Cerpen : Andri Mulyahadi
Tetapi
orang lain tidak suka aku bernyanyi, mereka bilang suaraku tak merdu dan mereka
tak ingin sedikitpun mendengar nyanyianku..
Namun
aku tetap saja bernyanyi, walaupun kedua mataku tak bisa lagi melihat dunia,
tetapi aku masih bisa mendengar dan merasakan sesuatu. Seperti suaraku sendiri.
Dimana aku bernyanyi, aku pun mendengarkan alunannya, seraya dengan melodi yang
lembut—aku merasakan tinggi rendahnya nada itu dan tempo yang seirama.
Aku
tak pernah mengerti mengapa mereka tak suka nyanyianku. Mungkin memang aku ini
tak bakat untuk bernyanyi, tapi mengapa hanya karena aku bernyanyi aku selalu
dibenci bahkan diusir jauh-jauh. Padahal nyanyianku tak begitu buruk, mereka
saja yang iri melihatku bisa bernyanyi, atau mungkin mereka sendiri yang tak tahu
caranya bernyanyi.
***
Di
desa kami, desa yang mayoritas masyarakatnya adalah petani, memang tidak ada
seorang pun yang bernyanyi, bukan karena mereka tidak bisa bernyanyi, tetapi
ada aturan di desa kami, bahwa “barangsiapa
yang bernyanyi atau melantunkan melodi akan dihukum dan diusir dari desa ini”.
Memang suatu hal yang aneh jika sebuah desa tidak ada nyanyian. Bahkan aku pun
bingung dengan aturan tersebut, tapi yang jelas mungkin itu alasan mengapa desa
kami diberi nama “Desa Bisu”.
Apakah
kau tahu? Desa bisu itu sama saja dengan desa lainnya, desa yang indah dengan
pesona alam yang luarbiasa, sawah yang membentang luas adalah ciri khas desa
kami. Bukan berarti desa yang masyarakatnya tak bisa berbicara, mereka
berbicara, mereka saling berkomunikasi dan berinteraksi antar satu dengan
lainnya. Mereka melakukan adegan jual-beli dan tawar-menawar, mereka pun sering
mengadakan musyawarah desa setiap minggunya. Mereka hidup rukun dan damai.
Hanya saja mereka tak ada yang bernyanyi (lebih tepatnya, tak boleh ada yang
bernyanyi), bahkan bersiul pun mereka jarang. Itu seperti penjara bagiku, ya
itu sebutan ku selama aku tinggal di desa bisu.
Mengapa
di desa kami ini tidak boleh ada yang bernyanyi?
Ada
cerita rumor yang mengatakan, zaman dahulu di desa kami para petaninya malah
gemar sekali bernyanyi, mereka selalu bernyanyi kala pagi dan sore hari setiap
kali menanam atau mencangkul sawah mereka. Mereka beranggapan padi yang diberi
nyanyian itu akan tumbuh subur dan menghasilkan beras yang berkualitas tinggi.
Padi-padi itu akan bergembira sekali setiap kali ada nyanyian yang dilantunkan.
Padi..padi..tumbuhlah tinggi
Tinggi menjulang beremaskan beras pati
Kala pagi ku beri sari hingga petang ku bawa pulang..
Padi..padi..tumbuhlah tinggi
Beri kami nafkah dan rezeki
Untuk hidup keluarga kami
Padi..padi..tumbuhlah tinggi..
Suatu
ketika bencana besar terjadi di desa kami. Sebuah letusan dahsyat menyembur
dari gunung merapi di dekat pemukiman kami. Asap kabut dengan cepat menyebar
menutupi hingga ke atas awan, deburan suara letusan menggema di kaki dataran
bukit seperti menggoncangkan bumi. Lava yang meluap-luap di dapur magma
langsung menyembur di mulut gunung menghujani lahan sawah kami bahkan parahnya
sampai ke tempat rumah para penduduk. Gunung yang biasanya tidak pernah
meletus, saat itu menyemburkan lahar yang panas dan meluap. Beruntung tidak ada
korban jiwa yang meninggal karena bencana tersebut, tetapi hanya beberapa orang
yang terluka dan selamat.
Tetapi
akibatnya, lahan sawah tempat para petani itu mendulang penghasilan, harus
lenyap habis di sapu lahar gunung. Mereka mengeluh dan berputus asa akan
pascabencana tersebut. Bahkan mereka harus melihat keluarga, anak dan istri
mereka kelaparan karena tak ada penghasilan yang didapat.
Namun
seorang petuah tua datang ke desa kami, seorang kakek tua buta berpakaian kusam
yang berjalan bermatakan tongkat kayu yang merapuh mengatakan.
“wahai penduduk desa, perlu kalian tahu. Bencana yang terjadi ini adalah
ulah dari kalian sendiri. Kalian tidak pernah mendengar suara dari gunung
merapi. Bahkan kalian tidak pernah memberi sesaji kepada gunung merapi itu.
Apakah kalian tahu? Gunung itu tidak suka setiap kali mendengar nyanyian, namun
kalian tetap saja melakukannya. Itu akibatnya saat gunung merapi murka kepada
desa ini, ia akan menyemburkan kemarahannya. Dan kalian akan merasakannya
sendiri murka dari gunung merapi yang agung..”
Kemudian
petuah itu pergi entah kemana hingga tak pernah muncul kembali.
Semenjak
rumor tersebut, mereka percaya pada apa yang dikatakan petuah tua itu. Setiap
kali ada yang bernyanyi, padi-padi di lahan kami habis, kadang tersisa
tanamannya saja tanpa buah padi yang menguning. Maka jika setiap kali mereka
mendengar siapa saja yang bernyanyi atau mendengar nyanyian apapun, mereka
langsung mengusirnya dari desa kami. Mereka tak ingin hal yang tidak diinginkan
terjadi pada desa kami. Mereka takut bencana besar itu datang lagi
sewaktu-waktu. Mereka beranggapan desa kami ini terkena “kutukan” dari gunung
merapi itu.
***
Aku
terlahir di desa itu tanpa mengenal dunia. Aku seorang Tuna Netra, ya kedua
mataku buta sejak lahir, Dan aku tidak pernah tahu siapa orangtuaku. Ada yang
bilang orangtuaku meninggal dunia di saat aku lahir di desa itu. Dan yang
membuatku heran ada yang bilang orangtuaku meninggal karena orangtuaku sering
bernyanyi untuk menghiburku sewaktu masih dalam kandungan.
“naananaa..nananaaa..nananaaa..
Di kala pagi
menyambutmu.. Engkau permata kecilku.. tumbuhlah seperti bunga-bunga..di pagi
hari.. cantik dan elok mewarnai dunia.. karena kau lah cintaku..
naananaa..nananaaa..nananaaa..”
itu nyanyian
ibuku sewaktu aku masih dalam kandungannya. Kata mereka ibuku dulu seorang ibu
rumah tangga lalu ayahku seorang petani dan buruh pekerja untuk majikannya. Aku
terlahir dari keluarga tak berpunya. Namun hingga sekarang aku tidak pernah
tahu kedua orangtuaku itu. Yang aku tahu seorang kakek yang tinggal bersamaku,
menjaga dan merawatku sejak kecil hingga sampai sekarang, aku dipanggil dengan
nama Dara.
***
Merpati.
Pernah mendengar merpati bersuara? Semua orang mungkin pernah mendengarnya
bersuara. Bagaimana jika merpati itu bernyanyi?
Merpati-merpati
itu biasa bersuara di pagi hari. Tetapi ada satu merpati yang tak hanya
bersuara, ia bernyanyi, ia bersenandung merdu sekali. Bahkan mungkin lebih
merdu daripada para penyanyi yang ada.
Merpati
itu berbulu putih-emas, cantik sekali. Tubuhnya lebih besar dibandingkan
merpati yang lain. Matanya yang merah-hitam, paruh dan cakarnya yang tajam,
dulu sering ibuku temui di pinggir sawah—Ia kadang datang bersama kawanan
merpati lain setiap kali ibuku bernyanyi. Kemudian beterbangan kesana kemari mengitari
lahan padi yang sesekali hinggap dan terbang lagi. Sembari bernyanyi seraya
mengiringi ibuku bernyanyi kecil. Merpati itu sudah menjadi teman dekat ibuku
semenjak mengandungku dalam kandungan.
“wahai
burung merpati, kau selalu datang bersama kawananmu saat aku bernyanyi. Kau
burung yang unik merpatiku, suaramu membuat hatiku damai, semoga anakku ini
cantik sepertimu dan nyanyianmu itu.” Kata ibuku, menatap merpati itu sembari
mengelus-elus perutnya yang semakin membesar. Merpati itu semakin riang
bernyanyi, beterbangan dan hinggap di tanaman padi.
Kemudian
ke esokan harinya, ibuku kembali menemani ayahku pergi ke sawah. Ibuku seperti
biasa menyanyi kecil, tetapi ia terheran mengapa merpati itu tak datang pagi
itu.
“kemana
merpati-merpati itu, yah? Tumben.” ibuku berseru pada ayahku. Sambil
melihat-lihat ke sekeliling sawah.
“iya,
ayah juga gak melihatnya, bu.”
Esok
harinya lagi ibuku hendak melahirkan aku dan ayahku mengantarkannya ke bidan
terdekat. Ibuku sempat bernyanyi sebentar berharap merpati itu datang ketika
kelahiran aku, tetapi merpati itu tidak datang lagi menemui ibuku.
“kemana
engkau, merpati oh merpati..”
Ada
berita suka dan duka. Sukanya, aku lahir dengan selamat, menangis, menyeru, walaupun
kedua mataku tak bisa melihat, tapi aku sehat. Dukanya ibuku tak bisa bertahan
lagi dan meninggal saat hendak melahirkan aku, menyusul ayahku yang penyakit
jantungnya kambuh kemudian tak tertolong lagi.
Aku
lahir disaat kedua orangtua ku tiada. Bagaimana rasanya saat aku tahu kedua
orangtuaku meninggal tapi aku masih berlumuran darah dan hanya bisa menangis
dan menangis tanpa pelukan kasih sayang orangtua.
***
Aku
merenung. Kemudian aku bernyanyi kecil dibawah pohon rindang, merasakan udara
sepoi-sepoi pagi hari yang indah, tapi sayang aku tidak bisa menikmati
pemandangan yang mungkin indah seperti apa yang aku rasakan saat menemani kakek
bekerja di sawah.
Aku
tahu aku buta, memang kedua bola mataku tak bisa melihat tapi mata yang lain
aku bisa melihat, seolah aku bisa melihat dengan jelas dan merasakan sesuatu,
telingaku tak hanya bisa mendengar tapi bisa melihat, melihat suara-suara apa
saja yang melintas di telingaku. Hidungku tak hanya bisa mencium tapi bisa
melihat, melihat bau dan wewangian yang tercium di hidungku. Begitupun mata
hatiku, aku bisa melihat dan merasakan apa saja yang bisa aku rasakan. Seolah
aku mempunyai kelebihan dari kekuranganku. Atau mungkin karena aku terbiasa
sejak lahir dengan kondisi seperti ini.
Aku
mengingat cerita tersebut yang entah benar atau tidak, aku tak tahu. Tak banyak
yang aku lakukan, tak seperti anak-anak lain yang setiap pagi berlarian kecil
menyeru dan riang gembira di pinggir sawah dengan seragam mereka untuk pergi
sekolah. Yang kadang menyapaku saat mereka berjalan di depanku.
“hai
Dara, selamat pagi. Kami pergi sekolah dulu ya” mereka bersemangat sekali.
“hai
teman-teman. Iya hati-hati ya, nanti kita main ya” aku berteriak, tetapi kurasa
suara langkah kaki mereka sudah tiada.
Kakek
menghentikan pekerjaannya. Kemudian menghampiriku.
“Dara?
Kenapa kamu sedih seperti itu?”
“aku
gapapa kok kek, hanya aku sempat berpikir mengapa aku tak bisa seperti mereka,
bisa bersekolah dan bermain bersama.” Aku berhenti bernyanyi dan berdiam
sejenak.
“maafin
kakek ya Dara, kalau saja kakek bisa memberikan mata kakek untuk Dara, kakek
rela kakek tidak bisa melihat asal Dara bisa melihat.” Kakek menangis
meneteskan air mata di depanku.
“sudahlah
kakek, kakek jangan menangis. Aku ikhlas kok gak bisa melihat, kan yang penting
aku sehat kek.” Aku tersenyum dan mengusap air mata kakek.
Kakek
melihatku tersenyum padanya.
“andai saja kedua orangtuamu masih ada Dara,
pasti mereka bangga melihatmu sudah besar dan cantik. Kau begitu baik, menyayangi
dan menganggapku sebagai kakekmu sendiri, padahal aku ini bukan kakekmu, bukan
siapa-siapa. Tapi aku juga sudah menganggapmu sebagai cucuku sendiri. Aku
menyayangimu, Dara.”
kakek
merenung berbicara dalam hati kemudian memeluku erat sekali. Aku tau ia tak
ingin kehilangan aku dan aku juga demikian. Hanya dia keluargaku sekarang.
***
Bernyanyi
itu sesuatu yang menyenangkan.
Setiap
pagi aku selalu bernyanyi, tetapi kadang saat ada yang mendengar aku bernyanyi
aku selalu dimarahi.
“hei
Dara, mengapa kau bernyanyi? Kalau kau ketahuan bernyanyi lagi oleh Kepala Desa
kau pasti dimarahi” itu entah suara siapa menegurku untuk tidak bernyanyi lagi.
“memang
kenapa kalau aku bernyanyi, bernyanyi itu menyenangkan. Mengapa kalian tidak
suka aku bernyanyi. Memangnya aku salah kalau aku bernyanyi?” aku membalas
teguran mereka.
“kau
ini dasar keras kepala, tidak bisa dibilang, kau akan kena marah oleh warga
yang lain. Kau memang sama saja, seperti
ibumu..”
Aku
berdiam. Dan tidak membalas ucapan mereka lagi. Aku seperti mendengar sesuatu
tentang ibuku? Ibu? Suara diantara telinga, pikiran, dan hatiku.
“Kau memang sama saja, seperti ibumu..” “..Kau memang sama saja, seperti ibumu..”
“Dasar keras kepala” “..Kau memang
sama saja, seperti ibumu..” “Dasar
keras kepala”
“tak bisa di bilang” “Dasar keras kepala” suara itu
terngiang-ngiang di telinga dan pikiranku.
Apa mereka
bilang? Aku ini sama seperti ibuku? Aku sesaat teringat kepada ibuku. Benarkah
ibuku juga dulu suka bernyanyi untukku. Mengapa aku tidak pernah mendengarnya
lagi. Mengapa ibuku tak pernah bernyanyi lagi untukku.
“ibuu..
aku rindu sama ibu” aku berteriak lalu menangis.
***
Nyanyian
itu berasal dari mimpi.
Aku
pernah bermimpi, tapi kurasa itu tak seperti sedang bermimpi. Itu lebih gelap
dari kegelapan apapun. Mengapa aku berada di tempat yang sempit dan gelap itu. Aku
seperti tak hidup, tapi aku bisa mendengar—ada alunan yang indah dan merdu, itu
seperti suara wanita dan burung yang bernyanyi.
Kudengarkan
secara khidmat, nyanyian wanita itu indah sekali diiringi alunan dari seekor
burung. Perlahan nyanyian itu sampai padaku seolah ada suatu sinyal yang
mengirimnya padaku, tapi aku diam saja tidak merespon apapun. Hingga ku
terbangun dan mencari-cari asal nyanyian merdu itu, ternyata itu berasal dari
mimpi.
Seperti
biasanya. Aku pergi ke kaki bukit lalu duduk bersandar di bawah pohon rindang
itu lagi. Hari-hari aku selalu teringat ibuku. Kemudian aku merenung dan
bernyanyi kecil. Mengingat nyanyian dalam mimpiku.
“naananaa..nananaaa..nananaaa..
Di kala pagi
menyambutmu.. Engkau permata kecilku.. tumbuhlah seperti bunga-bunga..di pagi
hari.. cantik dan elok mewarnai dunia.. karena kau lah cintaku..
naananaa..nananaaa..nananaaa..”
sejenak
aku terdiam dan berhenti bernyanyi. Aku seperti mendengar nyanyian itu lagi
alunan merdu dalam mimpiku. Nyanyian burung itu, aku mendengarnya tapi dimana
aku tidak melihatnya.
Nyanyian
itu semakin dekat di telingaku. Kemudian aku berseru.
“hei,
apa kau seekor burung? Dari mana kau datang?” aku mencari-carinya. Tetapi ia
tak menjawab. Ia terus bernyanyi semakin jelas.
“apa
kau bernyanyi untukku?” aku berseru kembali. Dan ia tetap tak menjawab. Kurasa
ia memang seekor burung, suara kepakan sayapnya pun aku mendengarnya. Aku
kembali bernyanyi bersama burung itu, aku seperti terbawa suasana dan hampir
terlelap.
***
Disaat
ku mulai terlelap, ada sesosok tangan yang menarik lenganku kuat-kuat. Aku
terkejut.
“jadi
kau yang suka bernyanyi di pagi hari itu” seperti suara lelaki yang tiba-tiba
terdengar nyaring di telingaku.
“siapa
ini, ada apa, memangnya kenapa?”
“heh
gadis buta, kau pura-pura tidak tahu apa memang kau ini tidak tahu hah?” mereka
tiba-tiba saja marah kepadaku.
Kurasa
para warga itu tahu kalau aku diam-diam sering bernyanyi. Mereka seperti sedang
melihatku dengan perasaan kesal.
“kami
tahu kau diam-diam suka bernyanyi, kau lihat padi-padi itu tidak pernah berbuah
lagi dan kau tidak tahu bencana apa yang akan menimpa kita semua. Semua itu
karena kau sering bernyanyi, hah.”
“apa
salahnya aku bernyanyi, aku tidak mengganggu padi-padi itu, aku tidak tahu
kalau padi-padi itu tak berbuah lagi. Maafkan aku.”
Aku
mulai menangis lalu tiba-tiba kakek berlari menghampiriku dengan perasaan
khawatir melihat aku diintrogasi oleh mereka.
“ada
apa ini? Apa yang kalian lakukan pada cucuku?” kakek memelukku dan mereka
melepaskan lenganku.
“hei,
kek kau ini sama saja dengan cucumu itu, kau biarkan dia bernyanyi terus, kau
rela padi-padi kita tak berbuah beras dan kau mau kita semua terkena bencana
lagi?”
“aku
tahu, tapi kasihan cucuku. Kalian terlalu menyalahkannya.” Kakek membelaku dan
aku hanya menangis tanpa berkata apa-apa.
“sudahlah,
usir gadis buta ini dari desa kita, sebelum kita terkena bencana.”
“ya..ya..
usir dia. Benar-benar ayo” mereka berseru.
Mereka
menarikku dan memisahkan aku dengan kakek. Mereka menahan kakek kemudian aku
diusir dari desa ini.
“jangan
usir cucuku, jangan. Dia sudah cukup menderita, jangan kalian tambah beban
hidupnya lagi.”
Kakek
tidak sanggup lagi menolongku dan ia hanya menangis melihat aku diusir. Mereka
menjauhkan aku dari kehidupan mereka. Mereka tak ingin melihat dan yang pasti
tak ingin lagi mendengar nyanyian yang mereka bilang itu adalah bencana untuk
desa ini.
Aku
pun tak sanggup lagi untuk membela diri. Kakiku tak tentu melangkah ke arah
yang tak aku kenal. Bahkan mata kakiku tidak bisa melihat apapun yang ada di
belakangku. Batu yang ku injak membuat keseimbangan tubuhku menjadi seakan
ingin jatuh mendekati bumi. Dan aku merasa langkah terakhirku tidak menyentuh
itu, kaki ku yang satu terasa melayang dan kaki yang lain menyusulnya.
Aku
semakin tak bisa mengontrol tubuhku, ada suara bebatuan yang jatuh entah kemana
dan aku merasa terpeleset oleh bebatuan yang rapuh itu lalu aku pun melayang
membuang semua beban di tubuhku. Itulah saat ku sadari aku terjatuh dari jurang.
***
..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa.. ..nanana nanana
na naanana.. nanana nanana na nananaa..
..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa..
“wahai Dara ku, aku yang bernyanyi untukmu. Maafkan
aku, aku tak bisa menolongmu. Aku mengulangi untuk kedua kalinya. Aku tahu,
seharusnya aku tidak mengulanginya. Tapi aku membiarkannya begitu saja, aku
memang tak berguna. Kini aku hanya bisa bernyanyi dan bernyanyi, setidaknya ada
hal yang bisa aku perbuat selain hanya diam. Tetapi semua itu percuma saja..
Aku akan menceritakannya
padamu.
Dulu aku berteman dengan
ibumu, beliau ialah perempuan yang baik hati, ibumu selalu menyapaku di pagi
hari dengan nyanyiannya yang merdu lalu kami selalu bernyanyi bersama, hingga
kawan-kawanku bergembira dan bersukaria.
Tetapi ada yang tidak
suka melihat kami bernyanyi dan bergembira. Aku takut pada mereka. Mereka
banyak, gelap, matanya tajam saat mereka tertawa. Mereka membawa senapan
panjang yang menakutkan kami. Mereka kejam, mereka yang selalu memburu dan
membunuh teman-teman kami di malam hari, disaat orang-orang terlelap. Mereka
adalah ‘Pemburu Merpati’.
Malam itu, mereka
menangkapku. Tak sulit mereka menemukanku di malam hari karena mata mereka
tajam dan tubuhku yang terang mudah sekali dilihat. Dengan kencang suara dari
senapan itu terngiang dan peluru yang melesat cepat. Aku merasakan tubuhku
lemah dan kaku seketika seperti nadi-nadiku tak berdenyut lagi dan jantungku
yang mulai melemah. Kepalaku pusing kemudian aku terjatuh dari atas pohon
kepalaku membentur tanah bersama tubuhku. Aku tidak merasakan lagi jantungku
berdetak dan aku melihat langkah-langkah menakutkan mereka menghampiriku lalu
aku menutup mata untuk terakhir kalinya.
Padahal aku mempunyai
janji kepada ibumu untuk menemaninya esok hari, sebuah kabar gembira, ibumu
akan melahirkanmu. Tapi aku tidak datang hari itu, pemburu-pemburu itu mungkin
sudah memakan ku. Dan aku amat bersedih ketika tahu, ibumu meninggal saat
melahirkanmu. Maafkan aku tidak bisa berbuat apa-apa dan kini terjadi lagi
padamu.
Dibalik sifatnya yang
anggun, merpati sebenarnya punya sifat pendendam, tetapi tak banyak orang yang
tahu. Kawan-kawan kami mencari para pemburu tersebut yang tinggal di desa itu.
Mereka ingin membalas apa yang telah dilakukan pemburu itu pada kawan kami yang
malang, termasuk aku. Mereka memakani semua padi-padi yang ada disana, hingga
tak tersisa satupun padi yang berbuah.
Kurasa apa yang kawan
kami lakukan belum ada apa-apanya dibandingkan perbuatan mereka yang kejam.
Mereka seperti tidak punya hati nurani terhadap makhluk hidup dan lingkungan.
Hewan-hewan tak bersalah mereka buru dan bunuh, pohon-pohon mereka tebangi
sembarangan hingga habis. Mereka hancurkan habitat dan ekosistem kami, mereka
seolah musnahkan kehidupan kami. Bukankah itu hal yang kejam? pantas saja
mereka sering mendapat bencana, alam pun murka terhadap orang-orang yang
seperti mereka itu..
Mereka semua tidak punya
perasaan, hak apa mereka melarang-larang orang bernyanyi? Bukankah bernyanyi
itu menyenangkan? Mereka saja yang tidak tahu nyanyian kami.
Sekali lagi maaf kan
aku, Daraku. Kau akan selalu ku ingat, juga ibumu. Terimakasih telah bernyanyi
untukku dan terimakasih telah mendengarkanku bernyanyi.”
..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa.. ..nanana nanana
na naanana.. nanana nanana na nananaa..
..nanana nanana na naanana.. nanana nanana na nananaa..
***
Nyanyian
siapa itu? Merdu sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar