…Sesuatu
yang mereka sebut rindu itu hanya sebatas perasaan yang takkan pernah mendekati
keberhasilan. Rindu akan membuat siapa saja merasa kesunyian yang mendalam
tanpa adanya sebuah pertemuan kembali. Ini yang kian dirasakan oleh tangkai tua
itu. Begitu juga oleh tangkai muda yang termurung semenjak kepergian daun di
sisi tubuhnya. Kehilangan sosok daun yang sangat mereka cintai itu kini membuat
mereka semakin membungkuk dan termurung. Bahkan mereka sama-sama tak ingin
melupakan atas kepergian daun tua saat itu. Hingga perselisihan diantara mereka
terjadi, itu… yang menyebabkan daun tua memilih tuk pergi..
Bagian I – Tangkai Tua
Hari-hari
begitu indah diwarnai bunga-bunga tetangga sedang berpaduan suara dan
pucuk-pucuk yang bersenada dengan alunan angin pagi. Diiringi kicauan anak-anak
burung berteriak meminta makan pada induknya di dalam sarang jerami. Begitu
harmonis interaksi antara rumput-rumput berembun dengan pohoh tua yang
bijaksana. Begitu cantik dan berkilauan daun-daun itu disinari sang mentari
untuk berfotosintesis. Ada pula yang menjadi korban kepedihan kawan-kawan kami
karena ulat-ulat kelaparan itu seperti preman melahap habis daun-daun tak
bersalah. Mereka harus bertanggung jawab dengan menjadi kupu-kupu yang cantik,
yang kelak menikahkan bunga-bunga kami. Itu harus. Mereka semua meramaikan
suasana sejuk yang mendambakan setiap penggemar alam.
Tapi
tangkai bengkok itu tidak pernah melihat lagi sebuah keindahan, ia hanya
melihat keindahan itu perlahan terbang meninggalkannya. Ia berharap ia dapat
melihatnya lagi saat masih bersama daun itu sewaktu masih tegar. Kini hanya
ratapan pilu yang tersirat dalam lekuk tubuhnya. Menunggu hingga ia jatuh bagai
tangkai yang merindu.
Aku
ingat ketika aku pernah menyaksikan adegan mereka dulu, mengapa mereka harus
dipertemukan dan dipisahkan disaat keadaan dan waktu yang berbeda. Mengapa
kebersamaan mereka membuat kehangatan
diantara kami menjadi harmonis tapi kedekatan mereka membuat aku cemburu pada
tangkai itu. Aku tahu mereka selalu bersama melewati hari demi hari hingga
mereka melahirkan sebuah pucuk yang cantik dan menawan. Tapi aku hanya bisa
menyaksikannya sendiri, hanya sendiri, tak ada apapun yang berada di sisi
tubuhku kini. maka dari itu entah mengapa aku begitu membenci tangkai bengkok
itu karena dia begitu bahagia mempunyai keluarga yang harmonis.
Sekali
lagi aku cemburu. Cemburu pada tangkai yang membuatku membencinya. Aku tahu dia
begitu mencintai daun tua itu, tapi aku juga mencintainya. Bahkan cinta ku
lebih besar daripada cintanya kepada daun itu. Tapi apa? Mengapa pohon itu
malah menjodohkannya dengan tangkai bengkok itu (itu sebutan ku untuknya,
sekali lagi aku tidak suka memanggilnya tangkai muda). Kenapa tidak bersamaku.
Akupun sama akan melakukan apapun untuk daun itu. Cinta memang butuh
pengorbanan kan? Aku juga tahu aku bisa berkorban demi daun tua itu. Memangnya
tangkai bengkok itu bisa apa? Segitu istimewanyakah tangkai bengkok itu? Bagiku
dia hanya sedang beruntung saja dimanjakan oleh pohon tua.
Aku
pernah berbisik dengan maksud memohon atas pembelaanku kepada pohon tua itu. “Wahai pohon dari pelindung kami, mengapa
engkau merestui mereka, tidakkah kau melihat aku ini tiada yang menemani. Aku
hanya sebatang kara. Kau tahu? Aku mencintai daun tua itu, tapi kami tidak
ditakdirkan untuk bersama, takdir malah melahirkan daun itu bersama tangkai
bengkok. Dan aku harus melihat mereka mengadu kasih yang membuatku tersakiti.
Mereka menikah seperti orang-orang yang mengikat jalinan cinta dan melahirkan
pucuk-pucuk yang cantik sebagai anak mereka. Mengapa engkau hadirkan adegan itu
didepan ku?”.
Segala pembelaanku tak pernah
berhasil di mata pohon tua itu, tunggu pohon tua itu mana punya mata?
Kerjaannya saja hanya diam dan tidur. Aku mengerti aku hanya menumpang padanya,
tapi aku juga mempunyai hak tidak hanya kewajiban. Apakah aku ini harus
berontak? Itu tak mungkin terjadi lagi. Karena aku pernah berontak sebelumnya,
aku menyuruh angin bersama-sama dengan anak topan memberontak karena aku tak
pernah diberi kesempatan untuk berfotosintesis. Temanku malah dibiarkan mati
tanpa berfotosintesis. Bukankah itu hal yang tega sekali. Aku sedih walau
bagaimanapun mereka pernah menjadi bagian dari hidupku dan menjadi teman
dekatku. Apa aku rela melihat mereka dibiarkan begitu saja. Sebagai bentuk
kepedulianku kenapa tidak aku saja yang mati. Pohon tua itu membiarkanku merana
kembali. Aku bukannya tidak bisa menjaga daun-daun untuk berfotosintesis, aku
menjaganya tapi dengan tubuhku yang rentan ini mereka enggan untuk berada
disisi tubuhku. apakah aku ini jelek dan tak berdaya sampai daun-daun muda itu
malah saling berguguran. Apakah sepenuhnya salahku? Aku butuh kebijaksanaan
pohon tua itu. Karena dia satu-satunya induk kami. Kalau tidak kepada siapa
lagi aku meminta kebijaksanaan ? kepadamu…? Kau bahkan tidak mengerti
kondisiku. Lebih baik kau simak saja ceritaku ini.
Lalu
aku pernah bicara pada tangkai bengkok itu. “Hei tangkai Bengkok, kau tahu mengapa aku memanggilmu demikian? Kau
memang tidak sebengkok yang terlihat tapi karena aku lebih suka memanggilmu
dengan sebutan itu. Kau ini menjadi pengagum para daun-daun muda. Jujur aku
sedikit kagum pada kemenawananmu, tapi hanya sedikit, banyaknya aku lebih tidak
suka karena kau masih menjalin kasih dengan daun tua itu. Mengapa kau tidak
mencari daun lain saja, menjalin kasih baru dan meninggalkan daun tua itu? Dan
kau bisa tinggalkan dia untukku. Kau ini tangkai yang tampan saudaraku, kau
lebih pantas dengan daun tetangga yang cantik itu. Dia hanya daun tua yang tak
lama lagi akan mati. Biarkanlah aku bersama daun tua itu meneruskan hidupku
yang tak lama pula. Bukankah daun itu lebih cocok dengan ku? Aku sudah lama
mencintai daun tua itu, bahkan sebelum ia bersamamu. Tolong pikirkanlah hal
itu, kalau kau masih menganggapku sebagai saudaramu.”
Ternyata
tangkai bengkok itu semakin membuatku naik pitam. Aku sudah menawarkan dengan
selembut dan sebaik itu pun dia malah mengacuhkanku. Dia pikir dia siapa? Artis
dari dari mana yang begitu arogan terhadap perkataanku. Dia memang tak punya
tatakrama yang baik, seharusnya dia bisa lebih sopan kepada yang lebih tua. Semua
orang tahu itu, tapi dia tidak tahu, ya memang dia bukan orang, hanya tangkai yang
sombong.
Ada
satu kejadian yang membuatku senang sekaligus sedih? Entah aku harus
menyalahkan siapa atas kejadian itu, entah apa yang harus aku katakan lagi,
entah apa yang harusnya aku lakukan saat itu. Itu membuatku dilema untuk kedua
kalinya setelah melihat kemesraan mereka kini aku harus melihat kejadian itu
secara tidak langsung menimpaku. Entah mengapa ketika kemesraan mereka harus
terputus oleh hal yang menyakitkan tangkai bengkok itu. Aku tahu. Seperti perkataanku
sebelumnya aku memang sering melihat kedekatan mereka yang tak pernah ada
masalah. Tapi saat itu ketika awan sedikit menutupi ketampanan sang mentari ada
hal yang membuatku heran sejenak. Tiba-tiba saja terjadi adegan yang di luar
penalaranku ketika aku tahu daun tua itu memilih untuk pergi dari sisi tubuh
tangkai bengkok itu.
“wahai tangkai ku yang tampan, maaf kan aku. Seperti yang kau tahu, aku tidak
bisa bersamamu lagi, aku tidak ingin menjadi beban di keluarga pohon ini.” Daun tua
berkata kepada tangkai bengkok itu.
“kenapa daun putriku, kenapa kau begitu cepat menyimpangkan janji kita. Bukankah
janji itu tidak untuk dilanggar. Kau tahu itu kan. Seharusnya kau tidak bicara
seperti itu kepadaku daun putriku.” Tangkai bengkok itu mencegah
perkataan daun tua.
“aku tahu tangkaiku, tapi ini demi kebaikanmu juga kebaikan kita. Ini kondisinya
berbeda. Aku percaya padamu, tapi karena kewajibanku membuat keluarga kita ini
sejahtera. Maaf kan aku tangkaiku, aku tahu ini berat untukmu dan juga untukku,
tapi aku harus pergi, dan memang sudah waktuku untuk pergi. Mungkin hingga kau
harus melihatku jatuh dan berbaring di atas tanah yang suram, kau harus rela
untuk melihat kepergianku. Mulailah untuk mencintai daun lain. Aku akan belajar
ikhlas tangkaiku. Aku janji… selamat tinggal tangkaiku yang tampan, jaga dirimu
baik-baik. Aku akan selalu mencintaimu…” itu perkataan daun tua
ketika berpisah dari sisi tubuh tangkai bengkok itu.
“tidak daun putriku, tidak. Kau tak bisa lakukan ini dari ku. Aku tak
sanggup bila harus melihatmu pergi meninggalkanku, apa aku sanggup dengan
keputusan ini? ku mohon jangan pergi daunku, jangan tinggalkan aku sendiri.” Tangkai
bengkok itu menangis melihat daun tua jatuh dari sisi tubuhnya.
Cukup.
Aku tidak suka melihat dramasisasi di antara mereka. Itu membuatku ingin
meninggalkan pohon ini. kurasa tangkai bengkok itu begitu berlebihan atau
memang benar-benar merasakan kehilangan daun tua itu? Memang sih seperti yang
tadi aku bilang, tadinya aku merasa senang tangkai bengkok itu sudah tak bersama
daun tua itu, itu membuatku senang. Tapi di saat sama aku harus bersedih atas
kepergian daun tua itu. Apa aku juga rela melihat daun yang ku cintai itu jatuh
dan pergi begitu saja? Tanpa ada perpisahan juga lagi? Aku juga memang
merasakannya sebagai sesama tangkai, walaupun daun tua itu tidak pernah berada
di sisi tubuhku tapi sedih dan kehilangan sekali jika harus melihat dia pergi
dan jatuh. Aku tahu lagi kenapa dia harus pergi? Itu pasti semakin menjauhkan
aku dengannya.
Sudah
aku sedih melihat dia bersama tangkai bengkok itu, kini “kesedihan” itu
berevolusi menjadi “kehilangan” ketika harus tahu ia tak bersama lagi dengan
kami. Aku mencoba merenung, karena tak ada yang bisa aku lakukan untuk itu. Kau
pasti tahulah aku ini tangkai tua yang tak kuat lagi, aku sudah tak muda lagi. Aku
bertanya pada diriku sendiri, apakah aku salah? Kurasa aku terlalu menyalahkan
tangkai bengkok itu. Walaupun aku tak suka padanya tapi aku kini merasa iba kepadanya.
Kini kerjaannya hanya berdiam dan melamun saja. Apakah cintanya begitu besar
kepada daun tua? Seperti yang ku lihat, tangkai bengkok itu seperti tak punya
gairah lagi untuk hidup, ia malah semakin bengkok. Jangan bilang ia akan menyusul
daun tua itu.
Aku
seperti berbicara sendiri, aku berbicara dalam hati “sudahlah tangkai bengkok, jangan kau terlalu berlarut dalam
kesedihanmu, aku tahu rasanya itu begitu berat, karena aku pun merasakannya
sama seperti apa yang kau rasakan. Kalau begitu maafkan aku, aku begitu
membuatmu menjadi seperti ini. aku sudah pernah bilang sebelumnya padamu bahwa
aku memang tak ada niat untuk membencimu, kalau saja kau tak bersama daun tua
itu aku tak akan menyalahkanmu seperti ini. tapi kau memang benar-benar keras
kepala.”
Kurasa
tak berguna lagi aku berbicara padanya, dia tak pernah menanggapi ucapanku. Apalagi
dengan kondisinya yang seperti itu. Dia harus merasakan dilema yang mendalam
atas kehilangan daun tua. Aku juga demikian tapi aku sedikit berlapang dada dan
ikhlas dengan takdir seperti itu. Selanjutnya aku harus melakukan apa yang
telah menjadi kewajibanku, yaitu membimbing para daun-daun muda untuk belajar
berfotosintesis hingga kelak menjadi daun yang cantik dan anggun. Tinggal aku
pasrahkan kepada kebijaksanaan pohon tua itu.
…sesuatu yang disebut rindu sangat
berdekatan dengan ketidakhadiran dan beresiko dengan kehilangan. Memang tak
mudah ketika perasaan rindu harus terjadi pascakehilangan, itu hal yang tidak
diinginkan pastinya. Kehilangan tidak
akan pernah terjadi jika tidak ada kepergian. Kehilangan adalah kepergian yang
tidak menyenangkan dan tidak pernah diinginkan. Terkadang kehilangan membuat
suatu perasaan menjadi dilema, seperti yang dirasakan oleh kedua tangkai itu. Dalam
cerita tangkai tua, daun tua pergi dari sisi tubuh sang tangkai muda. Dia harus
melihat adegan yang membuatnya senang dan sedih. Sebenarnya dia tidak pernah
rela daun tua pergi dari sisi tubuh tangkai muda, tapi juga dia mengharapkan
kedekatan mereka berakhir. Itu suatu perasaan yang sulit.. Bagaimana
kelanjutannya, nanti kuceritakan kembali…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar