Sabtu, 05 September 2015

Perempuan Kamuflase


Cerpen by : Andri Mulyahadi
 
            Bahagia itu, ketika kita bisa menghabiskan waktu bersama orang yang kita cintai. Namun, aku belum sempat merasakannya, waktuku terlanjur habis seiring daun-daun yang berguguran dihempaskan waktu..

            Lihatlah. Lelaki itu duduk di sana, ia tampak tersenyum bahagia, bersama seorang perempuan cantik dan seorang anak perempuan yang lucu, di bangku panjang berhiaskan dedaunan kering. Aku rindu berada di sana, tempat yang sama saat aku pernah dengan cukup sabar dan tabah menunggunya selama berjam-jam sebagai seorang perempuan. Itu dulu, sebelum akhirnya aku menyerah. Saat itu aku ingin pulang tapi tak ada gunanya juga aku pulang, aku tak menginginkan rumah. Lalu aku memutuskan untuk menghabiskan tahun demi tahun usiaku hidup untuk bersembunyi.

***
            Adammar Road, dulu dikenal karena di sepanjang jalannya banyak ditumbuhi pohon damar (Agathis Dammar). Pohon yang daunnya meruncing hampir berwarna hujau kehitaman dengan batang tubuh yang besar dan terkadang saat malam hari terdengar tangisan perempuan dari balik batang pohon itu. Aku tahu, itu suara rintihan yang telah lelah menunggu seseorang yang tak pernah datang.
            Memang sejak bertahun-tahun Adammar road telah menjadi tempat banyak pasangan kekasih saling mengikat janji untuk bertemu. Sebagaimana layaknya sebuah janji manusia, ada janji yang ditepati ada pula janji yang diingkarinya. Rumornya, mereka yang menyatukan janji dan saling bertemu di tempat itu akan bernasib baik. Sayangnya, aku tidak bernasib baik, aku mencoba menunggu sebuah janji, namun sepertinya, pemilik janji itu tidak pernah datang untuk menepatinya.
            Satu hal yang tidak di sukai perempuan, menunggu. Tapi entah kenapa, kami, para perempuan malah melakukannya. Bersembunyi di Adammar Road sepanjang waktu, hanya untuk menunggu, bahkan setelah tahu bahwa seseorang yang ditunggu tak akan pernah datang. Aku sendiri menunggu lelaki itu, bahkan ketika tahu bahwa lelaki itu kini telah menikah dengan seorang perempuan yang cantik dan memiliki anak perempuan yang lucu, mirip sekali dengan istrinya. 
            Aku berharap anak itu mirip denganku, tetapi aku sadar aku tak secantik ibunya.
            “Apa kamu menunggu lelaki itu?” aku seperti mendengar seorang perempuan berbicara padaku.
            “Siapa itu?” Aku menanggapi.
            “Bukankah lelaki itu sudah beristri?” 
            Pohon damar itu.. ah bukan maksudku, itu tampak seperti perempuan, ia menampakan diri dari balik batang itu dan memanggil.
            “Iya. Dan mempunyai seorang anak perempuan.”
            “Anaknya lucu sekali. Persis seperti ibunya.”
            “Iya.”
            Pohon damar itu. Seperti jelmaan perempuan yang menunggu. Daun-daunnya selalu berguguran di akhir musim layaknya air mata seorang perempuan yang menangis. Mereka memilih menghabiskan penantiannya sebagai pohon damar, bukan sebagai perempuan, memiliki cinta yang tak akan mampu diukur oleh lelaki manapun di dunia.
            “Apakah kamu seorang perempuan?” aku menanyainya.
           “Ya, aku sama sepertimu, perempuan. Tapi aku tak suka lagi jadi perempuan. Aku lebih suka menjadi pohon damar daripada seorang perempuan. Itu membuatku lebih baik.”
            “Apa kamu juga menunggu seseorang di sini?”
            “Iya. Lihatlah di sekelilingmu! Pohon-pohon damar itu. Mereka sama sepertiku, perempuan yang menunggu seseorang yang berjanji akan bertemu di sini, namun seseorang yang kami tunggu itu tak pernah datang sampai sekarang. Kami masih menunggu, namun bukan sebagai perempuan kami lebih suka bersembunyi sebagai pohon damar. Setelah bertahun-tahun kami berkamuflase menjadi pohon damar dan memperhatikan setiap orang yang lewat atau hanya singgah di jalan ini. Berharap orang yang kami tunggu itu datang.”
            Aku bisa mengerti bagaimana perasaan seorang perempuan yang dilupakan setelah diberi harapan. Pantas saja, jalan ini begitu banyak daun yang berguguran. Rupanya, itu bukti penantian perempuan yang bersedih sepanjang waktu.
          Aku tahu, aku mungkin terlalu bodoh untuk menunggu lelaki itu, tapi itulah cinta. Cinta itu terus menunggu. Walau akhirnya ia datang juga ke tempat ini. Seharusnya aku senang, tapi aku malah bersedih. Karena aku tahu, ia datang bukan untuk menemuiku, ia datang bersama perempuan lain yang telah menjadi istrinya. 
            Rasanya aku ingin berontak, tapi aku tak punya cukup kekuatan untuk itu. Coba kau bayangkan, bagaimana rasanya ditinggalkan oleh lelaki yang kau cintai dan menikah dengan perempuan lain? Sudah beranak pula? Kini aku hanya bisa bersembunyi dan berkamuflase seperti perempuan-perempuan lain yang pernah tersakiti di Adamar Road, lalu memperhatikannya dari jauh.

***
            Pada suatu malam itu, Adamar Road begitu dingin. Angin membuat daun-daun berguguran setiap detiknya hingga menutup setiap jejak seseorang yang lewat di sepanjang jalan. Langit menghadirkan pesona bulan purnama dan bintang-bintang berkilauan. Sinarnya yang terang sesekali menembus celah-celah daun damar membuat tempat ini begitu sunyi. Ku rasa itu sama seperti suasana hati seorang perempuan yang tengah menunggu.
            Di balik pohon damar, aku melihat seseorang berjalan merunduk dan langkahnya menyapu dedaunan yang menutupi jalan, lalu duduk di bangku panjang itu. Sudah pasti aku mengenalnya. Lelaki itu kembali lagi. Tetapi kali ini ia tak bersama perempuan cantik dan seorang anak perempuan, ia seorang diri dan tampak bersedih. Lagi-lagi aku hanya memandanginya dari sebrang. Aku mencoba memberanikan diri untuk menemuinya setelah sekian lama kami tidak bertemu.
        Aku menghampiri dan duduk di sebelahnya. Ia tampak termurung, menundukan kepala dan menadahkan kedua tangannya disana, lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
            “Hei.” Aku memanggilnya.
            “Kamu.. “ Perlahan ia menolehkan wajahnya ke arahku.
            “Iya. Ini aku. Kamu masih mengingatku?”
            “Ya. Sudah lama aku tak bertemu kamu. Sejak.. “
            “Janji bertemu kita yang pertama dan terakhir di sini? Kamu tak datang.. “
            “Maaf. Waktu itu aku.. “
        Ia menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sudah tak perlu lagi. Tapi biarlah, meski begitu aku mendengarkannya.
            Ia menceritakan semuanya padaku dengan jujur dan  merasa bersalah. Ia meminta maaf, karena ia tak datang waktu itu. Waktu ia berjanji akan bertemu aku di sini. Tapi ia lupa, ia tak ingat bahwa ia mempunyai janji untuk menemuiku. Sehari sebelumnya, ia tak sengaja bertemu dengan teman lamanya, lebih tepatnya, mantan kekasihnya. Mereka kemudian kembali melakukan percakapan di sebuah restoran. Dan hingga akhirnya ia menikah dengan mantan kekasihnya itu.
            Ya. Sesederhana itu ia melupakan aku.
            Terkadang sebuah kesederhanaan bisa menjadi rumit dan sulit untuk kita terima. Hal yang biasa kita bilang sederhana bahkan sering kita sepelekan sebenarnya membuatku sakit, sakit dengan sederhana. Hanya karena sebuah dilupakan, menunggu untuk dilupakan. Padahal berapa lama waktu yang ku habiskan hanya dengan menunggu yang alasannya sesederhana itu? Bukannya itu akan menjadi hal yang rumit?
            Baiklah. Aku kesampingkan dulu hal yang sederhana itu. Aku tak ingin membuatnya menjadi rumit. Toh, akhirnya aku sudah bertemu dengannya.
            “Sudahlah. Yang penting kita sudah bertemu. Akhirnya.”
            “Ya. Tapi.. “
            “Mengapa kamu malam-malam ke sini?”
            Ia kembali menunduk. Ia mengusap dan mengosokan kedua telapak tangannya, lalu sesekali menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Ku rasa udara di sekitar telah membuatnya merasa semakin dingin.
            “Keadaan rumah sedang tidak baik.”
            “Kamu bertengkar dengan istrimu?”
         “Iya.. ah tunggu, dari mana kamu tahu aku sudah punya isteri? Dan bagaimana kamu tahu aku bertengkar dengan istriku” Ia terheran.
            “Kamu bahkan sudah punya anak perempuan yang lucu kan. Sudahlah tidak penting aku tahu dari mana.”
            “Begitulah. Kehidupan berumah tangga itu rumit, sama seperti hidup ini.”
            “Apa yang terjadi?”
        “Bisnisku bangkrut, aku diPHK oleh bosku di perusahaan. Utang kami dimana-mana. Anakku menunggak uang sekolah. Kemudian kami bertengkar. Aku bingung harus apa lagi. Lalu aku mencoba menenangkan diri sejenak. Aku berjalan sendiri, tanpa mengajak istriku. Istriku marah padaku, ia menuduhku selingkuh dengan perempuan lain. Akhirnya istriku meninggalkanku pergi..”
            Apa aku bilang. Itu berawal dari sebuah hal yang kecil dan sederhana yang dibiarkan hingga menjadi begitu rumit. Apakah kita tersandung batu besar ataukah batu kecil? Tentu kita mungkin tidak akan tersandung oleh hal yang besar. Hal yang kecil yang sederhana itulah yang sering membuat kita tersandung, bahkan hingga membuat kita terjatuh. Maka jangan pernah menyepelekan hal yang kecil.
            “Kamu selingkuh.. ?”
            “tidak, mana mungkin aku selingkuh. Kalau mau, aku yang mencurigai istriku berselingkuh. Ia kadang pulang malam, membawa banyak belanjaan dan pulang ke rumah dengan sempoyongan, ku rasa ia mabuk. 
Dan aku sering merasa curiga kalau istriku sering diantar om-om sewaktu aku lembur kerja.”
            “Serumit itukah?”
            “Ya, seperti yang aku bilang tadi.”
            Di malam yang dingin ini, tiba-tiba tanganku merasa sedikit hangat. Ku menoleh, ia menggenggam tanganku.
            “Maafkan aku. Seharusnya aku tak menceritakan hal ini kepadamu.”
            “Tidak apa-apa.”
            Di tengah udara dingin Adamar Road. Tiba-tiba saja ia memeluku. Aku merasa sekujur tubuhku hangat seketika. Aku seraya mendengar ia berbisik di telingaku.
            “kadang, aku masih memikirkanmu.” Katanya.
            Jujur saja, aku tidak terlalu suka saat ia memberiku hanya sebuah kadang. Bagiku itu tidaklah cukup, bahkan serasa penantianku selama ini direndahkan oleh kata itu. Aku tidak ingin mencintai orang yang memberiku kadang.
            Maka, aku hanya memberikannya sebuah senyuman, ya, senyuman terakhir untuknya. Saat ia mendekatkan wajahnya ke wajahku aku menahan bahunya dengan tanganku. Aku tak ingin ia menciumku. Aku tahu, ciuman itu tak pantas untukku. Ciuman yang berasal dari bibir itu. Bibir yang dulu memberiku janji untuk bertemu, hingga akhirnya membuatku menunggu, dan bibir itu pula yang memberikan alasan sederhana, lupa.
            Aku beranjak dari bangku. Lalu mulai berjalan meninggalkannya tanpa ucapan sepatahpun.
            “Kamu mau kemana? Tunggu. Kamu mau kemana?”
            Apa yang ia katakan? Ia memintaku menunggu? Memangnya selama ini aku melakukan apa? Tidak cukupkah penantianku menunggunya selama ini? 
            Maaf.. Aku tak mendengarnya, bahkan aku tak mendengar langkah kakinya. Mungkin saudari-saudari perempuanku menutupi telingaku dengan suara riuh angin dan gemerisik daun.
            Apakah semua lelaki itu tak mengerti apa yang dirasakan oleh perempuan? Seharusnya ia memberiku selalu, bukan kadang. Yang seharusnya ia bilang adalah “aku selalu memikirkanmu.” Tapi aku tidak pernah mendengar ia mengatakan itu kepadaku. Bagiku lelaki yang seperti itu yang tak layak lagi untuk ditunggu.
            Ia terus memanggilku. Bukan itu yang diharapkan seorang perempuan. Rasanya bodoh sekali saat aku merasa bahwa aku ingin ia berlari menyusulku, mengejarku, menarik lenganku, dan memeluku, lalu mengucapkan maaf karena telah memberiku hanya sebuah kadang. Sayangnya, itu tidak ia lakukan. 
            Aku terus berjalan meninggalkannya sendiri dengan tidak melihat ke belakang. Aku merasakan sesak dada yang luarbiasa, nafasku tak beraturan sampai aku menitikkan air mata. Aku tak ingin lagi menunggu sebagai perempuan, tidak.. maksudku, aku malah tak ingin lagi menjadi manusia, sudah terlalu sakit rasanya. Mungkin suatu hari nanti, lelaki itu akan sadar bahwa sebuah kadang tak akan pernah cukup bagi perempuan.
            Aku akan menemui saudari-saudariku yang lain. Kalau aku ini ditakdirkan memang seorang perempuan, aku akan berkamuflase seperti saudari-saudariku yang lain, bersembunyi dan menyamar sebagai pohon damar yang menyimpan air mata dan daunnya yang selalu berguguran di sepanjang Adamar Road. Jangan heran saat kau melewati Adamar Road, mendengar tangisan seorang perempuan.. Itu aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar