan ke telingaku bahwa kamu berada di tempat dia berada.
Kamu tahu, rasanya aku tak ingin percaya begitu saja saat ada kabar burung yang
mengabarkan berita seperti itu. Aku yakin padamu, kamu tidak mungkin
mengkhianati kesepakatan kita.
Ketika
kita biasa makan ketoprak depan sekolah dulu, aku melihat kamu bahagia. Namun,
semua itu tiba-tiba saja lenyap, saat dia datang dan mengajakmu makan di resto
mewah. Kamu menuruti dia, seolah-olah kamu dibius untuk menuruti perkataannya.
Kamu pergi bersamanya, kamu meninggalkan aku bersama sepiring ketoprak yang tak
habis.
Esoknya
aku mentraktir kamu ketoprak setengah harga lagi, namun kamu bilang, “Maaf ya, kayanya aku gak makan ketoprak lagi.”
“Kenapa?
Kali ini aku bisa traktir kamu satu porsi kok.”
“Bukan
seperti itu, maksudku.. sudahlah.”
Aku
tidak melihat kamu seperti biasanya. Semenjak dia sering mengajakmu, kamu
perlahan menjauh dari ku. Sebenarnya, aku tidak keberatan jika ada dia bersamamu.
Tapi akan sangat membuatku sedih jika pada akhirnya aku kehilangan kamu.
Aku
melihat kamu dari hari ke hari, memiliki sikap yang aku tidak kenal. Sikap itu
yang selalu tidak menyukaiku. Sikapmu yang sangat baik padaku, kini dia yang
mendapatkannya.
Aku
melihat kamu untuk kali terakhir, sebelum kamu menghilang.
Kamu
ingin aku jangan menemuimu lagi. Kamu bilang, tak ada lagi pulang bersama, tak
ada lagi makan ketoprak, tak ada lagi menjahili pak satpam, tak ada lagi jajan
di saat jam kelas, dan tak ada lagi cerita tentang rintik hujan.
Dia
sudah menggantikan posisi aku bersama kamu. Posisi yang kamu anggap lebih baik
dia yang berada bersamamu daripada aku. Dia yang akan mendengarkan keluh kesah
ceritamu, cerita Harry Potter atau puisi-puisi Sapardi. Kamu tak ingin lagi
bercerita semua itu kepadaku, mungkin aku terlalu membosankan.
Aku
selalu bertanya kepadamu alasan kenapa kamu ingin bersama dia saat itu daripada
aku? Aku tak mendengar sepatah kata keluar dari mulutmu. Hal yang tak ingin aku
dengar adalah, dia yang menjawab pertanyaanku.
“Aku lebih baik daripada kamu dan
aku lebih pantas bersama dia daripada kamu.”
Demi
apapun aku tak pernah sudi berbicara dengan orang yang telah membuatmu pergi
dariku. Rasanya ingin ku tonjok mulutnya itu agar separuh giginya rontok, atau
setidaknya agar tidak berkata seperti itu lagi.
Aku
tidak habis pikir bagaimana orang seperti dia lebih kamu bela daripada aku. Mungkin
dari situ aku sadar, harusnya memang aku tak bersama kamu.
Tapi,
bagaimana bisa? Rasa cinta kepadamu sudah tertanam jauh sebelum kehadiran dia
di antara kita. Bahkan saat ini kamu hilangpun aku masih mencarimu. Di
tempat-tempat yang aku tak kenal sekalipun, aku sanggup menjelajahinya.
Dia
bukan hanya orang ketiga.
Orang
yang menyebabkan kamu hilang dan aku orang yang paling sedih saat kehilangan
kamu. Aku takut kamu tak lagi berada di Bumi. Semesta sudah menyembunyikan kamu
dari ku. Mereka semua membutakanku akan pencarian kamu. Namun aku tak pernah
putus asa, sesuatu memberiku semangat bahwa aku harus bertahan.
Bagaimana
caranya aku bisa memaafkan orang seperti dia? Sudah menghancurkan kesenangan
aku bersama kamu, membuat kamu hilang, sekarang dia tak peduli atas
perbuatannya. Untuk saat ini mencari kamu lebih penting daripada mengurusi orang
macam dia. Biar saja, semesta mengirimnya ke planet Mars, agar tahu diri, dan
merasakan hidup seorang diri tanpa ada orang lain.
Dia
bilang, kamu tak lagi mencintaiku seperti dulu.
Aku
sudah pernah bilang, apapun yang dia bicarakan aku tidak pernah ingin
mendengarnya. Aku tidak khawatir saat dia bilang seperti itu. Bagiku itu hanya
omongan orang pengecut yang tak pernah mengerti arti perjuangan cinta. Yang aku
khawatirkan adalah kata-kata itu kamu ucapkan sendiri kepadaku.
Kamu
singgah di tempat yang aku tak kenal.
Ketika
dalam pencarianmu, aku sempat mengenalimu lewat sesuatu, yaitu dia. Bagaimana
bisa aku menemuimu di tempat kisah-kisah keseharian dia. Jika aku kesana, sama
saja aku bunuh diri, kata-kata di sana dipastikan akan membenciku dan
mengusirku. Dia tak membiarkanku mengunjungimu di dalam kesehariannya. Aku juga
tak membiarkanmu berada cukup lama di sana.
Di
sana bukan tempatmu, kamu akan tersakiti jika berada terus menerus di
kehidupannya. Itu adalah hal yang lagi-lagi tak ingin aku saksikan setelah aku
kehilangan kamu. Lantas bagaimana caraku menyelamatkanmu?
Aku
ingin menyelamatkan kamu dari dia.
Jika
tugasku sekarang adalah pengumpul dan penjelajah kata-kata, aku akan pergi
menelusuri kamus-kamus dan ensiklopedia untuk menghilangkan segala macam yang
berhubungan dengan dia, he, him, atau dia dalam bahasa apapun.
Karena selama dia masih ada di antara kehidupan kamu, aku tidak akan bisa
menemukan kamu.
Bahkan
novel-novel yang pernah kamu ceritakan kepadanya akan ku jelajahi. Meski kamu
belum sepenuhnya aku temukan aku ingin memastikan kamu dalam keadaan baik-baik
saja.
Kamu
sakit.
Aku
adalah entitas pertama yang akan menemuimu ketika mendengar kamu sedang sakit. Aku sempat sedih saat aku tahu orangtuamu
malah memberitahu dia daripada aku. Dan kenapa aku harus mendengar kabar kamu
sakit dari orang lain.
Dia
memberimu banyak hadiah ketika kamu sakit, buah-buahan, makanan, kue, dan
lain-lain. Aku hanya bisa memberimu setangkai bunga. Ya aku tahu, itu pun kamu
tidak menyukai bunga. Tapi kamu pernah berkata kepadaku bahwa aku tak perlu
membawa apa-apa ketika kamu sakit. Kehadiran diriku sudah cukup membuat kamu
senang.
Kardus
kenangan.
Kamu
memberikan hadiah-hadiah yang dulu pernah aku berikan kepadamu. Foto-foto kita
dan boneka beruang kecil yang aku dapatkan saat di pasar malam. Semuanya kamu
berikan kepadaku dalam kardus coklat yang kusam. Kamu ingin aku membawanya dan
jangan pernah diberikan lagi padamu. Kamu tahu rasanya barang-barang itu
menangis, mereka basah. Aku membawanya pulang di bawah guyuran hujan.
Aku
tidak pulang ke rumah saat itu. Aku berdiam diri di depan sungai di bawah
jembatan. Tadinya aku ingin menghanyutkan kardus itu. Namun rasanya hatiku tak
merelakannya. Akhirnya kardus itu aku letakan di sudut kamarku bersama tumpukan
bunga yang sudah layu. Entah kardus itu dibuka lagi atau akan dibuang begitu saja.
Karena tak lama lagi aku akan pindah rumah. Aku tak tega untuk membuang
semuanya, biarkan rumah itu menyimpan kenangan saat aku pernah dengan cukup
lama berdampingan denganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar