“embun itu sesuatu yang ku sebut kesejukan yang
membuat siapa saja terhanjut dalam kenangan
indah. Seperti yang aku rasakan diantara sejuk dan dinginnya bersahabat…”
Masih ku tatap pemandangan itu yang
berlari-lari seolah menatapku dengan berbalik. Kurasa itu seperti iklan yang
sepintas bergerak cepat menanti iklan lain melewatinya. Tampak buram dan
sedikit samar-samar pemandangan yang terlihat di balik kacamata ala Ferrari yang ku dapat dari pamanku
sepulang dari Paris. Kucopotkan kacamata hitamku ini dan sesekali mengelapnya
dengan kaosku dan memasangkan lagi sehingga ini sedikit memperjelas
pandanganku. Tapi kurasa bukan kacamataku yang membuat pemandangan di sampingku
ini buram. Itu karena embun yang menghalangi pemandanganku.
Ku lihat ayahku tertidur lelap di
kursi di sampingku duduk bersandar. Ku betulkan resleting jaketnya yang terbuka dengan menutupnya hingga
ke leher di bawah dagunya. Ku tahu udara di luar mempengaruhi udara di dalam
bus. Ditambah lagi hembusan dari AC yang di atas kepala kami ini tidak bisa
ditutup karena rusak. Terpaksa kami merasakan sejuk dan dinginnya itu menembus
baju dan jaket kami.
Aku bertanya-tanya kapan kami ini
sampai di Ngarsopuro, sebuah Taman di Kota Solo. Rumah Kakek dan Nenekku berada
dekat sana. Aku tak sabar untuk bertemu mereka yang sudah cukup lama kami tidak
bertemu. Ku tahu perjalanan ini tak sebentar, kami harus menunggu waktu sekitar
satu sampai dua hari dari keberangkatan kami dari Jakarta.
Ayahku lebih memilih memakai bus
menuju ke sana daripada harus menggunakan pesawat. Itu karena ayahku tak ingin
melihat kami mengalami apa yang ibuku pernah alami. Pesawat yang membawa ibuku
terkena badai dan tenggelam di laut Selatan Sulawesi, saat mengejar
pekerjaannya sebagai wartawan trip. Dan kini kami sepakat untuk tidak naik
pesawat saat kepergian keluar pulau.
Kini hanya sosok seorang ayah yang
sangat aku cintai bersandar di sebelahku dan ku peluk hingga membangunkan tidurnya
yang terlihat nyaman sekali.
“heh, Tasha ada apa? Apa kita sudah
sampai?”
Ayahku terkejut
saat aku peluk dari samping tempat duduknya.
“maaf yah, aku membangunkan ayah,
aku hanya rindu, aku hanya ingin terus bersama ayah.”
Ku peluk ayahku
lagi dan sesekali menyandarkan kepalaku di pundaknya.
“oh, ayah akan selalu berada di
dekatmu, sayang. Kau adalah satu-satunya hal yang berharga bagi ayah.”
“aku takut kelak ayah pergi
meninggalkan aku seperti ibu.”
“kalau nanti ayah tidak ada
bersamamu pasti akan ada lelaki yang seperti ayah yang akan menjagamu.”
Aku hanya diam dan menatap kembali
ke luar kaca di sampingku yang semakin buram oleh embun yang menutupi semua
pemandangan tadi. Aku tahu hujan yang sedari tadi malam menutupi pandanganku
dari balik kaca ini menghadirkan embun yang berbintik-bintik air kecil menutupi
hampir semua permukaan kaca. Ku sibakan tirai jendela hingga membuka hampir
semua kaca jendela.
-
Embun
…ya aku ini
embun. Embun dari segala embun yang pernah menjejaki dan menjelajahi seluruh
permukaan yang sunyi, seperti kaca ini. sunyi dan dinginnya bersahabat. Embun
ya tetap embun hingga kelak menjadi air.
Entah mengapa aku dihadirkan untuk menemani
perjalanan mereka. Aku hadir dari setiap suhu yang memberiku ruang untuk
bersimbiotik bersama kaca ini. tapi ku lihat seorang gadis manis sedang
merindukan sosok seorang ibu. Andai aku ini seorang ibu. Aku akan berada di
sampingnya dan memeluk tubuh yang membutuhkan perhatian itu. Sungguh
mengharukan. Tapi aku ini embun, hanya embun. Tak punya perasaan seperti
mereka. Yang terkadang harus mencair saat tangan lembutnya menyentuhku.
Aku tahu gadis manis, rindumu begitu berharga,
kasihmu begitu besar, dan sayangmu begitu tulus. Kau ini mengingatkanku pada
seorang wanita yang pernah menyentuhku di kaca pesawat dulu. Dia begitu
merindukan sosok seorang anak. Dia sesekali melihat keluar kaca pesawat untuk
memastikan anaknya itu menantinya pulang dan memeluknya. Aku pernah menjadi
saksi sekaligus teman perjalanannya dulu. Dia menceritakan bagaimana pekerjaannya
itu begitu beresiko, tapi itu yang harus ia lakukan demi putri dan suaminya.
Tak ada seorang teman yang menemaninya saat dingin
dan sejuknya dulu. Hanya sweater yang mirip jaket bercorak bunga melayu
bergaris di bagian dada dan lengannya, berwarna cokelat kehitaman yang hangat
melengkapi sisi tubuhnya yang dingin. Membuatnya merasa dekat dengan putri yang
dicintainya. Berada di samping kursinya dan memeluknya.
Aku hanyalah embun. Tak sehangat cinta kasih
putrinya. Tetapi ada yang membuatku terkesan saat tangan dan jarinya itu
menuliskan pesan rindu di antara embun dan dinginnya saat itu. Dia menulis
pesan singkat dengan telunjuknya menyentuhku.
“anakku, ibu
sayang kamu.”
“ …ibu” (dengan gambar hati melingkar di pesannya).
Hingga dia meninggalkan pesan ini untuk anaknya. Ku
tahu dia memintaku untuk menyampaikannya kepada anaknya jika aku bertemu dengan
anaknya suatu hari nanti. Dan kini ku tahu lagi aku telah bertemu dengan
anaknya, seorang gadis yang ia rindukan, kini berada di depanku bersama seorang
lelaki yang sangat dekat dengannya.
“wahai wanita di
pesawat dulu, kini aku telah bertemu dengan anakmu. Dia yang kau cintai kini
bersama seorang lelaki yang ku sebut ayah. Dan tugasku kini tersampaikan pada
anakmu.”
Kini dia bisa tahu bahwa anaknya pun begitu
merindukan ibunya. itu terlihat saat jemarinya menulis pesan di kaca ini dengan
menyentuhku.
“ibu, aku sayang
ibu.”
“…Tasha” (dengan gambar hati melingkar di pesannya).
Aku mendengarkan ketika ia berbicara padaku.
“wahai embun,
aku sangat rindu pada ibuku. Ibuku sedang apa? Apa dia merindukanku juga? Andai
aku sekarang bersamanya pasti kami bisa tersenyum bersama. Aku berada di antara
ayah dan ibuku. Tapi kenyataannya hanya ayah yang bersamaku.”
Dia menulis sebuah pesan di kaca itu. Sebuah pesan
untuk ibunya. dia bilang itu hal yang bodoh tapi setidaknya itu akan mengurangi
rindunya.
“wahai embun,
tolong sampaikan pesan rinduku ini kepada ibuku.”
Kembali aku ini embun. Hanya embun yang mengantarkan
pesan kasih seorang ibu dan anaknya. Tidak lebih hanya menumpang pada kaca ini.
aku tahu, kelak aku akan jatuh mengalir menjadi setetes air yang berisikan
pesan mereka. Sungguh mengharukan.
“Sungguh wahai
gadis manis, kau ini begitu mirip dengan wanita yang ku temui di pesawat dan
itu memang ibumu. Mungkin aku bisa menyampaikan pesanmu ini kepada ibumu jika
beliau masih ada. Dulu ibumu menuliskan sebuah pesan dan ku sampaikan kepada
engkau, tapi aku tak bisa menyampaikan pesanmu kepada ibumu karena beliau kini
telah tiada.
Maafkan aku
gadis manis, pesanmu kini harus luntur bersama tetesan air yang jatuh menempel
di kaca dan hilang setelahnya. Tapi walaupun pesanmu ini tak bisa ku sampaikan,
ibumu telah membacanya dan beliau akan selalu ada di dalam hatimu selamanya.
Selamat tinggal
gadis manis, selamat jalan. Sinar itu telah menghapusku dan memisahkan ku
dengan kaca ini. kurasa kedinginan ini sudah berakhir dan menggantikan hari
yang indah.”
“ayah mataharinya sudah terlihat lagi.” Aku menunjuk
ke arah jendela kaca dan menunjukannya kepada ayahku.
“wah benar, sepertinya kita sudah sampai di
Ngarsopuro.”
“aku tak sabar yah bertemu kakek dan nenek.”
“mereka juga demikian, sayang”
Kini kami tiba di Ngarsopuro. Aku menuruni bus
bersama ayahku. Tampak begitu indah cuaca di pagi hari ini. kendaraan hilir
mudik melintas di depan pandanganku. Ternyata Taman Ngarsopuro lebih indah dari
yang aku lihat dulu.
Aku menolehkan kepala ke belakang bus tepatnya ke
jendela tempat aku tadi duduk, embun itu tampak tersenyum padaku. Aku bingung,
mengapa demikian?...kurasa aku tidak menggoreskan senyuman di embun itu, tapi…
“Tashaa, ayo cepat” ayahku memanggilku.
“iya, yah” aku berlari ke arah ayahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar