Minggu, 11 Mei 2014

Embun di Permukaan Kaca

“embun itu sesuatu yang ku sebut kesejukan yang membuat siapa saja terhanjut dalam      kenangan indah. Seperti yang aku rasakan diantara sejuk dan dinginnya bersahabat…”

            Masih ku tatap pemandangan itu yang berlari-lari seolah menatapku dengan berbalik. Kurasa itu seperti iklan yang sepintas bergerak cepat menanti iklan lain melewatinya. Tampak buram dan sedikit samar-samar pemandangan yang terlihat di balik kacamata ala Ferrari yang ku dapat dari pamanku sepulang dari Paris. Kucopotkan kacamata hitamku ini dan sesekali mengelapnya dengan kaosku dan memasangkan lagi sehingga ini sedikit memperjelas pandanganku. Tapi kurasa bukan kacamataku yang membuat pemandangan di sampingku ini buram. Itu karena embun yang menghalangi pemandanganku.
            Ku lihat ayahku tertidur lelap di kursi di sampingku duduk bersandar. Ku betulkan resleting  jaketnya yang terbuka dengan menutupnya hingga ke leher di bawah dagunya. Ku tahu udara di luar mempengaruhi udara di dalam bus. Ditambah lagi hembusan dari AC yang di atas kepala kami ini tidak bisa ditutup karena rusak. Terpaksa kami merasakan sejuk dan dinginnya itu menembus baju dan jaket kami.
            Aku bertanya-tanya kapan kami ini sampai di Ngarsopuro, sebuah Taman di Kota Solo. Rumah Kakek dan Nenekku berada dekat sana. Aku tak sabar untuk bertemu mereka yang sudah cukup lama kami tidak bertemu. Ku tahu perjalanan ini tak sebentar, kami harus menunggu waktu sekitar satu sampai dua hari dari keberangkatan kami dari Jakarta.
            Ayahku lebih memilih memakai bus menuju ke sana daripada harus menggunakan pesawat. Itu karena ayahku tak ingin melihat kami mengalami apa yang ibuku pernah alami. Pesawat yang membawa ibuku terkena badai dan tenggelam di laut Selatan Sulawesi, saat mengejar pekerjaannya sebagai wartawan trip. Dan kini kami sepakat untuk tidak naik pesawat saat kepergian keluar pulau.
            Kini hanya sosok seorang ayah yang sangat aku cintai bersandar di sebelahku dan ku peluk hingga membangunkan tidurnya yang terlihat nyaman sekali.
            “heh, Tasha ada apa? Apa kita sudah sampai?”
Ayahku terkejut saat aku peluk dari samping tempat duduknya.
            “maaf yah, aku membangunkan ayah, aku hanya rindu, aku hanya ingin terus bersama ayah.”
Ku peluk ayahku lagi dan sesekali menyandarkan kepalaku di pundaknya.
            “oh, ayah akan selalu berada di dekatmu, sayang. Kau adalah satu-satunya hal yang berharga bagi ayah.”
            “aku takut kelak ayah pergi meninggalkan aku seperti ibu.”
            “kalau nanti ayah tidak ada bersamamu pasti akan ada lelaki yang seperti ayah yang akan menjagamu.”
            Aku hanya diam dan menatap kembali ke luar kaca di sampingku yang semakin buram oleh embun yang menutupi semua pemandangan tadi. Aku tahu hujan yang sedari tadi malam menutupi pandanganku dari balik kaca ini menghadirkan embun yang berbintik-bintik air kecil menutupi hampir semua permukaan kaca. Ku sibakan tirai jendela hingga membuka hampir semua kaca jendela.
-          Embun
…ya aku ini embun. Embun dari segala embun yang pernah menjejaki dan menjelajahi seluruh permukaan yang sunyi, seperti kaca ini. sunyi dan dinginnya bersahabat. Embun ya tetap embun hingga kelak menjadi air.

Entah mengapa aku dihadirkan untuk menemani perjalanan mereka. Aku hadir dari setiap suhu yang memberiku ruang untuk bersimbiotik bersama kaca ini. tapi ku lihat seorang gadis manis sedang merindukan sosok seorang ibu. Andai aku ini seorang ibu. Aku akan berada di sampingnya dan memeluk tubuh yang membutuhkan perhatian itu. Sungguh mengharukan. Tapi aku ini embun, hanya embun. Tak punya perasaan seperti mereka. Yang terkadang harus mencair saat tangan lembutnya menyentuhku.
Aku tahu gadis manis, rindumu begitu berharga, kasihmu begitu besar, dan sayangmu begitu tulus. Kau ini mengingatkanku pada seorang wanita yang pernah menyentuhku di kaca pesawat dulu. Dia begitu merindukan sosok seorang anak. Dia sesekali melihat keluar kaca pesawat untuk memastikan anaknya itu menantinya pulang dan memeluknya. Aku pernah menjadi saksi sekaligus teman perjalanannya dulu. Dia menceritakan bagaimana pekerjaannya itu begitu beresiko, tapi itu yang harus ia lakukan demi putri dan suaminya.
Tak ada seorang teman yang menemaninya saat dingin dan sejuknya dulu. Hanya sweater yang mirip jaket bercorak bunga melayu bergaris di bagian dada dan lengannya, berwarna cokelat kehitaman yang hangat melengkapi sisi tubuhnya yang dingin. Membuatnya merasa dekat dengan putri yang dicintainya. Berada di samping kursinya dan memeluknya.
Aku hanyalah embun. Tak sehangat cinta kasih putrinya. Tetapi ada yang membuatku terkesan saat tangan dan jarinya itu menuliskan pesan rindu di antara embun dan dinginnya saat itu. Dia menulis pesan singkat dengan telunjuknya menyentuhku.
“anakku, ibu sayang kamu.”
                        “ …ibu” (dengan gambar hati melingkar di pesannya).
Hingga dia meninggalkan pesan ini untuk anaknya. Ku tahu dia memintaku untuk menyampaikannya kepada anaknya jika aku bertemu dengan anaknya suatu hari nanti. Dan kini ku tahu lagi aku telah bertemu dengan anaknya, seorang gadis yang ia rindukan, kini berada di depanku bersama seorang lelaki yang sangat dekat dengannya.
“wahai wanita di pesawat dulu, kini aku telah bertemu dengan anakmu. Dia yang kau cintai kini bersama seorang lelaki yang ku sebut ayah. Dan tugasku kini tersampaikan pada anakmu.”
Kini dia bisa tahu bahwa anaknya pun begitu merindukan ibunya. itu terlihat saat jemarinya menulis pesan di kaca ini dengan menyentuhku.
“ibu, aku sayang ibu.”
            “…Tasha” (dengan gambar hati melingkar di pesannya).
Aku mendengarkan ketika ia berbicara padaku.
“wahai embun, aku sangat rindu pada ibuku. Ibuku sedang apa? Apa dia merindukanku juga? Andai aku sekarang bersamanya pasti kami bisa tersenyum bersama. Aku berada di antara ayah dan ibuku. Tapi kenyataannya hanya ayah yang bersamaku.”
Dia menulis sebuah pesan di kaca itu. Sebuah pesan untuk ibunya. dia bilang itu hal yang bodoh tapi setidaknya itu akan mengurangi rindunya.
“wahai embun, tolong sampaikan pesan rinduku ini kepada ibuku.”
Kembali aku ini embun. Hanya embun yang mengantarkan pesan kasih seorang ibu dan anaknya. Tidak lebih hanya menumpang pada kaca ini. aku tahu, kelak aku akan jatuh mengalir menjadi setetes air yang berisikan pesan mereka. Sungguh mengharukan.
“Sungguh wahai gadis manis, kau ini begitu mirip dengan wanita yang ku temui di pesawat dan itu memang ibumu. Mungkin aku bisa menyampaikan pesanmu ini kepada ibumu jika beliau masih ada. Dulu ibumu menuliskan sebuah pesan dan ku sampaikan kepada engkau, tapi aku tak bisa menyampaikan pesanmu kepada ibumu karena beliau kini telah tiada.
Maafkan aku gadis manis, pesanmu kini harus luntur bersama tetesan air yang jatuh menempel di kaca dan hilang setelahnya. Tapi walaupun pesanmu ini tak bisa ku sampaikan, ibumu telah membacanya dan beliau akan selalu ada di dalam hatimu selamanya.
Selamat tinggal gadis manis, selamat jalan. Sinar itu telah menghapusku dan memisahkan ku dengan kaca ini. kurasa kedinginan ini sudah berakhir dan menggantikan hari yang indah.”
“ayah mataharinya sudah terlihat lagi.” Aku menunjuk ke arah jendela kaca dan menunjukannya kepada ayahku.
“wah benar, sepertinya kita sudah sampai di Ngarsopuro.”
“aku tak sabar yah bertemu kakek dan nenek.”
“mereka juga demikian, sayang”
Kini kami tiba di Ngarsopuro. Aku menuruni bus bersama ayahku. Tampak begitu indah cuaca di pagi hari ini. kendaraan hilir mudik melintas di depan pandanganku. Ternyata Taman Ngarsopuro lebih indah dari yang aku lihat dulu.
Aku menolehkan kepala ke belakang bus tepatnya ke jendela tempat aku tadi duduk, embun itu tampak tersenyum padaku. Aku bingung, mengapa demikian?...kurasa aku tidak menggoreskan senyuman di embun itu, tapi…
“Tashaa, ayo cepat” ayahku memanggilku.

“iya, yah” aku berlari ke arah ayahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar