Cerpen by : Andri Mulyahadi
Bahagia itu, ketika kita
bisa menghabiskan waktu bersama orang yang kita cintai. Namun, aku belum sempat
merasakannya, waktuku terlanjur habis seiring daun-daun yang berguguran
dihempaskan waktu..
Lihatlah.
Lelaki itu duduk di sana, ia tampak tersenyum bahagia, bersama seorang
perempuan cantik dan seorang anak perempuan yang lucu, di bangku panjang
berhiaskan dedaunan kering. Aku rindu berada di sana, tempat yang sama saat aku
pernah dengan cukup sabar dan tabah menunggunya selama berjam-jam sebagai
seorang perempuan. Itu dulu, sebelum akhirnya aku menyerah. Saat itu aku ingin
pulang tapi tak ada gunanya juga aku pulang, aku tak menginginkan rumah. Lalu aku
memutuskan untuk menghabiskan tahun demi tahun usiaku hidup untuk bersembunyi.
***
Adammar
Road, dulu dikenal karena di sepanjang jalannya banyak ditumbuhi pohon damar (Agathis Dammar). Pohon yang daunnya meruncing
hampir berwarna hujau kehitaman dengan batang tubuh yang besar dan terkadang
saat malam hari terdengar tangisan perempuan dari balik batang pohon itu. Aku
tahu, itu suara rintihan yang telah lelah menunggu seseorang yang tak pernah
datang.
Memang
sejak bertahun-tahun Adammar road telah menjadi tempat banyak pasangan kekasih
saling mengikat janji untuk bertemu. Sebagaimana layaknya sebuah janji manusia,
ada janji yang ditepati ada pula janji yang diingkarinya. Rumornya, mereka yang
menyatukan janji dan saling bertemu di tempat itu akan bernasib baik. Sayangnya,
aku tidak bernasib baik, aku mencoba menunggu sebuah janji, namun sepertinya, pemilik
janji itu tidak pernah datang untuk menepatinya.
Satu
hal yang tidak di sukai perempuan, menunggu. Tapi entah kenapa, kami, para
perempuan malah melakukannya. Bersembunyi di Adammar Road sepanjang waktu, hanya
untuk menunggu, bahkan setelah tahu bahwa seseorang yang ditunggu tak akan
pernah datang. Aku sendiri menunggu lelaki itu, bahkan ketika tahu bahwa lelaki
itu kini telah menikah dengan seorang perempuan yang cantik dan memiliki anak
perempuan yang lucu, mirip sekali dengan istrinya.
Aku
berharap anak itu mirip denganku, tetapi aku sadar aku tak secantik ibunya.
“Apa
kamu menunggu lelaki itu?” aku seperti mendengar seorang perempuan berbicara
padaku.
“Siapa
itu?” Aku menanggapi.
“Bukankah
lelaki itu sudah beristri?”
Pohon
damar itu.. ah bukan maksudku, itu tampak seperti perempuan, ia menampakan diri
dari balik batang itu dan memanggil.
“Iya.
Dan mempunyai seorang anak perempuan.”
“Anaknya
lucu sekali. Persis seperti ibunya.”
“Iya.”
Pohon
damar itu. Seperti jelmaan perempuan yang menunggu. Daun-daunnya selalu
berguguran di akhir musim layaknya air mata seorang perempuan yang menangis.
Mereka memilih menghabiskan penantiannya sebagai pohon damar, bukan sebagai
perempuan, memiliki cinta yang tak akan mampu diukur oleh lelaki manapun di
dunia.
“Apakah
kamu seorang perempuan?” aku menanyainya.
“Ya,
aku sama sepertimu, perempuan. Tapi aku tak suka lagi jadi perempuan. Aku lebih
suka menjadi pohon damar daripada seorang perempuan. Itu membuatku lebih baik.”
“Apa
kamu juga menunggu seseorang di sini?”
“Iya.
Lihatlah di sekelilingmu! Pohon-pohon damar itu. Mereka sama sepertiku,
perempuan yang menunggu seseorang yang berjanji akan bertemu di sini, namun
seseorang yang kami tunggu itu tak pernah datang sampai sekarang. Kami masih
menunggu, namun bukan sebagai perempuan kami lebih suka bersembunyi sebagai
pohon damar. Setelah bertahun-tahun kami berkamuflase menjadi pohon damar dan
memperhatikan setiap orang yang lewat atau hanya singgah di jalan ini. Berharap
orang yang kami tunggu itu datang.”
Aku
bisa mengerti bagaimana perasaan seorang perempuan yang dilupakan setelah
diberi harapan. Pantas saja, jalan ini begitu banyak daun yang berguguran.
Rupanya, itu bukti penantian perempuan yang bersedih sepanjang waktu.
Aku tahu,
aku mungkin terlalu bodoh untuk menunggu lelaki itu, tapi itulah cinta. Cinta
itu terus menunggu. Walau akhirnya ia datang juga ke tempat ini. Seharusnya aku
senang, tapi aku malah bersedih. Karena aku tahu, ia datang bukan untuk
menemuiku, ia datang bersama perempuan lain yang telah menjadi istrinya.
Rasanya
aku ingin berontak, tapi aku tak punya cukup kekuatan untuk itu. Coba kau
bayangkan, bagaimana rasanya ditinggalkan oleh lelaki yang kau cintai dan
menikah dengan perempuan lain? Sudah beranak pula? Kini aku hanya bisa
bersembunyi dan berkamuflase seperti perempuan-perempuan lain yang pernah
tersakiti di Adamar Road, lalu memperhatikannya dari jauh.
***
Pada
suatu malam itu, Adamar Road begitu dingin. Angin membuat daun-daun berguguran
setiap detiknya hingga menutup setiap jejak seseorang yang lewat di sepanjang
jalan. Langit menghadirkan pesona bulan purnama dan bintang-bintang berkilauan.
Sinarnya yang terang sesekali menembus celah-celah daun damar membuat tempat
ini begitu sunyi. Ku rasa itu sama seperti suasana hati seorang perempuan yang
tengah menunggu.
Di
balik pohon damar, aku melihat seseorang berjalan merunduk dan langkahnya menyapu
dedaunan yang menutupi jalan, lalu duduk di bangku panjang itu. Sudah pasti aku
mengenalnya. Lelaki itu kembali lagi. Tetapi kali ini ia tak bersama perempuan
cantik dan seorang anak perempuan, ia seorang diri dan tampak bersedih.
Lagi-lagi aku hanya memandanginya dari sebrang. Aku mencoba memberanikan diri
untuk menemuinya setelah sekian lama kami tidak bertemu.
Aku
menghampiri dan duduk di sebelahnya. Ia tampak termurung, menundukan kepala dan
menadahkan kedua tangannya disana, lalu menutup wajah dengan kedua telapak
tangannya.
“Hei.”
Aku memanggilnya.
“Kamu..
“ Perlahan ia menolehkan wajahnya ke arahku.
“Iya.
Ini aku. Kamu masih mengingatku?”
“Ya.
Sudah lama aku tak bertemu kamu. Sejak.. “
“Janji
bertemu kita yang pertama dan terakhir di sini? Kamu tak datang.. “
“Maaf.
Waktu itu aku.. “
Ia
menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sudah tak perlu lagi. Tapi biarlah, meski
begitu aku mendengarkannya.
Ia
menceritakan semuanya padaku dengan jujur dan
merasa bersalah. Ia meminta maaf, karena ia tak datang waktu itu. Waktu
ia berjanji akan bertemu aku di sini. Tapi ia lupa, ia tak ingat bahwa ia
mempunyai janji untuk menemuiku. Sehari sebelumnya, ia tak sengaja bertemu
dengan teman lamanya, lebih tepatnya, mantan kekasihnya. Mereka kemudian
kembali melakukan percakapan di sebuah restoran. Dan hingga akhirnya ia menikah
dengan mantan kekasihnya itu.
Ya.
Sesederhana itu ia melupakan aku.
Terkadang
sebuah kesederhanaan bisa menjadi rumit dan sulit untuk kita terima. Hal yang
biasa kita bilang sederhana bahkan sering kita sepelekan sebenarnya membuatku
sakit, sakit dengan sederhana. Hanya karena sebuah dilupakan, menunggu untuk
dilupakan. Padahal berapa lama waktu yang ku habiskan hanya dengan menunggu
yang alasannya sesederhana itu? Bukannya itu akan menjadi hal yang rumit?
Baiklah.
Aku kesampingkan dulu hal yang sederhana itu. Aku tak ingin membuatnya menjadi
rumit. Toh, akhirnya aku sudah bertemu dengannya.
“Sudahlah.
Yang penting kita sudah bertemu. Akhirnya.”
“Ya.
Tapi.. “
“Mengapa
kamu malam-malam ke sini?”
Ia
kembali menunduk. Ia mengusap dan mengosokan kedua telapak tangannya, lalu
sesekali menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Ku rasa udara di
sekitar telah membuatnya merasa semakin dingin.
“Keadaan
rumah sedang tidak baik.”
“Kamu
bertengkar dengan istrimu?”
“Iya..
ah tunggu, dari mana kamu tahu aku sudah punya isteri? Dan bagaimana kamu tahu
aku bertengkar dengan istriku” Ia terheran.
“Kamu
bahkan sudah punya anak perempuan yang lucu kan. Sudahlah tidak penting aku
tahu dari mana.”
“Begitulah.
Kehidupan berumah tangga itu rumit, sama seperti hidup ini.”
“Apa
yang terjadi?”
“Bisnisku
bangkrut, aku diPHK oleh bosku di perusahaan. Utang kami dimana-mana. Anakku
menunggak uang sekolah. Kemudian kami bertengkar. Aku bingung harus apa lagi.
Lalu aku mencoba menenangkan diri sejenak. Aku berjalan sendiri, tanpa mengajak
istriku. Istriku marah padaku, ia menuduhku selingkuh dengan perempuan lain.
Akhirnya istriku meninggalkanku pergi..”
Apa
aku bilang. Itu berawal dari sebuah hal yang kecil dan sederhana yang dibiarkan
hingga menjadi begitu rumit. Apakah kita tersandung batu besar ataukah batu
kecil? Tentu kita mungkin tidak akan tersandung oleh hal yang besar. Hal yang
kecil yang sederhana itulah yang sering membuat kita tersandung, bahkan hingga membuat
kita terjatuh. Maka jangan pernah menyepelekan hal yang kecil.
“Kamu
selingkuh.. ?”
“tidak,
mana mungkin aku selingkuh. Kalau mau, aku yang mencurigai istriku
berselingkuh. Ia kadang pulang malam, membawa banyak belanjaan dan pulang ke
rumah dengan sempoyongan, ku rasa ia mabuk.
Dan aku sering merasa curiga kalau istriku sering diantar om-om sewaktu aku lembur kerja.”
Dan aku sering merasa curiga kalau istriku sering diantar om-om sewaktu aku lembur kerja.”
“Serumit
itukah?”
“Ya,
seperti yang aku bilang tadi.”
Di
malam yang dingin ini, tiba-tiba tanganku merasa sedikit hangat. Ku menoleh, ia
menggenggam tanganku.
“Maafkan
aku. Seharusnya aku tak menceritakan hal ini kepadamu.”
“Tidak
apa-apa.”
Di
tengah udara dingin Adamar Road. Tiba-tiba saja ia memeluku. Aku merasa sekujur
tubuhku hangat seketika. Aku seraya mendengar ia berbisik di telingaku.
“kadang,
aku masih memikirkanmu.” Katanya.
Jujur
saja, aku tidak terlalu suka saat ia memberiku hanya sebuah kadang. Bagiku itu tidaklah cukup,
bahkan serasa penantianku selama ini direndahkan oleh kata itu. Aku tidak ingin
mencintai orang yang memberiku kadang.
Maka,
aku hanya memberikannya sebuah senyuman, ya, senyuman terakhir untuknya. Saat
ia mendekatkan wajahnya ke wajahku aku menahan bahunya dengan tanganku. Aku tak
ingin ia menciumku. Aku tahu, ciuman itu tak pantas untukku. Ciuman yang
berasal dari bibir itu. Bibir yang dulu memberiku janji untuk bertemu, hingga akhirnya
membuatku menunggu, dan bibir itu pula yang memberikan alasan sederhana, lupa.
Aku
beranjak dari bangku. Lalu mulai berjalan meninggalkannya tanpa ucapan
sepatahpun.
“Kamu
mau kemana? Tunggu. Kamu mau kemana?”
Apa
yang ia katakan? Ia memintaku menunggu? Memangnya selama ini aku melakukan apa?
Tidak cukupkah penantianku menunggunya selama ini?
Maaf..
Aku tak mendengarnya, bahkan aku tak mendengar langkah kakinya. Mungkin saudari-saudari
perempuanku menutupi telingaku dengan suara riuh angin dan gemerisik daun.
Apakah
semua lelaki itu tak mengerti apa yang dirasakan oleh perempuan? Seharusnya ia
memberiku selalu, bukan kadang. Yang seharusnya ia bilang adalah
“aku selalu memikirkanmu.” Tapi aku
tidak pernah mendengar ia mengatakan itu kepadaku. Bagiku lelaki yang seperti
itu yang tak layak lagi untuk ditunggu.
Ia
terus memanggilku. Bukan itu yang diharapkan seorang perempuan. Rasanya bodoh
sekali saat aku merasa bahwa aku ingin ia berlari menyusulku, mengejarku,
menarik lenganku, dan memeluku, lalu mengucapkan maaf karena telah memberiku
hanya sebuah kadang. Sayangnya, itu
tidak ia lakukan.
Aku
terus berjalan meninggalkannya sendiri dengan tidak melihat ke belakang. Aku
merasakan sesak dada yang luarbiasa, nafasku tak beraturan sampai aku
menitikkan air mata. Aku tak ingin lagi menunggu sebagai perempuan, tidak..
maksudku, aku malah tak ingin lagi menjadi manusia, sudah terlalu sakit
rasanya. Mungkin suatu hari nanti, lelaki itu akan sadar bahwa sebuah kadang tak akan pernah cukup bagi
perempuan.
Aku
akan menemui saudari-saudariku yang lain. Kalau aku ini ditakdirkan memang
seorang perempuan, aku akan berkamuflase seperti saudari-saudariku yang lain,
bersembunyi dan menyamar sebagai pohon damar yang menyimpan air mata dan
daunnya yang selalu berguguran di sepanjang Adamar Road. Jangan heran saat kau
melewati Adamar Road, mendengar tangisan seorang perempuan.. Itu aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar