Cerpen by : Andri
Mulyahadi
Dear Rivan..
“kau tahu? bunga yang cantik adalah bunga yang selalu bermekaran dikala
kau sapa dengan senyuman. Disaat lahir
bermetamorfosa dari bakal bunga menjadi pucuk bunga kemudian berubah menjadi
kuncup yang siap mekar hingga berwujud bunga dengan mahkotanya yang anggun. Dan
apakah kau tahu juga? Bunga yang cantik itu pasti akan mati. Itu karena dia
menjadi layu, tua, kering, kemudian mati, bahkan sadisnya lagi lenyap dihempaskan
angin..
Sama seperti aku
yang kau tinggalkan begitu saja, tanpa kepastian...
Pilihan yang sulit itu bukan ketika kau tak
bisa memilihnya sekaligus, atau bingung memilih salah satunya karena risiko
yang sama-sama sulit. Tapi saat kau harus memilih apakah digantungkan atau
sakit sekalian karena ditinggal tanpa kepastian.
Pernahkah kau rasakan bagaimana rasanya
menjadi tangkai bunga “Dandelion” yang harus ditinggalkan benih-benih bunganya
terbang dibawa angin tanpa kepastian, hingga kau merasakan kehampaan yang
sebelumnya sempat hadir sempat bersama namun hilang begitu saja.
Benih-benih
bunga yang dulu sempat mengisi sisi-sisinya bahkan sempat mengoreskan kedekatan
diantaranya. Menghias perasaannya yang tandus tanpa adanya cinta, terlahir dan
tumbuh diantara ilalang-ilalang hingga membuatnya cemburu. Tidakah kau tahu
bagaimana akhirnya mereka membenci itu. Seharusnya kau tahu itu bagaimana
perasaan feminim seorang wanita mendapat jawaban tanpa adanya pertanyaan.
Aku
tahu dan aku mencoba sadar bahwa cinta tak selamanya berhasil, seperti cincin
yang berharap tersentuh melingkar di jari manis. Namun semua itu takkan
berhasil ketika ada celah dan jarak yang memisahkan diantara mereka yang menyebabkan
cincin itu tak cocok dengannya.
***
Ivan,
apakah kau tahu saat kau kenalkan aku dengan sahabatmu itu membuatku canggung.
Bukan perihal perkenalan atau pujiannya padaku, tapi karena ada alasan dibalik
perkenalan itu, kurasa sebuah perasaan aneh dan bersifat pemujaan yang kusebut
“kagum” hingga perasaan yang tak ku harapkan yaitu lebih dari kata kagum.
Aku
tahu saat ku pentas tari dan drama putri kahyangan di sekolah waktu itu,
membuat banyak perhatian yang tertuju pada penampilanku, salah satunya kau dan
sahabatmu itu. Aku melihatmu memotret ku bersama sahabatmu. Aku senang saat kau
abadikan penampilanku pada sebuah foto tapi aku tak senang kalau akhirnya
membuat sahabatmu itu malah mencurinya darimu.
Sebenarnya
ada yang ingin aku sampaikan padamu ketika kau dan sahabatmu menghampiriku.
Tapi aku tak berani mengatakannya, malah aku sedikit tak peduli dengannya.
“hai, aku Reno. Kamu Bunga ya? Salam kenal ya” ia menjabat tanganku.
“hai, aku Reno. Kamu Bunga ya? Salam kenal ya” ia menjabat tanganku.
“i..iya”
aku hanya menjawab seperlunya dan dengan senyuman, setidaknya aku menghargai
orang lain.
Andai
tangan yang menjabatku ini tanganmu, mungkin akan ku perlama waktu yang ada
bahkan kalau perlu dihentikan sejenak. Agar aku selalu merasa dekat denganmu. Tapi
yang ada kau bahkan hanya menatapku seperlunya tanpa sepatah kata yang kau
ucapkan hingga kau pergi.
***
Aku
tidak menceritakan kedekatanku bersama sahabatmu itu, tapi tentang kedekatan
kita dulu. Mengapa kita bisa sedekat itu dan mengapa kau biarkan perasaanku
tumbuh begitu dalam padamu hingga rasanya kau seperti malakat pelindung yang
selalu ada disampingku. Seperti ketika aku terjebak diantara kerumunan tawuran
antar sekolah, mereka yang saling melemparkan batu dan andaikan kau tak datang
saat itu, aku tak bisa membayangkannya.
“Bungaa,
awas !” kau secara refleks menarik tanganku hingga kau tak sadar bahwa kepalamu
terhantam benda yang keras itu.
“Ivan,
kamu kenapa van, bangun van. Tolong, tolong ! aku berteriak histeris diantara
kerusuhan itu, kau terjatuh pingsan dengan memar merah di dahi kirimu.
Aku
melihatmu terjatuh dihadapanku, hingga ada teman-teman lain datang membawamu
ketempat yang aman dan mengobati lukamu. Bersyukur luka tersebut tidak parah,
aku tau kau orangnya kuat itu saat ku tanya kondisimu.
“gimana
keadaanmu sekarang, van?” aku bertanya khawatir.
“aku
tak apa-apa, bunga. Terimakasih ya.” Kau hanya tersenyum. Lagi-lagi kau bilang
‘tak apa-apa’, kurasa itu seloganmu. Aku sudah hafal betul kau pasti berkata
demikian. Tapi entah mengapa itu yang membuatku menyukaimu.
“seharusnya
aku yang berterimakasih padamu, karena sudah menolongku tadi, kau ini gimana.”
Aku membalas senyuman bodohmu itu.
Kau
seharusnya tahu kedekatan kita saat itu sudah semakin tak wajar. Aku merasa
kita sudah seperti sepasang kekasih yang telah menjalin hubungan lama. Tapi aku
merasa aneh entah apa yang ada dipikiranmu saat itu.
Andaikan
kau menyatakan perasaanmu kepadaku di malam akrab kelas kita, aku pasti sangat
senang menerimanya, jelas bagaimana tidak, orang yang aku suka ternyata juga
menyukaiku, pasti setiap perempuan di dunia pun merasakan hal yang sama
denganku. Dan teman-teman kita yang lain gundah dengan kedekatan kita.
“hei, Bunga, kenapa kalian gak
jadian aja sih” itu kata teman-temanku.
Bahkan
sebagian ada yang menganggap kita udah pacaran. Aku sih tak masalah saat itu,
tapi aku tak tahu bagaimana denganmu, karena kau terlalu diam dan hanya
berbicara seperlunya saja. Jujur itu yang membuatku sedikit kesal juga padamu.
Aku
sempat terpikir untuk menyatakan perasaanku padamu, tapi aku tak cukup punya
keberanian untuk itu. Mungkin hampir semua perempuan pernah merasakan hal
demikian ketika menyukai seorang lelaki. Kurasa itu wajar saja. Dan pernah
terpikir oleh ku sampai kapan kita seperti itu dengan menganggapku lebih dari
sekedar teman. Aku mencoba menjalaninya saja seperti skenariomu itu.
***
Hal baru biasanya memberikan kesan yang
indah ketika kau merasa nyaman dengan hal yang lama. Seperti bunga yang
berganti mahkota yang baru karena yang lama telah memberikan keindahan bagi
pesona yang melihatnya.
Tapi tak selamanya
hal baru seperti apa yang diharapkan, bisa saja mahkota yang baru tak seindah
mahkota yang lama, yang biasa dipuja karena kecantikannya kali pertama ia
saksikan.
Semua
itu berubah saat pergantian tahun ajaran baru sekolah. Kita hampir tidak
bersama-sama lagi disekolah semenjak naik ke kelas tiga. Mungkin karena kau
sibuk dengan ekskul seni dan fotografimu, juga kesibukanmu di kelas tiga. Sama
seperti aku melanjutkan ekskulku di teater.
Bahkan
kadang kita bertemu hanya pada saat pulang sekolah, itu pun hanya sekedar
menyapa saja dan kau tak lagi mengajakku makan dipinggir sekolah, atau berlari-lari
di antara rel kereta, atau yang menjadi kebiasaanmu menunjukan foto-foto
serangga lucu yang kau ambil saat kita pergi ke bukit belakang sekolah. Aku
mencoba mengulang kebersamaan kita dulu.
“Van?”
aku menegurmu di depan sekolah dengan menghentikan langkahmu. Karena kau hanya
terfokus pada kameramu.
“hei,
Bunga” lagi-lagi kau tersenyum padaku, dengan terkaget melihatku.
“kau
sudah mau pulang?” entah mengapa aku menanyakan hal tersebut yang seharusnya
aku sudah tau. Dan kau hanya mengangguk saja.
“kau
ini kenapa?” aku menatapmu dengan sedikit serius. Lagi-lagi kau tersenyum.
“aku
tak apa-apa Bunga, memangnya kau pikir aku kenapa?” seperti biasa kau pasti
menjawab demikian.
“kita
makan nasi goreng kesukaanmu yuk, trus kita lewat di rel kereta lalu kita ke
bukit belakang sekolah.” Aku mengajakmu dengan gembira sambil menarik lenganmu.
“Bunga,
maaf aku gak bisa, aku sudah ada janji dengan orang lain. Mungkin lain waktu
yah.” Kau melepaskan genggamanku dan kemudian pergi membelakangiku.
Keadaan
itu terulang kembali ketika kau
meninggalkanku di Bandara. Kali ini entah kau kembali lagi atau tidak, yang
pasti aku takkan bertemu denganmu dalam waktu yang lama, atau mungkin takkan
pernah lagi. Entah lah.
Ketika seseorang
pernah hadir di kehidupanmu kemudian tiba-tiba menghilang, bukan berarti ia
benar-benar meninggalkanmu, tapi mungkin ia tak bisa bersamamu lagi karena
suatu alasan yang tak bisa ia katakan padamu.
Dan ketika sebuah
kenangan yang telah berhasil di kemas, tiba-tiba saja harus terlepas karena
ikatan yang longgar, hingga kau berusaha untuk menyatukannya lagi, tapi itu
mungkin tak semudah saat pertama kau kumpulkan bersama-sama.
***
Pernahkah kau lihat kupu-kupu berpasangan
hinggap di bunga-bunga yang anggun. Tampak menawan ketika keduanya saling
beterbangan kecil diatas mahkotanya. Menjejaki setiap bunga yang mereka
hinggapi hingga tak pernah mereka sadari bahwa mereka membantu bunga itu
melakukan penyerbukan.
Tetapi adegan itu
akan rusak saat ada serangga lain merebut kebahagian mereka. Serangga yang tak
mengizinkan mereka mengaduh cinta bersama bunga-bunga itu, padahal tidak
perlulah mengganggu kedekatan mereka, setidaknya biarkan saja mereka bercinta..
Sebenarnya
aku tak tega mengatakan hal ini, tapi aku lebih tak tega lagi saat hatiku terluka
melihat kau bersama orang lain. Perempuan yang tak ku kenal ikut dalam ekskul
fotografimu dan tak butuh waktu lama kau langsung dekat dengannya, memang kau
dan dia memiliki hobi yang sama. Aku diam-diam melihat kedekatan kalian. Hingga
aku tau dia bernama Renata. Aku sebenarnya tak ingin mengatakan hal ini, dan
tak ingin kau tahu bahwa aku “cemburu”.
Memang
seharusnya aku tak berhak untuk cemburu pada perempuan itu. Karena aku sadar
aku bukan siapa-siapa. Tapi siapa yang tak rela seseorang yang dicintainya
harus bersama orang lain. Kurasa lagi mungkin semua perempuan pun pernah takut
kehilangan orang yang dicintainya.
Aku
tahu Renata menyukaimu. Terlihat saat ia menatapmu tak biasa ketika kau
mengajarinya mengunakan kamera, dan ia sering tak sengaja mencuri-curi
perhatianmu untuk selalu dekat denganmu. Tapi aku tak tahu apakah kau
menyukainya juga. Aku berharap kau tak menyukainya dan aku juga berharap kau
menjaga perasaanku.
Tak
heran kalau banyak perempuan yang menyukaimu, kau tak hanya tampan dan tinggi
juga karya-karyamu dibidang seni dan fotografi membuat orang-orang menyukai
karyamu. Hingga kau jadi salah satu idola juga di sekolah.
***
Hujan itu bagian
dari cerita cinta. Ketika hujan terkadang membuat seseorang teringat akan
cintanya, karena dari setetes hujan memberi seribu inspirasi dan angan bagi
semua orang yang tengah merasakan cinta. Bagi mereka hujan adalah sahabat cinta
yang indah mengiringi kebersamaan dan melahirkan kenangan. Bahkan hujan dapat
menghipnotis perasaan seseorang dengan sejuk, dinginnya bersahabat.
Tapi bagiku hujan
membuat cinta menjauh dari hati ini. Hujan seperti gemuruh riuh yang menggema
deras di hati. Menghujani seluruh tubuh dan mengenangi separuh hati yang
kosong.
Terkadang
untuk merasakan senang itu kau harus rela sakit dahulu, begitu juga sebaliknya
ketika kau merasakan senang dulu akhirnya kau merasakan sakit setelahnya.
Kau
ingat, ketika kau dan aku pulang bersama saat sore hari dan saat itu kau dan
aku berlari-lari menuju stasiun karena hujan deras yang tiba-tiba saja menguyur
kita berdua.
“Bunga,
hujan, ayo cepat” kau tiba-tiba saja berlari.
“eh
Van, tunggu aku” aku mengejarmu dan langsung memegang lenganmu sambil berlari.
Dan
setelah kita sampai di tempat teduh di stasiun, kau langsung berhenti berlari
dan aku yang tengah berlari di belakangmu sontak tak sengaja menabrak dan
memelukmu.
Kau
tau, aku tak perduli seberapa deras hujan itu dan seberapa dingin yang hujan
itu hadirkan. Aku seperti tak merasakan dinginnya udara di sekeliling ku. Aku
tak merasa bajuku basah karena itu. Karena aku merasa hangat sekali berada
sangat dekat denganmu, bahkan tak ada jarak sedikitpun dan dengan memelukmu
dari belakang, ingin ku hentikan waktu di dunia ini setidaknya beri aku waktu
lebih lama untuk bisa memelukmu terus.
Aku
yang terhanyut dalam anganku yang terlalu tinggi terkejut saat kau
membangunkanku dalam khayalanku.
“hei
Bunga, kita sudah sampai, kita tak kehujanan lagi.” kau menepuk pundakku yang
masih memelukmu. Aku langsung melepaskan pelukanku.
“maaf
ya van” aku tersenyum malu di hadapanmu.
“oyy”
kau hanya mendengakan kepala padaku.
“kamu
baik-baik saja kan?” aku tau itu seharusnya tak ku tanyakan padamu. Dan kau
pasti bilang.
“aku
tak apa-apa, bunga. Cuma sedikit basah aja” seperti biasa.
***
Itu
adalah pengalaman yang indah dan membuatku senang ketika bersamamu, tapi
keadaan itu tak berlangsung lama. Semua terasa suram seketika, aku yang
merasakan hangat di dekatmu harus merasakan dingin yang luarbiasa menjalar
ditubuhku ketika kau lagi-lagi meninggalkanku pergi. Kau tiba-tiba saja berlari
ke arah seorang perempuan yang tak asing lagi di mataku.
.. “Re-na-ta”.
“Renata,
kau kenapa?” Kau mengampirinya dan menanyakan keadaannya.
“eh,
aku tak apa-apa, ka Ivan” kurasa ia meniru seloganmu dan terlihat seperti
menggigil kedinginan. Aku tak tahu apa ia hanya akting di depanmu, tapi kurasa
ia memang benar-benar kedinginan.
“kau
menggigil Ren, ini, sebaiknya kau pakai jaketku agar kau tak semakin
kedinginan.” Kau membuka jaket hangat yang tadi ku peluk dan memakaikannya di
tubuh Renata menutupi pakaiannya yang basah karena hujan itu.
Sesaat
kereta jurusan kita pun tiba, kau merangkul Renata hendak memasuki kereta, dan
aku terdiam hanya melihatnya saja. Sampai kau memanggilku.
“Bunga?
Ayo nanti kau ketinggalan” kau memanggilku.
“iya..”
aku terkejut dan berlari memasuki kereta.
***
Kau
tau, disatu sisi aku tak tega melihat Renata seperti itu, ku rasa kau juga
demikian. Tapi disisi lain aku yang tak tega merasakan hatiku menangis
melihatmu bersamanya.
Pernahkah kau
bayangkan ketika kau hanya menjadi figur dalam sebuah film, yang keberadaanmu
itu tidak terlalu dipentingkan, tetapi kau harus berada di zona yang tak
benar-benar kau harapkan, bukan karena kau seolah-olah tak dianggap tetapi
memang ada hal lain yang lebih diharapkan dibanding denganmu.
Kau
begitu perhatian sekali padanya, sama seperti dulu kau lakukan hal yang sama
padaku. Tapi kau memang begitu hampir kepada orang-orang di dekatmu. Kau memang
care pada orang-orang disekelilingmu.
Aku
duduk tepat disebrang tempat kau dan Renata duduk, sepertinya aku kalah cepat
dengan orang lain yang berada disampingmu itu. Tapi itu aku tak peduli, hanya
yang membuatku mengganjal adalah pemandangan tak menyenangkan itu harus aku
saksikan sendiri, ketika dia berada sangat dekat denganmu bahkan tak ada jarak
yang memisahkan kalian.
Aku
memperhatikan apa yang kalian lakukan. Aku seperti detective bodoh yang
mengintai adegan seperti itu. Tapi yang membuat suhu disekitarku meningkat
adalah ketika dia menyilangkan lengannya dengan mu dan menyandarkan kepalanya
dibahumu. Tetapi kau malah tak melarangnya, maksudku kau diam saja. Memang aku
tak perlu berpandangan seperti itu. Tetapi hatiku begitu protes melihat adegan
di depanku.
Keadaan
sunyi hanya suara kereta diiringi desiran rem perlahan dan hujan yang
melengkapinya melaju menuju stasiun berikutnya. Tak banyak komentar aku
langsung mengambil headset di tasku kemudian mendengarkan musik favoritku sembari
memejamkan mataku, seolah aku tak pernah melihat pemandangan itu lagi. Cukup
karena lagi-lagi itu memang membuatku “cemburu”.
This
is way too hard, cause I know
When
the sun comes up, I will leave
This
is my last glance that will soon be memory
And
when the daylight comes I’ll have to go
But
tonight I’m gonna hold you so close
Cause
in the daylight we’ll be on our own
But
tonight I’m gonna hold you so close
I
never wanted to stop because I don’t wanna start all over
Start
all over
I
was afraid of the dark but now it’s all that I want
All
that I want, all that I want
“Daylight” – Maroon 5
***
Tiga
bulan berlalu.
Selama
itu aku hampir tak pernah bertemu lagi denganmu. Saat itu kita memasuki
semester genap yang sebentar lagi menghadapi ujian akhir. Kau kini jarang lagi
aktif di ekskul fotografimu, kau hampir tak banyak waktu di lingkungan sekolah.
Entah apa alasanmu tak pernah lagi menghubungiku. Kau tak lagi mengajakku
pulang seperti dulu, bahkan kau hampir tidak menyapaku ketika kita berpapasan
wajah.
Kau
mulai berubah lagi van, tak seperti biasa aku kenal Ivan yang selalu tersenyum.
Bahkan Renata yang dulu selalu bersamamu memilih menjauh darimu bahkan pergi
dari kehidupanmu.
Mungkin
karena cintanya kau tolak dulu. Kau memilih untuk tidak menerimanya jadi
pacarmu, entah apa alasanmu, tetapi itu sedikit membuatku senang bahwa kau
memang tidak benar benar menyukainya. Entah kau memang menjaga perasaanku
kepadamu, atau memang kau punya alasan lainnya.
Untuk mendapatkan sesuatu yang berharga
terkadang kita rela untuk bersabar dan berkorban, tetapi perjuangan kadang
dirusak karena sebuah perhentian yang tak bisa lagi dilanjutkan bahkan tak ada
lagi kesempatan untuk berjalan lagi.
***
Tetapi mengapa?
Bunga yang dulu kau buang, kau ambil kembali. Apakah bisa kembali cantik
setelah layu dan terhempaskan kekecewaan. Mengapa tidak mencari bunga yang baru
yang lebih cantik dan anggun bukan bunga yang telah layu tanpa ada perhatian
lagi. Kemudian biarkan bunga itu layu dan mati dengan sendirinya..
Jangan pernah
memasang bunga dengan tangkainya yang telah jatuh ke tanah karena takkan bisa
berdiri kembali, bukan karena sudah layu atau tak pantas tetapi karena bunga
tak ingin berdusta dengan menjadi bunga cantik seperti dulu lagi.
Kini
kau dan aku merasa sangat canggung bahkan saat kita berkomunikasi di sekolah.
Kau tidak lagi terbuka dan akupun demikian. Aku yang dulu sering curhat dan kau
selalu tertawa dan bercanda bersama-sama, tetapi kini kita seperti orang yang
baru kenal berbicara seperlunya. Dan kita pun jarang pulang bersama berdua lagi
seperti dulu, kini kau pulang dan aku pun pulang. Hanya mengucapkan pertemuan
dan perpisahan, tanpa kata-kata lainnya.
Walau
ada kehadiran siswa baru yang ku tahu itu sahabatmu dulu, Reno, yang ingin
dekat denganku, kau masih saja tertutup kepadaku. Aku seperti merasa sudah lama
kenal dengan Reno padahal baru beberapa hari kita berkenalan dibandingkan dengan
mu yang sudah lebih dari tiga tahun kau kini menjadi kaku padaku.
***
Here
I am waiting, I’ll have to leave soon
Why
am I holding on?
We
knew this day would come, we knew it all along
How
did it come so fast?
This
our last night but it’s late
And
I’m trying not to sleep
Cause
I know, when I wake, I will have to slip away
And
when the daylight comes I’ll have to go
But
tonight I’m gonna hold you so close
Cause
in the daylight we’ll be on our own
But
tonight I’m gonna hold you so close
Oh-woah,
oh woah, oh woah
Oh-woah,
oh woah, oh woah
Here
I am staring at your perfection
In
my ams, so beautiful
The
sky is getting bright, the stars are burning out
Somebody
slow it down
This
is way too hard, cause I know
When
the sun comes up, I will leave
This
is my last glance that will soon be memory
And
when the daylight comes I’ll have to go
But
tonight I’m gonna hold you so close
Cause
in the daylight we’ll be on our own
But
tonight I’m gonna hold you so close
I
never wanted to stop because I don’t wanna start all over
Start
all over
I
was afraid of the dark but now it’s all that I want
All
that I want, all that I want
“Daylight” – Maroon 5
***
Apakah
kau tahu Van? Selama ini, aku menunggu, menunggu yang entah kapan sampai pada
akhirnya. Menunggu yang mungkin sia-sia dan hanya isu belaka. Tak ada kepastian
dan tak berujung pernyataan.
Aku
sudah bersabar dan tahan dengan sikapmu yang terus kau gantungan aku. Tetapi
kadang kesabaran ada batasnya aku menunggu kau menyatakan perasaanmu kepadaku
tapi malah Reno yang menyatakan cintanya padaku. Aku berharap kau yang
mengatakannya. Tapi kau membiarkan dia merebut cintamu.
Aku
tahu aku mendapat kabar bahwa kau akan berangkat ke Jogja setelah kelulusan,
kau memilih kuliah di sana dan meninggalkan rumahmu di Bandung. Untuk itu aku
mencarimu, untuk menyatakan semuanya, semuanya yang telah aku kumpulkan sejak
dulu. Perasaanku yang mungkin meluap dan hampir membludak. Penuh berai asa
dalam hatiku, gundah dan resah tergabung menjadi satu harapan terakhir.
Aku
berlari mengejarmu yang sudah jauh meninggalkanku. Aku yang hanya mengowes
sepeda yang dulu kita selalu memakainya bersama-sama, di bawah rintikan hujan
yang semakin lama semakin menderas, aku tak peduli aku mengejarmu semampuku,
tapi kau semakin tak terkejar. Tapi aku masih bertahan walau tinggal harapan
yang mungkin hampir hilang di hujani tetesan ini. Aku ingin berada di
tengah-tengah hujan lebat, agar tak ada yang tahu kalau aku sedang menangis.
Hingga
akhirnya aku sampai di bandara dan melihatmu turun dari taksi dengan membawa
barang bawaanmu bersama keluargamu. Aku berlari kembali mengejarmu yang berharap
aku masih bisa bertemu denganmu meski untuk terakhir kalinya aku bertemu
denganmu.
“Rivan?
Tunggu..” aku berteriak hingga kau berhenti dan menengok ke belakang. aku
tampak sedikit berantakan dengan napas yang tidak teratur.
Kau pun
menghampirimu. Ayah dan ibumu berjalan terlebih dahulu ke loket. Kau lagi-lagi
tersenyum melihatku terengah-engah berlari untuk menemuimu.
Entah apa yang
harus aku katakan kepadamu, tapi yang pasti aku harus mengatakan semuanya
karena aku tahu aku tak punya banyak waktu.
“Van, kau
benar-benar akan pergi?”
“iya, Bunga.
Aku harus pergi ke Jogja dan berencana kuliah disana. Sebenarnya aku tak tega
untuk meninggalkanmu di Bandung. Haha. Oya bagaimana denganmu apa yang
selanjutnya kau lakukan? Kuliah juga?” kau malah tertawa kecil sambil
mengusap-usap belakang kepalamu.
Kau ini
kenapa, masih saja tidak mengerti. Mengapa kau malah berkata seperti itu apa
kau tidak tahu aku mengejarmu untuk apa? Cobalah untuk peka sedikit. Rasakan
apa yang aku rasakan.
“kenapa kau
pergi? Apa kau mau meninggalkanku sendiri Van?”
“iya aku akan
pergi, mungkin untuk waktu yang lama.“ tak banyak kata yang kau ucapkan lalu
kau pun berpamitan padaku dan hendak meninggalkanku, lalu dengan sontak aku
menghentikanmu dan memegang kedua tanganmu.
“Van, aku gak mau kamu pergi. Aku suka sama
kamu dari dulu bahkan jauh sebelum aku bertemu dengan Reno. Aku tak tahu lagi
harus apa, tapi dulu aku tak berani berkata langsung padamu. Alasan aku bersama
Reno karena aku ingin selalu dekat denganmu. Maafkan aku seharusnya aku bisa
mengerti perasaanmu dengan tidak bersama Reno. Tapi percayalah aku benar-benar
mencintaimu dan aku tak ingin kau meninggalkanku Van. Aku ikut pentas tari,
drama, dan melakukan hal lainnya semata-mata karena untuk menarik perhatianmu.
Semua itu karena kamu..”
Aku melihatmu
terdiam menatapku serius tanpa sepatah kata lagi. Air mataku yang menetes ke
pipiku kau usap perlahan dan aku melihat kerlingan matamu yang menyimpan kesedihan
ketika aku mengungkapkan semuanya. Aku tak mengerti apakah yang kau rasakan
sama dengan apa yang aku rasakan?
Kau malah
memalingkan wajahmu dari ku dengan memejamkan mata dan menahan semua tangisan
yang tak ingin kau teteskan untuk ku. Kau bahkan tak ingin aku tahu kalau kau
juga menangis. Kemudian kau hanya berjalan terus dan meninggalkanku seorang
diri tanpa jawaban apa-apa. Perasaanku bingung dan gundah yang berlarut ketika
melihatmu meninggalkanku. Sampai saat ini aku bahkan tak tahu apakah kau
mencintaiku atau tidak. Aku tak tahu, dan kini aku bukan hanya digantungkan
tetapi juga dibiarkan jatuh seperti bunga layu yang tak seindah dulu.
***
Ada hal yang
membuat suatu hubungan putus tanpa sebab, yaitu perpisahan. Apakah kau tahu?
Jika ada pertemuan pasti ada perpisahan? Jika ada luka pasti akan ada bekas,
dan jika ada kisah pasti akan ada kenangan, yang mungkin teringat atau terhapuskan..
Kadang cinta itu
aneh. Walau dulu aku begitu menunggu dan berharap untuk terus bersamamu, walau
ada masa dimana perasaan kita longgar dan kemudian rapat kembali, menyatu dan
bercerai seketika, tersenyum dan bersedih, menangis dan tertawa, berlari-lari
hingga tak kenal waktu berhenti, bernyanyi dan memotret pelangi yang indah,
menjalani semuanya tanpa ragu dan malu, mengapus kekecewaan dan menggantinya
dengan kebanggaan, dan beriringan dengan ketulusan antara kau dan aku.
Aku ingin memiliki
cinta pertama dan cukup dengan cinta yang terakhir. Tidak ada cinta kedua,
ketiga, keempat, atau seterusnya. Bagiku hanya ada satu, cinta pertama dan
terakhir. Tetapi itu tak bisa aku miliki sekaligus, aku hanya bisa memiliki
salah satunya, dan itupun tak benar-benar aku rasakan sepenuhnya.
Apakah kau tahu
van? Kau adalah cinta pertamaku. Walau ku tahu kita tak bisa bersama, walau
mungkin ku tahu cintaku bertepuk sebelah tangan. Tapi kau tetap cinta
pertamaku. Mungkin aku akan mencari cinta sejatiku kelak suatu saat nanti,
cinta yang benar-benar tulus dan menerima dengan kasih dan sayang.
Kini ku hapus kesedihanku dengan senyuman yang pernah kau ajarkan padaku. Sekali lagi aku berterimakasih padamu karena telah menjadi bagian terindah dalam hidupku dan maaf kalau aku pernah mencintaimu...
Adyanda Bunga Lestari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar