Cerpen : Andri Mulyahadi
Akhir-akhir
ini, sekolah mulai ditutup pada pukul 19.00. Mengingat kejadian perampokan
tempo lalu yang mengabiskan komputer dan peralatan elektronik lainnya. Semua CCTV
dipasang di setiap sudut dan kini para satpam berjaga 24 jam. Aku bersama tiga
temanku, Rani, Dea, dan Radit yang masih mengerjakan properti di kelas untuk
kegiatan besok di sekolah harus dihentikan, karena ruang kelas yang hendak di
kunci. Kami pun pulang setelah solat magrib. Terlihat sekolah begitu sunyi dan
mencekam dengan cahaya lampu yang remang-remang.
Saat
perjalanan pulang kami berempat singgah di salah satu warung makan pinggir
jalan dekat sekolah, “pecel lele”.
“apa kalian lapar? Kita makan di
pecel lele dulu yuk” ujar Rani.
“iya, ayo kita makan dulu. Aku sudah
lapar sejak tadi siang?” saut Radit.
Kami
semua akhirnya makan di pecel lele tersebut, namun hanya aku yang tidak memesan
makan.
“kamu tidak makan, vanny?” ujar Rani.
“aku masih kenyang, nanti saja
aku makan di rumah.” Aku menggelengkan kepala sambil memainkan handphoneku.
Tidak
seperti biasanya warung pecel lele ini sepi, hanya ada sepasang kekasih sedang
makan di depan meja kami dan dua orang lelaki menyeramkan duduk di meja
belakang kami—memang posisi meja kami berada di tengah-tengah. Sebenarnya tidak
menyeramkan seperti hantu atau hal semacamnya. Namun penampilannya seperti
mencurigakan, berpenampilan preman dengan rambut gondrong yang menutupi
setengah wajah mereka dan yang satunya terlihat banyak tato di sekujur lengan
hingga lehernya. Ada hal aneh yang aku rasakan, entah apa namun sepertinya dua
orang menyeramkan itu selalu memperhatikan kami—memperhatikanku lebih tepatnya.
Ketiga
temanku telah selesai makan dan kami pun hendak pulang. di perjalanan kami
berpisah. Rani pulang naik angkutan umum arah rumahnya. Radit dan Dea mereka
bedua naik bus karena memang rumah mereka searah. Hanya aku yang jalan kaki,
rumahku dekat dan tak perlulah naik kendaraan umum, melihat uang di sakuku pun tak
mencukupi.
“aku duluan yah?” Rani berteriak.
“kami juga ya, dahh Vanny.” Radit
dan Dea melambaikan tangan di pintu bus.
Aku hanya tersenyum melambaikan
tangan dan berpesan “hati-hati di jalan”. Ku lihat arloji di tanganku, waktu
menunjukan pukul 20.30. Malam mulai menunjukan jati dirinya. Aku jarang sekali
pulang sekolah hingga malam seperti ini ditambah lagi anak gadis seorang diri.
Aku mencoba menelpon orang rumah,
namun sialnya hanphoneku kehabisan baterai. Jalanan memang ramai dengan
kendaraan hilir mudik kurasa memang belum terlalu malam. Jika aku mempercepat
langkahku, aku bisa sampai rumah lebih cepat. Namun aku merasa ada yang aneh
lagi. Merasa ada orang yang mengikutiku dari belakang. Aku tak berani menengok
ke belakang. Kata ayah saat kita berjalan sendiri di malam hari, jangan pernah
menengok ke belakang. aku tak mengerti maksudnya apa, namun yang aku berpikir
omongan orangtua biasanya ada benarnya. Berjaga-jaga takutnya ada hal yang
tidak menyenangkan di belakang kita.
Rasa curiga dan kekhawatiranku
mulai meninggi. Detak jantungku mulai berdetak cepat seiring ku cepatkan
langkahku dengan lari kecil. Nafasku mulai tak beraturan dan mataku seraya
berjaga tanpa kedipan sedetikpun. Aku semakin tak enak hati, ku ambil cermin
dalam tasku sambil berjalan dan perlahan aku melirik ke arah cermin yang ku
pasang seperti spion motor. Aku terkaget dalam hati. Ada dua orang menyeramkan
mengikutiku dari belakang. Ku perhatikan betul, mereka dua orang yang tadi
berada di warung makan pecel lele.
Kegelisahanku mulai menjadi. Adrenalin
ku perlahan tergoyang meninggi. Rasa was-was yang luarbiasa aku rasakan pada
sekujur tubuhku yang masih berseragam sekolah SMA. Wajar saja rasa takut mulai
menyelimuti dari mulai ujung rambut hingga kakiku.
Tanpa pikir panjang aku berlari
sekencang-kencangnya menghindari mereka. Hingga terasa kakiku tak ada daya lagi
untuk melangkah. Aku berhenti sesaat, membungkuk dan memegang kedua lututku
yang gemetar begitu dahsyat. Kemudian mulai mengatur nafasku yang tak
beraturan. Kurasa tak ada suara langkah kaki mengikutiku lagi dari belakang.
lalu aku memberanikan diri menengok ke belakang. dua orang tadi sudah tiada.
Aneh sekali. Kemana mereka,
jelas-jelas tadi di belakang mengikutiku, kini mereka lenyap seolah ditelan
malam. Waktu menunjukan pukul 20.45. tidak terasa aku berlari sudah lima belas
menit yang harusnya aku sudah sampai rumah.
Namun hal yang janggal terjadi. Aku
tidak melihat jalan arah ke rumah dan tidak tahu aku berada dimana. Seketika aku
melihat papan nama di depanku yang bertuliskan “JALAN SERAWANG” yang diberi cahaya
kecil lampu bohlam kuning—biar ku tebak itu lima watt.
Selama aku pulang, aku tidak
pernah melewati bahkan tahu pun tidak ada jalan tersebut. Ini seperti dalam
mimpi saja. Rasa ketakutanku mulai bereaksi kembali setelah melihat jalan di depanku begitu sepi dan sunyi. Bayangkan saja
tak ada seorang pun di jalan ini. Di sepanjang jalan ditutupi pohon bambu yang
dahan dan daunnya menjorok ke jalan, menambah seram saja. Dan disebrang jalan ada
jalan setapak dan kebun singkong yang setiap jalan hanya ada lampu bohlam saja.
Aku bingung harus bagaimana. Kurasa
kekhawatiran dan kegelisahanku sudah mencapai puncaknya ketika aku mulai
meneruskan jalan. Mengapa perjalanan pulangku begitu menyeramkan. Kalau tahu
keadaannya seperti ini aku mending ikut bersama temanku pulang kerumah mereka
dari pada harus pulang sendiri melewati jalan yang menyeramkan ini.
Detak jantungku berdetak dua kali
lebih cepat dari yang tadi, angin mulai menembus rongga sweaterku yang tak terlalu
tebal, ditambah bulu kudukku mulai berdiri. Ku langkahkan kaki perlahan
kemudian semakin cepat dan cepat. Jalanku yang sempoyong karena jalan yang tak
rata berbatu terasa sakit saat menginjak batu yang besar menembus sepatu catku.
Hal yang paling menyeramkan lagi
aku seperti mendengar suara samar-samar seorang wanita dari arah pohon bambu
tersebut. Aku tak berani melirik dan menutup kedua telingaku dengan telapak
tangan. Ku percepat langkah kaki hingga aku berlari namun suara itu semakin
jelas dengan riuhan suara angin malam yang menggoyangkan pohon bambu—seolah
menakut-nakutiku dengan guguran daun keringnya. Beberapa kali aku tersandung
batu, karena jalan yang ku lalui tidak terlalu jelas, cahaya redup tidak cukup
untuk menerangi jalan seram itu.
Ku terus berlari namun aku tak
punya suara untuk berteriak minta tolong. Mungkin itu hal yang sia-sia juga. Karena
tak ada seorang pun di jalan itu dan rumah pun seperti sepi sekali. Rasa ketakutanku
berubah menjadi rasa ketegangan yang luar biasa, ingin rasanya aku menangis
namun air mataku pun tak mau keluar di suasana mencekam seperti ini, ketika itu
aku merasa ada hal yang memperhatikanku dari samping seperti putih-putih
terbang namun samar. Aku tak berani menyimpukan itu apa. Yang ada dalam benakku
hanya berlari dan keluar dari jalan yang menakutkan ini.
Setelah tingkat ketakutanku
semakin parah aku melihat seberkas cahaya terang di depan mataku. Cahaya itu
semakin mendekatiku dan seperti menabrak dengan cepat. Serentak sekujur tubuhku
lemah. Aku terjatuh dan tak sadarkan diri.
Tiba-tiba aku terbangun. Aku seperti
tertidur lama. Aku memegang kepalaku, rasanya sakit sekali. Saat ku buka mata aku
berada di kamarku sendiri, ku lirik jendela hari sudah pagi. Aku tak ingat
banyak kejadian malam itu. Kemudian ibuku masuk ke kamarku membawakan sarapan.
“kamu sudah sadar to ndo?” ujar
ibu.
“memangnya aku kenapa bu. Kapan
aku pulang?” sautku sambil menguap.
“semalam kamu pingsan di jalan,
beruntung Pak Amin tetangga sebelah melihat dan membawamu pulang di motornya. Ibu
sangat khawatir sama kamu. Nanti lagi jangan pulang malam-malam ya ndo.”
“oya bu. Aku ingat. Semalem aku pulang
lewat Jalan Serawang.”
“sejak kapan ada Jalan Serawang. Ngelindur
kamu ndo...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar