Kamu
adalah entitas yang aku cari dalam kata-kata.
Saat
kisah yang aku ceritakan tempo lalu—tentang
penjelajahan lembaran-lembaran halaman buku dan ingatan orang—aku menemukan kisah yang
membuatku berhenti sejenak, kisah yang membahas tentang, kamu.
Ini
bukan tentang aku, ini tentang kamu.
Sebelumnya
aku ingin flashback tentang kamu. Aku menemukan kamu dalam kumpulan orang-orang
yang juga sedang menemukan kamu. Rasanya mudah sekali menemukan kamu, namun
sulit untuk mendapatkannya. Aku bukan satu-satunya orang yang ingin menemukan
kamu, orang-orang itu juga, para pesaing.
Mereka mungkin ingin mendapatkan kamu setelah menemukan kamu. Namun
bagiku, kata “mendapatkan” terdengar sombong dan arogan. Aku tidak ingin
menjadi seperti itu, nantinya aku malah menjadi keras kepala dan tidak tahu
diri. Aku lebih suka menggantinya dengan “bersamamu,” aku ingin bersamamu.
Bukankah terdengar lebih romantis?
“Cinta
itu gak gratis.”
Mendengar
kalimat itu aku bingung namun hingga akhirnya aku setuju. Ada seseorang yang
mengucapkan kalimat itu, aku lupa. Dari kalimat itu, pasti ada sesuatu yang
berbayar, seperti dibayar dengan uang, prestise, atau popularitas. Namun, aku
tidak mampu untuk membayar dengan hal itu, aku hanya seorang yang menjelajahi
kata-kata. Mungkin aku hanya bisa membayar dengan kata-kata. Aku bayar dengan
kata-kata “aku cinta padamu.”
Bagiku,
kata-kata tidaklah cukup untuk membayarnya. Kata-kata terdengar instan ketika
membayar cinta begitu saja. Aku yakin, perempuan di dunia hampir semuanya akan
memikirkan berkali-kali ketika seorang laki-laki hanya memberi mereka dengan
kata-kata, seperti “aku suka kamu,” atau “kamu mau gak jadi pacar aku?” Kalau
sampai perempuan menerimanya dengan sukarela “aku juga suka sama kamu,” atau
“iya aku mau.” Aku yakin cinta itu akan bernilai murah sekali.
Aku
mungkin tidak bisa menceritakan flashback itu terlalu panjang, karena ingatkan
tentang kamu masih dalam pencarianku.
Aku
mencari kamu dalam paragraf-paragraf.
Kamu
bersembunyi di dalam sana. Tugasku menemukanmu, menelusuri kata demi kata,
kalimat demi kalimat, bertanya pada huruf-huruf disana.
“Permisi,
Anda kenal dengan ‘kamu’ yang sedang saya cari?”
“Kami
rasa, tidak ada ‘kamu’ yang Anda maksud di paragraf ini, silahkan cari di
paragraf lain.”
Aku
kembali menelusuri paragraf, hingga aku lelah dan nyaris putus asa. Kalau bukan
karena cinta, mungkin rasanya aku malas untuk mencari kamu. Dari situ aku
belajar sesuatu, perjuangan. Sebagai seorang penjelajah kata-kata, aku
dipredikatkan sebagai pejuang cinta oleh mereka, lucu sekali.
Aku
ingat sesuatu, kamu pernah menulis sesuatu. Surat.
Aku
tunda sejenak penjelajahan di planet yang ku sebut buku. Aku menuju sebuah
ingatan. Tentang sebuah surat yang pernah kamu tulis. Aku lupa untuk apa kamu
menulis surat yang ditujukan kepada aku, sebuah pemberitahuan atau undangan?
Atau sebuah balasan karena aku pernah menulis surat kepadamu.
Surat
yang aku temukan itu sudah kusam, sedikit berdebu, dan tinta bulpoinnya sedikit
pudar, tapi aku masih bisa membacanya. Kamu menulis tentang aku dan kamu. Aku
menemukan beberapa kalimat yang membuat aku senang dan membuat aku sedih.
Senangnya,
“Hai, kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Kamu harus ganti rugi, kamu membuat aku
rindu.” Sungguh kata-kata yang ajaib yang bisa kamu tulis, kamu yang dulunya
dingin dan sedikit jutek, tiba-tiba menulis seperti itu. Rasanya aku ingin
membalas, “apakah sebuah cinta bisa membayar kerugian itu?”
Sedihnya,
“Hati-hati, saat kamu membiarkan dirimu menghilang dari keseharianku, ada orang
lain yang mengisi kehilangan itu.” kali ini aku tak ingin membalasnya.
Kamu
berada di ingatan orang lain.
Bagaimana
rasanya saat aku mencari kamu di dalam ingatan orang lain? Di sana penuh
tumbuhan berduri dan beracun. Aku menemukan kisah-kisah yang menyakitkan, di
sana mereka membuatku terluka. Aku menemukan kisah kamu dengan dia. Seketika
ingatanku berkarat, dan hatiku membeku. Aku harus menyaksikan kamu menjalin
kisah romantis bersama orang lain, aku melihat senyuman dan tawaan yang tidak
pernah ingin aku temui. Rasanya aku ingin pergi ke halaman lain, tanpa membaca
dan menyaksikan kisah seperti itu.
Aku
tidak bisa melakukannya. Aku sudah kehilangan kamu, dan aku tidak boleh
kehilangan kamu untuk waktu yang lama, meski aku menemukanmu di dalam ingatan
orang lain sekalipun, aku bersedia menjelajahinya.
Dari
situ aku mempelajari sesuatu lagi, jangan pernah putus asa. Rasanya aku ingin
putus asa, namun sesuatu membisikan pada telingaku bahwa aku tidak boleh putus
asa. Perjalanan masih panjang, aku tidak boleh berhenti hanya karena luka
seperti itu. cinta yang tulus itu memberikan kekuatan.
Aku
mencari kamu dalam bongkahan-bongkahan syair.
Jujur.
Aku bukan orang yang pantai membuat puisi, apalagi syair. Begitu aku mencari
kamu dalam lembar-lembar puisi Sapardi DJoko Damono sekalipun, aku mungkin
tidak mengenali kamu. Saat aku membaca deretan bait-bait beliau, kamu seketika
berkamuflase. Aku melewatkan kamu begitu saja.
Aku
tersesat dalam puisi Sapardi, bait-baitnya seperti sebuah rantai ilusi. Aku
terhipnotis, terhanyut dalam kata-katanya. Seketika lupa siapa aku, kenapa puisi,
tujuan mencari kamu. Rasanya aku dipaksa jatuh cinta kepada puisi beliau.
Lantas, bagaimana bisa aku jatuh cinta, selain kepada kamu?
Kamu
ingin aku menang dalam lomba memenangkan hatimu.
Seketika
aku menjadi peserta terkecil dan terbelakang dalam lomba itu. Sudah datang
terlambat, tak siap pula. Kamu ragu aku bisa menang. Di saat peserta lain
sibuk-sibuknya memberimu hadiah dan mengajakmu makan di kafe bahkan menonton
bioskop. Aku hanya diam melihatmu dari jauh.
“Apa
yang bisa kamu tawarkan kepadaku?” Kamu bertanya padaku.
“Hem..
kamu mau makan ketoprak di depan sekolah, aku bayarin kamu setengah harga,
gimana?”
Kamu
tertawa. “Kenapa setengah harga?”
“Karena
untuk membeli seharga satu porsi masih kurang.”
Kamu
langsung diam, dan mengucapkan oke. Akhirnya kamu mau.
Aku
melihat kamu makan ketoprak, kamu melihatku memakan singkong rebus dari tempat
bekal makananku.
“Kamu
tidak makan ketoprak juga?”
Aku menggelengkan kepala sambil
tersenyum.
“Kenapa
makan singkong rebus?”
“Kata
ibu, nasi untuk makan malam.”
Kamu
kembali tertawa lagi.
Kamu
tak ada di novel-novel J.K Rowling
Kamu
penggemar berat Harry Potter. Hingga saat itu kamu (katanya) orang pertama yang
sudah menonton film serial Harry Potter yang keenam, The Half-blood Prince (pangeran berdarah campuran) di sekolah. Kamu
tidak pernah melewatkan sekuelnya. Sampai-sampai aku disuruh memakai rambut wig
berwarna kuning agar mirip dengan Ron Weasley.
Aku
mengunjungi buku pertama J.K Rowling.
Rasanya
degdegan dan takut. Jika tiba-tiba aku terkena sihir dan tersesat di sana. Aku
melihat kisah Harry Potter bersama teman-temannya ketika kali pertama
bersekolah di Hogwarts. Namun, aku tidak melihat kamu di sana.
Aku
mengunjungi buku kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, bahkan buku terakhir
serial Harry Potter J.K Rowling. Aku tidak menemukan kamu berada di sana.
Seolah kamu tidak pernah menyukai Harry Potter dan tidak pernah tahu siapa J.K
Rowling. Di sana tidak pernah ada yang tahu tentang kamu, kamu bahkan tidak
pernah tahu pernah menyukai kisah-kisah Harry potter.
Kamu,
alasan aku tetap bercerita.
Kamu
tahu, aku tak bisa berhenti mencari kamu, itulah kenapa aku tetap bercerita.
Dengan begitu aku akan tetap ingat bahwa aku sedang mencari kamu yang hilang
dari ingatanku. Bahkan ketika aku tahu dimana kamu berada, aku belum bisa pergi
ke sana. Bukan karena aku tak berani atau tak ingin menemuimu langsung. Aku tak
tahu arah jalan menuju ke sana, aku takut tersesat. Kalau aku tersesat
bagaimana aku bisa mencari kamu.
Aku
hanya belum siap, saat itu. Jika memang aku sudah menemukanmu bukan pada waktu
yang seharusnya, belum tentu kamu mau pulang bersamaku, dan belum tentu kamu
mengenali aku. Hanya dengan bercerita tentang kamu, ingatan-ingatan itu dibawa
oleh angin untuk disampaikan ke tempatmu berada.
Rasanya
aku ingin bercerita tentang kamu lebih banyak lagi, seperti yang kamu tahu,
ingatan itu hilang hampir seluruhnya. Aku tidak seperti pendongeng yang
bercerita tentang kisah fiksi, seorang penyihir atau putri salju dan tujuh
kurcaci. Kisah tentang kamu bukan fiksi diingatanku, itu nyata, pernah membenam
di sana.
Kamu,
alasan aku untuk tidak pulang.
Aku
pernah menginap di persimpangan rumah lamamu. Aku mencium bau-bau kenangan dan
ingatan. Aku tergoda karena jejak-jejak kaki dan jemarimu membekas di sana. Aku
memilih bermalam bersama mereka, setidaknya malam itu aku merasa tidur
bersamamu. Urusan besok, nanti aku ceritakan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar