Kesunyian itu sesuatu yang hening, tak
ada suara selain kecil-kecil berbisik di antara persembunyian. Biasanya
bersembunyi dari malam satu ke malam lainnya. Tak terlihat tapi bisa didengar.
Kapan mereka berhenti, tak ada yang tahu bahkan malam pun tak bisa
menghentikannya.
- I.
Bisikan jangkrik
Ada suara yang menakutkan di
malam hari. Suara itu berulang-ulang dan jika didengarkan secara khidmat itu
benar-benar tak ada hentinya. Coba dihitung satu kali, dua kali, tiga, empat,
itu lebih. Kau bingung mendengarnya, akupun demikian. Ini seperti mistis saja.
Mereka
bersembunyi diantara gelap dan sunyi. Hanya sebatas malam tak sampai menjelang
fajar. Pernah mendengar jangkrik berbisik? Malam itu kau mendengarkannya. Kau
telusuri suara yang berulang-ulang mengganggu malammu. Hingga kau tak pernah
menemukannya. Mereka sebenarnya menggelar konser bersama kawan malam lainnya di
panggung ilalang yang tergoyang angin malam menari-nari dan berdendang seperti
putri panggung penghias malam.
Suara macam
apa yang terdengar di antara kesunyian. Kau pasti sering mendengarnya. Tapi kau
pura-pura tidak mendengarnya seakan suara itu benar benar tiada. Kau tahu tapi
kau hiraukan. Kau biarkan mereka berdendang sesukanya, dan kau hanya bisa
menyaksikannya seperti bait lagu kenangan yang terkadang terngiang di
telingamu. Itu lagu kita dulu saat kau masih bersamaku. Setiap malam kau
mendengarkannya hingga kau hapal setiap lirik nadanya. Itu persis seperti
dendangan bisikan jangkrik yang kini kau dengarkan.
Kau
membayangkan saat suara itu menyusup di antara celah malam. Sama seperti apa
yang dulu kau dengarkan. Suara petikan gitarmu selaras dengan nada yang kau
lantunkan seolah mereka yang berdendang dan kau yang memainkan musiknya. Kurasa
kau rindu akan kebersamaan dengan ku, dan aku berpesan lewat bisikan mereka
bahwa aku juga demikian.
Sebagai jangkrik, entah mengapa aku dihadirkan dalam kisah
cinta mereka. Aku tidak mengerti kisah asmara para kawula muda itu. Aku ini
hanya jangkrik tua yang tak muda lagi bahkan suaraku tak semerdu dulu. Tugasku
hanya menunggu malam ini berganti esok hari bukan kau bilang aku ini menakuti
makhluk malam. Aku bersama kawan-kawan jangkrik lain berbisik, bukan,
sebenarnya kami bernyanyi, mereka saja yang tidak tahu nyanyian jangkrik…
II. Gerimis Malam
Ada
saatnya rintikan kecil yang kau sebut gerimis itu tiba-tiba saja datang. Saat
telinga yang samar mendengar lirih mereka dan mata yang tertipu oleh basahan
embun kaca. Perlahan hadir di tengah-tengah malam.
Pernah terpikir gerimis datang di suatu malam?
Kau penasaran akan hal itu. Mengapa jendela kamarmu tampak begitu buram? Dari mana
asal embun-embun itu? kau baru saja menyadarinya. Gerimis itu membuat matamu
tertipu. Mereka menciptakan suhu yang begitu dingin oleh tetesan kecil. Kau
tidak bisa melihat mereka berjatuhan karena mereka sedang bersembunyi di malam
yang gelap. Hanya dengan sorotan lampu jalan saja yang tampak sekumpulan
rintikan kecil itu bersembunyi dan membuat apapun yang disentuhnya menjadi
basah.
Mereka
seperti penipu yang selalu membuatmu tertipu. Dan mereka mencoba menipumu lagi,
tapi kini kau lebih pintar dari mereka. Kau mendengarkan dengan khidmat rintikan
itu dari genting asbes di kamarmu yang kau tau itu suara mereka menjatuhkan
rintikan kecil yang hampir tidak terdengar.
Sekali
lagi kau membayangkan suara itu memanipulasi malammu. Tapi kau malah lebih
acuh, kau menganggap mereka seperti paduan suara dengan nada tinggi kemudian
rendah lalu hilang dan ada lagi begitu seterusnya. Itu beraturan sekali,
mungkin hingga gerimis itu selesai mereka membuat sebuah lagu, atau album
mungkin? Itu masih menjadi rahasia mereka.
Tapi
kau tidak bisa merahasiakannya dari mereka, mereka tahu ketika kau memilih
payung lain dan ketika pada saat yang sama kau acuhkan payungku. Kau membuatnya
basah seutuhnya hingga aku tak kuasa melihat kau bersama payung lain. Kini aku
tahu mengapa mereka melarangmu untuk pergi. Karena kau tak hanya diam-diam
pergi dariku, dari mereka juga. Makanya kenapa mereka diam-diam datang dan
pergi malam itu tanpa terdengar olehmu.
Sebagai gerimis, tak hanya siang, pagi,
ataupun sore hari, aku juga hadir di malam hari. Bukan untuk nongkrong dan
mengintip kisah mereka tadi, atau menebar pesona di malam hari? Tidak, aku
hanya singgah sebentar kemudian pergi lagi. Aku bukannya diam-diam datang dan
pergi seperti pencuri atau penipu yang mereka pikir, tapi aku tak ingin
membangunkan tidur mereka dan menghentikan mimpi mereka yang indah…
- III. Katak bernyanyi
Kurasa gerimis tadi telah
memengaruhi suasana malam. Mereka seperti luka, yang datang dan memberi bekas.
Mereka menghadirkan para musisi-musisi malam yang bersenandung tanpa banyak
yang tahu mendengarkan nyanyian mereka. Bagi mereka ini adalah sarana untuk
bakat-bakat mereka. Tapi kau menyebutnya itu “membosankan”. Sama ketika kau
mendengar nyanyianku dulu.
Pernah mendengar katak bernyanyi?
Kau seperti aneh mendengar pertanyaan itu. Kau menganggapnya itu hanya suara
katak biasa yang datar tanpa ada tangga nada naik-turunnya. Sebenarnya katak
memang pernah bernyanyi, tapi hanya pada malam hari. Dan tak banyak orang tahu.
Entah mengapa mereka selalu bernyanyi saat setelah datang hujan. Mungkin karena
suara mereka tak semerdu suara mu.
Kau pernah mendengarnya,
tapi kau tak pernah melihatnya. Kurasa katak-katak itu malu, atau mungkin
mereka takut saat kau menjadi juri dari audisi mereka dan kau lagi-lagi berkata
“membosankan”. Apa setiap pertemuanku bersamamu kau selalu bilang itu
“membosankan”? Tidakkah kau merindukan saat bertemu denganku? Jangan bilang
karena itu membuatmu menyesal. Ketika kau bilang padaku “kau ini membuatku
bosan”, lalu ketika aku tiada bersamamu kau bilang “kau membuatku rindu”.
Kau bilang nyanyian katak
itu membosankan. Tapi kau menikmati nyanyiannya. Hingga kau tersenyum-senyum
sendiri, membayangkan aku pernah bernyanyi untukmu. Sebuah lagu yang tak pernah
membuatmu bosan. Sebuah lagu yang mengingatkanmu akan diriku yang dulu. Dulu
dan sekarang sama saja. Apa itu membosankan?
Sebagai Katak, aku ini bukan penyanyi seperti apa yang mereka
pikirkan. Aku bahkan tak bisa bernyanyi. Kalau saja aku bisa bernyanyi, aku pasti
sudah mengikuti audisi dan menjadi penyanyi. Aku hanya seekor katak, kami semua
seekor katak, tidak lebih. Jangan kau anggap suara aku ini merdu. Itu karena
kau sedang jatuh cinta saja. Makanya kau menganggapku bisa bernyanyi. Kalau
urusan hujan, itu karena aku menyukainya. Katak itu selalu bermain dan
bersembunyi di antara hujan dan malam. Kami hanya bermain di malam hari, bukan
bernyanyi. Karena aku hanyalah katak, bukan kekasihmu yang membosankan itu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar