Kamis, 05 Juni 2014

Tangkai yang Merindu #1


         …Sesuatu yang mereka sebut rindu itu hanya sebatas perasaan yang takkan pernah mendekati keberhasilan. Rindu akan membuat siapa saja merasa kesunyian yang mendalam tanpa adanya sebuah pertemuan kembali. Ini yang kian dirasakan oleh tangkai tua itu. Begitu juga oleh tangkai muda yang termurung semenjak kepergian daun di sisi tubuhnya. Kehilangan sosok daun yang sangat mereka cintai itu kini membuat mereka semakin membungkuk dan termurung. Bahkan mereka sama-sama tak ingin melupakan atas kepergian daun tua saat itu. Hingga perselisihan diantara mereka terjadi, itu… yang menyebabkan daun tua memilih tuk pergi..


Bagian I – Tangkai Tua

            Hari-hari begitu indah diwarnai bunga-bunga tetangga sedang berpaduan suara dan pucuk-pucuk yang bersenada dengan alunan angin pagi. Diiringi kicauan anak-anak burung berteriak meminta makan pada induknya di dalam sarang jerami. Begitu harmonis interaksi antara rumput-rumput berembun dengan pohoh tua yang bijaksana. Begitu cantik dan berkilauan daun-daun itu disinari sang mentari untuk berfotosintesis. Ada pula yang menjadi korban kepedihan kawan-kawan kami karena ulat-ulat kelaparan itu seperti preman melahap habis daun-daun tak bersalah. Mereka harus bertanggung jawab dengan menjadi kupu-kupu yang cantik, yang kelak menikahkan bunga-bunga kami. Itu harus. Mereka semua meramaikan suasana sejuk yang mendambakan setiap penggemar alam.

            Tapi tangkai bengkok itu tidak pernah melihat lagi sebuah keindahan, ia hanya melihat keindahan itu perlahan terbang meninggalkannya. Ia berharap ia dapat melihatnya lagi saat masih bersama daun itu sewaktu masih tegar. Kini hanya ratapan pilu yang tersirat dalam lekuk tubuhnya. Menunggu hingga ia jatuh bagai tangkai yang merindu.

            Aku ingat ketika aku pernah menyaksikan adegan mereka dulu, mengapa mereka harus dipertemukan dan dipisahkan disaat keadaan dan waktu yang berbeda. Mengapa kebersamaan  mereka membuat kehangatan diantara kami menjadi harmonis tapi kedekatan mereka membuat aku cemburu pada tangkai itu. Aku tahu mereka selalu bersama melewati hari demi hari hingga mereka melahirkan sebuah pucuk yang cantik dan menawan. Tapi aku hanya bisa menyaksikannya sendiri, hanya sendiri, tak ada apapun yang berada di sisi tubuhku kini. maka dari itu entah mengapa aku begitu membenci tangkai bengkok itu karena dia begitu bahagia mempunyai keluarga yang harmonis.

            Sekali lagi aku cemburu. Cemburu pada tangkai yang membuatku membencinya. Aku tahu dia begitu mencintai daun tua itu, tapi aku juga mencintainya. Bahkan cinta ku lebih besar daripada cintanya kepada daun itu. Tapi apa? Mengapa pohon itu malah menjodohkannya dengan tangkai bengkok itu (itu sebutan ku untuknya, sekali lagi aku tidak suka memanggilnya tangkai muda). Kenapa tidak bersamaku. Akupun sama akan melakukan apapun untuk daun itu. Cinta memang butuh pengorbanan kan? Aku juga tahu aku bisa berkorban demi daun tua itu. Memangnya tangkai bengkok itu bisa apa? Segitu istimewanyakah tangkai bengkok itu? Bagiku dia hanya sedang beruntung saja dimanjakan oleh pohon tua.

            Aku pernah berbisik dengan maksud memohon atas pembelaanku kepada pohon tua itu. “Wahai pohon dari pelindung kami, mengapa engkau merestui mereka, tidakkah kau melihat aku ini tiada yang menemani. Aku hanya sebatang kara. Kau tahu? Aku mencintai daun tua itu, tapi kami tidak ditakdirkan untuk bersama, takdir malah melahirkan daun itu bersama tangkai bengkok. Dan aku harus melihat mereka mengadu kasih yang membuatku tersakiti. Mereka menikah seperti orang-orang yang mengikat jalinan cinta dan melahirkan pucuk-pucuk yang cantik sebagai anak mereka. Mengapa engkau hadirkan adegan itu didepan ku?”.

             Segala pembelaanku tak pernah berhasil di mata pohon tua itu, tunggu pohon tua itu mana punya mata? Kerjaannya saja hanya diam dan tidur. Aku mengerti aku hanya menumpang padanya, tapi aku juga mempunyai hak tidak hanya kewajiban. Apakah aku ini harus berontak? Itu tak mungkin terjadi lagi. Karena aku pernah berontak sebelumnya, aku menyuruh angin bersama-sama dengan anak topan memberontak karena aku tak pernah diberi kesempatan untuk berfotosintesis. Temanku malah dibiarkan mati tanpa berfotosintesis. Bukankah itu hal yang tega sekali. Aku sedih walau bagaimanapun mereka pernah menjadi bagian dari hidupku dan menjadi teman dekatku. Apa aku rela melihat mereka dibiarkan begitu saja. Sebagai bentuk kepedulianku kenapa tidak aku saja yang mati. Pohon tua itu membiarkanku merana kembali. Aku bukannya tidak bisa menjaga daun-daun untuk berfotosintesis, aku menjaganya tapi dengan tubuhku yang rentan ini mereka enggan untuk berada disisi tubuhku. apakah aku ini jelek dan tak berdaya sampai daun-daun muda itu malah saling berguguran. Apakah sepenuhnya salahku? Aku butuh kebijaksanaan pohon tua itu. Karena dia satu-satunya induk kami. Kalau tidak kepada siapa lagi aku meminta kebijaksanaan ? kepadamu…? Kau bahkan tidak mengerti kondisiku. Lebih baik kau simak saja ceritaku ini.

            Lalu aku pernah bicara pada tangkai bengkok itu. “Hei tangkai Bengkok, kau tahu mengapa aku memanggilmu demikian? Kau memang tidak sebengkok yang terlihat tapi karena aku lebih suka memanggilmu dengan sebutan itu. Kau ini menjadi pengagum para daun-daun muda. Jujur aku sedikit kagum pada kemenawananmu, tapi hanya sedikit, banyaknya aku lebih tidak suka karena kau masih menjalin kasih dengan daun tua itu. Mengapa kau tidak mencari daun lain saja, menjalin kasih baru dan meninggalkan daun tua itu? Dan kau bisa tinggalkan dia untukku. Kau ini tangkai yang tampan saudaraku, kau lebih pantas dengan daun tetangga yang cantik itu. Dia hanya daun tua yang tak lama lagi akan mati. Biarkanlah aku bersama daun tua itu meneruskan hidupku yang tak lama pula. Bukankah daun itu lebih cocok dengan ku? Aku sudah lama mencintai daun tua itu, bahkan sebelum ia bersamamu. Tolong pikirkanlah hal itu, kalau kau masih menganggapku sebagai saudaramu.”

            Ternyata tangkai bengkok itu semakin membuatku naik pitam. Aku sudah menawarkan dengan selembut dan sebaik itu pun dia malah mengacuhkanku. Dia pikir dia siapa? Artis dari dari mana yang begitu arogan terhadap perkataanku. Dia memang tak punya tatakrama yang baik, seharusnya dia bisa lebih sopan kepada yang lebih tua. Semua orang tahu itu, tapi dia tidak tahu, ya memang dia bukan orang, hanya tangkai yang sombong.

            Ada satu kejadian yang membuatku senang sekaligus sedih? Entah aku harus menyalahkan siapa atas kejadian itu, entah apa yang harus aku katakan lagi, entah apa yang harusnya aku lakukan saat itu. Itu membuatku dilema untuk kedua kalinya setelah melihat kemesraan mereka kini aku harus melihat kejadian itu secara tidak langsung menimpaku. Entah mengapa ketika kemesraan mereka harus terputus oleh hal yang menyakitkan tangkai bengkok itu. Aku tahu. Seperti perkataanku sebelumnya aku memang sering melihat kedekatan mereka yang tak pernah ada masalah. Tapi saat itu ketika awan sedikit menutupi ketampanan sang mentari ada hal yang membuatku heran sejenak. Tiba-tiba saja terjadi adegan yang di luar penalaranku ketika aku tahu daun tua itu memilih untuk pergi dari sisi tubuh tangkai bengkok itu.

“wahai tangkai ku yang tampan, maaf kan aku. Seperti yang kau tahu, aku tidak bisa bersamamu lagi, aku tidak ingin menjadi beban di keluarga pohon ini.” Daun tua berkata kepada tangkai bengkok itu.

“kenapa daun putriku, kenapa kau begitu cepat menyimpangkan janji kita. Bukankah janji itu tidak untuk dilanggar. Kau tahu itu kan. Seharusnya kau tidak bicara seperti itu kepadaku daun putriku.” Tangkai bengkok itu mencegah perkataan daun tua.

“aku tahu tangkaiku, tapi ini demi kebaikanmu juga kebaikan kita. Ini kondisinya berbeda. Aku percaya padamu, tapi karena kewajibanku membuat keluarga kita ini sejahtera. Maaf kan aku tangkaiku, aku tahu ini berat untukmu dan juga untukku, tapi aku harus pergi, dan memang sudah waktuku untuk pergi. Mungkin hingga kau harus melihatku jatuh dan berbaring di atas tanah yang suram, kau harus rela untuk melihat kepergianku. Mulailah untuk mencintai daun lain. Aku akan belajar ikhlas tangkaiku. Aku janji… selamat tinggal tangkaiku yang tampan, jaga dirimu baik-baik. Aku akan selalu mencintaimu…” itu perkataan daun tua ketika berpisah dari sisi tubuh tangkai bengkok itu.

“tidak daun putriku, tidak. Kau tak bisa lakukan ini dari ku. Aku tak sanggup bila harus melihatmu pergi meninggalkanku, apa aku sanggup dengan keputusan ini? ku mohon jangan pergi daunku, jangan tinggalkan aku sendiri.” Tangkai bengkok itu menangis melihat daun tua jatuh dari sisi tubuhnya.

            Cukup. Aku tidak suka melihat dramasisasi di antara mereka. Itu membuatku ingin meninggalkan pohon ini. kurasa tangkai bengkok itu begitu berlebihan atau memang benar-benar merasakan kehilangan daun tua itu? Memang sih seperti yang tadi aku bilang, tadinya aku merasa senang tangkai bengkok itu sudah tak bersama daun tua itu, itu membuatku senang. Tapi di saat sama aku harus bersedih atas kepergian daun tua itu. Apa aku juga rela melihat daun yang ku cintai itu jatuh dan pergi begitu saja? Tanpa ada perpisahan juga lagi? Aku juga memang merasakannya sebagai sesama tangkai, walaupun daun tua itu tidak pernah berada di sisi tubuhku tapi sedih dan kehilangan sekali jika harus melihat dia pergi dan jatuh. Aku tahu lagi kenapa dia harus pergi? Itu pasti semakin menjauhkan aku dengannya.

            Sudah aku sedih melihat dia bersama tangkai bengkok itu, kini “kesedihan” itu berevolusi menjadi “kehilangan” ketika harus tahu ia tak bersama lagi dengan kami. Aku mencoba merenung, karena tak ada yang bisa aku lakukan untuk itu. Kau pasti tahulah aku ini tangkai tua yang tak kuat lagi, aku sudah tak muda lagi. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku salah? Kurasa aku terlalu menyalahkan tangkai bengkok itu. Walaupun aku tak suka padanya tapi aku kini merasa iba kepadanya. Kini kerjaannya hanya berdiam dan melamun saja. Apakah cintanya begitu besar kepada daun tua? Seperti yang ku lihat, tangkai bengkok itu seperti tak punya gairah lagi untuk hidup, ia malah semakin bengkok. Jangan bilang ia akan menyusul daun tua itu.

            Aku seperti berbicara sendiri, aku berbicara dalam hati “sudahlah tangkai bengkok, jangan kau terlalu berlarut dalam kesedihanmu, aku tahu rasanya itu begitu berat, karena aku pun merasakannya sama seperti apa yang kau rasakan. Kalau begitu maafkan aku, aku begitu membuatmu menjadi seperti ini. aku sudah pernah bilang sebelumnya padamu bahwa aku memang tak ada niat untuk membencimu, kalau saja kau tak bersama daun tua itu aku tak akan menyalahkanmu seperti ini. tapi kau memang benar-benar keras kepala.”

            Kurasa tak berguna lagi aku berbicara padanya, dia tak pernah menanggapi ucapanku. Apalagi dengan kondisinya yang seperti itu. Dia harus merasakan dilema yang mendalam atas kehilangan daun tua. Aku juga demikian tapi aku sedikit berlapang dada dan ikhlas dengan takdir seperti itu. Selanjutnya aku harus melakukan apa yang telah menjadi kewajibanku, yaitu membimbing para daun-daun muda untuk belajar berfotosintesis hingga kelak menjadi daun yang cantik dan anggun. Tinggal aku pasrahkan kepada kebijaksanaan pohon tua itu.


…sesuatu yang disebut rindu sangat berdekatan dengan ketidakhadiran dan beresiko dengan kehilangan. Memang tak mudah ketika perasaan rindu harus terjadi pascakehilangan, itu hal yang tidak diinginkan pastinya.  Kehilangan tidak akan pernah terjadi jika tidak ada kepergian. Kehilangan adalah kepergian yang tidak menyenangkan dan tidak pernah diinginkan. Terkadang kehilangan membuat suatu perasaan menjadi dilema, seperti yang dirasakan oleh kedua tangkai itu. Dalam cerita tangkai tua, daun tua pergi dari sisi tubuh sang tangkai muda. Dia harus melihat adegan yang membuatnya senang dan sedih. Sebenarnya dia tidak pernah rela daun tua pergi dari sisi tubuh tangkai muda, tapi juga dia mengharapkan kedekatan mereka berakhir. Itu suatu perasaan yang sulit.. Bagaimana kelanjutannya, nanti kuceritakan kembali…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar