Jumat, 03 April 2015

Nyanyian Merpati

Cerpen : Andri Mulyahadi


                 Aku suka bernyanyi.

            Tetapi orang lain tidak suka aku bernyanyi, mereka bilang suaraku tak merdu dan mereka tak ingin sedikitpun mendengar nyanyianku..

            Namun aku tetap saja bernyanyi, walaupun kedua mataku tak bisa lagi melihat dunia, tetapi aku masih bisa mendengar dan merasakan sesuatu. Seperti suaraku sendiri. Dimana aku bernyanyi, aku pun mendengarkan alunannya, seraya dengan melodi yang lembut—aku merasakan tinggi rendahnya nada itu dan tempo yang seirama. 

            Aku tak pernah mengerti mengapa mereka tak suka nyanyianku. Mungkin memang aku ini tak bakat untuk bernyanyi, tapi mengapa hanya karena aku bernyanyi aku selalu dibenci bahkan diusir jauh-jauh. Padahal nyanyianku tak begitu buruk, mereka saja yang iri melihatku bisa bernyanyi, atau mungkin mereka sendiri yang tak tahu caranya bernyanyi.

***

            Di desa kami, desa yang mayoritas masyarakatnya adalah petani, memang tidak ada seorang pun yang bernyanyi, bukan karena mereka tidak bisa bernyanyi, tetapi ada aturan di desa kami, bahwa “barangsiapa yang bernyanyi atau melantunkan melodi akan dihukum dan diusir dari desa ini”. Memang suatu hal yang aneh jika sebuah desa tidak ada nyanyian. Bahkan aku pun bingung dengan aturan tersebut, tapi yang jelas mungkin itu alasan mengapa desa kami diberi nama “Desa Bisu”.

            Apakah kau tahu? Desa bisu itu sama saja dengan desa lainnya, desa yang indah dengan pesona alam yang luarbiasa, sawah yang membentang luas adalah ciri khas desa kami. Bukan berarti desa yang masyarakatnya tak bisa berbicara, mereka berbicara, mereka saling berkomunikasi dan berinteraksi antar satu dengan lainnya. Mereka melakukan adegan jual-beli dan tawar-menawar, mereka pun sering mengadakan musyawarah desa setiap minggunya. Mereka hidup rukun dan damai. Hanya saja mereka tak ada yang bernyanyi (lebih tepatnya, tak boleh ada yang bernyanyi), bahkan bersiul pun mereka jarang. Itu seperti penjara bagiku, ya itu sebutan ku selama aku tinggal di desa bisu.

            Mengapa di desa kami ini tidak boleh ada yang bernyanyi?

            Ada cerita rumor yang mengatakan, zaman dahulu di desa kami para petaninya malah gemar sekali bernyanyi, mereka selalu bernyanyi kala pagi dan sore hari setiap kali menanam atau mencangkul sawah mereka. Mereka beranggapan padi yang diberi nyanyian itu akan tumbuh subur dan menghasilkan beras yang berkualitas tinggi. Padi-padi itu akan bergembira sekali setiap kali ada nyanyian yang dilantunkan.

Padi..padi..tumbuhlah tinggi
Tinggi menjulang beremaskan beras pati
Kala pagi ku beri sari hingga petang ku bawa pulang..
Padi..padi..tumbuhlah tinggi
Beri kami nafkah dan rezeki
Untuk hidup keluarga kami
Padi..padi..tumbuhlah tinggi..

            Suatu ketika bencana besar terjadi di desa kami. Sebuah letusan dahsyat menyembur dari gunung merapi di dekat pemukiman kami. Asap kabut dengan cepat menyebar menutupi hingga ke atas awan, deburan suara letusan menggema di kaki dataran bukit seperti menggoncangkan bumi. Lava yang meluap-luap di dapur magma langsung menyembur di mulut gunung menghujani lahan sawah kami bahkan parahnya sampai ke tempat rumah para penduduk. Gunung yang biasanya tidak pernah meletus, saat itu menyemburkan lahar yang panas dan meluap. Beruntung tidak ada korban jiwa yang meninggal karena bencana tersebut, tetapi hanya beberapa orang yang terluka dan selamat.

            Tetapi akibatnya, lahan sawah tempat para petani itu mendulang penghasilan, harus lenyap habis di sapu lahar gunung. Mereka mengeluh dan berputus asa akan pascabencana tersebut. Bahkan mereka harus melihat keluarga, anak dan istri mereka kelaparan karena tak ada penghasilan yang didapat.

            Namun seorang petuah tua datang ke desa kami, seorang kakek tua buta berpakaian kusam yang berjalan bermatakan tongkat kayu yang merapuh mengatakan.

“wahai penduduk desa, perlu kalian tahu. Bencana yang terjadi ini adalah ulah dari kalian sendiri. Kalian tidak pernah mendengar suara dari gunung merapi. Bahkan kalian tidak pernah memberi sesaji kepada gunung merapi itu. Apakah kalian tahu? Gunung itu tidak suka setiap kali mendengar nyanyian, namun kalian tetap saja melakukannya. Itu akibatnya saat gunung merapi murka kepada desa ini, ia akan menyemburkan kemarahannya. Dan kalian akan merasakannya sendiri murka dari gunung merapi yang agung..”

            Kemudian petuah itu pergi entah kemana hingga tak pernah muncul kembali.

            Semenjak rumor tersebut, mereka percaya pada apa yang dikatakan petuah tua itu. Setiap kali ada yang bernyanyi, padi-padi di lahan kami habis, kadang tersisa tanamannya saja tanpa buah padi yang menguning. Maka jika setiap kali mereka mendengar siapa saja yang bernyanyi atau mendengar nyanyian apapun, mereka langsung mengusirnya dari desa kami. Mereka tak ingin hal yang tidak diinginkan terjadi pada desa kami. Mereka takut bencana besar itu datang lagi sewaktu-waktu. Mereka beranggapan desa kami ini terkena “kutukan” dari gunung merapi itu.

***

            Aku terlahir di desa itu tanpa mengenal dunia. Aku seorang Tuna Netra, ya kedua mataku buta sejak lahir, Dan aku tidak pernah tahu siapa orangtuaku. Ada yang bilang orangtuaku meninggal dunia di saat aku lahir di desa itu. Dan yang membuatku heran ada yang bilang orangtuaku meninggal karena orangtuaku sering bernyanyi untuk menghiburku sewaktu masih dalam kandungan.

            “naananaa..nananaaa..nananaaa..

            Di kala pagi menyambutmu.. Engkau permata kecilku.. tumbuhlah seperti bunga-bunga..di pagi hari.. cantik dan elok mewarnai dunia.. karena kau lah cintaku..

naananaa..nananaaa..nananaaa..”

            itu nyanyian ibuku sewaktu aku masih dalam kandungannya. Kata mereka ibuku dulu seorang ibu rumah tangga lalu ayahku seorang petani dan buruh pekerja untuk majikannya. Aku terlahir dari keluarga tak berpunya. Namun hingga sekarang aku tidak pernah tahu kedua orangtuaku itu. Yang aku tahu seorang kakek yang tinggal bersamaku, menjaga dan merawatku sejak kecil hingga sampai sekarang, aku dipanggil dengan nama Dara.

***

            Merpati. Pernah mendengar merpati bersuara? Semua orang mungkin pernah mendengarnya bersuara. Bagaimana jika merpati itu bernyanyi?

            Merpati-merpati itu biasa bersuara di pagi hari. Tetapi ada satu merpati yang tak hanya bersuara, ia bernyanyi, ia bersenandung merdu sekali. Bahkan mungkin lebih merdu daripada para penyanyi yang ada. 

            Merpati itu berbulu putih-emas, cantik sekali. Tubuhnya lebih besar dibandingkan merpati yang lain. Matanya yang merah-hitam, paruh dan cakarnya yang tajam, dulu sering ibuku temui di pinggir sawah—Ia kadang datang bersama kawanan merpati lain setiap kali ibuku bernyanyi. Kemudian beterbangan kesana kemari mengitari lahan padi yang sesekali hinggap dan terbang lagi. Sembari bernyanyi seraya mengiringi ibuku bernyanyi kecil. Merpati itu sudah menjadi teman dekat ibuku semenjak mengandungku dalam kandungan.

            “wahai burung merpati, kau selalu datang bersama kawananmu saat aku bernyanyi. Kau burung yang unik merpatiku, suaramu membuat hatiku damai, semoga anakku ini cantik sepertimu dan nyanyianmu itu.” Kata ibuku, menatap merpati itu sembari mengelus-elus perutnya yang semakin membesar. Merpati itu semakin riang bernyanyi, beterbangan dan hinggap di tanaman padi.

            Kemudian ke esokan harinya, ibuku kembali menemani ayahku pergi ke sawah. Ibuku seperti biasa menyanyi kecil, tetapi ia terheran mengapa merpati itu tak datang pagi itu. 

            “kemana merpati-merpati itu, yah? Tumben.” ibuku berseru pada ayahku. Sambil melihat-lihat ke sekeliling sawah.

            “iya, ayah juga gak melihatnya, bu.”

            Esok harinya lagi ibuku hendak melahirkan aku dan ayahku mengantarkannya ke bidan terdekat. Ibuku sempat bernyanyi sebentar berharap merpati itu datang ketika kelahiran aku, tetapi merpati itu tidak datang lagi menemui ibuku.

            “kemana engkau, merpati oh merpati..”

            Ada berita suka dan duka. Sukanya, aku lahir dengan selamat, menangis, menyeru, walaupun kedua mataku tak bisa melihat, tapi aku sehat. Dukanya ibuku tak bisa bertahan lagi dan meninggal saat hendak melahirkan aku, menyusul ayahku yang penyakit jantungnya kambuh kemudian tak tertolong lagi.

            Aku lahir disaat kedua orangtua ku tiada. Bagaimana rasanya saat aku tahu kedua orangtuaku meninggal tapi aku masih berlumuran darah dan hanya bisa menangis dan menangis tanpa pelukan kasih sayang orangtua.

***

            Aku merenung. Kemudian aku bernyanyi kecil dibawah pohon rindang, merasakan udara sepoi-sepoi pagi hari yang indah, tapi sayang aku tidak bisa menikmati pemandangan yang mungkin indah seperti apa yang aku rasakan saat menemani kakek bekerja di sawah. 

            Aku tahu aku buta, memang kedua bola mataku tak bisa melihat tapi mata yang lain aku bisa melihat, seolah aku bisa melihat dengan jelas dan merasakan sesuatu, telingaku tak hanya bisa mendengar tapi bisa melihat, melihat suara-suara apa saja yang melintas di telingaku. Hidungku tak hanya bisa mencium tapi bisa melihat, melihat bau dan wewangian yang tercium di hidungku. Begitupun mata hatiku, aku bisa melihat dan merasakan apa saja yang bisa aku rasakan. Seolah aku mempunyai kelebihan dari kekuranganku. Atau mungkin karena aku terbiasa sejak lahir dengan kondisi seperti ini.

            Aku mengingat cerita tersebut yang entah benar atau tidak, aku tak tahu. Tak banyak yang aku lakukan, tak seperti anak-anak lain yang setiap pagi berlarian kecil menyeru dan riang gembira di pinggir sawah dengan seragam mereka untuk pergi sekolah. Yang kadang menyapaku saat mereka berjalan di depanku.

            “hai Dara, selamat pagi. Kami pergi sekolah dulu ya” mereka bersemangat sekali.

            “hai teman-teman. Iya hati-hati ya, nanti kita main ya” aku berteriak, tetapi kurasa suara langkah kaki mereka sudah tiada.

            Kakek menghentikan pekerjaannya. Kemudian menghampiriku.

            “Dara? Kenapa kamu sedih seperti itu?” 

            “aku gapapa kok kek, hanya aku sempat berpikir mengapa aku tak bisa seperti mereka, bisa bersekolah dan bermain bersama.” Aku berhenti bernyanyi dan berdiam sejenak.

            “maafin kakek ya Dara, kalau saja kakek bisa memberikan mata kakek untuk Dara, kakek rela kakek tidak bisa melihat asal Dara bisa melihat.” Kakek menangis meneteskan air mata di depanku.

            “sudahlah kakek, kakek jangan menangis. Aku ikhlas kok gak bisa melihat, kan yang penting aku sehat kek.” Aku tersenyum dan mengusap air mata kakek.

            Kakek melihatku tersenyum padanya. 

            “andai saja kedua orangtuamu masih ada Dara, pasti mereka bangga melihatmu sudah besar dan cantik. Kau begitu baik, menyayangi dan menganggapku sebagai kakekmu sendiri, padahal aku ini bukan kakekmu, bukan siapa-siapa. Tapi aku juga sudah menganggapmu sebagai cucuku sendiri. Aku menyayangimu, Dara.”

            kakek merenung berbicara dalam hati kemudian memeluku erat sekali. Aku tau ia tak ingin kehilangan aku dan aku juga demikian. Hanya dia keluargaku sekarang.

***

            Bernyanyi itu sesuatu yang menyenangkan.

            Setiap pagi aku selalu bernyanyi, tetapi kadang saat ada yang mendengar aku bernyanyi aku selalu dimarahi.

            “hei Dara, mengapa kau bernyanyi? Kalau kau ketahuan bernyanyi lagi oleh Kepala Desa kau pasti dimarahi” itu entah suara siapa menegurku untuk tidak bernyanyi lagi.

            “memang kenapa kalau aku bernyanyi, bernyanyi itu menyenangkan. Mengapa kalian tidak suka aku bernyanyi. Memangnya aku salah kalau aku bernyanyi?” aku membalas teguran mereka.

            “kau ini dasar keras kepala, tidak bisa dibilang, kau akan kena marah oleh warga yang lain. Kau memang sama saja, seperti ibumu..”

            Aku berdiam. Dan tidak membalas ucapan mereka lagi. Aku seperti mendengar sesuatu tentang ibuku? Ibu? Suara diantara telinga, pikiran, dan hatiku.

Kau memang sama saja, seperti ibumu..” “..Kau memang sama saja, seperti ibumu..”

“Dasar keras kepala” “..Kau memang sama saja, seperti ibumu..” “Dasar keras kepala”

“tak bisa di bilang” “Dasar keras kepala” suara itu terngiang-ngiang di telinga dan pikiranku.

            Apa mereka bilang? Aku ini sama seperti ibuku? Aku sesaat teringat kepada ibuku. Benarkah ibuku juga dulu suka bernyanyi untukku. Mengapa aku tidak pernah mendengarnya lagi. Mengapa ibuku tak pernah bernyanyi lagi untukku. 

            “ibuu.. aku rindu sama ibu” aku berteriak lalu menangis.

***

            Nyanyian itu berasal dari mimpi.

            Aku pernah bermimpi, tapi kurasa itu tak seperti sedang bermimpi. Itu lebih gelap dari kegelapan apapun. Mengapa aku berada di tempat yang sempit dan gelap itu. Aku seperti tak hidup, tapi aku bisa mendengar—ada alunan yang indah dan merdu, itu seperti suara wanita dan burung yang bernyanyi. 

            Kudengarkan secara khidmat, nyanyian wanita itu indah sekali diiringi alunan dari seekor burung. Perlahan nyanyian itu sampai padaku seolah ada suatu sinyal yang mengirimnya padaku, tapi aku diam saja tidak merespon apapun. Hingga ku terbangun dan mencari-cari asal nyanyian merdu itu, ternyata itu berasal dari mimpi.

            Seperti biasanya. Aku pergi ke kaki bukit lalu duduk bersandar di bawah pohon rindang itu lagi. Hari-hari aku selalu teringat ibuku. Kemudian aku merenung dan bernyanyi kecil. Mengingat nyanyian dalam mimpiku.

“naananaa..nananaaa..nananaaa..

            Di kala pagi menyambutmu.. Engkau permata kecilku.. tumbuhlah seperti bunga-bunga..di pagi hari.. cantik dan elok mewarnai dunia.. karena kau lah cintaku..

naananaa..nananaaa..nananaaa..”

            sejenak aku terdiam dan berhenti bernyanyi. Aku seperti mendengar nyanyian itu lagi alunan merdu dalam mimpiku. Nyanyian burung itu, aku mendengarnya tapi dimana aku tidak melihatnya.

            Nyanyian itu semakin dekat di telingaku. Kemudian aku berseru.

            “hei, apa kau seekor burung? Dari mana kau datang?” aku mencari-carinya. Tetapi ia tak menjawab. Ia terus bernyanyi semakin jelas.

            “apa kau bernyanyi untukku?” aku berseru kembali. Dan ia tetap tak menjawab. Kurasa ia memang seekor burung, suara kepakan sayapnya pun aku mendengarnya. Aku kembali bernyanyi bersama burung itu, aku seperti terbawa suasana dan hampir terlelap.

***

            Disaat ku mulai terlelap, ada sesosok tangan yang menarik lenganku kuat-kuat. Aku terkejut.

            “jadi kau yang suka bernyanyi di pagi hari itu” seperti suara lelaki yang tiba-tiba terdengar nyaring di telingaku.

            “siapa ini, ada apa, memangnya kenapa?” 

            “heh gadis buta, kau pura-pura tidak tahu apa memang kau ini tidak tahu hah?” mereka tiba-tiba saja marah kepadaku. 

            Kurasa para warga itu tahu kalau aku diam-diam sering bernyanyi. Mereka seperti sedang melihatku dengan perasaan kesal.

            “kami tahu kau diam-diam suka bernyanyi, kau lihat padi-padi itu tidak pernah berbuah lagi dan kau tidak tahu bencana apa yang akan menimpa kita semua. Semua itu karena kau sering bernyanyi, hah.”

            “apa salahnya aku bernyanyi, aku tidak mengganggu padi-padi itu, aku tidak tahu kalau padi-padi itu tak berbuah lagi. Maafkan aku.” 

            Aku mulai menangis lalu tiba-tiba kakek berlari menghampiriku dengan perasaan khawatir melihat aku diintrogasi oleh mereka.

            “ada apa ini? Apa yang kalian lakukan pada cucuku?” kakek memelukku dan mereka melepaskan lenganku.

            “hei, kek kau ini sama saja dengan cucumu itu, kau biarkan dia bernyanyi terus, kau rela padi-padi kita tak berbuah beras dan kau mau kita semua terkena bencana lagi?”

            “aku tahu, tapi kasihan cucuku. Kalian terlalu menyalahkannya.” Kakek membelaku dan aku hanya menangis tanpa berkata apa-apa.

            “sudahlah, usir gadis buta ini dari desa kita, sebelum kita terkena bencana.”

            “ya..ya.. usir dia. Benar-benar ayo” mereka berseru.

            Mereka menarikku dan memisahkan aku dengan kakek. Mereka menahan kakek kemudian aku diusir dari desa ini.

            “jangan usir cucuku, jangan. Dia sudah cukup menderita, jangan kalian tambah beban hidupnya lagi.”

            Kakek tidak sanggup lagi menolongku dan ia hanya menangis melihat aku diusir. Mereka menjauhkan aku dari kehidupan mereka. Mereka tak ingin melihat dan yang pasti tak ingin lagi mendengar nyanyian yang mereka bilang itu adalah bencana untuk desa ini.

            Aku pun tak sanggup lagi untuk membela diri. Kakiku tak tentu melangkah ke arah yang tak aku kenal. Bahkan mata kakiku tidak bisa melihat apapun yang ada di belakangku. Batu yang ku injak membuat keseimbangan tubuhku menjadi seakan ingin jatuh mendekati bumi. Dan aku merasa langkah terakhirku tidak menyentuh itu, kaki ku yang satu terasa melayang dan kaki yang lain menyusulnya.

            Aku semakin tak bisa mengontrol tubuhku, ada suara bebatuan yang jatuh entah kemana dan aku merasa terpeleset oleh bebatuan yang rapuh itu lalu aku pun melayang membuang semua beban di tubuhku. Itulah saat ku sadari aku terjatuh dari jurang.

***

..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa.. ..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa..
..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa..
 
            “wahai Dara ku, aku yang bernyanyi untukmu. Maafkan aku, aku tak bisa menolongmu. Aku mengulangi untuk kedua kalinya. Aku tahu, seharusnya aku tidak mengulanginya. Tapi aku membiarkannya begitu saja, aku memang tak berguna. Kini aku hanya bisa bernyanyi dan bernyanyi, setidaknya ada hal yang bisa aku perbuat selain hanya diam. Tetapi semua itu percuma saja..

            Aku akan menceritakannya padamu.

            Dulu aku berteman dengan ibumu, beliau ialah perempuan yang baik hati, ibumu selalu menyapaku di pagi hari dengan nyanyiannya yang merdu lalu kami selalu bernyanyi bersama, hingga kawan-kawanku bergembira dan bersukaria.

            Tetapi ada yang tidak suka melihat kami bernyanyi dan bergembira. Aku takut pada mereka. Mereka banyak, gelap, matanya tajam saat mereka tertawa. Mereka membawa senapan panjang yang menakutkan kami. Mereka kejam, mereka yang selalu memburu dan membunuh teman-teman kami di malam hari, disaat orang-orang terlelap. Mereka adalah ‘Pemburu Merpati’. 

            Malam itu, mereka menangkapku. Tak sulit mereka menemukanku di malam hari karena mata mereka tajam dan tubuhku yang terang mudah sekali dilihat. Dengan kencang suara dari senapan itu terngiang dan peluru yang melesat cepat. Aku merasakan tubuhku lemah dan kaku seketika seperti nadi-nadiku tak berdenyut lagi dan jantungku yang mulai melemah. Kepalaku pusing kemudian aku terjatuh dari atas pohon kepalaku membentur tanah bersama tubuhku. Aku tidak merasakan lagi jantungku berdetak dan aku melihat langkah-langkah menakutkan mereka menghampiriku lalu aku menutup mata untuk terakhir kalinya.

            Padahal aku mempunyai janji kepada ibumu untuk menemaninya esok hari, sebuah kabar gembira, ibumu akan melahirkanmu. Tapi aku tidak datang hari itu, pemburu-pemburu itu mungkin sudah memakan ku. Dan aku amat bersedih ketika tahu, ibumu meninggal saat melahirkanmu. Maafkan aku tidak bisa berbuat apa-apa dan kini terjadi lagi padamu.

            Dibalik sifatnya yang anggun, merpati sebenarnya punya sifat pendendam, tetapi tak banyak orang yang tahu. Kawan-kawan kami mencari para pemburu tersebut yang tinggal di desa itu. Mereka ingin membalas apa yang telah dilakukan pemburu itu pada kawan kami yang malang, termasuk aku. Mereka memakani semua padi-padi yang ada disana, hingga tak tersisa satupun padi yang berbuah.

            Kurasa apa yang kawan kami lakukan belum ada apa-apanya dibandingkan perbuatan mereka yang kejam. Mereka seperti tidak punya hati nurani terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Hewan-hewan tak bersalah mereka buru dan bunuh, pohon-pohon mereka tebangi sembarangan hingga habis. Mereka hancurkan habitat dan ekosistem kami, mereka seolah musnahkan kehidupan kami. Bukankah itu hal yang kejam? pantas saja mereka sering mendapat bencana, alam pun murka terhadap orang-orang yang seperti mereka itu..
            Mereka semua tidak punya perasaan, hak apa mereka melarang-larang orang bernyanyi? Bukankah bernyanyi itu menyenangkan? Mereka saja yang tidak tahu nyanyian kami.
            Sekali lagi maaf kan aku, Daraku. Kau akan selalu ku ingat, juga ibumu. Terimakasih telah bernyanyi untukku dan terimakasih telah mendengarkanku bernyanyi.”
..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa.. ..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa..
..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa..
***
            Nyanyian siapa itu? Merdu sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar