Kamis, 27 Agustus 2015

Alonely


Cerpen : Andri Mulyahadi
 
Kau pernah merasa sendiri?
Kurasa semua orang pernah merasa sendiri. Kenapa demikian? Karena aku pernah merasakannya. 

Sendiri adalah keadaan dimana sesuatu atau seseorang terpisah dari hal-hal yang berada di sekelilingnya yang mempunyai keterkaitan tertentu.

Namaku Alonely. Kata ibuku, ayahku yang memberi nama itu. Ingin aku bertanya pada ayah apa arti dari namaku, namun sayang aku tidak pernah bertemu dengan ayah. Aku bahkan tidak tahu siapa ayahku. Saat aku tahu ada orang lain di foto terbingkai 
berdiri di atas meja, dalam foto itu, ibuku menggendong seorang bayi dan orang lain itu sedang merangkul ibu sambil tersenyum.
“Apa dia ayahku, bu?” aku menunjuk orang lain itu dalam foto. Ibu mengangguk lalu tersenyum.
Aku kembali bertanya “Ayah itu seperti apa? Lalu kemana ayah, bu? Apa aku bisa bertemu ayah?”
Senyum ibu tiba-tiba saja hilang seketika, terpancar mata sedih dalam raut wajahnya. Ibu melepas kacamata, sesekali mengusap matanya perlahan menghentikan pekerjaannya lalu beranjak menghampiriku.
Ibu melihatku, lalu ia tersenyum kembali sambil memelukku. Pundakku terasa basah, apa ibu menangis? Walau aku tak pernah bertemu dengan ayah, tapi aku beruntung ada ibu yang selalu menyayangiku.
***
Sejak aku kecil, aku jarang sekali keluar rumah. Ibu selalu berpesan padaku saat hendak berangkat bekerja agar aku jangan keluar rumah apalagi pergi kemana-mana, ia juga meminta pembantu perempuan agar selalu menjagaku, ia tak mau kejadian tempo lalu menimpahku saat aku berumur tiga tahun.
Saat itu aku sedang bermain bola di teras depan rumahku bersama pembantu perempuan. Kemudian bola itu tak sengaja keluar melewati celah pagar rumah, aku mengejarnya keluar rumah, pembantuku menyusul ku dari belakang. Bola itu semakin kencang menggelinding keluar rumah, saat aku berhasil menangkap bola, ada suara keras sekali menyelusup ke dalam telingaku hingga aku melepaskan bolaku dan menutup kedua telingaku. Saat aku menengok ke samping ada sesuatu yang melaju kencang sekali, begitu cepat mengampiriku. Seketika aku terpental dan jatuh, aku melihat kaki kananku penuh dengan darah, aku merasakan sakit yang sangat tak tertahankan lalu aku menangis dan menjerit sekencang-kencangnya. Aku masih tergeletak di atas permukaan yang kasar itu, sesuatu yang baru saja menghantam kakiku sudah tiada. Pembantuku menghampiri dan menggendongku, aku tidak bisa mendengar apa yang ia katakan—seperti teriakan orang minta tolong. Aku pun menutup mataku di pelukannya.  
Aku membuka mataku perlahan. Aku seperti berada di tempat yang sangat asing bagiku, aku terbaring di atas kasur tinggi sekali, banyak selang kecil panjang di tangan dan hidungku. Ingin ku beranjak tapi aku tak kuasa. Seluruh badanku seperti kaku tak bisa digerakan. Aku takut saat aku berada sendiri di tempat itu. Sepi sekali, sesekali ada suara denyut dari layar itu. Ditambah udara dingin dan bau yang aku tak sukai, seperti bau obat.
Aku menengok ke arah pintu dan jendela, berharap ada seseorang disana. Syukur aku melihat orang. Seseorang berbaju putih—mungkin itu yang orang sering menyebutnya, seorang dokter—sedang berbicara dengan ibu. Aku tak bisa mendengar suara mereka. aku kembali menutup mata dan tertidur.
***
Kejadian kecelakaan yang menimpahku dua tahun yang lalu, membuat ibu begitu syok lalu berhenti dari pekerjaannya di kantor dan memilih bekerja menjadi penjahit pakaian di rumah sembari menjagaku. Pembantuku langsung dipecat waktu itu juga karena lalai menjagaku.
Kini aku mengalami cacat permanen di usiaku menginjak lima tahun. Kecelakaan saat aku ditabrak motor kencang hingga kaki kananku patah dan harus dipotong—mereka menyebutnya diamputasi.
“Kaki kananku kemana, bu? Kenapa aku hanya punya satu kaki?”
“Maafkan ibu, nak. Ibu tidak menjagamu dengan baik” ia berkata dalam hati sambil menangis melihatku.
Hari-hariku menjadi tak berarti. Kini kaki kiriku kehilangan pasangannya. Ibu menyuruhku menaiki kursi roda, namun aku tidak mau, karena jika aku menggunakan kursi roda aku tidak bisa lagi bermain bola. Akhirnya kaki kiriku mempunyai pengganti pasangannya, ya tongkat kaki, yang ku pegang dengan tangan kananku. Tongkat itu yang mengganti kaki kananku untuk berjalan, walau tak sehebat kaki kananku dalam berlari dan menendang bola, setidaknya aku tidak terjatuh saat berdiri dan berjalan.
Aku lebih banyak menyendiri dan melamun. Tak nafsu dan tak mau makan walau ibu menyuapiku bubur ayam kesukaanku.
“Nak, ini ada bubur ayam kesukaanmu, ibu suapi ya?”
“Aku gak mau makan, bu.” Aku menggeleng dan menutup mulutku.
“Nanti kamu sakit, sayang.”
“Aku memang sudah sakit, bu”
Ibu menyuruhku makan, ia tak ingin melihatku merasa tersiksa lagi. Dan akhirnya aku terpaksa makan karena aku tak ingin melihat ibu setiap harinya bersedih melihatku.
Tak lama ibu yang sakit. Penyakit asmanya kambuh. Aku bergegas menelpon pamanku, lalu beliau membawa ibu ke rumah sakit. Aku, hanya menangis melihat ibu.
Ibu terbaring di tempat sepi dan menyeramkan itu. Tempat di mana aku pernah dengan cukup lama dan tabah terbaring tak berdaya di tempat itu, seorang diri. Kini ibu sendiri yang mengalaminya. Ia terus terpejam tak sadarkan diri setiap hari.
Aku duduk dan berdoa di kursi panjang di depan ruangan yang bertuliskan “RUANG ICU”. Aku tak tahu artinya apa tapi yang pasti aku merasa sedih ibuku berada di dalam sana, berharap ibu cepat sadar.
Hari sudah malam, paman entah kemana, katanya sedang mengurusi biaya rumah sakit. Ia kemudian datang dan mengajakku pulang ke rumahnya, namun aku menolaknya aku ingin di sini menemani ibu. Aku tidur di kursi panjang yang dingin, aku tidak dibolehkan masuk ke ruangan ibu—dokter melarangnya. Tak hanya di dalam sana, tempat aku duduk dan tidur pun begitu sepi.
“Ya Tuhan, tolonglah ibuku. Buatlah agar ia sehat kembali dan bisa pulang kembali ke rumah.”
Hari berikutnya dokter membawa ibu ke tempat lain ke sebuah ruangan tersendiri, di sana tertuliskan “RUANG OPERASI”. Aku dan paman menunggu di luar lalu kami berdoa untuk keselamatan ibu.
Waktu berlalu begitu cepat. Tampak dokter sedang berbincang dengan paman. Entah membicarakan apa. Aku melihat ke jendela ruangan ibuku, aku heran mengapa wajah ibuku ditutup dengan kain putih. Aku melirik ke arah paman dan dokter.
“Maafkan pak dokter ya, nak. Pak dokter tidak bisa menyelamatkan ibu kamu.”
“Lonely, maafin paman ya, paman sudah berusaha untuk ibumu tapi Tuhan berkehendak lain. Ibumu sudah tiada.” Paman memeluku erat sekali dan berbisik di telingaku.
“Lon, yang sabar ya, mulai sekarang kamu tinggal saja di rumah paman dan bibi ya.”
Aku hanya diam mencoba menafsirkan semua keadaan ini, hingga akhirnya mataku tak henti meneteskan air mata.
“Ibu.. bangun bu.. bangun.. ibuuu.. “
***
Hari demi hari aku lalui seorang diri. Biasanya ada ibu yang setiap pagi menyemangati dan menyuapiku. Kini aku makan hanya kalau aku diberi makan saja oleh bibi atau pamanku. Dengan kondisiku yang cacat ini apalah dayaku. Aku lebih banyak menghabiskan diri untuk menyendiri di kamar dengan bola kesayanganku.
Aku memang tidak sering bertemu dengan paman. Ia bekerja di luar kota dan pulangnya pun kadang tiga bulan sekali. Di rumahnya aku tinggal bersama bibi dan dua anaknya Reno dan Raya, mereka berdua sebaya denganku. Namun mereka tidak menyukaiku tinggal di rumah mereka, begitupun bibi. Hanya paman yang baik kepadaku. Mereka menyebutku si pincang.
Aku tidak marah. Walau mereka sering menghina dan kadang menyiksaku. Aku tidak melawan, aku sadar diri. Dengan tinggal di rumah mereka pun aku sudah bersyukur—mungkin kalau bukan karena pamanku, aku sudah diusir dari rumah mereka.
Di usiaku yang ketujuh tahun, aku memberanikan diri untuk pergi sekolah. Paman mendaftarkan aku dan kedua anaknya untuk masuk sekolah dasar. Aku sangat senang sekali bisa bersekolah, walau kedua sepupuku itu tidak pernah suka kalau aku satu sekolah dengan mereka. Dan paman lebih memperhatikan aku daripada kedua anaknya.
“Bapak, kenapa si pincang itu sekolah bersama kita, untuk berjalan saja dia tak mampu” ujar Reno.
“Iya, kenapa bapak lebih perhatian kepada si pincang dari pada kami.” Ujar Raya.
“Hei Reno Raya, dengar bapak. Lonely ini sudah tidak ada ayah dan ibunya. Kalian jangan memusuhinya kasihan dia.”
Selama aku bersekolah aku selalu berharap mempunyai teman yang bisa ku ajak bermain bola. Namun aku malah diejek dan dihina oleh teman-temanku disekolah.
“Kau ingin bermain bola bersama kami? Jangan harap.” Ujar teman sekolahku.
“Iya, kau ini pincang mana bisa main bola.”
“Sana pergi, dasar pincang.” Mereka menertawakanku.
Lalu aku pun pergi.
***
Hari berganti hari, tahun pun berganti tahun hingga waktu terasa begitu cepat berlalu. Aku beranjak remaja. Kini aku telah lulus Sekolah Menengah Pertama. Aku termasuk anak yang berprestasi di kelas, kata guruku aku akan mendapat beasiswa kelak di SMA dan  mungkin di Perguruan Tinggi. Aku senang, aku semakin terbiasa dengan kesendirianku, tak peduli lagi teman-temanku mengejekku si pincang, tak ada teman, hanya bola kesayanganku yang selalu aku bawa kemanapun aku pergi.
Saat sepulang sekolah aku biasa bermain bola sendiri di taman, walaupun hanya dengan satu kaki tidak menyurutkan kesukaanku pada bola. Tak sengaja saat aku menendang bola terlalu keras ada seseorang yang menahannya dengan kakinya. Seorang laki-laki berdiri dihadapanku. Ia berkata.
“Boleh aku ikut bermain?”
Aku melihatnya. Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Aku tersenyum dan mengangguk.
 “Oya siapa namamu.” Ia bertanya.
“Alonely..”
“Lucu sekali namamu, siapa yang memberi nama itu?”
“Ayahku.. kamu sendiri siapa?” aku balik bertanya.
“Namaku..” perkataannya terhenti saat ada yang memanggilnya.
“Boy !!”
“Iya ayah.” Ia menengok ke belakang.
Ternyata namanya Boy. Orangtuanya memanggilnya lalu ia mengajakku menemui orangtuanya.
Aku mengambil bola dan mengampiri mereka.
“Ibu, ayah. Ini teman baruku.” Boy memperkenalkan aku dengan kedua orangtuanya. Akupun bersalaman dengan mereka.
Namun ketika aku melihat ayahnya Boy. Aku teringat sesuatu. Wajah ayahnya terasa tak asing bagiku. Seperti aku pernah melihatnya tapi di mana.
Ia menjabat tanganku “Namamu siapa, nak?”
“Ayah? Apa kau ayahku?” aku spontan berkata demikian.
Memoryku seolah mengingatkan ku pada sebuah foto di rumahku dulu. Sosok pria di samping ibu yang menggendong bayi itu, benar-benar mirip sekali dengannya. Ya aku yakin betul dia pria di foto ku dulu.
“Apa maksudmu nak, saya tidak mengerti?” Ia seperti telah melupakan aku dan ibu.
“Apa anda pernah menikah dengan seorang wanita lima belas tahun yang lalu dan melahirkan seorang bayi?” aku bertanya histeris kepadanya.
Dia tak menjawab. Kemudian isterinya itu bertanya padaku.
“Siapa kau, nak?”
“Aku bayi waktu itu, anak dari laki-laki itu.” Aku menunjuk ayahku. Ia melihatku.
“Aku ingat kau anakku, Alonely. Anak dari isteriku yang pertama. Kemana ibumu?”
“Ibu sudah meninggal dunia. Dan aku sudah cacat sejak aku berumur tiga tahun. Ayah macam apa kau ini, tega meninggalkan seorang wanita dengan bayi yang masih menangis.”
Aku meninggalkan ayahku bersama mereka, keluarga barunya—isteri dan anaknya—dan aku berjanji untuk tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.
Ia memanggil-manggil namaku, untuk apa? Aku seolah tidak mendengarnya. Tangisanku sudah menutup panggilannya kepadaku sebagai anaknya. Selama ini aku selalu berdoa agar aku bisa bertemu dengan ayahku, jauh semenjak kepergian ibu. Ingin sekali aku memeluknya bersama ibu. Namun aku malah berharap kepada orang yang salah. Setelah aku tahu ia yang menghamili ibuku dan terpaksa untuk menikahinya kemudian meninggalkannya, aku berdoa untuk tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Setelah aku tahu yang sebenarnya, bagiku aku tidak pernah mempunyai ayah. Kalau saja aku bisa meminta dulu, aku tak pernah ingin dilahirkan mempunyai ayah sepertinya. Apa aku ini anak haram?
Setelah aku belajar, aku menjadi mengerti, bajingan itu yang memberi nama saat aku masih bayi tapi aku tidak pernah menyalahkan nama itu. Arti dari namaku adalah hidupku sendiri. Alone yang berarti “sendiri” dan lonely yang berarti kesepian.
Namaku Alonely, anak yang hidup sendiri dan kesepian.
Lihatlah. Aku tidak akan pulang lagi ke rumah paman, aku ingin menemui ibu. Aku akan pergi ke makam ibu sendiri, dan menemaninya disana.
“Ibu, aku datang, bu. Aku rindu sekali sama ibu..”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar