Rabu, 07 Oktober 2015

Jalan Serawang



Cerpen : Andri Mulyahadi 

Akhir-akhir ini, sekolah mulai ditutup pada pukul 19.00. Mengingat kejadian perampokan tempo lalu yang mengabiskan komputer dan peralatan elektronik lainnya. Semua CCTV dipasang di setiap sudut dan kini para satpam berjaga 24 jam. Aku bersama tiga temanku, Rani, Dea, dan Radit yang masih mengerjakan properti di kelas untuk kegiatan besok di sekolah harus dihentikan, karena ruang kelas yang hendak di kunci. Kami pun pulang setelah solat magrib. Terlihat sekolah begitu sunyi dan mencekam dengan cahaya lampu yang remang-remang.

Saat perjalanan pulang kami berempat singgah di salah satu warung makan pinggir jalan dekat sekolah, “pecel lele”. 

“apa kalian lapar? Kita makan di pecel lele dulu yuk” ujar Rani.

“iya, ayo kita makan dulu. Aku sudah lapar sejak tadi siang?” saut Radit.

 Kami semua akhirnya makan di pecel lele tersebut, namun hanya aku yang tidak memesan makan. 

“kamu tidak makan, vanny?” ujar Rani.

“aku masih kenyang, nanti saja aku makan di rumah.” Aku menggelengkan kepala sambil memainkan handphoneku.

Tidak seperti biasanya warung pecel lele ini sepi, hanya ada sepasang kekasih sedang makan di depan meja kami dan dua orang lelaki menyeramkan duduk di meja belakang kami—memang posisi meja kami berada di tengah-tengah. Sebenarnya tidak menyeramkan seperti hantu atau hal semacamnya. Namun penampilannya seperti mencurigakan, berpenampilan preman dengan rambut gondrong yang menutupi setengah wajah mereka dan yang satunya terlihat banyak tato di sekujur lengan hingga lehernya. Ada hal aneh yang aku rasakan, entah apa namun sepertinya dua orang menyeramkan itu selalu memperhatikan kami—memperhatikanku lebih tepatnya.

Ketiga temanku telah selesai makan dan kami pun hendak pulang. di perjalanan kami berpisah. Rani pulang naik angkutan umum arah rumahnya. Radit dan Dea mereka bedua naik bus karena memang rumah mereka searah. Hanya aku yang jalan kaki, rumahku dekat dan tak perlulah naik kendaraan umum, melihat uang di sakuku pun tak mencukupi. 

“aku duluan yah?” Rani berteriak.

“kami juga ya, dahh Vanny.” Radit dan Dea melambaikan tangan di pintu bus.

Aku hanya tersenyum melambaikan tangan dan berpesan “hati-hati di jalan”. Ku lihat arloji di tanganku, waktu menunjukan pukul 20.30. Malam mulai menunjukan jati dirinya. Aku jarang sekali pulang sekolah hingga malam seperti ini ditambah lagi anak gadis seorang diri.  

Aku mencoba menelpon orang rumah, namun sialnya hanphoneku kehabisan baterai. Jalanan memang ramai dengan kendaraan hilir mudik kurasa memang belum terlalu malam. Jika aku mempercepat langkahku, aku bisa sampai rumah lebih cepat. Namun aku merasa ada yang aneh lagi. Merasa ada orang yang mengikutiku dari belakang. Aku tak berani menengok ke belakang. Kata ayah saat kita berjalan sendiri di malam hari, jangan pernah menengok ke belakang. aku tak mengerti maksudnya apa, namun yang aku berpikir omongan orangtua biasanya ada benarnya. Berjaga-jaga takutnya ada hal yang tidak menyenangkan di belakang kita.

Rasa curiga dan kekhawatiranku mulai meninggi. Detak jantungku mulai berdetak cepat seiring ku cepatkan langkahku dengan lari kecil. Nafasku mulai tak beraturan dan mataku seraya berjaga tanpa kedipan sedetikpun. Aku semakin tak enak hati, ku ambil cermin dalam tasku sambil berjalan dan perlahan aku melirik ke arah cermin yang ku pasang seperti spion motor. Aku terkaget dalam hati. Ada dua orang menyeramkan mengikutiku dari belakang. Ku perhatikan betul, mereka dua orang yang tadi berada di warung makan pecel lele.

Kegelisahanku mulai menjadi. Adrenalin ku perlahan tergoyang meninggi. Rasa was-was yang luarbiasa aku rasakan pada sekujur tubuhku yang masih berseragam sekolah SMA. Wajar saja rasa takut mulai menyelimuti dari mulai ujung rambut hingga kakiku.

Tanpa pikir panjang aku berlari sekencang-kencangnya menghindari mereka. Hingga terasa kakiku tak ada daya lagi untuk melangkah. Aku berhenti sesaat, membungkuk dan memegang kedua lututku yang gemetar begitu dahsyat. Kemudian mulai mengatur nafasku yang tak beraturan. Kurasa tak ada suara langkah kaki mengikutiku lagi dari belakang. lalu aku memberanikan diri menengok ke belakang. dua orang tadi sudah tiada.

Aneh sekali. Kemana mereka, jelas-jelas tadi di belakang mengikutiku, kini mereka lenyap seolah ditelan malam. Waktu menunjukan pukul 20.45. tidak terasa aku berlari sudah lima belas menit yang harusnya aku sudah sampai rumah. 

Namun hal yang janggal terjadi. Aku tidak melihat jalan arah ke rumah dan tidak tahu aku berada dimana. Seketika aku melihat papan nama di depanku yang bertuliskan “JALAN SERAWANG” yang diberi cahaya kecil lampu bohlam kuning—biar ku tebak itu lima watt.

Selama aku pulang, aku tidak pernah melewati bahkan tahu pun tidak ada jalan tersebut. Ini seperti dalam mimpi saja. Rasa ketakutanku mulai bereaksi kembali setelah melihat jalan  di depanku begitu sepi dan sunyi. Bayangkan saja tak ada seorang pun di jalan ini. Di sepanjang jalan ditutupi pohon bambu yang dahan dan daunnya menjorok ke jalan, menambah seram saja. Dan disebrang jalan ada jalan setapak dan kebun singkong yang setiap jalan hanya ada lampu bohlam saja. 

Aku bingung harus bagaimana. Kurasa kekhawatiran dan kegelisahanku sudah mencapai puncaknya ketika aku mulai meneruskan jalan. Mengapa perjalanan pulangku begitu menyeramkan. Kalau tahu keadaannya seperti ini aku mending ikut bersama temanku pulang kerumah mereka dari pada harus pulang sendiri melewati jalan yang menyeramkan ini. 

Detak jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari yang tadi, angin mulai menembus rongga sweaterku yang tak terlalu tebal, ditambah bulu kudukku mulai berdiri. Ku langkahkan kaki perlahan kemudian semakin cepat dan cepat. Jalanku yang sempoyong karena jalan yang tak rata berbatu terasa sakit saat menginjak batu yang besar menembus sepatu catku. 

Hal yang paling menyeramkan lagi aku seperti mendengar suara samar-samar seorang wanita dari arah pohon bambu tersebut. Aku tak berani melirik dan menutup kedua telingaku dengan telapak tangan. Ku percepat langkah kaki hingga aku berlari namun suara itu semakin jelas dengan riuhan suara angin malam yang menggoyangkan pohon bambu—seolah menakut-nakutiku dengan guguran daun keringnya. Beberapa kali aku tersandung batu, karena jalan yang ku lalui tidak terlalu jelas, cahaya redup tidak cukup untuk menerangi jalan seram itu.

Ku terus berlari namun aku tak punya suara untuk berteriak minta tolong. Mungkin itu hal yang sia-sia juga. Karena tak ada seorang pun di jalan itu dan rumah pun seperti sepi sekali. Rasa ketakutanku berubah menjadi rasa ketegangan yang luar biasa, ingin rasanya aku menangis namun air mataku pun tak mau keluar di suasana mencekam seperti ini, ketika itu aku merasa ada hal yang memperhatikanku dari samping seperti putih-putih terbang namun samar. Aku tak berani menyimpukan itu apa. Yang ada dalam benakku hanya berlari dan keluar dari jalan yang menakutkan ini.

Setelah tingkat ketakutanku semakin parah aku melihat seberkas cahaya terang di depan mataku. Cahaya itu semakin mendekatiku dan seperti menabrak dengan cepat. Serentak sekujur tubuhku lemah. Aku terjatuh dan tak sadarkan diri.

Tiba-tiba aku terbangun. Aku seperti tertidur lama. Aku memegang kepalaku, rasanya sakit sekali. Saat ku buka mata aku berada di kamarku sendiri, ku lirik jendela hari sudah pagi. Aku tak ingat banyak kejadian malam itu. Kemudian ibuku masuk ke kamarku membawakan sarapan.

“kamu sudah sadar to ndo?” ujar ibu.

“memangnya aku kenapa bu. Kapan aku pulang?” sautku sambil menguap.

“semalam kamu pingsan di jalan, beruntung Pak Amin tetangga sebelah melihat dan membawamu pulang di motornya. Ibu sangat khawatir sama kamu. Nanti lagi jangan pulang malam-malam ya ndo.” 

“oya bu. Aku ingat. Semalem aku pulang lewat Jalan Serawang.”

“sejak kapan ada Jalan Serawang. Ngelindur kamu ndo...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar