Cerpen : Andri Mulyahadi
Kurasa semua orang pernah merasa sendiri. Kenapa
demikian? Karena aku pernah merasakannya.
Sendiri adalah keadaan dimana sesuatu atau seseorang terpisah dari hal-hal yang berada di sekelilingnya yang mempunyai keterkaitan tertentu.
Sendiri adalah keadaan dimana sesuatu atau seseorang terpisah dari hal-hal yang berada di sekelilingnya yang mempunyai keterkaitan tertentu.
Namaku Alonely. Kata ibuku, ayahku yang memberi nama
itu. Ingin aku bertanya pada ayah apa arti dari namaku, namun sayang aku tidak
pernah bertemu dengan ayah. Aku bahkan tidak tahu siapa ayahku. Saat aku tahu
ada orang lain di foto terbingkai
berdiri di atas meja, dalam foto itu, ibuku menggendong seorang bayi dan orang lain itu sedang merangkul ibu sambil tersenyum.
berdiri di atas meja, dalam foto itu, ibuku menggendong seorang bayi dan orang lain itu sedang merangkul ibu sambil tersenyum.
“Apa dia ayahku, bu?” aku menunjuk orang lain itu
dalam foto. Ibu mengangguk lalu tersenyum.
Aku kembali bertanya “Ayah itu seperti apa? Lalu
kemana ayah, bu? Apa aku bisa bertemu ayah?”
Senyum ibu tiba-tiba saja hilang seketika, terpancar
mata sedih dalam raut wajahnya. Ibu melepas kacamata, sesekali mengusap matanya
perlahan menghentikan pekerjaannya lalu beranjak menghampiriku.
Ibu melihatku, lalu ia tersenyum kembali sambil
memelukku. Pundakku terasa basah, apa ibu menangis? Walau aku tak pernah
bertemu dengan ayah, tapi aku beruntung ada ibu yang selalu menyayangiku.
***
Sejak aku kecil, aku jarang sekali keluar rumah. Ibu
selalu berpesan padaku saat hendak berangkat bekerja agar aku jangan keluar
rumah apalagi pergi kemana-mana, ia juga meminta pembantu perempuan agar selalu
menjagaku, ia tak mau kejadian tempo lalu menimpahku saat aku berumur tiga tahun.
Saat itu aku sedang bermain bola di teras depan rumahku
bersama pembantu perempuan. Kemudian bola itu tak sengaja keluar melewati celah
pagar rumah, aku mengejarnya keluar rumah, pembantuku menyusul ku dari
belakang. Bola itu semakin kencang menggelinding keluar rumah, saat aku
berhasil menangkap bola, ada suara keras sekali menyelusup ke dalam telingaku
hingga aku melepaskan bolaku dan menutup kedua telingaku. Saat aku menengok ke
samping ada sesuatu yang melaju kencang sekali, begitu cepat mengampiriku.
Seketika aku terpental dan jatuh, aku melihat kaki kananku penuh dengan darah,
aku merasakan sakit yang sangat tak tertahankan lalu aku menangis dan menjerit
sekencang-kencangnya. Aku masih tergeletak di atas permukaan yang kasar itu,
sesuatu yang baru saja menghantam kakiku sudah tiada. Pembantuku menghampiri
dan menggendongku, aku tidak bisa mendengar apa yang ia katakan—seperti
teriakan orang minta tolong. Aku pun menutup mataku di pelukannya.
Aku membuka mataku perlahan. Aku seperti berada di tempat
yang sangat asing bagiku, aku terbaring di atas kasur tinggi sekali, banyak
selang kecil panjang di tangan dan hidungku. Ingin ku beranjak tapi aku tak
kuasa. Seluruh badanku seperti kaku tak bisa digerakan. Aku takut saat aku
berada sendiri di tempat itu. Sepi sekali, sesekali ada suara denyut dari layar
itu. Ditambah udara dingin dan bau yang aku tak sukai, seperti bau obat.
Aku menengok ke arah pintu dan jendela, berharap ada
seseorang disana. Syukur aku melihat orang. Seseorang berbaju putih—mungkin itu
yang orang sering menyebutnya, seorang dokter—sedang berbicara dengan ibu. Aku
tak bisa mendengar suara mereka. aku kembali menutup mata dan tertidur.
***
Kejadian kecelakaan yang menimpahku dua tahun yang
lalu, membuat ibu begitu syok lalu berhenti dari pekerjaannya di kantor dan
memilih bekerja menjadi penjahit pakaian di rumah sembari menjagaku. Pembantuku
langsung dipecat waktu itu juga karena lalai menjagaku.
Kini aku mengalami cacat permanen di usiaku menginjak lima
tahun. Kecelakaan saat aku ditabrak motor kencang hingga kaki kananku patah dan
harus dipotong—mereka menyebutnya diamputasi.
“Kaki kananku kemana, bu? Kenapa aku hanya punya satu
kaki?”
“Maafkan
ibu, nak. Ibu tidak menjagamu dengan baik” ia berkata dalam hati sambil
menangis melihatku.
Hari-hariku menjadi tak berarti. Kini kaki kiriku
kehilangan pasangannya. Ibu menyuruhku menaiki kursi roda, namun aku tidak mau,
karena jika aku menggunakan kursi roda aku tidak bisa lagi bermain bola.
Akhirnya kaki kiriku mempunyai pengganti pasangannya, ya tongkat kaki, yang ku
pegang dengan tangan kananku. Tongkat itu yang mengganti kaki kananku untuk
berjalan, walau tak sehebat kaki kananku dalam berlari dan menendang bola,
setidaknya aku tidak terjatuh saat berdiri dan berjalan.
Aku lebih banyak menyendiri dan melamun. Tak nafsu dan
tak mau makan walau ibu menyuapiku bubur ayam kesukaanku.
“Nak, ini ada bubur ayam kesukaanmu, ibu suapi ya?”
“Aku gak mau makan, bu.” Aku menggeleng dan menutup
mulutku.
“Nanti kamu sakit, sayang.”
“Aku memang sudah sakit, bu”
Ibu menyuruhku makan, ia tak ingin melihatku merasa
tersiksa lagi. Dan akhirnya aku terpaksa makan karena aku tak ingin melihat ibu
setiap harinya bersedih melihatku.
Tak lama ibu yang sakit. Penyakit asmanya kambuh. Aku
bergegas menelpon pamanku, lalu beliau membawa ibu ke rumah sakit. Aku, hanya
menangis melihat ibu.
Ibu terbaring di tempat sepi dan menyeramkan itu.
Tempat di mana aku pernah dengan cukup lama dan tabah terbaring tak berdaya di
tempat itu, seorang diri. Kini ibu sendiri yang mengalaminya. Ia terus terpejam
tak sadarkan diri setiap hari.
Aku duduk dan berdoa di kursi panjang di depan ruangan
yang bertuliskan “RUANG ICU”. Aku tak tahu artinya apa tapi yang pasti aku
merasa sedih ibuku berada di dalam sana, berharap ibu cepat sadar.
Hari sudah malam, paman entah kemana, katanya sedang
mengurusi biaya rumah sakit. Ia kemudian datang dan mengajakku pulang ke
rumahnya, namun aku menolaknya aku ingin di sini menemani ibu. Aku tidur di
kursi panjang yang dingin, aku tidak dibolehkan masuk ke ruangan ibu—dokter
melarangnya. Tak hanya di dalam sana, tempat aku duduk dan tidur pun begitu
sepi.
“Ya Tuhan,
tolonglah ibuku. Buatlah agar ia sehat kembali dan bisa pulang kembali ke rumah.”
Hari berikutnya dokter membawa ibu ke tempat lain ke
sebuah ruangan tersendiri, di sana tertuliskan “RUANG OPERASI”. Aku dan paman
menunggu di luar lalu kami berdoa untuk keselamatan ibu.
Waktu berlalu begitu cepat. Tampak dokter sedang
berbincang dengan paman. Entah membicarakan apa. Aku melihat ke jendela ruangan
ibuku, aku heran mengapa wajah ibuku ditutup dengan kain putih. Aku melirik ke
arah paman dan dokter.
“Maafkan pak dokter ya, nak. Pak dokter tidak bisa
menyelamatkan ibu kamu.”
“Lonely, maafin paman ya, paman sudah berusaha untuk
ibumu tapi Tuhan berkehendak lain. Ibumu sudah tiada.” Paman memeluku erat
sekali dan berbisik di telingaku.
“Lon, yang sabar ya, mulai sekarang kamu tinggal saja
di rumah paman dan bibi ya.”
Aku hanya diam mencoba menafsirkan semua keadaan ini,
hingga akhirnya mataku tak henti meneteskan air mata.
“Ibu..
bangun bu.. bangun.. ibuuu.. “
***
Hari demi hari aku lalui seorang diri. Biasanya ada
ibu yang setiap pagi menyemangati dan menyuapiku. Kini aku makan hanya kalau
aku diberi makan saja oleh bibi atau pamanku. Dengan kondisiku yang cacat ini
apalah dayaku. Aku lebih banyak menghabiskan diri untuk menyendiri di kamar
dengan bola kesayanganku.
Aku memang tidak sering bertemu dengan paman. Ia
bekerja di luar kota dan pulangnya pun kadang tiga bulan sekali. Di rumahnya
aku tinggal bersama bibi dan dua anaknya Reno dan Raya, mereka berdua sebaya
denganku. Namun mereka tidak menyukaiku tinggal di rumah mereka, begitupun
bibi. Hanya paman yang baik kepadaku. Mereka menyebutku si pincang.
Aku tidak marah. Walau mereka sering menghina dan
kadang menyiksaku. Aku tidak melawan, aku sadar diri. Dengan tinggal di rumah
mereka pun aku sudah bersyukur—mungkin kalau bukan karena pamanku, aku sudah
diusir dari rumah mereka.
Di usiaku yang ketujuh tahun, aku memberanikan diri
untuk pergi sekolah. Paman mendaftarkan aku dan kedua anaknya untuk masuk
sekolah dasar. Aku sangat senang sekali bisa bersekolah, walau kedua sepupuku
itu tidak pernah suka kalau aku satu sekolah dengan mereka. Dan paman lebih
memperhatikan aku daripada kedua anaknya.
“Bapak, kenapa si pincang itu sekolah bersama kita,
untuk berjalan saja dia tak mampu” ujar Reno.
“Iya, kenapa bapak lebih perhatian kepada si pincang
dari pada kami.” Ujar Raya.
“Hei Reno Raya, dengar bapak. Lonely ini sudah tidak
ada ayah dan ibunya. Kalian jangan memusuhinya kasihan dia.”
Selama aku bersekolah aku selalu berharap mempunyai
teman yang bisa ku ajak bermain bola. Namun aku malah diejek dan dihina oleh
teman-temanku disekolah.
“Kau ingin bermain bola bersama kami? Jangan harap.”
Ujar teman sekolahku.
“Iya, kau ini pincang mana bisa main bola.”
“Sana pergi, dasar pincang.” Mereka menertawakanku.
Lalu aku pun pergi.
***
Hari berganti hari, tahun pun berganti tahun hingga
waktu terasa begitu cepat berlalu. Aku beranjak remaja. Kini aku telah lulus
Sekolah Menengah Pertama. Aku termasuk anak yang berprestasi di kelas, kata
guruku aku akan mendapat beasiswa kelak di SMA dan mungkin di Perguruan Tinggi. Aku senang, aku
semakin terbiasa dengan kesendirianku, tak peduli lagi teman-temanku mengejekku
si pincang, tak ada teman, hanya bola kesayanganku yang selalu aku bawa
kemanapun aku pergi.
Saat sepulang sekolah aku biasa bermain bola sendiri
di taman, walaupun hanya dengan satu kaki tidak menyurutkan kesukaanku pada
bola. Tak sengaja saat aku menendang bola terlalu keras ada seseorang yang
menahannya dengan kakinya. Seorang laki-laki berdiri dihadapanku. Ia berkata.
“Boleh aku ikut bermain?”
Aku melihatnya. Aku tidak pernah melihat dia
sebelumnya. Aku tersenyum dan mengangguk.
“Oya siapa
namamu.” Ia bertanya.
“Alonely..”
“Lucu sekali namamu, siapa yang memberi nama itu?”
“Ayahku.. kamu sendiri siapa?” aku balik bertanya.
“Namaku..” perkataannya terhenti saat ada yang
memanggilnya.
“Boy !!”
“Iya ayah.” Ia menengok ke belakang.
Ternyata namanya Boy. Orangtuanya memanggilnya lalu ia
mengajakku menemui orangtuanya.
Aku mengambil bola dan mengampiri mereka.
“Ibu, ayah. Ini teman baruku.” Boy memperkenalkan aku
dengan kedua orangtuanya. Akupun bersalaman dengan mereka.
Namun ketika aku melihat ayahnya Boy. Aku teringat
sesuatu. Wajah ayahnya terasa tak asing bagiku. Seperti aku pernah melihatnya
tapi di mana.
Ia menjabat tanganku “Namamu siapa, nak?”
“Ayah? Apa kau ayahku?” aku spontan berkata demikian.
Memoryku seolah mengingatkan ku pada sebuah foto di
rumahku dulu. Sosok pria di samping ibu yang menggendong bayi itu, benar-benar
mirip sekali dengannya. Ya aku yakin betul dia pria di foto ku dulu.
“Apa maksudmu nak, saya tidak mengerti?” Ia seperti
telah melupakan aku dan ibu.
“Apa anda pernah menikah dengan seorang wanita lima
belas tahun yang lalu dan melahirkan seorang bayi?” aku bertanya histeris
kepadanya.
Dia tak menjawab. Kemudian isterinya itu bertanya
padaku.
“Siapa kau, nak?”
“Aku bayi waktu itu, anak dari laki-laki itu.” Aku
menunjuk ayahku. Ia melihatku.
“Aku ingat kau anakku, Alonely. Anak dari isteriku
yang pertama. Kemana ibumu?”
“Ibu sudah meninggal dunia. Dan aku sudah cacat sejak
aku berumur tiga tahun. Ayah macam apa kau ini, tega meninggalkan seorang
wanita dengan bayi yang masih menangis.”
Aku meninggalkan ayahku bersama mereka, keluarga
barunya—isteri dan anaknya—dan aku berjanji untuk tidak akan pernah bertemu
lagi dengannya.
Ia memanggil-manggil namaku, untuk apa? Aku seolah
tidak mendengarnya. Tangisanku sudah menutup panggilannya kepadaku sebagai
anaknya. Selama ini aku selalu berdoa agar aku bisa bertemu dengan ayahku, jauh
semenjak kepergian ibu. Ingin sekali aku memeluknya bersama ibu. Namun aku
malah berharap kepada orang yang salah. Setelah aku tahu ia yang menghamili
ibuku dan terpaksa untuk menikahinya kemudian meninggalkannya, aku berdoa untuk
tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Setelah aku tahu yang sebenarnya,
bagiku aku tidak pernah mempunyai ayah. Kalau saja aku bisa meminta dulu, aku
tak pernah ingin dilahirkan mempunyai ayah sepertinya. Apa aku ini anak haram?
Setelah aku belajar, aku menjadi mengerti, bajingan
itu yang memberi nama saat aku masih bayi tapi aku tidak pernah menyalahkan
nama itu. Arti dari namaku adalah hidupku sendiri. Alone yang berarti “sendiri” dan lonely yang berarti kesepian.
Namaku Alonely, anak yang hidup sendiri dan kesepian.
Lihatlah. Aku tidak akan pulang lagi ke rumah paman,
aku ingin menemui ibu. Aku akan pergi ke makam ibu sendiri, dan menemaninya
disana.
“Ibu, aku datang, bu. Aku rindu sekali sama ibu..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar