Kamis, 26 Juni 2014

Tangkai yang Merindu #2

“…Perasaan itu singkat”.

            Tiada yang tahu makna yang tersirat dari kalimat itu, kecuali dia yang pernah mengalami hal yang dialami tangkai muda itu. Sebenarnya bukan perasaan yang membuatnya singkat tapi waktu yang membatasi sebuah perasaan. Waktu tidak pernah rela melihat kebahagian dirampas oleh kesedihan. Lalu apa yang menjadi korban? Perasaanlah yang menjadi korbannya. Ada kalanya waktu hanya menghadirkan sebagian dari masanya untuk diberikan pada perasaan itu. Sebagian lagi dia sisihkan untuk kebahagiaan lain, karena kebahagian sebenarnya bukan milik satu makhluk saja tapi semua makhluk yang memiliki perasaan akan mendapat kesempatan dari sang waktu.


          Sang tangkai muda akan melantunkan syairnya dalam irama yang syahdu dan menidurkan. Siapa sangka patah hati membuat tangkai yang satu ini bersedih dengan melantunkan setiap bait dalam syairnya. Itu mengesankan. Tapi dibalik itu ada perasaan yang singkat yang membuatnya harus membenci sesuatu yang ia sebut kepergian…

Bagian II – Tangkai Muda


             Perasaan itu singkat. Tidak ada yang bertahan lama saat perasaan perlahan memudar. Kala warna yang pekat pun perlahan memudar. Singkat itu sesuatu yang sangat aku benci maka dari itu aku kini membenci sebuah perasaan. Entah apa yang membuatku demikian. Seolah-olah kenyataanlah yang membuatnya demikian. Aku hanya menafsirkannya, karena aku yang mengalaminya atas kenyataan itu.

           Pernah mengalami “patah hati”? oh itu bagi ku adalah sesuatu yang sakral untuk dibicarakan. Terlebih menyangkut sebuah perasaan. Siapa yang rela perasaannya itu patah, karena sesuatu yang telah patah tidak akan mengembalikan kesempurnaan seperti semula meskipun disatukan dengan memperbaikinya. Berbeda seperti saat perasaan itu pertama kali tersenyum. Aku hanya berbaring dalam pohon ini menatap jingga didepan mataku.

            …Di Antara Petang dan Malam..
Kesunyian terlahir dari bibit sang hembusan malam..
Berkembang dalam lembayung penanti senja dari ufuk petang yang membentang..
Bersamudrakan jingga memerah yang menghapuskan biru sang sakala laut..
Mendebur alunan ayat-ayat suci menggema belahan bumi beriring suara senja…
Terngiang syahdu dalam telinga sang petapa..
Seperti lukisan sang gadis dan alas nestapa..
Hanya goresan kepergian dalam kanvas dan siratan jingga memerah..
Disinilah aku dan lembayungku hanya sebatas meneteskan air mata..
Melihat malam melahap maut penantian petang..
Perasaan tak tega ketika perpisahan membuat senjaku ini harus menangiskan malam kejam..
Bukan itu sosok malam dalam penantian…
Bukan seperti perompak maut membunuh dalam kelam..
Seperti apa yang kau saksikan wahai pemuja?
Ku tahu apa arti kepergian dan apa kau tahu itu perpisahan..
Keduanya adalah singkat..
Seperti antara petang dan malam…

            Aku baru tahu. saat cinta berpihak padaku dan ketika itu pula cinta pergi tak berpihak padaku lagi. Sejujurnya aku tak melihat keindahan itu seperti apa. Senja yang indah di depanku ini pun aku tak bias melihatnya dengan perasaanku. Itu yang seharusnya menjadi jingga memerah yang harus ku saksikan bersama daun yang aku cintai. Tapi entah kenapa aku tidak bias melihatnya. Aku melihatnya seperti malam saja tanpa ada jingga ataupun merah. Semuanya gelap. Atau memang perasaanku saja yang menutup keindahannya.

            Saat ini aku hanya ingin sendiri. Ya hanya sendiri kalau bisa tak ada yang menggangguku untuk kali ini saja. Aku ingin merasakan kesendirian itu seperti apa. Memang rasanya tenang dan menidurkan tanpa ada suara yang membuatku sakit. Tapi suasana itu sulit untukku. Ada saja bisikan-bisikan yang selalu ikut campur dalam kesedihanku ini. ya aku tahu itu. Siapa lagi kalau bukan tangkai tua, yang kerjaannya selalu menganggu dan mengomentari apapun yang ku lakukan. Dia memang iri padaku. Entah kenapa aku selalu membuatnya membenciku. Padahal aku ini hanya mencoba untuk menata hidupku. Tetapi dari dulu dia memang tak senang membuatku senang.

            Aku ini dikenal tangkai yang suka melantunkan syair. Setiap pagi aku yang ditugaskan oleh pohon itu membangunkan bunga-bunga dan pucuk-pucuk anak mereka. Aku senang aku bisa berbagi kasih dan cinta dalam keluarga ini. andai aku mempunyai alat music, aku pasti sudah bernyanyi untuk mereka. Tapi aku hanya tangkai biasa. Aku bahkan tak punya lengan dan jemari untuk menyapa mereka dengan melodi yang indah. Tapi yang membuatku tersipu, pohon itu memberiku kebijaksanaan untukku menjadi paduan dalam keluarga kami. Itu suatu kewajiban untukku berada dalam alam ini. untuk itu setiap pagi aku selalu berdiam sejenak dan melantunkan melodi syair dalam nada yang indah, seperti yang ku lantunkan saat suatu pagi yang indah semua tampak memuja sang pagi dan mentari. Di situlah aku berada untuk pelantun kebahagiaan mereka. Berdiam bukan berarti aku tak menikmati keindahan tapi aku sedang membangunkan keindahan itu melalui syairku..

Pemuja alam
…wahai pemuja sang biduan alam..
Senandungkan kebaikan dalam kehidupan yang abadi..
Sampaikanlah syair-syair syahdumu dalam keindahan pagi ini..
Ijinkan aku meminang lantunan ini untuk membangunkan sahabat-sahabat alam..
Yang bahagia nan sejahtera..
Dalam pelafalan syair keindahan tersirat kehidupan yang harmonis..
Mengalir bagai air dari hulu ke arah sang samudra..
Dan menghembus bagai angin singgah dalam gubuk alam ini..
Dan mengharumkan kesejahteraan alam bagai penghias tumbuhan-tumbuhan kecil yang suci..
Itu adalah doa.. doa sang pemuja alam..
Demi abadi..demi kebersamaan..
Ijinkan aku melantukan doa-doa mereka dalam harapan pagi ini..
Ijinkan aku membangunkan cita-cita mereka sebagai makhluk alam..
Dan aku sebagai paduan mereka..bersama menjaga ekosistem dan cagar semesta..
Walau hanya setitik embun membasahi semangatku.. itu adalah doa dari mereka yang bersama..
Dan setia dengan kebahagian kami.. dari alam kami..

            Saat itu aku bisa merasakan keindahan yang dihadirkan oleh sang pagi. Pagi adalah awal yang indah dalam hidup kami. Itu yang kami rasakan. Tapi bukan seutuhnya yang aku rasakan. Dibalik kebaikan pasti ada keburukan, begitu pula kebahagiaan. Dibalik kebahagian pasti ada kesedihan. Walaupun aku sebagai paduan mereka. Aku tetap hanya tangkai muda biasa yang mempunyai kekurangan dan kelemahan. Aku lebih melankolis dan berperasaan.

            Ini bagian dari kisah hidupku sebagai penyair. Seperti yang kau tau, aku mencintai daun yang berada di sisi tubuhku. ya, dia daun tua yang murah hati. Aku tahu, karena aku pernah menjalin kasih dengannya. Aku tahu tentangnya aku tahu tentang kemurahannya aku tahu semuanya, bahkan aku pun tahu apa saja yang tangkai tua itu bicarakan tentangku dan tentang daun tua itu. Aku pernah berkata diam bukan berarti tidak tahu apa-apa. Aku mendengar semua yang tangkai tua itu bicarakan padaku. Aku tidak tuli, walaupun aku tidak memiliki telinga, tapi memiliki pendengaran, bahkan lewat suara hati sekalipun. Seorang penyair pun bias mendengar sesuatu melalui perabaan jiwanya, itu tanpa pancaindera. Bukankah itu luarbiasa? Itu yang aku pelajari selama ini.

          Kau ingin tahu mengapa aku bisa bersama dengan daun tua itu? Oh tidak itu kisah yang mengharukan, tapi akan kuceritakan singkatnya, seperti yang kujelaskan di awal tadi, perasaan itu singkat, sama sesuatu itu pun bisa saja dibuat singkat. Seperti kewajibanku yang diberikan oleh induk kami pohon yang bijaksana, aku pun bersenandung setiap pagi dan membangunkan pagi yang indah, hingga daun-daun muda yang cantik dan elok berlomba-lomba memohon kepada pohon itu untuk berada di  sisi tubuhku. Bayangkan aku ini hanya tangkai biasa, apa aku pantas diberi tempat yang mulia di pohon ini. semua menanyakan siapa yang membangunkan pagi ini? siapa yang berpuisi di pagi hari? Dan siapa yang bernyanyi hingga bunga-bunga ini menari dan berdendang?
          
  Itu aku..
Kalau bukan aku.. bukan paduan ku berseru..
Aku ini tangkai yang merindu..
Dalam sisi tubuh rapuhku..
Dalam pagi aku mengadu..
Untuk engkau..
Membuatmu tersipu..

         Para daun muda yang cantik itu terheran mengapa mereka tidak bisa berada di sisi tubuhkuku. Kenapa hanya satu daun tua yang berada di sisi tubuhku. mereka bertanya pada pohon tua itu kenapa beliau tidak memberi ijin untuk berada di sisi tubuhku. dan pohon itu hanya tersenyum saja, itu membuatku tak mengerti. Lalu aku yang bertanya pada pohon kami.

         “wahai pohon dari pelindung kami, ijinkan aku menanyakan hal yang memang membuat heran padaku dan pada mereka. Mengapa kau tak inginkan daun-daun muda itu berada di sisi tubuhku? mengapa hanya daun tua itu yang berada bersamaku di sisi tubuhku? apakah aku ini tak layak untuk mereka, atau kau memang mempunyai maksud lain dengan menghadirkan daun tua itu di sisi tubuhku?

         Pohon itu pun menjawab kekeliruanku, “wahai tangkai mudaku, sesungguhnya aku melahirkanmu dari ranting-ranting yang baik, maka akan melahirkan tangkai yang baik pula. Kau dilahirkan untuk menjadi pelindung anak-anak kami kelak, ku jadikan paduan untuk senantiasa memberi keindahan dalam keluarga ini. mereka tak perlu berada di sisi tubuhmu untuk bisa mendapat keindahanmu, dengan kau yang memberi mereka keindahan, itu sudah menjadi peran tangkai muda. Untuk daun tua di sisi tubuhmu, dia yang akan menjadi teman pendengar dari syair-syairmu..”
        
       Entah begitu tersenyum aku mendengar perkataan dari pohon itu. Dan dengan kehadiran daun tua itu, aku mulai mencintainya, karena dia yang menjadi pendengar setia dari seruanku. Walaupun dia tua dan aku muda, kami tidak mempersoalkan tentang itu. Daun tua itu terkesan dengan syair-syairku di pagi hari. Itu yang membuat dia ingin selalu berada di sisi tubuhku. kedekatan kami dari hari ke hari menjadi lebih indah dan syair-syairku semakin diterima oleh sahabat-sahabat pagi.

          Oya, aku hampir melupakan satu hal. Ini tentang saudaraku, tangkai tua. Sebenarnya aku sedikit tidak menyukainya karena ia memanggilku “tangkai bengkok” aku bukannya bengkok, tapi aku merunduk agar aku dapat melantunkan syairku dengan hikmat. Ia malah selalu menyanggah apa yang aku ucapkan, dia juga tak menyukai syairku. Aku sebenarnya tidak masalah, hanya saja ia selalu memintaku untuk menjauh dari daun tua itu. Ia berusaha untuk membuat daun tua membencinya, itu karena ia mencintai daun tua itu. Tapi kenyataanya tidak demikian. Aku yang mencintainya dengan tulus begitupun daun tua. Apakah kau rela melihat dua yang memadu cinta itu dipisahkan? Aku pernah berdebat dengan dia, dia malah semakin membenciku karena kedekatanku dengan daun tua.

            Kami pernah berbincang untuk aku menjauh dari daun tua itu, tapi ini tak bisa aku lakukan. “hei tangkai tua, aku menghormatimu karena kau lebih tua dariku. Dan aku akan menghargaimu jika kau juga bisa menghargaiku. Aku sebenarnya tak masalah kau memanggilku dengan sebutan ‘tangkai bengkok’ atau apalah. Tapi aku tak bisa kalau harus menjauhi daun tua. Aku mencintainya tangkai tua. Apakah cinta itu hanya dipandang sebelah mata? Tidak, cinta tidak memandang apapun, hanya butuh ketulusan, karenanya dengan kedua mata itu akan terasa ketulusannnya. Begitupun dia. Kami telah memadu janji dan menjalin kasih. Apa kau masih tidak menerima hal itu? Dia mungkin tidak di takdirkan untuk bersamamu, dia lebih bersamaku. Aku tak suka dengan sikapmu yang egois dan tidak bisa menerima kenyataan. Kau selalu menyalahkanku, bagaimanapun kondisinya. Kau ini lebih dewasa dari ku tangkai tua. Seharusnya kau yang harus pikirkan hal itu..”
        
        Aku mencoba untuk menjelaskan apa adanya kepada tangkai tua itu. Tapi dia tetap tidak bisa menerima hal itu. Yasudah terserah apa yang akan dia katakan aku tidak terlalu menanggapi perkataannya. Sampai pada saat kejadian waktu itu daun tua memilih untuk pergi dari sisi tubuhku. aku memang sempat mencegahnya, tapi daun tua malah lebih memilih untuk pergi dariku. Entah apa alasannya tidak bisa aku mengerti. Tapi yang jelas aku benar-benar merasa kehilangan sekali.

Kehilangan..
Satu kata berjuta rasa duka..
Segenap perih pernah menjejaki kepergian..
Saat perasaan harus merelakan cinta pada kepergian..
Maka kehilanganlah yang mengisi kekosongan itu..
Kehilangan..
Satu kata bersama kepergian..
Kau harus rela kehilangan pergi darimu..
Itu membuat ketulusan berpihak pada kesetiaan..
Dan takkan pernah pergi..
Bahkan hilang..

            Kini aku mengerti cinta itu memang tak mesti bersama, cinta memang tak harus memiliki. Itu yang aku alami bersama daun tua yang sangat aku cintai. Dia rela mengorbankan cintanya demi kami semua. Dia begitu tulus dan itulah arti cinta yang sesungguhnya. Aku telah belajar banyak dari daun tua itu. Arti kesetiaan, kepergian, kehilangan, kebahagiaan, pengorbanan dan ketulusan. Dan yang ku ingat ia tersenyum saat kali terakhir ia pergi dari sisi tubuhku. aku ingat ia pernah berpesan padaku, kalau suatu saat dia pergi dari ku, aku harus tetap membangunkan pagi walau tanpa bersamanya, karena itu adalah tugas ku, bukan semata-mata kesempatan untuk bersamanya terus. Dan kini aku kembali melantunkan syair-syair pagiku menyambut para pemuja alam dan tangkai tua itu kembali menjaga anak-anak daun muda untuk belajar berfotosintesis. Kurasa ini awal yang baik untuk hari yang baik pula..

            Tidak semua orang berfikir tentang keburukan dan kebaikan itu berada disaat yang berlawanan, ada pula keduanya berada disaat yang sama dan mengambil sebuah kesimpulan yang positif. Pandangan dari satu sisi memang sering kali menimbulkan perbedaan, tapi ketahuilah bahwa dengan perbedaan persepsi itulah yang akan memberi tahu kita arti sesungguhnya dari perbedaan itu sendiri.

            Kesedihan selalu berjalan seiring dengan kepergian dan kehilangan. Tapi coba pahami dari syair-syair sang tangkai muda itu. Perasaan itu singkat, maka hidup pun bisa dibuat singkat. Tak ada gunanya untuk berlarut dalam ketiga kata itu, walaupun pandangan lain melihat pribadi tangkai tua yang tidak baik, tapi sebenarnya pandangan itu yang mengartikan kebaikan pada tangkai muda. Dia diam bukan berarti tak ada yang ia lakukan, ia berfikir, mendengarkan, merasakan, menelaah, dan menyimpulkan arti dari kekeliruan tersebut. Bahwa masih ada kewajiban yang penting yang harus diselesaikan sebelum kita mendapatkan apa yang menjadi hak kita. Baginya itu akan mengikuti…

Bagaimana dengan yang lain…? Nanti kuceritakan kembali..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar