Aku
adalah sebuah entitas yang gemar mengumpulkan kata-kata.
Pekerjaanku,
santai namun sangat sulit. Tadinya aku ingin menjadi seorang astronot atau
seorang ahli kimia murni dan fisikawan. Jauh ketika aku masih seorang anak
sekolah taman kanak-kanak, aku menulis cita-cita itu di tembok kamarku.
Satu-satunya tokoh yang aku kagumi saat itu adalah Neil Armstrong. Dia
(katanya) orang yang kali pertama mendarat di permukaan bulan. Aku sangat
terinspirasi dan termotivasi ketika ayah menceritakan tentang dia. Padahal aku
tidak pernah tahu. Rasanya belum saatnya otakku belajar tentang angkasawan dan
dunia astronomi. Cukup belajar menulis, membaca dan berhitung.
Aku
menjelajahi buku, ingatan, dan masa lalu.
Pada
lembaran-lembaran halaman yang ku jelajahi, aku bertemu dengan banyak kisah.
Sebuah buku, bagiku adalah planet yang isinya penuh dengan huruf-huruf sebagai
rakyatnya, kata sebagai sebuah keluarga, kalimat sebagai sebuah desa, paragraf
mungkin diartikan sebuah negara. Lantas bagaimana dengan aturan dan hukum dalam
planet tersebut? Entahlah.
Aku
menyamar sebagai rakyat mereka, perananku sebagai seorang petualang dari desa
ke desa, sampai dari planet ke planet. Tujuan aku menyelami tiap bagian buku
dan ingatan lalu adalah ingin mencari seseorang yang telah hilang dari
keseharian aku. Saat itu, tiba-tiba saja memori di kepalaku kehilangan 24 byte
(sebuah ukuran yang kecil, rasanya kalau hilangpun tidak berpengaruh). Itu
adalah sebuah ingatan yang hilang, aku ingat nama filenya, “Kamu.”
Bagaimana
file tersebut berukuran 24 byte menjadi momok yang membuat aku mencari ke beberapa
buku dan ingatan orang-orang? Agak sulit untukku menjelaskannya. Baiklah,
analoginya seperti ini, tahukah kamu bahwa suatu software komputer itu terdiri
dari beberapa komponen file—kadang kita
tidak mengenal nama dan fungsi file tersebut—bermacam
tipe file dengan ukuran yang kecil, contohnya file “readme” (baca:rid’mi) yang ukurannya tidak lebih
dari puluhan byte. Saat salah satu komponen tersebut hilang, baik itu terhapus,
atau terkena virus, fungsi software tersebut tidak akan berjalan dengan optimal
atau mungkin tidak dapat dijalankan.
File
“kamu” dalam ingatanku itu hilang tanpa kabar dan tanpa berpamitan. Meski
ukurannya kecil, software yang aku beri nama “cinta” itu tidak dapat dijalankan
sebagaimana mestinya. Itulah mengapa aku kini memilih menjadi seorang
penjelajah kata-kata untuk mencari “kamu” yang hilang dalam “cinta” di ingatan
aku. Daripada seorang astronot.
Logikanya,
aku mudah sekali menemukan “kamu” dalam kata-kata dan ingatan orang-orang.
Setiap buku novel drama misalnya, setidaknya ada 50 kata “kamu” di dalam sana.
Namun, aku camkan baik-baik. Cinta itu bukan sepenuhnya soal logika, tapi
perasaan. Dalam 50 kata-kata itu belum tentu aku menemukan “kamu” yang aku
cari. Bisa saja “kamu” dari ingatan dan kisah orang lain. Nyatanya tak segampang
itu.
Aku
yang rela menjelajah hanya untuk mencari “kamu.” Tentunya “kamu” sangat penting
untuk keberlangsungan software cinta dalam ingatanku. Tanpa “kamu,” “aku” tidak
akan pernah bisa menjalankan software cinta itu. Untuk itu, aku ingin menemukan
“kamu” dan membawanya pulang. Lalu aku akan berteriak pada penghuni ingatan di
kepalaku. “Semuanya, ‘kamu’ telah aku temukan, bisakah aku menjalani cinta
kembali?”
Aku
berada di persimpangan bab-bab yang rumit.
Bagi
seorang penjelajah kata-kata, persinggahan merupakan kegiatan yang menyenangkan.
Ketika singgah di bab yang menarik, aku lupa akan tujuan utama. Saking
keasyikannya. Namun, aku juga pernah singgah di bab yang tidak menyenangkan,
mataku rasanya melihat sebuah labirin. Ingin rasanya pergi saja dari sana.
Sangat membosankan.
Bab
itu berisi halaman-halaman yang tidak ada “kamu” sama sekali. Di sana hanya
membahas “Dia.” Kenapa harus ada dia diantara aku dan kamu. itu sebuah
pernyataan bukan pertanyaan. Aku tak ingin itu menjadi pertanyaan, aku tak
ingin alasan-alasan menjadi sebuah jawabannya.
Di
halaman bab terakhir, aku prihatin. Aku dipaksa harus menyaksikan adegan-adegan
perselingkuhan dan hubungan rumit yang mengatasnamakan kamu dan dia. Kalau saja
aku menjadi wasit, sudah ku beri kartu merah dia itu. Sayangnya, aku hanya
penjelajah kata yang hanya mencari kamu yang tidak pernah terlibat
adegan-adegan seperti itu.
Aku
ingat, aku dan kamu pernah sepakat.
Ketika
kita makan di warung ketoprak saat jam istirahat belajar atau sehabis pulang sekolah.
Sepakat untuk tetap tersenyum meski akhirnya kita tak lagi makan ketoprak
bersama. Kita sering mendengarkan curhatan teman-teman, bukan malah tentang aku
sama kamu. Sepakat jika salah satu dari kita hilang, aku atau kamu yang
mencarinya. Mungkin, warung ketoprak di sekolah sudah tak berjualan lagi.
Sepakatlah bahwa suatu hari kita bisa beralih makan di warung selain ketoprak.
Ini
tentang aku, bukan kita. Nanti akan aku teruskan saat tiba di bab “kita. Aku
sedang mencari kamu, bukan mencari ingatan tentang makan ketoprak.
Aku
pernah sakit ketika mencari kamu di antara catatan-catatan keseharian kamu
dulu.
Aku
menemukan banyak kisah kamu di dalam sana. Namun, saat itu aku jatuh sakit
ketika aku tiba di awal halaman itu. Sedikit bersyukur, catatan itu pernah
bersahabat dengan ingatanku. Itu pernah berada di kepalaku ketika kamu
mempersilahkan aku membacanya. Catatanmu merawatku.
Ia
membagi kisahnya. Kamu pernah bercerita tentang aku. Dulu kamu sangat amat
tidak peduli yang namanya cowok yang pedekate ke kamu. Kamu acuh begitu saja.
Hingga bunga pemberianku saja dulu kamu lupa pernah menerimanya. Katanya bunga
itu tak romantis. Meski aku sangat menyukai bunga, aku terpaksa berdusta untuk
membenci bunga, demi kamu.
Kamu
tak suka bunga.
Para
pengejar kamu, mereka berlomba-lomba memberimu hadiah saat ulang tahun. Kue
ulang tahun, boneka, bahkan hadiah yang wah, cincin. Apa yang bisa aku berikan
selain bunga? Atau kisah astronot? Tidak ada. Aku bahkan tak memiliki cukup
uang untuk membelikanmu hadiah. Satu-satunya yang mungkin aku berikan adalah
bunga. Aku hanya memetik di pekarangan rumahku saja. Aku memelihara banyak
spesies bunga. Jadi jika aku memetiknya beberapa tangkai pun, ibu tak
memarahiku.
Lagi-lagi bunga. Aku tahu kamu tak begitu
menyukainya. Tapi aku tetap memberimu hadiah itu. Aku menaruhnya di kamarku.
Hampir setiap hari aku memberimu bunga, bungamu banyak di kamarku, ku tandai
dengan tanggal, bulan, dan tahun. Sebagian sudah banyak yang layu. Tapi aku tak
membuangnya. Itu bukan hakku. Mungkin suatu hari aku akan menunjukan
bunga-bunga itu kepadamu, tentu setelah aku menemukanmu kembali.
Aku
kehilangan kamu untuk waktu yang lama.
Aku
melihatmu bersama orang lain. Jujur. Rasanya aku tak pernah ingin mencari kamu
saat itu. Aku kehilangan kamu, namun bukan berarti aku menginginkannya. Orang
lain tidak akan tahu alasan kenapa aku bisa kehilangan orang yang paling aku
sayangi di planet ini. Satu-satunya yang bisa aku lakukan ketika aku kehilangan
adalah mencari. Urusan dimana dan kapan itu belakangan. Carilah di tempat kamu
pernah singgah dan bersemayam.
Aku
tidak pernah ingin bersedih ketika kehilangan. Bersedih itu bisa mengurangi
waktu aku mencari kamu. Bersedih itu bisa menghambat penjelajahanku. Bersedih
itu sesuatu yang tidak kamu sukai, itu kenapa aku tak ingin bersedih.
Seberapapun
lama waktu itu, selagi aku masih berkesempatan menemukanmu, aku akan menjadi
penjelajah kata-kata demi menemukan kamu.
Aku
tidur di persimpangan rumahmu.
Meski
bukan rumahku, Aku merasa ingin sekali pulang dan tidur di sana. Dengan begitu
aku akan merasa bersamamu. Aku akan istirahat sejenak, bahkan seorang astronot
pun butuh tidur, apalagi aku. Besok aku akan bangun pagi-pagi dan berlanjut
mencari kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar