Minggu, 12 November 2017

Kisah Luka-Luka Andri – Episode Clarista


Kamu tahu ada berapa luka-luka pernah bersemayam dalam kisah-kisah saya? Dan siapakah first love dalam kisah-kisah ini? Kamu bisa menjawab dengan menebaknya setelah kamu berada pada kisah di episode terakhir..

pengantar yang membosankan. Kamu bisa skip membaca ini hingga pada kisah-kisah luka yang saya ceritakan.

Saya pernah berencana untuk menulis kisah-kisah sendu tentang luka karena patah hati. Tentunya sebelum kisah-kisah berikut ini ada. Menulis kisah-kisah luka menurut saya mudah-mudah susah, karena ketika saya merubah kisah-kisah yang berada di kepala menjadi sebuah tulisan, luka-luka lama yang terbawa kembali hidup dan menghantui pikiran saya untuk bercerita, rasanya seperti kesetrum aliran listrik 12 volttidak terlalu tinggi namun cukup membuat saya terkejutdan membuat kepala saya menggelitik. Secara mendadak membuat pori-pori saya terbuka bak stomata pada daun yang mengeluarkan oksigen.

            Kisah luka ini adalah kisah nyata pengalaman saya. Kisah percintaan seorang remaja yang terjebak dalam kehidupan lingkaran asmara. Saya yakin beberapa dari kamu pernah mengalaminya sama seperti saya. Luka hati terjadi akibat kisah cinta yang berakhir. Selalu seperti itu. Saat masa pacaran, tidak ada kisah cinta yang tidak berujung luka hati. Semakin banyak seseorang memiliki kisah-kisah luka semakin bertambah pula kemampuannya dalam mencoba untuk jatuh cinta kembali. Luka hati akan berakhir pada kisah pengalaman percintaan seseorang dengan mantan kekasihnya. Namun, Luka hati tidak selamanya terjadi setelah pacaran, ada juga karena gagalnya mendapatkan cinta.

            Berbicara tentang mantan, saya ingin bercerita kisah luka-luka ini dengan sosok mantan-mantan. Mantan kekasih, mantan gebetan, mantan teman tapi sayang-sayangan, sampai mantan kakak-adean yang ketemu gede. Meski untuk sebagian kamu mengganggap mantan adalah sosok yang menakutkan, tidak bagi saya.

            Mantan itu adalah alumni hati. Tanpa mereka saya tidak akan mendapat prestasi dalam pembelajaran selama berkisah cinta. Jadi menurut saya, mereka adalah bagian dari kenangan kita yang sudah diarsipkan dalam memori kita. Ketika pada saatnya kita membutuhkan arsip tersebut untuk suatu hal kita hanya tinggal mendownload dan membukanya dalam berangkas kita, seperti untuk reuni kembali, CLBK, atau untuk dijadikan kartu undangan pernikahan kamu dengan calon pasanganmu. Kalau saya, akan dijadikan bahan baku pembuatan tulisan baru tentang kisah-kisah luka saya.

Saya akan bercerita dengan sederhana dan akan memulai dengan kisah luka pertama.



Kisah luka pertama bersama Clarista

In memorian Bogor, 2009

Pandangan pertama.

Kisah pertama ini berawal ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Semua serba pertama. Seperti yang ada di kepala kamu ketika membaca judul kisah pertama itu. Saya pernah menyukai seorang perempuan bernama Clarista Vionita. Seperti kebanyakan anak laki-laki maupun perempuan ketika SMP, menyukai seseorang dalam satu lingkungan sekolah. Itu adalah rumusan sederhana ketika memulai kisah percintaan ababil (anak abg labil). Hal itu karena cinta akan datang dengan sangat cepat dalam kehidupan keseharian kita, bukan angan-angan di luar kesibukan dan keseharian kita.

Saat itu saya duduk di bangku sebelah teman sebangku saya. Kisah saya bersama Ichapanggilan saya kepadanyaadalah kisah senior-junior. Saya kelas 9 dan dia kelas 8. Lagi-lagi sebuah rumusan yang sederhana dan klasik, setelah suka dengan seseorang satu sekolah, junior-senior pula. Namun itu memang adanya.

Kisah dimulai ketika sebuah adegan saya melihatnya berada di seberang kelas saya, lebih tepatnya gedung sebrang. Kebetulan gedung kelas saya berada paling pojok dan paling atas di lantai dua, bersebrangan dengan gedung Icha yang dipisahkan dengan jalan menuju kantin. Kelas Icha berada di bawah paling ujung. Cukup rumit ya hanya menjelaskan posisi gedung saja.

Kebiasaan saya adalah selalu bersandar di koridor kelas pojok untuk sekedar melihat pemandangan keluar kelas pada jam-jam istirahat pelajaran atau ketika tidak ada guru. Itu adalah salah satu kenakalan anak kelas 9 yang merasa sangat senior. Kebiasaan saya itu mengalihkan pandangan pada perempuan yang sedang duduk di koridor kelas. Icha selalu duduk di sana, mungkin sama seperti saya karena suasana sumpek kelas dan teman-teman mereka yang berulah di dalam kelas ketika tidak ada guru. Icha memilih untuk duduk sejenak di depan koridor sambil mendengarkan musik dengan headphone kecilnya, terkadang di temani oleh teman perempuannya bernama Vena.

Kebiasaan saya itu pun menjadi semakin intensif dilakukan hampir setiap hari hanya karena untuk bisa melihat Icha berada disana. Lagi-lagi hal yang mudah ditebak, suka karena pandangan pertama. Jujur ketika saya melihat Icha untuk kali pertama saya langsung tertarik dan rasanya tak ingin beranjak dari tempat nyaman itu.

“Lu ngeliatin apaan si, Dri?,” seseorang tiba-tiba berbisik di telinga saya.

“Nggak ada,” jawab saya singkat.

Orang ini, salah satu teman menyebalkan dan terbaik saya hingga saat ini. Akbar, orang ini merusak adegan indah saya.

“Kantin Yuk, Laper gua.”

“Ayuk.”

Saya terpaksa meninggalkan tempat indah itu untuk pergi ke kantin. Pada jam istirahat sekitar pukul setengah sepuluh tempat sumber makanan di sekolah itu lebih-lebih seperti pasar ramainya. Terkadang saya memilih untuk tidak ke kantin dan membawa bekal dari rumah, menghindari keadaan tersebut, terlebih saya orangnya hemat dalam hal uang salah satunya.

Ada untungnya juga saya pergi ke bawah sana, saya bisa bertemu lebih dekat dengan Icha. Saya tampak bersemangat.

“Edan penuh banget,” celetuk Akbar. “Pak Tatang ini mah gegaranya korupsi waktu ngajar, jam istirahat diembat juga. Parah”

“Wah makan apaan Men, yang gak ngantri?,” saya melirik ke sekeliling kantin.

Memang keadaan kantin hampir tiap hari begitu. Sesak. Untuk masuk lebih dalam kita mesti bawa oksigen, khawatir kita bakal kekurangan O2 apalagi yang punya asma, udah wasalam.

“Makan bekel lu aja sendiri klo gak mau antri haha.. Paling pempek klo gak mie goreng setengah mateng.”

Mie instan di tempat kami itu dibuat secepat kilat, hingga rasa mienya terasa setengah mentah bukan setengah mateng. Direbus hanya 1-2 menit. Akhirnya kita memilih makan pempek babeh. Cerita ini seperti dalam sinetron dan ftv saja. Ketika saya membeli pempek, Icha berada di belakang saya. Ternyata doi beli pempek juga. Rasanya saya degdegan gak karuan. Cemen banget senior gugup deket junior.

Kamu tau? Melihatnya dari dekat, kecantikannya nambah 10x lipat ketika saya melihatnya dari atas kelas. Icha cantik banget, tubuhnya lumayan tinggi untuk perempuan sebayanya, kurus tidak gemuk ideal menurut saya, rambutnya lurus panjang direbonding (gimana sih tulisannnya), dan selalu memakai jepit rambut pink untuk membelah poninya ke samping, senyumnya renyah serenyah biskuat, suaranya kecil lembut merdu, wah pokoknya nyaris perfect buat saya yang lagi suka sama cewek. Sayangnya saat itu dia belum mengenal saya, begitupun saya. Lantas bagaimana saya bisa menjelaskan nama sebelumnya. Itulah kehebatan saya.

Tunggu sejenak, kamu sadar sesuatu atau tidak? Bukankah cerita barusan di atas tidak ada bau-bau kisah luka. Berilah saya kesempatan untuk bercerita keindahan dulu sebelum luka, sebuah kisah luka tidak melulu berawal dari luka pula.

Namun seperti janji saya sebelumnya saya tidak akan banyak bertele-lete dengan cerita yang melebar dan tidak fokus pada pokok bahasan. Saya akan merangkum kisah saya bersama Icha. Maafkan saya, tadi itu karena salah satu kenangan Icha melintas di kepala saya ketika kali pertama saya melihatnya.



Upacara Bendera.

Upacara bendera hari Senin. Saya rasa setiap sekolah punya jadwal abadi yakni upacara bendera rutin pada hari senintidak ada alasan pindah hari misalnya Selasa karena hari Senin tanggal merah. Ini bukan upacara bendera sembarangan. Moment yang sangat langka dan tak akan pernah terlupakan sampai kapanpun.

Lagi-lagi kebiasaan saya yang lain adalah menunggu barisan upacara penuh sebelum memulai. Sehingga saya akan berada di barisan belakang dan terkadang berada di barisan kelas yang lain. Alasannya lucu hanya karena barisan belakang tidak kepanasan dengan sorotan matahari pagi. Senior terkadang punya sifat sedikit otoriter kepada junior.

Moment langka terindah pertama saya bersama Icha adalah dia berada tepat di samping saya baris upacara. Ketika saya tahu seseorang yang berada di samping saya itu adalah Icha, saya merasa ada musik terdengar di kepala saya, sebuah lagu dari “Lobow - Kau Cantik Hari Ini.”

*   Lama sudah tak ku lihat

Kau yang dulu ku mau

Kadang ingat kadang tidak

Bagaimana dirimu..

Kau cantik hari ini dan aku suka

Kau lain sekali dan aku suka..

Moment ini bukanlah rekayasa seperti yang pernah saya bilang di pengantar di atas. Ini kisah nyata pengalaman saya. Namun itu bukan moment perkenalan saya dengan Icha.

Rasanya saya ingin berada terus di sana seharian bersamanya. Berdiri menghormat bendera, setidaknya saya berharap pembina upacara berpidato sedikit lebih lama agar waktu saya bersama Icha sedikit lebih lama. Bodohnya saya, moment itu tidak ada percakapan sedikitpun diantara kita. Hanya sebuah lirikan sesekali saya kepadanya, begitupun dia. Adegan itu hanya diisi oleh lagu “Isyana -  Sekali Lagi”padahal saat itu Isyana belum menciptakan lagu tersebut, bahkan ia belum menjadi penyanyi terkenal seperti sekarang.

*   Di permukaan perasaan yang dalam

Ingin sekali sebenarnya terucap

Tak ada asa lagi hingga tumbuh rasa hati

Dan berakhir jiwa terasa sepi

Aku tak bisa terus begini

Aku tak bisa mengatakan yang sesungguhnya

Tak bisa menunggu lagi

Pesan ini ku sampaikan sekali lagi

Ku beri kesempatan terakhirmu..

Ingin rasanya saya memulai percakapan kecil, namun itu tidak pernah terjadi, hingga upacara bubar. Saya melihat Icha kembali ke kelas begitupun saya. Bel masuk berbunyi dua kali. Saya mengalihkan kepala ke arah Icha, ia membuka topi, rambutnya lurus terurai panjang.

Meski belum ada luka pada moment itu, namun rasa penyesalan terasa sangat kental, rasa malu saya untuk memulai percakapan merupakan penyebabnya. Namun meski demikian saya tidak menyerah. Saya kembali berdiri di koridor kelas pada jam istirahat.


Mxit.

Jaman ketika saya smp, sosial media yang sedang booming itu adalah Frienster. Meskipun Facebook sudah ada, namun facebook adalah media sosial yang masih sulit diterpa kalangan awam seperti saya dan kawan-kawan karena penggunaan yang sulit dan masih sangat baru. Bagi saya Frienster bukan medsos yang efektif untuk berkomunikasi via daring, karena agak sulit dalam pengiriman pesan. Kami malah menggunakan email untuk mengirim pesan daring.

Saya mencari informasi mengenai Icha melalui Frienster namun tampaknya ia tak memiliki akun tersebut. Saya pun melupakan semua itu. Cara yang efektif adalah mendapatkan nomor telpon untuk ditelpon dan sms. Namun lagi-lagi perasaan takut dan malu masih menghantui saya saat itu. Rasa keberanian saya tampaknya dihilangkan oleh dua perasaan tersebut.

Ada satu media komunikasi yang sedang booming yaitu sebuah aplikasi yang memungkinkan setiap orang dapat chatingan secara cepat tanpa menggunakan pulsamungkin jaman sekarang seperti Whatsappdan mereka biasa menyebutnya MXit. Media Sosial Mxit populer pada era 2000-an atau lebih tepatnya muncul tahun 2005. Mxit memudahkan para pengguna handphone untuk menyampaikan pesan yang memiliki jaringan internet.

Saya mencari ID Icha untuk memberanikan diri untuk dapat berkomunikasi, akhirnya saya kepoin hape teman saya Dicky yang terkenal playboy. Dia memiliki 1001 kontak cewek cantik dan sebagiannya mungkin adalah mantan pacarnya. Akhirnya saya mendapatkan ID Mxit Vena. Saya tidak berhasil mendapatkan ID Icha, lagi-lagi karena ia tak menggunakan media sosial, hanya telpon dan SMS.

Saya tidak pantang menyerah saya mulai chatingan lewat Mxit dengan Vena untuk menanyakan tentang Icha. Vena agak sedikit jutek, hal itu yang membuat saya sedikit sulit untuk mencari tahu tentang Icha. Ia menyangka saya modus kepadanya. Meski demikian, saya tetap menanyakan tentang Icha kepada Vena.

Kesimpulannya sulit bagi saya mencari tahu tentang Icha melalui pesan maupun media sosial. Yang harus dilakukan adalah menodongnya untuk berbicara langsung.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Saya melihatnya dari koridor kelas. Namun kini ia seperti mengetahui keberadaan saya, ia seperti merasa diperhatikan. Lalu sesaat melihat saya, ia meninggalkan tempat biasa saya melihatnya. Mungkin ia telah mengetahui keberadaan saya dari Vena. Perlahan saya menangguhkan aplikasi Mxit.

Bus Pusaka.

“Dri, ikut warnet ayok? Main dota.” Ujar Eza dkk.

“Wah engga dulu za, gua mesti balik cepet kayanya.”

“Ah, Tanker kita gak bisa ikut main guys.” Ujar Eza kepada yang lain.

Saya dulu di samping kisah asmara, ada kisah game online dan yang biasa saya dan teman-teman mainkan di warnet adalah “Dota Warcraft” dan “Ragnarok Online”. Namun saya tidak akan bahas game disini.

Saya biasa pulang menggunakan bus pusaka yang melalui trayek Terminal Baranangsiang hingga Parung. Saya berjalan sedikit menuju halte yang berada di Warung Jambu, Bogor. Untuk menuju halte Warung Jambu saya sering melintasi lorong jalan setapak yang tidak begitu luas, yang sepanjang jalanannya dipenuhi tukang jualan yang didominasi oleh tukang penjual kaset musik pinggir jalan. Hingga hampir tiap hari saya melewati jalan tersebut tak jarang juga saya membeli kaset musik favorit saya yaitu musik rock alternative seperti Muse, My Chemical Romance, Greenday, dan Linkin Park, dan masih banyak lagi.

Ketika saya singgah di salah satu penjual kaset langganan saya, saya melihat seseorang berjalan, lebih tepatnya dua orang yang tak asing bagi saya. saya rasa mengenal mereka. Itu Icha dan teman kelasnya melalui jalan ini, entah mau kemana mungkin arah pulang mereka melalui jalan tersebut.

Saya pun melihat bus pusaka datang dan berhenti di halte Warung Jambu, dengan cepat saya menaiki dan mencari tempat duduk yang kosong dekat jendela. Saya duduk di barisan belakang seorang diri.

Saya yakin kamu sudah bisa menebak bahwa dua orang itu pasti menaiki bus pusaka juga. Namun hingga bus tersebut jalan saya tak menyadari apa-apa bahkan pengamen bernyanyi dengan suara cempreng saja saya tak hafal ia menyanyi lagu apa. Saya saat itu sedang fokus melihat list lagu yang baru saja saya beli tadi. Namun sesekali saya seperti diperhatikan oleh seseorang. Ia seperti melihat saya melalui celah dua kursi di depan saya dan terdengar suara kecil berbisik.

Tiba-tiba orang tersebut memanggil saya.

“Ka Andri, yah?”

Saya kaget, saya mendengar suara kecil yang lucu dan renyah di telinga, ternyata yang berada di depan saya adalah Icha. Saya sejak awal sudah curiga dengan dua orang yang duduk berada di depan saya. Tunggu dari mana Icha tahu nama saya, padahal kita belum kenalan sama sekali. Namun moment di situ lah perkenalan saya dengan Icha.

“Iya..” jawab saya singkat.

Meski saya sudah tahu namanya. Namun saya pura-pura tidak tahu. Seketika saya gugup sedikit. Terjadi percakapan kecil yang rasanya masih canggung.

“Aku Clarista, ka. Kita sering baris bareng waktu upacara cuma belum pernah ngobrol”

“Bukannya kalo upacara gak boleh ngobrol yah..” Balas saya dengan polosnya.

Icha hanya tersenyum kecil mendengar candaan garing saya. Kemudian saya memberanikan untuk bertanya kepadanya.

“Clarista, pulang naik bis juga?”

“Iya, ka. Kaka juga?”

Saya mengangguk. Ia berhenti sejenak tidak membalas perkataan saya. tiba-tiba saya merasa senang, akhirnya saya bisa berkenalan dengan Icha. Kejadian tersebut adalah kejadian nyata dari pengalaman saya ketika seorang perempuan yang saya suka membuka perkenalan tanpa saya pinta. Itu adalah sebuah prestasi saya yang tersembunyi.

“Ka Andri pulang kemana?”

“Bukit Cimanggu Villa. Kamu sendiri?”

“Wah seriusan kak? Aku juga rumahnya di Bukit.”

Sebuah kebetulan? Belum tentu. Jangan bilang blok rumah kita berdekatan. Sebenarnya saya belum pernah bertemu Icha jika rumahnya di bukit juga. Karena saya sudah tinggal bertahun-tahun, setidaknya pasti pernah berpapasan ketika di dekat rumah. Saya rasa Icha baru saja pindah rumah.

“Jangan bilang blok rumahnya juga sama?” saya menggoda.

“Aku di Blok T ka, kakak juga?”

“Engga aku sebelahnya, Blok U.”

Apa saya bilang. Meski beda blok tapi tidak jauh dari rumah saya. Tidak disangka-sangka ternyata kita berdekatan, dunia seketika berasa sempit.

Percakapan pun berhenti. Bus hampir sampai di depan Perumahan Bukit Cimanggu Villa. Icha dan temannya beranjak dari kursi dan bersiap-siap untuk turun. Bus pun menepi, Icha dan temannya turun. Ia melihat saya masih duduk di kursi bus, terlihat dari wajahnya mengerutkan dahi seperti aneh melihat saya tanpa ada sepatah kata, atau setidaknya ada ucapan “duluan.”

Lantas bagaimana dengan saya? bukankah seharusnya saya juga ikut turun di depan Perumahan tersebut? saya punya alasan kenapa tidak turun di tempat yang seharusnya saya turun, bukan karena saya hendak pergi atau singgah ke suatu tempat sebelum pulang, tapi ada perihal yang tidak setuju ketika saya turun di sana. Saya tetap pulang, tapi tidak turun di sana. Ribet ya, emang.

***

Pagi-pagi sekali saya sudah berada di depan kelas. Melihat anak-anak berlarian masuk kelas masing-masing karena waktu sudah menandakan jam masuk kelas pelajaran. Kelas saya? tenang saja, selagi guru kami masih belum datang atau masih sibuk dengan sarapan mereka atau terjebak macet di jam pagi, kelas kami melakukan hal seenaknya jika guru belum masuk kelas.

Saya melihat bidadari. Hem maksud saya, seorang yang saya kenal, Icha terlambat berlari menuju kelasnya. Saya tidak menegurnya, saya rasa guru sudah berada di kelasnya.

Jam pulang sekolah pun tiba. Seperti biasa Eza dkk mengajak untuk main ke warnet, namun lagi-lagi saya menolak karena saya ingin bertemu lagi dengan Icha. Dengan refleks saya menunggunya di gerbang sekolah, namun ia tak menampakan diri. Apakah Icha sudah pulang duluan. Jika benar begitu saya terlambat. Akhirnya saya berjalan seperti biasa menuju halte.

Tak butuh waktu lama menunggu bus pusaka, Kendaraan tua itu sudah mengetem di depan halte, saya memasuki, semua tempat sudah terisi dengan orang-orang, dan pengamen kemarin kembali meramaikan dengan lagu gajebo mereka. Saya berjalan menuju belakang bus. Moment tak terduga. Seperti di FTV, saya kembali bertemu dengan Icha di dalam bus. Ternyata ia sudah berada di dalam bus sebelum saya masuk. Kami berdiri sambil berpegangan pada besi atap bus.

“Eh, ketemu lagi. Haha.” Saya menegur duluan.

“Iya kak.” Jawab Icha singkat.

Hanya ada senyum tipis di antara kita. Entah kenapa tiap kali saya dekat Icha dada saya berdebar kencang sekali. Rasanya malu sekali jika ia tahu hal itu. Sesekali saya melihat perempuan imut dan lucu itu. Saya benar-benar kagum karena Icha benar-benar perempuan yang menyenangkan jika di ajak bicara, ramah dan murah tersenyum.

“Kak, aku mau nanya. Kok kemaren kaka gak ikut turun juga? Katanya rumahnya di Bukit Cimanggu.”

“Rumah aku emang di Bukit kok, Cuma aku pulang gak biasa lewat situ.”

Saya menjelaskan kepadanya kejadian kemarin. Tak butuh waktu lama kami mengobrol seperti sudah kenal lama.

“Emang kaka lewat mana?”

“Tau kan dari depan perum bukit sampai ke arah blok rumah kita itu jauh banget, dan mesti naik ojek? Mahal banget, Ca. Nah aku lewat daerah Taman Sari buat jalan kaki, lewat sana itu dekat tembusannya di belakang rumah aku.”

“Oh gitu, aku gak tau kak. Aku tiap hari jalan loh jauh banget emang sampe rumah juga pegel2 kadang, aku juga jarang naik ojek uangnya gak cukup hehe.”



jalan bareng.

Hampir tiap hari kami pulang bersama naik bus pusaka. Waktu begitu cepat berlalu. Hari berikutnya kami ngobrol kecil sambil perjalanan pulang mulai dari tentang pelajaran sekolah hingga topik apa saja yang ada di sekeliling kita.

“Oya kak, kemaren aku cerita sama mama, kayanya aku mau lewat yang kakak pulang itu deh, jadi lebih deket kan?”

“Mau bareng aku?” refleks saya.

“Iya boleh, kasih tau aku yah ka jalannya.”

Icha tersenyum padaku, sepertinya akan ada moment tak terlupakan lagi terjadi bersamanya. Kali ini Icha sendiri, ia tak bersama temannya. Entah apa yang saya bayangkan saat itu. Tak menyangka bisa bersama icha. Kami pun pulang bersama, Icha mengikutiku pulang. Ia merasa jalan yang baru ini lebih dekat daripada jalan sebelumnya. Itu kali pertama kita jalan bersama lebih tepatnya jalan berdua. Seperti biasa selama perjalanan selalu ada obrolan. Itu yang saya suka darinya, orangnya lucu dan menyenangkan.

Lagi-lagi saya bercerita yang bahagia. Terkadang kisah bahagia dan menyenangkan itu tak berlangsung selamanya, mereka hanya sementara. Itu sebabnya saya ingin bercerita dulu tentang hal yang senangnya sebelum menuju ke kisah luka yang saya alami. Seperti kisah menyenangkan saya bersama Icha itu rasanya tak berlangsung lama, hanya sementara, sesementara embun yang jatuh dari tepian daun. Sejuk sesaat.

***

R.M.S.

Tidak seperti hari-hari biasa. Sudah tiga hari saya tak melihat dan bertemu Icha. Bahkan di tempat yang biasa ia terlihat depan koridor kelas, tiada. Mungkinkah ia tak masuk sekolah karena sakit. Saat pulang saya tak lagi menemukan di gerbang sekolah ataupun halte tempat biasa saya menunggu bus. sebenarnya bukan urusan saya, tapi rasa khawatir sering kali merayap ke pikiran saya.

Apakah saya sudah benar-benar jatuh cinta padanya? Perasaan tersebut akan secara naluri terjadi ketika orang yang kita tunggu tak ada. Padahal belum sempat memiliki namun sudah merasa kehilangan.

Ketika upacara pun saya tak melihatnya, saya lihat ke sekeliling barisan, Icha tak kunjung terlihat, saya yakin ia selalu baris di belakang barisan setidaknya tak jauh dari tempat saya berdiri.

“Lu nyariin siapa?” seseorang berbicara pada saya.

Saya melihat seseorang berdiri di samping saya berdiri. Saya melihat wajahnya, belum pernah melihat orang itu sebelumnya. Melihat dari matanya, seperti seseorang yang tak senang.

“Engga.” Jawab saya singkat.

Laki-laki itu memerhatikan saya tanpa henti. Saya tak mengerti apa ada yang salah dari penampilan saya.

“Lu nyariin Clarista?”

Dahi saya tiba-tiba mengerut kuat. Apa yang barusan saya dengar, ia mengucapkan nama Clarista? Bagaimana dia tahu kalau saya sedari tadi mencari Icha.

“Dia gak ada, lagi sakit.” Laki-laki itu meneruskan bicaranya. “Lu tau gak gua siapa? GUA COWOKNYA !”

Hal yang tidak terpikirkan di benak saya ketika mendengar hal itu. Ternyata Icha sudah punya pacar. Saya tidak tahu akan hal itu, Icha bahkan terlihat sedang tidak menjalin hubungan dengan laki-laki. Saya tidak pernah melihatnya bersama laki-laki ini, ketika datang ke sekolah, duduk di koridor kelas, jajan di kantin, baris di lapangan, bahkan pulang sekolah. Saya tidak pernah sama sekali melihat Icha bersamanya. Lantas, apa laki-laki ini adalah mantan kekasihnya? Icha tidak pernah bercerita apa-apa soal pacar atau mantanya, karena obrolan kami bukan tentang cinta ketika pulang bersama.

 Padahal saya sudah ada rencana untuk menyatakan perasaan saya kepada Icha. Sepertinya itu tak terjadi untuk saat ini. Salah satu hal yang membuat saya tidak suka adalah “bertengkar karena wanita.” Rasanya saya akan mengubur niat saya dalam-dalam untuk nembak Icha, jika pada akhirnya akan ada pertengkaran pertumpahan darah.

“Ya trus hubungannya sama gua apa?” Saya membalas perkataannya.

“Belaga Beg* lu.” Ujarnya sambil hormat ke bendera merah putih.

Kamu tahu sekolah saya meski terkenal karena prestasinya di bidang pendidikan dan ekstrakulikuler, juga terkenal anak-anaknya yang ikut tawuran pelajar. Saya pernah ikut turun untuk membantu tawuran saat itu dengan sekolah tetangga. Dan rasanya orang ini ingin saya hajar dengan kepalan tangan kanan saya saat itu juga. Saya rasa laki-laki seperti itu lebih cocok jadi perempuan yang banyak bicara daripada jadi laki-laki dengan mulut besarnya, dengan mudahnya berkata kasar di depan muka saya.

Untungnya ini adalah saat upacara, tidak mungkin ada keributan konyol terjadi saat upacara, resikonya akan di-skor oleh kepala sekolah yang sedang berdiri di depan memberikan amanat upacara.

“Lu siapa sih, gak bisa bicara baik bukan? Masalah lu apa?” saya terpancing emosi.

“Sebelum ada lu, Icha selalu terbuka sama gua, tapi semenjak ada lu, dia lebih tertutup sama gua.” Ujar laki-laki itu. “Ada apa lu sama cewek gua. Gua ngeliat lu balik bareng dia, itu yang gua liat, belum lagi yang gak gua liat.”

Laki-laki itu menjelaskan panjang. Ia menganggap saya adalah orang ketiga di antara dia dengan Icha. Ia takut saya merebut Icha darinya.

Perlu saya akui. Awalnya saya memang menyukai Icha. Itu hal yang wajar menurut saya karena selama saya mengenal Icha saya tidak pernah tahu bahwa Icha memiliki pacar bahkan ia tak bercerita apa-apa tentang laki-laki itu. Seperti yang sudah saya bilang tadi, saya tidak pernah melihatnya bersama Icha. Andaikan saya tahu Icha sudah punya pacar, saya akan menghapus niat saya untuk menyatakan rasa suka saya kepadanya.

***

 Benih Luka mulai tumbuh di dalam hati dan pikiran saya. Rasanya bak jamur yang tumbuh dari bibit spora yang lama-kelamaan menjadi besar dan mewabah. Mengerikan sekali.

Rasanya saya bertemu dengan rasa pahit ampas ketika sebuah mimpi tak berjalan sesuai impian. Selalu ada konflik dalam sebuah kisah. Ekspektasi saya saat itu berjalan indah, namun ternyata tak sesuai realita.

Pada jam istirahat, saya sedang berdiri di depan koridor bersama Akbar untuk bermain game klasik anak tahun 2000-an. Tiba-tiba teman Akbar dari kelas lain datang ke depan kelas kami. Saya banyak mendengar tentang temannya Akbar itu, namanya Richientah nama asli atau panggilanbukan karena prestasi belajarnya, tapi sering bulak balik masuk ruang bimbingan konseling karena kasus perkelahian antar pelajar luar sekolah. Tapi saya melihat Richi itu anak yang santai dan tak ada tampang seram-seramnya.

Richi bersahabat baik dengan Akbar, seperti Akbar dengan saya.

“Eh, Bar, Dri.” Richi bersalaman dengan saya dan Akbar.

“Ada apaan lu ke sini, serius amat tampang lu, Chi?” Ujar Akbar.

“Kaga, Cuma mau nanya aja. Maap-maap nih. Lu ada masalah apaan sama si RMS?” Richi menanyakan kepada saya.

“RMS?” Saya tidak mengerti.

Richi meski anak yang sangar namun ketika ngobrol bersama Akbar, ia menjadi kalem. Akbar itu meski tak ada tampang sangar ia memiliki postur tubuh besar dan gempal, kulitnya sedikit coklat sawo busuk dengan rambut ikat potong pendek, lebih terlihat anak SMA daripada anak SMP.

“Si Rizky. Katanya lu deketin ceweknya?”

Oh mungkin laki-laki menyebalkan yang kemarin saat baris di samping saya saat upacara bendera. Saya baru tahu namanya Rizky, panggilannya RMSentah itu singkatan atau panggilan, yang jelas saya tidak peduli. RMS itu temannya Richi, Akbar pun mengenalinya. Jadi ceritanya si RMS itu ngadu kepada si Richi tentang kedekatan saya dengan Icha. Dan Richi hanya ingin memastikan dan mengklarifikasi.

Laki-laki macam apa yang tak berani datang menghampiri jika ada persoalan. Doi malah mewakili lewat temannya. Berharap saya dihabisi oleh temannya itu. Namun keadaannya tidak seperti itu. Kami bertiga hanya berbicara santai tanpa ada emosi bahkan kekerasan. Saya menceritakan semuanya kepada Richi sesuai yang terjadi.

“Ya awalnya gua emang berencana buat deketin Icha, Itupun gua gak tau posisinya si Icha udah punya pacar, dan juga urusan gua deket sama Icha juga engga karena saat gua pulang bareng Icha, itu karena kebetulan kami bertemu di bus yang jurusannya sama ke rumah kita, dan kita gak ada janjian sama sekali buat pulang bersama.” Saya menjelaskan. “Dan satu lagi, Icha gak bercerita apa-apa soal cowoknya itu, dan saya juga gak fudul kok urusan orang.”

“Sebenernya emang si RMS sama si Icha udah putus, Cuma gitu, ceweknya udah gak mau sama si RMS lagi, tapi si RMS masih gak nerima. Itu sih yang gua tau.” Richi menganggapi.

“Wedan drama sekolah, rumit amat wkwkw..” celetuk Akbar mencairkan suasana.

Kami sambil tertawa bercanda di tengah keseriusan. Tak lama Richi pergi begitu saja tanpa pamit.

Mungkinkah saya lebih baik mundur untuk mengejar cinta saya? atau tetap berjuang sampai titik darah penghabisan. Faktanya adalah saat saya mengenal Icha, ia dan cowoknya yang nyebelin itu udah putus. So, saya bukan posisinya sebagai PHO (penghancur hubungan orang). Ironinya, Icha sudah putus dengan RMS tapi RMS belum bisa menerima kenyataan yang pahit itu.

Bagaimana menurut kamu?

Skakmat

Hari-hari sekolah sedikit hambar, Ibarat sayur kurang garam. Sudah hampir seminggu Icha tidak masuk sekolah. Saya tahu kabar tersebut dari teman kelasnya yang waktu itu naik bus bareng. Namun hari itu saya melihat Icha di gerbang sekolah sedang berbicara dengan temannya, itu Vena. Namun tampaknya ada percakapan serius di antara mereka. Ada hal yang aneh, biasanya Icha selalu bersama Vena, namun kini mereka sedikit renggang entah apa yang terjadi belakangan ini.   

Tadinya saya ingin menegur Icha, namun saya teringat kejadian kemarin masalah mantannya yang menyebalkan itu. Mungkin akan lebih baik saya menjauhi Icha.

Saya berjalan melewati Icha dan Vena. Namun tiba-tiba Icha melihat saya dan memanggil.

“Ka? Ka Andri..” Sahut Icha

Saya berhenti melihat ke arah mereka.

“Tunggu kak, Pulangnya bareng.” Teriak Icha.

Icha berlari ke arah saya. Saya melihat Vena, seperti biasa sikapnya jutek sejak awal saya mengechat nya. Saya tidak tahu apa vena punya masalah dengan saya. mungkin suatu hari saya akan menanyakannya. Saya dan Icha berjalan menuju Halte.

“Ca? Aku boleh nanya sesuatu?”

“Iya, apa kak?” Ia tersenyum pada saya.

Ingin saya mengatakan tentang siapa RMS dan kenapa ia tidak pernah cerita kalau ia sudah punya pacar tapi merahasiakannya dari saya. Dan saya ingin menanyakan perasaannya kepada saya seperti apa.

“Kamu kemana aja lima hari gak masuk sekolah? Sakit?” Aku bertanya hal lain.

Icha tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan menatap tajam ke arah saya. saya tak kuasa tiap kali melihat Icha tersenyum manis seperti itu. Rasanya saya meleleh diterpa kecantikan dan kelucuan ekspresinya.

“Kaka nyariin aku yah, kangen ceritanya?” Icha menggoda.

Oke saya diskakmat olehnya. Bahasa “kids jaman now” itu “tercyduk.”

“Apaan sih kamu, geer banget haha.” Aku mengeles.

“Yah, padahal aku juga kangen..” suaranya melambat.

“Hah..?”

“Kangen ngeledekin kaka. Hahah” Icha tertawa.

Saya tersenyum kecil. Kami berjalan perlahan sambil tertawa. Tiba-tiba Icha memegang tangan saya dan melihat saya. Saya kaget ketika tangan halus Icha memegan tangan saya dari belakang. Degup jantung saya mulai berdebar cepat. Saya grogi dan tak menyangka ketika Icha tiba-tiba memegang tangan saya. Saya melihatnya, ia meliihat balik saya.

“Kaaa.. Pegangin aku, nanti aku ketabrak.” Sahut Icha.

Kami menyebrang jalan. Entah kenapa rasanya ingin saya tembak langsung perempuan satu ini. Kelakuannya membuat saya tersenyum. Namun lagi-lagi pikiranku sedang ada gangguan masalah kemarin.

Konflik

Kami berjalan menuju lorong biasa yang menuju ka arah halte. Jalanan yang sempit ini tampak ramai, tidak hanya orang yang lalu lalang namun banyak pembeli yang mengetem di depan tempat penjual kaset CD.

Icha berlari duluan menuju halte saya mengikuti. Saya mengikuti, namun tiba tiba saya melihat Icha ditarik oleh seseorang secara paksa. Rupanya si RMS. Mereka sedang berbicara serius, saya melihatnya beberapa meter dari mereka. Tampaknya RMS sedang bertengkar dengan Icha. Sesekali RMS melihat saya. Rasanya saya ingin membela Icha namun saya tetap berjaga saja dan memerhatikan mereka. Jaga-jaga jika RMS berbuat kasar saya harus ikut campur.

RMS lalu menghampiri saya. menarik kerah baju saya dengan kepalan tangan kanannya.

“Maksud lu apa, jalan sama cewek gua?” matanya melotot kepada saya.

“lepasin gak?” Tegas saya kepada RMS.

“Gua udah bilang sama lu, Jauhin Icha. Masih tengil aja lu.”

Saya melepaskan tangan cowok nyebelin itu dari kerah baju saya. Jujur saja mendengar dia banyak ngomong rasanya saya ingin menonjok mulutnya hingga tak tersisa satu buah gigi di dalam mulutnya, setidaknya agar dia tak banyak bicara seenaknya. Saya memilih untuk sabar. Kepalan tangan saya yang sedari tadi  memerah sebenarnya sudah siap untuk singgah di pipinya.

Saya melihat Icha. Emosi saya sedikit meredup. Tak ingin rasanya berkelahi di depan seorang perempuan apalagi di depan umum orang banyak. Sebagian orang pun melihat tingkah cowok menyebalkan ini.

“lu mau ajakin gua ribut. Gua gak pernah takut sama orang macam lu. Gua bisa aja ngehantem mulut lu yang kaya cewek ini, gak perlu sampe berdarah-darahlah, seengganya lu bisa diem dan bicara baik-baik. Gak guna rasanya buat ribut sama lu, apalagi gegara cewek. Kalo lu mau bener ribut sama gua, gua terima tapi alasannya bukan karena cewek, karena lu gak punya rasa sopan santun dan tatakrama yang baik, ngerti lu.” Saya membisiki di depan wajahnya.

RMS langsung diam, ia perlahan meninggalkan saya juga Icha. Saya langsung menaiki bus yang hendak berangkat, Icha ikut menyusul saya. Ia melihat saya. Ia membetulkan kancing saya yang terbuka akibat diremas oleh cowok yang nyebelin itu.

“Ka Rizky tadi ngapain Ka Andri? Kaka gak apa-apa?”

Saya melihat mata Icha. Penuh kekhawatiran membenam di sana. Perlahan saya menghapus setiap kekhawatiran itu dengan memberikan senyuman kepadanya.

“Aku gak apa-apa kok.” Aku bertanya kepadanya. “Dia itu pacar kamu?”

“Tadinya. Aku udah putus sama dia kak.”

“Baru aja? Gara-gara aku? Kalian kayanya tadi lagi konflik gitu? Sory klo aku ikut campur.”

“Aku putus udah lama kak, bahkan sebelum aku kenal sama ka Andri. Gak ada hubungannya sama ka Andri kok. Aku emang udah gak nyaman sama dia, karena selalu turutin apa kata dia. Akunya jadi males.”

Icha menceritakan kisahnya ketika putus dengan RMS. Ternyata benar yang dikatakan Richi bahwa RMS itu berkata dusta, mereka sudah menjadi mantan. Apa hak dia berkata seenaknya tadi sewaktu di halte?

Saya menenangkan Icha dan melupakan permasalahan tadi. Melihat sikap Icha yang semakin ke sini semakin perhatian kepada saya, saya merasa nyaman, namun rasa gundah di hati saya masih berputar-putar. Rasanya aneh sekali, yang seharusnya mencari perhatian dan mendekati itu adalah saya. Karena saya yang ingin mendekatinya, namun kali ini malah sebaliknya. Bukankah seharusnya saya senang? Lantas bagaimana dengan si cowok menyebalkan itu? Biarlah saya tak peduli..

Vena

Hari sabtu. Saya mendapat tugas untuk ikut lomba cerdas cermat di bidang Ilmu Pengetahuan Alama bersama teman-teman ekstrakulikuler saya. Saya mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di bidang biologi dan fisika di kelas 9 ini. Kami pun dispensasi untuk pergi ke bandung, tentunya saya tidak akan masuk kelas untuk satu hari itu.

Kegiatan kami di sana lancar, meski kami hanya mendapat juara harapan pada bidang fisika tentang praktikum mengenai arus listrik, kami bersyukur bisa ikut berpartisipasi menjadi salah satu perwakilan Kota Bogor di Bandung. Sebuah pengalaman yang hebat bisa menjadi salah satu murid berprestasi di sekolah.

Saya kembali masuk sekolah pada hari senin. Seperti biasa saya mengikuti upacara bendera. Ada sesuatu yang tak biasa. Saya tak melihat Icha juga mantannya yang menyebalkan itu. Sepulang sekolah saya tak juga melihat Icha padahal hari itu saya ingin mengutarakan perasaan saya kepadanya. Saya rasa Icha juga mempunyai perasaan yang sama kepada saya.

“Ka Andri.. kak tunggu..?” seseorang memanggil saya.

Saya menduga itu Icha, namun seseorang yang berbeda. Itu Vena

“Ka Andri mau pulang? Ini ada surat buat kakak.” Vena memberikan sepucuk surat kepada saya.

Saya tidak habis pikir, tiba-tiba saja Vena tak lagi jutek kepada saya, biasanya hampir tidak pernah mau berbicara kepada saya. Namun, ia memberi saya sebuah surat.

“Eh, Vena. Surat apa ini?” Saya menerima surat tersebut.

“Itu surat dari Clarista Kak. Kemarin itu hari terakhir ia masuk kelas. Dia berpamitan kepada kita, katanya ia akan pindah sekolah. Ia berpesan sama aku buat ngasihin surat ini buat kakak.”

Saya melihat Vena, ada sesuatu yang membuat saya iba. Tiba-tiba saja matanya menatap saya dengan berkaca-kaca, perkataannya terbata-bata.

“Kamu ini kenapa, Vena?”

“Maafin aku yah kak, selama ini aku selalu jutek sama kamu. Bukan karena aku ini benci sama kamu, kak. Engga, engga sama sekali. Tapi aku kesel sama diri aku sendiri. Ka Andri udah lama kenal sama aku kan jauh sebelum kenal Clarista?”

Vena meneteskan air mata. Ia bercerita yang selama ini tak pernah ia ceritakan kepada saya. Saya tidak pernah melihat Vena sesedih itu ketika meneteskan air mata. Kedua matanya yang memerah seperti membendung seluruh air mata yang pernah ia rasakan selama ini. Menetes perlahan melalui pipinya. Seraya sebuah lagu mengiringi cerita sedihnya.

*   When you love someone just be brave to say

That you want him to be with you

When you hold your love

Dont ever let it go

Or you will loose your chance

To make your dreams come true..

Endah n Rhesa – When You Love Someone

“Kamu tau gak? Setiap kali kamu nanyain Clarista sama aku, aku gak pernah mau kasih tau kamu, bahkan pesan salam kamu buat dia aku gak pernah sampein. Kamu tau apa yang aku rasain, sakit kak. Tiap kali kamu ketemu aku kamu selalu nanyain Clarista. Setiap kamu chat aku cuma buat nanyain dia, kamu tau gak aku kenapa? Aku sedih kak. Saat di kantin kamu selalu nanyain dia ke aku, saat di depan koridor kelas kamu selalu merhatiin dia. Pernah gak sekali aja kamu tau perasaan aku kaya gimana. Ketika kamu selalu jalan pulang sama dia, aku sakit. Sakit tapi gak berdarah. Dan saat aku tau kamu suka sama dia, aku terluka.

Aku gak pernah punya kesempatan buat menjadi seorang yang berarti di mata kamu. Bahkan kamu gak tau, kalau aku itu suka sama kamu kak. Itu kenapa aku menjauh dari kalian berdua, karena aku gak ingin luka hati aku semakin besar. Namun luka hati aku sudah di puncaknya ketika aku baca surat itu.. maafin aku yah kak, harusnya aku sadar diri, orang yang aku suka itu menyukai orang lain.” Vena melanjutkan perkataanya.

Vena berjalan meninggalkan saya dengan penuh air mata.

“Vena.. Venaa..” Teriak saya.

Apa yang telah saya perbuat. Lagi-lagi saya membuat perempuan menangis. Pantaskah saya menjadi laki-laki baik jika saya selalu melakukan hal itu. Apakah lebih pantas saya menjadi laki-laki yang tak baik. Bagaimana agar saya mengembalikan keadaan yang rumit ini? Tak hanya Vena, saya pun merasakan luka ketika seorang perempuan terluka karena perbuatan saya.  



*   Jangan berakhir Aku tak ingin berakhir

Satu jam saja ku ingin diam berdua mengenang yang pernah ada

Jangan berakhir Karena esok takkan lagi

Satu jam saja hingga ku rasa bahagia

Mengakhiri segalanya..

Tapi kini tak mungkin lagi

Katamu semua sudah tak berarti lagi

Satu jam saja itu pun tak mungkin

Tal mungkin lagi..

Satu jam saja ingin aku merasa

Rasa itu pernah ada..

Audy – Satu Jam Saja



  surat.

Dear, kak Andri

Sebelumnya aku minta maaf karena aku gak sempat memberikan surat ini langsung sama kakak. Aku sempat nungguin kakak di sekolah sebelum aku pergi, tapi kakak gak ada. Aku susulin ke kelas kakak, kakak gak ada. Aku coba minta kontak telpon kakak tapi nomornya gak aktif. Aku nunggu di gerbang sekolah kakak gak ada, sampai akhirnya aku ngasih surat ini ke Vena buat dikasihin ke kakak. Aku masih nunggu di halte dan bus pusaka, tempat dimana kita pertama kali kenal, agak lucu juga sih. Tapi aku tau kaka juga gak ada.

 Aku mau pindah sekolah kak. Aku akan kembali lagi ke Jawa Tengah aku akan ikut Papa dinas di sana. Itupun mendadak. Sedih sih tapi yah mau gimana. Sebenarnya aku ingin lebih lama di Bogor. Namun hanya satu semester aku bisa sekolah di Bogor. Sayangnya aku belum sempat pamitan sama kakak.

Makasih banyak yah kak. Selama aku di Bogor aku bisa kenal sama kakak. Kakak udah baik banget sama aku, selalu jagain aku. Bahkan aku selalu ngerepotin kakak yah. Makasih juga kakak udah suka sama aku, ya meski kakak gak pernah mau jujur bilang itu ke aku. Tapi aku tau, tau dari mata kakak, aku bisa melihat mata kakak gak bisa bohong saat ngeliat aku waktu upacara bareng, makan di kantin, liatin aku dari atas kelas dan pulang bareng. Lucu juga yah haha.

Tapi ada seorang yang lebih pantes kaka perjuangin daripada aku. perempuan yang udah lama suka sama kakak. Rasanya aku bakal ngelakuin hal yang salah kalau aku egois. Sahabat aku lebih pantes dapetin cinta kakak. Aku ikhlas kok kalau kaka sama dia, malahan aku seneng melihat sahabat aku seneng.

Dan aku sama kakak itu kayanya gak cocok kak. Kita gak akan bisa bersama. Sulit banget kayanya buat bisa sama-sama, suliiiiit banget kak. Andai kita bersama, pasti akan ada hati yang terluka dan ada aja konflik. Aku gak mau gara-gara aku kakak jadi ngalamin itu semua. Tentang kita, kita sudah berbeda kak sejak awal. Kakak anak Rohis dan pintar. Agama kita aja sudah berbeda kak. Kakak agamanya Islam, aku agamanya Kristen. Sebenarnya aku ingin ngasih tau kakak sejak awal untuk jangan deketin aku atau gak perlu baik sama aku. Tapi aku gak rela liat kaka sedih kalau tau kenyataan ini. Kakak udah baik banget sama aku. bagaimana bisa aku jahat sama kakak?

Maafin aku yah kak, sekali lagi. Perpisahan ini hanya bisa lewat surat. Tapi aku gak akan lupain kebaikan kakak. Aku seneng bisa kenal sama ka Andri. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu. Mungkin aku bakal ke Bogor lagi suatu hari. Saat kakak sudah sekolah di SMA, atau mungkin Kuliah, atau kerja haha. Semua kita serahkan pada Tuhan. Hanya Tuhan yang tau segalanya.



Salam,

Clarista Vionita



 Saya membaca surat dari Icha. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutku. Saat pulang aku bergegas menuju rumah nya. Ternyata rumahnya terkunci, tetangganya bilang Icha dan keluarganya sudah berangkat ke Jawa kemarin pagi-pagi sekali. Saya sedih mungkin saya tak akan pernah bertemu dengan Icha lagi. Saya belum sempat berpamitan, dan yang paling penting saya belum sempat mengutarakan perasaan saya.

            Saya kembali terluka. Kenapa kita selalu ditinggalkan disaat kita lagi sayang-sayangnya kepada seseorang. Padahal biarkanlah rasa itu tercurahkan sebelum pada akhirnya salah satu dari kita akan pergi.

            kelulusan.

            Tiga bulan kemudian.

Waktu begitu cepat berlalu, akhirnya saya lulus dari sekolah menengah pertama (SMP). Dan saya akan melanjutkan ke sekolah menengah umum (SMU). Saya bertemu dengan Vena. Saya tak lagi melihat kesedihan di matanya, sebaliknya ia begitu bahagia. Ia sudah bersama lelaki lain yang telah menjadi pacarnya.

 Meski ada rasa aneh di dalam hati saya ketika melihat Vena. saya membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Saya yakin Tuhan lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-hambanya..

..bersambung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar