“…Perasaan itu singkat”.
Tiada
yang tahu makna yang tersirat dari kalimat itu, kecuali dia yang pernah
mengalami hal yang dialami tangkai muda itu. Sebenarnya bukan perasaan yang
membuatnya singkat tapi waktu yang membatasi sebuah perasaan. Waktu tidak
pernah rela melihat kebahagian dirampas oleh kesedihan. Lalu apa yang menjadi
korban? Perasaanlah yang menjadi korbannya. Ada kalanya waktu hanya
menghadirkan sebagian dari masanya untuk diberikan pada perasaan itu. Sebagian
lagi dia sisihkan untuk kebahagiaan lain, karena kebahagian sebenarnya bukan
milik satu makhluk saja tapi semua makhluk yang memiliki perasaan akan mendapat
kesempatan dari sang waktu.
Sang
tangkai muda akan melantunkan syairnya dalam irama yang syahdu dan menidurkan.
Siapa sangka patah hati membuat tangkai yang satu ini bersedih dengan
melantunkan setiap bait dalam syairnya. Itu mengesankan. Tapi dibalik itu ada
perasaan yang singkat yang membuatnya harus membenci sesuatu yang ia sebut
kepergian…
Bagian II – Tangkai Muda
Perasaan itu singkat. Tidak ada yang bertahan
lama saat perasaan perlahan memudar. Kala warna yang pekat pun perlahan
memudar. Singkat itu sesuatu yang sangat aku benci maka dari itu aku kini
membenci sebuah perasaan. Entah apa yang membuatku demikian. Seolah-olah
kenyataanlah yang membuatnya demikian. Aku hanya menafsirkannya, karena aku
yang mengalaminya atas kenyataan itu.
Pernah
mengalami “patah hati”? oh itu bagi ku adalah sesuatu yang sakral untuk
dibicarakan. Terlebih menyangkut sebuah perasaan. Siapa yang rela perasaannya
itu patah, karena sesuatu yang telah patah tidak akan mengembalikan
kesempurnaan seperti semula meskipun disatukan dengan memperbaikinya. Berbeda
seperti saat perasaan itu pertama kali tersenyum. Aku hanya berbaring dalam
pohon ini menatap jingga didepan mataku.
…Di Antara Petang dan Malam..
Kesunyian terlahir dari bibit sang hembusan malam..
Berkembang dalam lembayung penanti senja dari ufuk petang yang
membentang..
Bersamudrakan jingga memerah yang menghapuskan biru sang sakala laut..
Mendebur alunan ayat-ayat suci menggema belahan bumi beriring suara
senja…
Terngiang syahdu dalam telinga sang petapa..
Seperti lukisan sang gadis dan alas nestapa..
Hanya goresan kepergian dalam kanvas dan siratan jingga memerah..
Disinilah aku dan lembayungku hanya sebatas meneteskan air mata..
Melihat malam melahap maut penantian petang..
Perasaan tak tega ketika perpisahan membuat senjaku ini harus menangiskan
malam kejam..
Bukan itu sosok malam dalam penantian…
Bukan seperti perompak maut membunuh dalam kelam..
Seperti apa yang kau saksikan wahai pemuja?
Ku tahu apa arti kepergian dan apa kau tahu itu perpisahan..
Keduanya adalah singkat..
Seperti antara petang dan malam…
Aku baru
tahu. saat cinta berpihak padaku dan ketika itu pula cinta pergi tak berpihak
padaku lagi. Sejujurnya aku tak melihat keindahan itu seperti apa. Senja yang
indah di depanku ini pun aku tak bias melihatnya dengan perasaanku. Itu yang
seharusnya menjadi jingga memerah yang harus ku saksikan bersama daun yang aku
cintai. Tapi entah kenapa aku tidak bias melihatnya. Aku melihatnya seperti
malam saja tanpa ada jingga ataupun merah. Semuanya gelap. Atau memang
perasaanku saja yang menutup keindahannya.
Saat
ini aku hanya ingin sendiri. Ya hanya sendiri kalau bisa tak ada yang
menggangguku untuk kali ini saja. Aku ingin merasakan kesendirian itu seperti
apa. Memang rasanya tenang dan menidurkan tanpa ada suara yang membuatku sakit.
Tapi suasana itu sulit untukku. Ada saja bisikan-bisikan yang selalu ikut
campur dalam kesedihanku ini. ya aku tahu itu. Siapa lagi kalau bukan tangkai
tua, yang kerjaannya selalu menganggu dan mengomentari apapun yang ku lakukan.
Dia memang iri padaku. Entah kenapa aku selalu membuatnya membenciku. Padahal
aku ini hanya mencoba untuk menata hidupku. Tetapi dari dulu dia memang tak senang
membuatku senang.
Aku
ini dikenal tangkai yang suka melantunkan syair. Setiap pagi aku yang
ditugaskan oleh pohon itu membangunkan bunga-bunga dan pucuk-pucuk anak mereka.
Aku senang aku bisa berbagi kasih dan cinta dalam keluarga ini. andai aku
mempunyai alat music, aku pasti sudah bernyanyi untuk mereka. Tapi aku hanya
tangkai biasa. Aku bahkan tak punya lengan dan jemari untuk menyapa mereka
dengan melodi yang indah. Tapi yang membuatku tersipu, pohon itu memberiku
kebijaksanaan untukku menjadi paduan dalam keluarga kami. Itu suatu kewajiban
untukku berada dalam alam ini. untuk itu setiap pagi aku selalu berdiam sejenak
dan melantunkan melodi syair dalam nada yang indah, seperti yang ku lantunkan
saat suatu pagi yang indah semua tampak memuja sang pagi dan mentari. Di
situlah aku berada untuk pelantun kebahagiaan mereka. Berdiam bukan berarti aku
tak menikmati keindahan tapi aku sedang membangunkan keindahan itu melalui
syairku..
Pemuja alam
…wahai pemuja sang biduan alam..
Senandungkan kebaikan dalam kehidupan yang abadi..
Sampaikanlah syair-syair syahdumu dalam keindahan pagi ini..
Ijinkan aku meminang lantunan ini untuk membangunkan sahabat-sahabat
alam..
Yang bahagia nan sejahtera..
Dalam pelafalan syair keindahan tersirat kehidupan yang harmonis..
Mengalir bagai air dari hulu ke arah sang samudra..
Dan menghembus bagai angin singgah dalam gubuk alam ini..
Dan mengharumkan kesejahteraan alam bagai penghias tumbuhan-tumbuhan
kecil yang suci..
Itu adalah doa.. doa sang pemuja alam..
Demi abadi..demi kebersamaan..
Ijinkan aku melantukan doa-doa mereka dalam harapan pagi ini..
Ijinkan aku membangunkan cita-cita mereka sebagai makhluk alam..
Dan aku sebagai paduan mereka..bersama menjaga ekosistem dan cagar
semesta..
Walau hanya setitik embun membasahi semangatku.. itu adalah doa dari
mereka yang bersama..
Dan setia dengan kebahagian kami.. dari alam kami..
Saat
itu aku bisa merasakan keindahan yang dihadirkan oleh sang pagi. Pagi adalah
awal yang indah dalam hidup kami. Itu yang kami rasakan. Tapi bukan seutuhnya
yang aku rasakan. Dibalik kebaikan pasti ada keburukan, begitu pula
kebahagiaan. Dibalik kebahagian pasti ada kesedihan. Walaupun aku sebagai
paduan mereka. Aku tetap hanya tangkai muda biasa yang mempunyai kekurangan dan
kelemahan. Aku lebih melankolis dan
berperasaan.
Ini
bagian dari kisah hidupku sebagai penyair. Seperti yang kau tau, aku mencintai
daun yang berada di sisi tubuhku. ya, dia daun tua yang murah hati. Aku tahu,
karena aku pernah menjalin kasih dengannya. Aku tahu tentangnya aku tahu
tentang kemurahannya aku tahu semuanya, bahkan aku pun tahu apa saja yang
tangkai tua itu bicarakan tentangku dan tentang daun tua itu. Aku pernah
berkata diam bukan berarti tidak tahu apa-apa. Aku mendengar semua yang tangkai
tua itu bicarakan padaku. Aku tidak tuli, walaupun aku tidak memiliki telinga,
tapi memiliki pendengaran, bahkan lewat suara hati sekalipun. Seorang penyair
pun bias mendengar sesuatu melalui perabaan jiwanya, itu tanpa pancaindera.
Bukankah itu luarbiasa? Itu yang aku pelajari selama ini.
Kau
ingin tahu mengapa aku bisa bersama dengan daun tua itu? Oh tidak itu kisah
yang mengharukan, tapi akan kuceritakan singkatnya, seperti yang kujelaskan di
awal tadi, perasaan itu singkat, sama sesuatu itu pun bisa saja dibuat singkat.
Seperti kewajibanku yang diberikan oleh induk kami pohon yang bijaksana, aku
pun bersenandung setiap pagi dan membangunkan pagi yang indah, hingga daun-daun
muda yang cantik dan elok berlomba-lomba memohon kepada pohon itu untuk berada
di sisi tubuhku. Bayangkan aku ini hanya
tangkai biasa, apa aku pantas diberi tempat yang mulia di pohon ini. semua
menanyakan siapa yang membangunkan pagi ini? siapa yang berpuisi di pagi hari?
Dan siapa yang bernyanyi hingga bunga-bunga ini menari dan berdendang?
Itu aku..
Kalau bukan aku.. bukan paduan ku berseru..
Aku ini tangkai yang merindu..
Dalam sisi tubuh rapuhku..
Dalam pagi aku mengadu..
Untuk engkau..
Membuatmu tersipu..
Para daun
muda yang cantik itu terheran mengapa mereka tidak bisa berada di sisi
tubuhkuku. Kenapa hanya satu daun tua yang berada di sisi tubuhku. mereka
bertanya pada pohon tua itu kenapa beliau tidak memberi ijin untuk berada di
sisi tubuhku. dan pohon itu hanya tersenyum saja, itu membuatku tak mengerti. Lalu
aku yang bertanya pada pohon kami.
“wahai pohon dari
pelindung kami, ijinkan aku menanyakan hal yang memang membuat heran padaku dan
pada mereka. Mengapa kau tak inginkan daun-daun muda itu berada di sisi
tubuhku? mengapa hanya daun tua itu yang berada bersamaku di sisi tubuhku?
apakah aku ini tak layak untuk mereka, atau kau memang mempunyai maksud lain
dengan menghadirkan daun tua itu di sisi tubuhku?
Pohon itu
pun menjawab kekeliruanku, “wahai tangkai
mudaku, sesungguhnya aku melahirkanmu dari ranting-ranting yang baik, maka akan
melahirkan tangkai yang baik pula. Kau dilahirkan untuk menjadi pelindung
anak-anak kami kelak, ku jadikan paduan untuk senantiasa memberi keindahan
dalam keluarga ini. mereka tak perlu berada di sisi tubuhmu untuk bisa mendapat
keindahanmu, dengan kau yang memberi mereka keindahan, itu sudah menjadi peran
tangkai muda. Untuk daun tua di sisi tubuhmu, dia yang akan menjadi teman
pendengar dari syair-syairmu..”
Entah begitu
tersenyum aku mendengar perkataan dari pohon itu. Dan dengan kehadiran daun tua
itu, aku mulai mencintainya, karena dia yang menjadi pendengar setia dari
seruanku. Walaupun dia tua dan aku muda, kami tidak mempersoalkan tentang itu. Daun
tua itu terkesan dengan syair-syairku di pagi hari. Itu yang membuat dia ingin
selalu berada di sisi tubuhku. kedekatan kami dari hari ke hari menjadi lebih
indah dan syair-syairku semakin diterima oleh sahabat-sahabat pagi.
Oya,
aku hampir melupakan satu hal. Ini tentang saudaraku, tangkai tua. Sebenarnya aku
sedikit tidak menyukainya karena ia memanggilku “tangkai bengkok” aku bukannya
bengkok, tapi aku merunduk agar aku dapat melantunkan syairku dengan hikmat. Ia
malah selalu menyanggah apa yang aku ucapkan, dia juga tak menyukai syairku. Aku
sebenarnya tidak masalah, hanya saja ia selalu memintaku untuk menjauh dari
daun tua itu. Ia berusaha untuk membuat daun tua membencinya, itu karena ia
mencintai daun tua itu. Tapi kenyataanya tidak demikian. Aku yang mencintainya
dengan tulus begitupun daun tua. Apakah kau rela melihat dua yang memadu cinta
itu dipisahkan? Aku pernah berdebat dengan dia, dia malah semakin membenciku
karena kedekatanku dengan daun tua.
Kami
pernah berbincang untuk aku menjauh dari daun tua itu, tapi ini tak bisa aku
lakukan. “hei tangkai tua, aku
menghormatimu karena kau lebih tua dariku. Dan aku akan menghargaimu jika kau
juga bisa menghargaiku. Aku sebenarnya tak masalah kau memanggilku dengan
sebutan ‘tangkai bengkok’ atau apalah. Tapi aku tak bisa kalau harus menjauhi
daun tua. Aku mencintainya tangkai tua. Apakah cinta itu hanya dipandang
sebelah mata? Tidak, cinta tidak memandang apapun, hanya butuh ketulusan,
karenanya dengan kedua mata itu akan terasa ketulusannnya. Begitupun dia. Kami telah
memadu janji dan menjalin kasih. Apa kau masih tidak menerima hal itu? Dia mungkin
tidak di takdirkan untuk bersamamu, dia lebih bersamaku. Aku tak suka dengan
sikapmu yang egois dan tidak bisa menerima kenyataan. Kau selalu menyalahkanku,
bagaimanapun kondisinya. Kau ini lebih dewasa dari ku tangkai tua. Seharusnya kau
yang harus pikirkan hal itu..”
Aku mencoba
untuk menjelaskan apa adanya kepada tangkai tua itu. Tapi dia tetap tidak bisa
menerima hal itu. Yasudah terserah apa yang akan dia katakan aku tidak terlalu
menanggapi perkataannya. Sampai pada saat kejadian waktu itu daun tua memilih
untuk pergi dari sisi tubuhku. aku memang sempat mencegahnya, tapi daun tua
malah lebih memilih untuk pergi dariku. Entah apa alasannya tidak bisa aku
mengerti. Tapi yang jelas aku benar-benar merasa kehilangan sekali.
Kehilangan..
Satu kata berjuta rasa duka..
Segenap perih pernah menjejaki kepergian..
Saat perasaan harus merelakan cinta pada kepergian..
Maka kehilanganlah yang mengisi kekosongan itu..
Kehilangan..
Satu kata bersama kepergian..
Kau harus rela kehilangan pergi darimu..
Itu membuat ketulusan berpihak pada kesetiaan..
Dan takkan pernah pergi..
Bahkan hilang..
Kini
aku mengerti cinta itu memang tak mesti bersama, cinta memang tak harus
memiliki. Itu yang aku alami bersama daun tua yang sangat aku cintai. Dia rela
mengorbankan cintanya demi kami semua. Dia begitu tulus dan itulah arti cinta
yang sesungguhnya. Aku telah belajar banyak dari daun tua itu. Arti kesetiaan,
kepergian, kehilangan, kebahagiaan, pengorbanan dan ketulusan. Dan yang ku
ingat ia tersenyum saat kali terakhir ia pergi dari sisi tubuhku. aku ingat ia
pernah berpesan padaku, kalau suatu saat dia pergi dari ku, aku harus tetap
membangunkan pagi walau tanpa bersamanya, karena itu adalah tugas ku, bukan
semata-mata kesempatan untuk bersamanya terus. Dan kini aku kembali melantunkan
syair-syair pagiku menyambut para pemuja alam dan tangkai tua itu kembali
menjaga anak-anak daun muda untuk belajar berfotosintesis. Kurasa ini awal yang
baik untuk hari yang baik pula..
Tidak
semua orang berfikir tentang keburukan dan kebaikan itu berada disaat yang
berlawanan, ada pula keduanya berada disaat yang sama dan mengambil sebuah
kesimpulan yang positif. Pandangan dari satu sisi memang sering kali
menimbulkan perbedaan, tapi ketahuilah bahwa dengan perbedaan persepsi itulah
yang akan memberi tahu kita arti sesungguhnya dari perbedaan itu sendiri.
Kesedihan
selalu berjalan seiring dengan kepergian dan kehilangan. Tapi coba pahami dari
syair-syair sang tangkai muda itu. Perasaan itu singkat, maka hidup pun bisa dibuat
singkat. Tak ada gunanya untuk berlarut dalam ketiga kata itu, walaupun
pandangan lain melihat pribadi tangkai tua yang tidak baik, tapi sebenarnya
pandangan itu yang mengartikan kebaikan pada tangkai muda. Dia diam bukan
berarti tak ada yang ia lakukan, ia berfikir, mendengarkan, merasakan,
menelaah, dan menyimpulkan arti dari kekeliruan tersebut. Bahwa masih ada
kewajiban yang penting yang harus diselesaikan sebelum kita mendapatkan apa
yang menjadi hak kita. Baginya itu akan mengikuti…
Bagaimana dengan yang lain…? Nanti kuceritakan
kembali..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar