Selasa, 20 Oktober 2015

Sepotong Cerita : Kata Hati

Aku pernah menanyakan sesuatu padanya tentang kata hati. Kemudian ia menjawab “mengapa kamu tanyakan itu padaku?”
“aku hanya ingin tahu, apa kata hati seorang perempuan berbeda dengan laki-laki?” kataku.
Ia sejenak menatapku dengan serius saat aku menanyakan hal itu. Kemudian ia memalingkan pandangannya pada laut di hadapannya.
“Hati perempuan seperti laut di kala senja. Ombaknya tenang, suaranya lembut, warnanya indah, selalu membuat perempuan hanyut di dalamnya.” Katanya.
“apa kamu menyukai laut?” aku memalingkan pandangan ke arah laut. Ia kembali melihatku dan melihat lagi ke laut. “Aku tidak terlalu suka laut.” Singkatnya.
“kenapa? Bukankah katamu laut itu indah?”
Ia memejamkan mata sejenak dan menghirup panjang udara senja, tersenyum lalu diam. Ia mengambil jeda untuk kemudian berbicara kembali. “laut memang indah. Tapi bukan berarti aku menyukainya. Ia bisa saja menjadi feminim saat ini, namun kita tidak tahu ketika pasang ia bisa saja menjadi monster yang sangat menakutkan yang kapan saja bisa memakanku. Makanya aku tak berani menyapanya dari dekat. Aku takut sewaktu-waktu aku terhanyut dalam kemenawanannya lalu aku terbawa hilang.”
Kemudian aku tahu ia tak terlalu menyukai laut di pagi, siang, ataupun malam hari. Ia hanya datang saat senja. Baginya laut sedang tidur. Mungkinkah laut tertidur dengan waktu yang sesingkat itu, selama senja saja, setelah itu laut kembali mengganas.
“itulah kata hati perempuan. Sulit ditebak. Kamu yang tahu hati perempuan itu lembut dan penuh kasih namun kamu tidak banyak tahu hati perempuan pun kapan saja bisa seperti laut itu. menjadi monster !! aku takut saat hati ini terluka sedikit saja. Ia akan mengacaukan seluruh isi di dalamnya. Hati perempuan itu begitu sensitif, begitu ada yang memulai bermain hati, ia kan menjelma sebagai laut di malam hari. Kamu tidak bisa melihat ombaknya, namun kamu bisa mendengarnya bergemuruh, riuh sekali. Sampai-sampai seperti jeritan bayi menusuk telinga.” Ia melanjutkan ucapannya.
Aku mencoba tersenyum dan menemani ucapannya itu “aku mungkin tak mengerti kata hati seorang perempuan. Tapi aku percaya ketika aku telah mengenalnya lebih dekat dan lebih dalam, aku mulai memahaminya. Seperti laut yang kamu ceritakan. Kamu takut pada laut, itu karena kamu belum mengenalnya lebih dekat. Saat kamu mendekatinya, layaknya tangan manusia, ia akan mengulurkan tangannya kepadamu dan mengajakmu mengenal laut.”
“apa kamu tidak takut?” katanya. “aku tidak takut. Kalau saja ia menjadi monster, aku akan berdiri di hadapannya. Kata hati mempunyai caranya sendiri untuk berkata, bukan melalui ucapan, ataupun sebuah ketakutan. Namun sebuah ketulusan yang akan mengubahnya menjadi senja yang kamu kagumi.” Kataku menjawab keragu-raguannya.
Ia kembali tersenyum padaku. Aku melihat ada yang berwarna di matanya, pantulan senja yang indah terlukis di sana. Kata hati selalu mempunyai caranya sendiri untuk berkata. Ia yang dulu takut pada laut, kini tak lagi. Ada seseorang yang menemaninya untuk mencintai laut seperti kata hatinya. Bahwa sesungguhnya kata hati seorang perempuan itu sama halnya kata hati seorang laki-laki. Sama-sama saling memahami. Meski banyak dari mereka terlambat menyadarinya.

Rabu, 14 Oktober 2015

Rindu Sepenggal Malam

Rindu Sepenggal Malam
Angin sunyi..
diam-diam bersembunyi dari balik kerisauan hati
ada satu kisah cinta dan luka bersimfoni
menjalin ikatan-ikatan berjeruji
ketika bersinggungan, memercikan api
menangkis rasa hening yang lahir menyelimuti
berteriak dalam kehampaan
membisu dalam kebisingan
menghilang ketika mereka terpisahkan jarak hingga
tak ada ruang untuk mengisi rindu 

Namun sebuah malam merangkul dari balik kegelapan
mengisi kekosongan jiwa yang merintih
meredupkan setiap berkas cahaya
menggantinya dengan kehadiran malam

Rindu riuh..
menggema di sekujur tubuh malam
bertelanjang kaki-kaki kecil merayap tenggelam
menyelundup dari celah-celah sepasang mata
hanyut dalam bungkusan hati. kenangan
menunggu surat kecil di sepenggal malam
yang kau tulis dan sampaikan. Rindu.

Namun aku menunggu rindu palsu
tak ada serpihan kata-kata menjelma di sana
yang biasa kau titipkan pada sepenggal malam yang kelam
aku menanti..
hingga tak pernah mengenal cinta-cinta yang lain
ku biarkan mereka tenggelam gelap gulita yang memangsa luka

bukankah cinta dan luka selalu berdampingan?
lantas apa arti sebuah rindu 
yang memisahkan mereka
dan kenangan yang menyatukan mereka?

kau tulis dalam bait doa
kau kirim pada sepenggal malam
ku terima dalam penantian
kemudian menjelma menjadi rindu
yang kelak bermuara dan bersemayam di sana. setiap malam..


Andri Mulyahadi


Rabu, 07 Oktober 2015

Jalan Serawang



Cerpen : Andri Mulyahadi 

Akhir-akhir ini, sekolah mulai ditutup pada pukul 19.00. Mengingat kejadian perampokan tempo lalu yang mengabiskan komputer dan peralatan elektronik lainnya. Semua CCTV dipasang di setiap sudut dan kini para satpam berjaga 24 jam. Aku bersama tiga temanku, Rani, Dea, dan Radit yang masih mengerjakan properti di kelas untuk kegiatan besok di sekolah harus dihentikan, karena ruang kelas yang hendak di kunci. Kami pun pulang setelah solat magrib. Terlihat sekolah begitu sunyi dan mencekam dengan cahaya lampu yang remang-remang.