Selasa, 28 Agustus 2018

Kisah-kisah yang Hilang dalam Memori : #1 - Aku

            Aku adalah sebuah entitas yang gemar mengumpulkan kata-kata.


            Pekerjaanku, santai namun sangat sulit. Tadinya aku ingin menjadi seorang astronot atau seorang ahli kimia murni dan fisikawan. Jauh ketika aku masih seorang anak sekolah taman kanak-kanak, aku menulis cita-cita itu di tembok kamarku. Satu-satunya tokoh yang aku kagumi saat itu adalah Neil Armstrong. Dia (katanya) orang yang kali pertama mendarat di permukaan bulan. Aku sangat terinspirasi dan termotivasi ketika ayah menceritakan tentang dia. Padahal aku tidak pernah tahu. Rasanya belum saatnya otakku belajar tentang angkasawan dan dunia astronomi. Cukup belajar menulis, membaca dan berhitung.

            Aku menjelajahi buku, ingatan, dan masa lalu.

            Pada lembaran-lembaran halaman yang ku jelajahi, aku bertemu dengan banyak kisah. Sebuah buku, bagiku adalah planet yang isinya penuh dengan huruf-huruf sebagai rakyatnya, kata sebagai sebuah keluarga, kalimat sebagai sebuah desa, paragraf mungkin diartikan sebuah negara. Lantas bagaimana dengan aturan dan hukum dalam planet tersebut? Entahlah.

            Aku menyamar sebagai rakyat mereka, perananku sebagai seorang petualang dari desa ke desa, sampai dari planet ke planet. Tujuan aku menyelami tiap bagian buku dan ingatan lalu adalah ingin mencari seseorang yang telah hilang dari keseharian aku. Saat itu, tiba-tiba saja memori di kepalaku kehilangan 24 byte (sebuah ukuran yang kecil, rasanya kalau hilangpun tidak berpengaruh). Itu adalah sebuah ingatan yang hilang, aku ingat nama filenya, “Kamu.”

            Bagaimana file tersebut berukuran 24 byte menjadi momok yang membuat aku mencari ke beberapa buku dan ingatan orang-orang? Agak sulit untukku menjelaskannya. Baiklah, analoginya seperti ini, tahukah kamu bahwa suatu software komputer itu terdiri dari beberapa komponen filekadang kita tidak mengenal nama dan fungsi file tersebutbermacam tipe file dengan ukuran yang kecil, contohnya file “readme” (baca:rid’mi) yang ukurannya tidak lebih dari puluhan byte. Saat salah satu komponen tersebut hilang, baik itu terhapus, atau terkena virus, fungsi software tersebut tidak akan berjalan dengan optimal atau mungkin tidak dapat dijalankan.

            File “kamu” dalam ingatanku itu hilang tanpa kabar dan tanpa berpamitan. Meski ukurannya kecil, software yang aku beri nama “cinta” itu tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Itulah mengapa aku kini memilih menjadi seorang penjelajah kata-kata untuk mencari “kamu” yang hilang dalam “cinta” di ingatan aku. Daripada seorang astronot.

            Logikanya, aku mudah sekali menemukan “kamu” dalam kata-kata dan ingatan orang-orang. Setiap buku novel drama misalnya, setidaknya ada 50 kata “kamu” di dalam sana. Namun, aku camkan baik-baik. Cinta itu bukan sepenuhnya soal logika, tapi perasaan. Dalam 50 kata-kata itu belum tentu aku menemukan “kamu” yang aku cari. Bisa saja “kamu” dari ingatan dan kisah orang lain. Nyatanya tak segampang itu.

            Aku yang rela menjelajah hanya untuk mencari “kamu.” Tentunya “kamu” sangat penting untuk keberlangsungan software cinta dalam ingatanku. Tanpa “kamu,” “aku” tidak akan pernah bisa menjalankan software cinta itu. Untuk itu, aku ingin menemukan “kamu” dan membawanya pulang. Lalu aku akan berteriak pada penghuni ingatan di kepalaku. “Semuanya, ‘kamu’ telah aku temukan, bisakah aku menjalani cinta kembali?”

            Aku berada di persimpangan bab-bab yang rumit.

            Bagi seorang penjelajah kata-kata, persinggahan merupakan kegiatan yang menyenangkan. Ketika singgah di bab yang menarik, aku lupa akan tujuan utama. Saking keasyikannya. Namun, aku juga pernah singgah di bab yang tidak menyenangkan, mataku rasanya melihat sebuah labirin. Ingin rasanya pergi saja dari sana. Sangat membosankan.

            Bab itu berisi halaman-halaman yang tidak ada “kamu” sama sekali. Di sana hanya membahas “Dia.” Kenapa harus ada dia diantara aku dan kamu. itu sebuah pernyataan bukan pertanyaan. Aku tak ingin itu menjadi pertanyaan, aku tak ingin alasan-alasan menjadi sebuah jawabannya.

            Di halaman bab terakhir, aku prihatin. Aku dipaksa harus menyaksikan adegan-adegan perselingkuhan dan hubungan rumit yang mengatasnamakan kamu dan dia. Kalau saja aku menjadi wasit, sudah ku beri kartu merah dia itu. Sayangnya, aku hanya penjelajah kata yang hanya mencari kamu yang tidak pernah terlibat adegan-adegan seperti itu.

            Aku ingat, aku dan kamu pernah sepakat.

            Ketika kita makan di warung ketoprak saat jam istirahat belajar atau sehabis pulang sekolah. Sepakat untuk tetap tersenyum meski akhirnya kita tak lagi makan ketoprak bersama. Kita sering mendengarkan curhatan teman-teman, bukan malah tentang aku sama kamu. Sepakat jika salah satu dari kita hilang, aku atau kamu yang mencarinya. Mungkin, warung ketoprak di sekolah sudah tak berjualan lagi. Sepakatlah bahwa suatu hari kita bisa beralih makan di warung selain ketoprak.

            Ini tentang aku, bukan kita. Nanti akan aku teruskan saat tiba di bab “kita. Aku sedang mencari kamu, bukan mencari ingatan tentang makan ketoprak.

            Aku pernah sakit ketika mencari kamu di antara catatan-catatan keseharian kamu dulu.

            Aku menemukan banyak kisah kamu di dalam sana. Namun, saat itu aku jatuh sakit ketika aku tiba di awal halaman itu. Sedikit bersyukur, catatan itu pernah bersahabat dengan ingatanku. Itu pernah berada di kepalaku ketika kamu mempersilahkan aku membacanya. Catatanmu merawatku.

            Ia membagi kisahnya. Kamu pernah bercerita tentang aku. Dulu kamu sangat amat tidak peduli yang namanya cowok yang pedekate ke kamu. Kamu acuh begitu saja. Hingga bunga pemberianku saja dulu kamu lupa pernah menerimanya. Katanya bunga itu tak romantis. Meski aku sangat menyukai bunga, aku terpaksa berdusta untuk membenci bunga, demi kamu.

            Kamu tak suka bunga.

            Para pengejar kamu, mereka berlomba-lomba memberimu hadiah saat ulang tahun. Kue ulang tahun, boneka, bahkan hadiah yang wah, cincin. Apa yang bisa aku berikan selain bunga? Atau kisah astronot? Tidak ada. Aku bahkan tak memiliki cukup uang untuk membelikanmu hadiah. Satu-satunya yang mungkin aku berikan adalah bunga. Aku hanya memetik di pekarangan rumahku saja. Aku memelihara banyak spesies bunga. Jadi jika aku memetiknya beberapa tangkai pun, ibu tak memarahiku.

             Lagi-lagi bunga. Aku tahu kamu tak begitu menyukainya. Tapi aku tetap memberimu hadiah itu. Aku menaruhnya di kamarku. Hampir setiap hari aku memberimu bunga, bungamu banyak di kamarku, ku tandai dengan tanggal, bulan, dan tahun. Sebagian sudah banyak yang layu. Tapi aku tak membuangnya. Itu bukan hakku. Mungkin suatu hari aku akan menunjukan bunga-bunga itu kepadamu, tentu setelah aku menemukanmu kembali.

            Aku kehilangan kamu untuk waktu yang lama.

            Aku melihatmu bersama orang lain. Jujur. Rasanya aku tak pernah ingin mencari kamu saat itu. Aku kehilangan kamu, namun bukan berarti aku menginginkannya. Orang lain tidak akan tahu alasan kenapa aku bisa kehilangan orang yang paling aku sayangi di planet ini. Satu-satunya yang bisa aku lakukan ketika aku kehilangan adalah mencari. Urusan dimana dan kapan itu belakangan. Carilah di tempat kamu pernah singgah dan bersemayam.

            Aku tidak pernah ingin bersedih ketika kehilangan. Bersedih itu bisa mengurangi waktu aku mencari kamu. Bersedih itu bisa menghambat penjelajahanku. Bersedih itu sesuatu yang tidak kamu sukai, itu kenapa aku tak ingin bersedih.

            Seberapapun lama waktu itu, selagi aku masih berkesempatan menemukanmu, aku akan menjadi penjelajah kata-kata demi menemukan kamu.

            Aku tidur di persimpangan rumahmu.

            Meski bukan rumahku, Aku merasa ingin sekali pulang dan tidur di sana. Dengan begitu aku akan merasa bersamamu. Aku akan istirahat sejenak, bahkan seorang astronot pun butuh tidur, apalagi aku. Besok aku akan bangun pagi-pagi dan berlanjut mencari kamu.

               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar