Selasa, 28 Agustus 2018

Kisah-kisah yang Hilang dalam Memori : #2 - Kamu

                 Kamu adalah entitas yang aku cari dalam kata-kata.
                Saat kisah yang aku ceritakan tempo lalutentang penjelajahan lembaran-lembaran halaman buku dan ingatan orangaku menemukan kisah yang membuatku berhenti sejenak, kisah yang membahas tentang, kamu.
                Ini bukan tentang aku, ini tentang kamu.
                Sebelumnya aku ingin flashback tentang kamu. Aku menemukan kamu dalam kumpulan orang-orang yang juga sedang menemukan kamu. Rasanya mudah sekali menemukan kamu, namun sulit untuk mendapatkannya. Aku bukan satu-satunya orang yang ingin menemukan kamu, orang-orang itu juga, para pesaing.  Mereka mungkin ingin mendapatkan kamu setelah menemukan kamu. Namun bagiku, kata “mendapatkan” terdengar sombong dan arogan. Aku tidak ingin menjadi seperti itu, nantinya aku malah menjadi keras kepala dan tidak tahu diri. Aku lebih suka menggantinya dengan “bersamamu,” aku ingin bersamamu. Bukankah terdengar lebih romantis?


                “Cinta itu gak gratis.”
                Mendengar kalimat itu aku bingung namun hingga akhirnya aku setuju. Ada seseorang yang mengucapkan kalimat itu, aku lupa. Dari kalimat itu, pasti ada sesuatu yang berbayar, seperti dibayar dengan uang, prestise, atau popularitas. Namun, aku tidak mampu untuk membayar dengan hal itu, aku hanya seorang yang menjelajahi kata-kata. Mungkin aku hanya bisa membayar dengan kata-kata. Aku bayar dengan kata-kata “aku cinta padamu.”
                Bagiku, kata-kata tidaklah cukup untuk membayarnya. Kata-kata terdengar instan ketika membayar cinta begitu saja. Aku yakin, perempuan di dunia hampir semuanya akan memikirkan berkali-kali ketika seorang laki-laki hanya memberi mereka dengan kata-kata, seperti “aku suka kamu,” atau “kamu mau gak jadi pacar aku?” Kalau sampai perempuan menerimanya dengan sukarela “aku juga suka sama kamu,” atau “iya aku mau.” Aku yakin cinta itu akan bernilai murah sekali.
                Aku mungkin tidak bisa menceritakan flashback itu terlalu panjang, karena ingatkan tentang kamu masih dalam pencarianku.
                Aku mencari kamu dalam paragraf-paragraf.
                Kamu bersembunyi di dalam sana. Tugasku menemukanmu, menelusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat, bertanya pada huruf-huruf disana.
                “Permisi, Anda kenal dengan ‘kamu’ yang sedang saya cari?”
                “Kami rasa, tidak ada ‘kamu’ yang Anda maksud di paragraf ini, silahkan cari di paragraf lain.”
                  Aku kembali menelusuri paragraf, hingga aku lelah dan nyaris putus asa. Kalau bukan karena cinta, mungkin rasanya aku malas untuk mencari kamu. Dari situ aku belajar sesuatu, perjuangan. Sebagai seorang penjelajah kata-kata, aku dipredikatkan sebagai pejuang cinta oleh mereka, lucu sekali.
                Aku ingat sesuatu, kamu pernah menulis sesuatu. Surat.
                Aku tunda sejenak penjelajahan di planet yang ku sebut buku. Aku menuju sebuah ingatan. Tentang sebuah surat yang pernah kamu tulis. Aku lupa untuk apa kamu menulis surat yang ditujukan kepada aku, sebuah pemberitahuan atau undangan? Atau sebuah balasan karena aku pernah menulis surat kepadamu.
                Surat yang aku temukan itu sudah kusam, sedikit berdebu, dan tinta bulpoinnya sedikit pudar, tapi aku masih bisa membacanya. Kamu menulis tentang aku dan kamu. Aku menemukan beberapa kalimat yang membuat aku senang dan membuat aku sedih.
                Senangnya, “Hai, kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Kamu harus ganti rugi, kamu membuat aku rindu.” Sungguh kata-kata yang ajaib yang bisa kamu tulis, kamu yang dulunya dingin dan sedikit jutek, tiba-tiba menulis seperti itu. Rasanya aku ingin membalas, “apakah sebuah cinta bisa membayar kerugian itu?”
                Sedihnya, “Hati-hati, saat kamu membiarkan dirimu menghilang dari keseharianku, ada orang lain yang mengisi kehilangan itu.” kali ini aku tak ingin membalasnya.
                Kamu berada di ingatan orang lain.
                Bagaimana rasanya saat aku mencari kamu di dalam ingatan orang lain? Di sana penuh tumbuhan berduri dan beracun. Aku menemukan kisah-kisah yang menyakitkan, di sana mereka membuatku terluka. Aku menemukan kisah kamu dengan dia. Seketika ingatanku berkarat, dan hatiku membeku. Aku harus menyaksikan kamu menjalin kisah romantis bersama orang lain, aku melihat senyuman dan tawaan yang tidak pernah ingin aku temui. Rasanya aku ingin pergi ke halaman lain, tanpa membaca dan menyaksikan kisah seperti itu.
                Aku tidak bisa melakukannya. Aku sudah kehilangan kamu, dan aku tidak boleh kehilangan kamu untuk waktu yang lama, meski aku menemukanmu di dalam ingatan orang lain sekalipun, aku bersedia menjelajahinya.  
                Dari situ aku mempelajari sesuatu lagi, jangan pernah putus asa. Rasanya aku ingin putus asa, namun sesuatu membisikan pada telingaku bahwa aku tidak boleh putus asa. Perjalanan masih panjang, aku tidak boleh berhenti hanya karena luka seperti itu. cinta yang tulus itu memberikan kekuatan.
                Aku mencari kamu dalam bongkahan-bongkahan syair.
               Jujur. Aku bukan orang yang pantai membuat puisi, apalagi syair. Begitu aku mencari kamu dalam lembar-lembar puisi Sapardi DJoko Damono sekalipun, aku mungkin tidak mengenali kamu. Saat aku membaca deretan bait-bait beliau, kamu seketika berkamuflase. Aku melewatkan kamu begitu saja.
                Aku tersesat dalam puisi Sapardi, bait-baitnya seperti sebuah rantai ilusi. Aku terhipnotis, terhanyut dalam kata-katanya. Seketika lupa siapa aku, kenapa puisi, tujuan mencari kamu. Rasanya aku dipaksa jatuh cinta kepada puisi beliau. Lantas, bagaimana bisa aku jatuh cinta, selain kepada kamu?
                Kamu ingin aku menang dalam lomba memenangkan hatimu.
                Seketika aku menjadi peserta terkecil dan terbelakang dalam lomba itu. Sudah datang terlambat, tak siap pula. Kamu ragu aku bisa menang. Di saat peserta lain sibuk-sibuknya memberimu hadiah dan mengajakmu makan di kafe bahkan menonton bioskop. Aku hanya diam melihatmu dari jauh.
                “Apa yang bisa kamu tawarkan kepadaku?” Kamu bertanya padaku.
                “Hem.. kamu mau makan ketoprak di depan sekolah, aku bayarin kamu setengah harga, gimana?”
                Kamu tertawa. “Kenapa setengah harga?”
                “Karena untuk membeli seharga satu porsi masih kurang.”
                Kamu langsung diam, dan mengucapkan oke. Akhirnya kamu mau.
                Aku melihat kamu makan ketoprak, kamu melihatku memakan singkong rebus dari tempat bekal makananku.
                “Kamu tidak makan ketoprak juga?”
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.
                “Kenapa makan singkong rebus?”
                “Kata ibu, nasi untuk makan malam.”
                Kamu kembali tertawa lagi.

                Kamu tak ada di novel-novel J.K Rowling
                Kamu penggemar berat Harry Potter. Hingga saat itu kamu (katanya) orang pertama yang sudah menonton film serial Harry Potter yang keenam, The Half-blood Prince (pangeran berdarah campuran) di sekolah. Kamu tidak pernah melewatkan sekuelnya. Sampai-sampai aku disuruh memakai rambut wig berwarna kuning agar mirip dengan Ron Weasley.
                Aku mengunjungi buku pertama J.K Rowling.
                Rasanya degdegan dan takut. Jika tiba-tiba aku terkena sihir dan tersesat di sana. Aku melihat kisah Harry Potter bersama teman-temannya ketika kali pertama bersekolah di Hogwarts. Namun, aku tidak melihat kamu di sana.
                Aku mengunjungi buku kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, bahkan buku terakhir serial Harry Potter J.K Rowling. Aku tidak menemukan kamu berada di sana. Seolah kamu tidak pernah menyukai Harry Potter dan tidak pernah tahu siapa J.K Rowling. Di sana tidak pernah ada yang tahu tentang kamu, kamu bahkan tidak pernah tahu pernah menyukai kisah-kisah Harry potter.
                Kamu, alasan aku tetap bercerita.
                Kamu tahu, aku tak bisa berhenti mencari kamu, itulah kenapa aku tetap bercerita. Dengan begitu aku akan tetap ingat bahwa aku sedang mencari kamu yang hilang dari ingatanku. Bahkan ketika aku tahu dimana kamu berada, aku belum bisa pergi ke sana. Bukan karena aku tak berani atau tak ingin menemuimu langsung. Aku tak tahu arah jalan menuju ke sana, aku takut tersesat. Kalau aku tersesat bagaimana aku bisa mencari kamu.
                Aku hanya belum siap, saat itu. Jika memang aku sudah menemukanmu bukan pada waktu yang seharusnya, belum tentu kamu mau pulang bersamaku, dan belum tentu kamu mengenali aku. Hanya dengan bercerita tentang kamu, ingatan-ingatan itu dibawa oleh angin untuk disampaikan ke tempatmu berada.
                Rasanya aku ingin bercerita tentang kamu lebih banyak lagi, seperti yang kamu tahu, ingatan itu hilang hampir seluruhnya. Aku tidak seperti pendongeng yang bercerita tentang kisah fiksi, seorang penyihir atau putri salju dan tujuh kurcaci. Kisah tentang kamu bukan fiksi diingatanku, itu nyata, pernah membenam di sana.
                Kamu, alasan aku untuk tidak pulang.
                Aku pernah menginap di persimpangan rumah lamamu. Aku mencium bau-bau kenangan dan ingatan. Aku tergoda karena jejak-jejak kaki dan jemarimu membekas di sana. Aku memilih bermalam bersama mereka, setidaknya malam itu aku merasa tidur bersamamu. Urusan besok, nanti aku ceritakan lagi.
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar