Kamu tahu
ada berapa luka-luka pernah bersemayam dalam kisah-kisah saya? Dan siapakah
first love dalam kisah-kisah ini? Kamu bisa menjawab dengan menebaknya setelah
kamu berada pada kisah di episode terakhir..
—pengantar
yang membosankan. Kamu bisa skip membaca
ini hingga pada kisah-kisah luka yang saya ceritakan.
Saya pernah
berencana untuk menulis kisah-kisah sendu tentang luka karena patah hati.
Tentunya sebelum kisah-kisah berikut ini ada. Menulis kisah-kisah luka menurut
saya mudah-mudah susah, karena ketika saya merubah kisah-kisah yang berada di
kepala menjadi sebuah tulisan, luka-luka lama yang terbawa kembali hidup dan
menghantui pikiran saya untuk bercerita, rasanya seperti kesetrum aliran
listrik 12 volt—tidak
terlalu tinggi namun cukup membuat saya terkejut—dan membuat
kepala saya menggelitik. Secara mendadak membuat pori-pori saya terbuka bak
stomata pada daun yang mengeluarkan oksigen.
Kisah
luka ini adalah kisah nyata pengalaman saya. Kisah percintaan seorang remaja
yang terjebak dalam kehidupan lingkaran asmara. Saya yakin beberapa dari kamu
pernah mengalaminya sama seperti saya. Luka hati terjadi akibat kisah cinta
yang berakhir. Selalu seperti itu. Saat masa pacaran, tidak ada kisah cinta
yang tidak berujung luka hati. Semakin banyak seseorang memiliki kisah-kisah
luka semakin bertambah pula kemampuannya dalam mencoba untuk jatuh cinta
kembali. Luka hati akan berakhir pada kisah pengalaman percintaan seseorang
dengan mantan kekasihnya. Namun, Luka hati tidak selamanya terjadi setelah
pacaran, ada juga karena gagalnya mendapatkan cinta.
Berbicara
tentang mantan, saya ingin bercerita kisah luka-luka ini dengan sosok
mantan-mantan. Mantan kekasih, mantan gebetan, mantan teman tapi sayang-sayangan,
sampai mantan kakak-adean yang ketemu gede. Meski untuk sebagian kamu
mengganggap mantan adalah sosok yang menakutkan, tidak bagi saya.
Mantan
itu adalah alumni hati. Tanpa mereka saya tidak akan mendapat prestasi dalam
pembelajaran selama berkisah cinta. Jadi menurut saya, mereka adalah bagian
dari kenangan kita yang sudah diarsipkan dalam memori kita. Ketika pada saatnya
kita membutuhkan arsip tersebut untuk suatu hal kita hanya tinggal mendownload
dan membukanya dalam berangkas kita, seperti untuk reuni kembali, CLBK, atau
untuk dijadikan kartu undangan pernikahan kamu dengan calon pasanganmu. Kalau
saya, akan dijadikan bahan baku pembuatan tulisan baru tentang kisah-kisah luka
saya.
Saya akan
bercerita dengan sederhana dan akan memulai dengan kisah luka pertama.
Kisah luka pertama bersama Clarista
In memorian
Bogor, 2009
—Pandangan
pertama.
Kisah
pertama ini berawal ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Semua serba pertama. Seperti yang ada di kepala kamu ketika membaca judul kisah
pertama itu. Saya pernah menyukai seorang perempuan bernama Clarista Vionita.
Seperti kebanyakan anak laki-laki maupun perempuan ketika SMP, menyukai seseorang
dalam satu lingkungan sekolah. Itu adalah rumusan sederhana ketika memulai
kisah percintaan ababil (anak abg labil). Hal itu karena cinta akan datang
dengan sangat cepat dalam kehidupan keseharian kita, bukan angan-angan di luar
kesibukan dan keseharian kita.
Saat itu
saya duduk di bangku sebelah teman sebangku saya. Kisah saya bersama Icha—panggilan saya kepadanya—adalah
kisah senior-junior. Saya kelas 9 dan dia kelas 8. Lagi-lagi sebuah rumusan
yang sederhana dan klasik, setelah suka dengan seseorang satu sekolah,
junior-senior pula. Namun itu memang adanya.
Kisah
dimulai ketika sebuah adegan saya melihatnya berada di seberang kelas saya,
lebih tepatnya gedung sebrang. Kebetulan gedung kelas saya berada paling pojok
dan paling atas di lantai dua, bersebrangan dengan gedung Icha yang dipisahkan
dengan jalan menuju kantin. Kelas Icha berada di bawah paling ujung. Cukup
rumit ya hanya menjelaskan posisi gedung saja.
Kebiasaan
saya adalah selalu bersandar di koridor kelas pojok untuk sekedar melihat
pemandangan keluar kelas pada jam-jam istirahat pelajaran atau ketika tidak ada
guru. Itu adalah salah satu kenakalan anak kelas 9 yang merasa sangat senior.
Kebiasaan saya itu mengalihkan pandangan pada perempuan yang sedang duduk di
koridor kelas. Icha selalu duduk di sana, mungkin sama seperti saya karena
suasana sumpek kelas dan teman-teman mereka yang berulah di dalam kelas ketika
tidak ada guru. Icha memilih untuk duduk sejenak di depan koridor sambil
mendengarkan musik dengan headphone kecilnya, terkadang di temani oleh teman
perempuannya bernama Vena.
Kebiasaan
saya itu pun menjadi semakin intensif dilakukan hampir setiap hari hanya karena
untuk bisa melihat Icha berada disana. Lagi-lagi hal yang mudah ditebak, suka
karena pandangan pertama. Jujur ketika saya melihat Icha untuk kali pertama
saya langsung tertarik dan rasanya tak ingin beranjak dari tempat nyaman itu.
“Lu
ngeliatin apaan si, Dri?,” seseorang tiba-tiba berbisik di telinga saya.
“Nggak
ada,” jawab saya singkat.
Orang ini,
salah satu teman menyebalkan dan terbaik saya hingga saat ini. Akbar, orang ini
merusak adegan indah saya.
“Kantin
Yuk, Laper gua.”
“Ayuk.”
Saya
terpaksa meninggalkan tempat indah itu untuk pergi ke kantin. Pada jam
istirahat sekitar pukul setengah sepuluh tempat sumber makanan di sekolah itu
lebih-lebih seperti pasar ramainya. Terkadang saya memilih untuk tidak ke kantin
dan membawa bekal dari rumah, menghindari keadaan tersebut, terlebih saya
orangnya hemat dalam hal uang salah satunya.
Ada
untungnya juga saya pergi ke bawah sana, saya bisa bertemu lebih dekat dengan
Icha. Saya tampak bersemangat.
“Edan penuh
banget,” celetuk Akbar. “Pak Tatang ini mah gegaranya korupsi waktu ngajar, jam
istirahat diembat juga. Parah”
“Wah makan
apaan Men, yang gak ngantri?,” saya melirik ke sekeliling kantin.
Memang
keadaan kantin hampir tiap hari begitu. Sesak. Untuk masuk lebih dalam kita
mesti bawa oksigen, khawatir kita bakal kekurangan O2 apalagi yang punya asma,
udah wasalam.
“Makan
bekel lu aja sendiri klo gak mau antri haha.. Paling pempek klo gak mie goreng
setengah mateng.”
Mie instan di
tempat kami itu dibuat secepat kilat, hingga rasa mienya terasa setengah mentah
bukan setengah mateng. Direbus hanya 1-2 menit. Akhirnya kita memilih makan
pempek babeh. Cerita ini seperti dalam sinetron dan ftv saja. Ketika saya
membeli pempek, Icha berada di belakang saya. Ternyata doi beli pempek juga.
Rasanya saya degdegan gak karuan. Cemen banget senior gugup deket junior.
Kamu tau?
Melihatnya dari dekat, kecantikannya nambah 10x lipat ketika saya melihatnya
dari atas kelas. Icha cantik banget, tubuhnya lumayan tinggi untuk perempuan
sebayanya, kurus tidak gemuk ideal menurut saya, rambutnya lurus panjang direbonding (gimana sih tulisannnya),
dan selalu memakai jepit rambut pink untuk membelah poninya ke samping,
senyumnya renyah serenyah biskuat, suaranya kecil lembut merdu, wah pokoknya
nyaris perfect buat saya yang lagi
suka sama cewek. Sayangnya saat itu dia belum mengenal saya, begitupun saya.
Lantas bagaimana saya bisa menjelaskan nama sebelumnya. Itulah kehebatan saya.
Tunggu
sejenak, kamu sadar sesuatu atau tidak? Bukankah cerita barusan di atas tidak
ada bau-bau kisah luka. Berilah saya kesempatan untuk bercerita keindahan dulu
sebelum luka, sebuah kisah luka tidak melulu berawal dari luka pula.
Namun
seperti janji saya sebelumnya saya tidak akan banyak bertele-lete dengan cerita
yang melebar dan tidak fokus pada pokok bahasan. Saya akan merangkum kisah saya
bersama Icha. Maafkan saya, tadi itu karena salah satu kenangan Icha
melintas di kepala saya ketika kali pertama saya melihatnya.
—Upacara
Bendera.
Upacara
bendera hari Senin. Saya rasa setiap sekolah punya jadwal abadi yakni upacara
bendera rutin pada hari senin—tidak ada
alasan pindah hari misalnya Selasa karena hari Senin tanggal merah. Ini bukan
upacara bendera sembarangan. Moment yang sangat langka dan tak akan pernah
terlupakan sampai kapanpun.
Lagi-lagi
kebiasaan saya yang lain adalah menunggu barisan upacara penuh sebelum memulai.
Sehingga saya akan berada di barisan belakang dan terkadang berada di barisan
kelas yang lain. Alasannya lucu hanya karena barisan belakang tidak kepanasan
dengan sorotan matahari pagi. Senior terkadang punya sifat sedikit otoriter
kepada junior.
Moment
langka terindah pertama saya bersama Icha adalah dia berada tepat di samping
saya baris upacara. Ketika saya tahu seseorang yang berada di samping saya itu
adalah Icha, saya merasa ada musik terdengar di kepala saya, sebuah lagu dari “Lobow - Kau Cantik Hari Ini.”
Lama sudah tak ku lihat
Kau yang dulu ku mau
Kadang ingat kadang tidak
Bagaimana dirimu..
Kau cantik hari ini dan aku suka
Kau lain sekali dan aku suka..
Moment ini
bukanlah rekayasa seperti yang pernah saya bilang di pengantar di atas. Ini
kisah nyata pengalaman saya. Namun itu bukan moment perkenalan saya dengan
Icha.
Rasanya
saya ingin berada terus di sana seharian bersamanya. Berdiri menghormat
bendera, setidaknya saya berharap pembina upacara berpidato sedikit lebih lama
agar waktu saya bersama Icha sedikit lebih lama. Bodohnya saya, moment itu
tidak ada percakapan sedikitpun diantara kita. Hanya sebuah lirikan sesekali
saya kepadanya, begitupun dia. Adegan itu hanya diisi oleh lagu “Isyana -
Sekali Lagi”—padahal
saat itu Isyana belum menciptakan lagu tersebut, bahkan ia belum menjadi
penyanyi terkenal seperti sekarang.
Di permukaan perasaan yang dalam
Ingin sekali sebenarnya terucap
Tak ada asa lagi hingga tumbuh rasa hati
Dan berakhir jiwa terasa sepi
Aku tak bisa terus begini
Aku tak bisa mengatakan yang sesungguhnya
Tak bisa menunggu lagi
Pesan ini ku sampaikan sekali lagi
Ku beri kesempatan terakhirmu..
Ingin
rasanya saya memulai percakapan kecil, namun itu tidak pernah terjadi, hingga
upacara bubar. Saya melihat Icha kembali ke kelas begitupun saya. Bel masuk
berbunyi dua kali. Saya mengalihkan kepala ke arah Icha, ia membuka topi,
rambutnya lurus terurai panjang.
Meski belum
ada luka pada moment itu, namun rasa penyesalan terasa sangat kental, rasa malu
saya untuk memulai percakapan merupakan penyebabnya. Namun meski demikian saya
tidak menyerah. Saya kembali berdiri di koridor kelas pada jam istirahat.
—Mxit.
Jaman
ketika saya smp, sosial media yang sedang booming itu adalah Frienster.
Meskipun Facebook sudah ada, namun facebook adalah media sosial yang masih
sulit diterpa kalangan awam seperti saya dan kawan-kawan karena penggunaan yang
sulit dan masih sangat baru. Bagi saya Frienster bukan medsos yang efektif
untuk berkomunikasi via daring, karena agak sulit dalam pengiriman pesan. Kami
malah menggunakan email untuk mengirim pesan daring.
Saya
mencari informasi mengenai Icha melalui Frienster namun tampaknya ia tak
memiliki akun tersebut. Saya pun melupakan semua itu. Cara yang efektif adalah
mendapatkan nomor telpon untuk ditelpon dan sms. Namun lagi-lagi perasaan takut
dan malu masih menghantui saya saat itu. Rasa keberanian saya tampaknya
dihilangkan oleh dua perasaan tersebut.
Ada satu
media komunikasi yang sedang booming yaitu
sebuah aplikasi yang memungkinkan setiap orang dapat chatingan secara cepat
tanpa menggunakan pulsa—mungkin
jaman sekarang seperti Whatsapp—dan mereka
biasa menyebutnya MXit. Media Sosial Mxit populer pada era 2000-an atau lebih
tepatnya muncul tahun 2005. Mxit memudahkan para pengguna handphone untuk
menyampaikan pesan yang memiliki jaringan internet.
Saya
mencari ID Icha untuk memberanikan diri untuk dapat berkomunikasi, akhirnya
saya kepoin hape teman saya Dicky yang terkenal playboy. Dia memiliki 1001
kontak cewek cantik dan sebagiannya mungkin adalah mantan pacarnya. Akhirnya
saya mendapatkan ID Mxit Vena. Saya tidak berhasil mendapatkan ID Icha,
lagi-lagi karena ia tak menggunakan media sosial, hanya telpon dan SMS.
Saya tidak
pantang menyerah saya mulai chatingan lewat Mxit dengan Vena untuk menanyakan
tentang Icha. Vena agak sedikit jutek, hal itu yang membuat saya sedikit sulit
untuk mencari tahu tentang Icha. Ia menyangka saya modus kepadanya. Meski
demikian, saya tetap menanyakan tentang Icha kepada Vena.
Kesimpulannya
sulit bagi saya mencari tahu tentang Icha melalui pesan maupun media sosial.
Yang harus dilakukan adalah menodongnya untuk berbicara langsung.
Hari-hari
berlalu seperti biasa. Saya melihatnya dari koridor kelas. Namun kini ia
seperti mengetahui keberadaan saya, ia seperti merasa diperhatikan. Lalu sesaat
melihat saya, ia meninggalkan tempat biasa saya melihatnya. Mungkin ia telah
mengetahui keberadaan saya dari Vena. Perlahan saya menangguhkan aplikasi Mxit.
—Bus Pusaka.
“Dri, ikut
warnet ayok? Main dota.” Ujar Eza dkk.
“Wah engga
dulu za, gua mesti balik cepet kayanya.”
“Ah, Tanker
kita gak bisa ikut main guys.” Ujar Eza kepada yang lain.
Saya dulu
di samping kisah asmara, ada kisah game online
dan yang biasa saya dan teman-teman mainkan di warnet adalah “Dota Warcraft” dan “Ragnarok Online”. Namun saya tidak akan bahas game disini.
Saya biasa
pulang menggunakan bus pusaka yang melalui trayek Terminal Baranangsiang hingga
Parung. Saya berjalan sedikit menuju halte yang berada di Warung Jambu, Bogor.
Untuk menuju halte Warung Jambu saya sering melintasi lorong jalan setapak yang
tidak begitu luas, yang sepanjang jalanannya dipenuhi tukang jualan yang
didominasi oleh tukang penjual kaset musik pinggir jalan. Hingga hampir tiap
hari saya melewati jalan tersebut tak jarang juga saya membeli kaset musik
favorit saya yaitu musik rock alternative
seperti Muse, My Chemical Romance,
Greenday, dan Linkin Park, dan
masih banyak lagi.
Ketika saya
singgah di salah satu penjual kaset langganan saya, saya melihat seseorang
berjalan, lebih tepatnya dua orang yang tak asing bagi saya. saya rasa mengenal
mereka. Itu Icha dan teman kelasnya melalui jalan ini, entah mau kemana mungkin
arah pulang mereka melalui jalan tersebut.
Saya pun
melihat bus pusaka datang dan berhenti di halte Warung Jambu, dengan cepat saya
menaiki dan mencari tempat duduk yang kosong dekat jendela. Saya duduk di
barisan belakang seorang diri.
Saya yakin
kamu sudah bisa menebak bahwa dua orang itu pasti menaiki bus pusaka juga.
Namun hingga bus tersebut jalan saya tak menyadari apa-apa bahkan pengamen
bernyanyi dengan suara cempreng saja saya tak hafal ia menyanyi lagu apa. Saya
saat itu sedang fokus melihat list
lagu yang baru saja saya beli tadi. Namun sesekali saya seperti diperhatikan
oleh seseorang. Ia seperti melihat saya melalui celah dua kursi di depan saya
dan terdengar suara kecil berbisik.
Tiba-tiba
orang tersebut memanggil saya.
“Ka Andri,
yah?”
Saya kaget,
saya mendengar suara kecil yang lucu dan renyah di telinga, ternyata yang
berada di depan saya adalah Icha. Saya sejak awal sudah curiga dengan dua orang
yang duduk berada di depan saya. Tunggu dari mana Icha tahu nama saya, padahal
kita belum kenalan sama sekali. Namun moment di situ lah perkenalan saya dengan
Icha.
“Iya..”
jawab saya singkat.
Meski saya
sudah tahu namanya. Namun saya pura-pura tidak tahu. Seketika saya gugup
sedikit. Terjadi percakapan kecil yang rasanya masih canggung.
“Aku
Clarista, ka. Kita sering baris bareng waktu upacara cuma belum pernah ngobrol”
“Bukannya
kalo upacara gak boleh ngobrol yah..” Balas saya dengan polosnya.
Icha hanya
tersenyum kecil mendengar candaan garing saya. Kemudian saya memberanikan untuk
bertanya kepadanya.
“Clarista,
pulang naik bis juga?”
“Iya, ka.
Kaka juga?”
Saya mengangguk.
Ia berhenti sejenak tidak membalas perkataan saya. tiba-tiba saya merasa
senang, akhirnya saya bisa berkenalan dengan Icha. Kejadian tersebut adalah
kejadian nyata dari pengalaman saya ketika seorang perempuan yang saya suka
membuka perkenalan tanpa saya pinta. Itu adalah sebuah prestasi saya yang
tersembunyi.
“Ka Andri
pulang kemana?”
“Bukit
Cimanggu Villa. Kamu sendiri?”
“Wah
seriusan kak? Aku juga rumahnya di Bukit.”
Sebuah
kebetulan? Belum tentu. Jangan bilang blok rumah kita berdekatan. Sebenarnya
saya belum pernah bertemu Icha jika rumahnya di bukit juga. Karena saya sudah
tinggal bertahun-tahun, setidaknya pasti pernah berpapasan ketika di dekat
rumah. Saya rasa Icha baru saja pindah rumah.
“Jangan
bilang blok rumahnya juga sama?” saya menggoda.
“Aku di
Blok T ka, kakak juga?”
“Engga aku
sebelahnya, Blok U.”
Apa saya
bilang. Meski beda blok tapi tidak jauh dari rumah saya. Tidak disangka-sangka
ternyata kita berdekatan, dunia seketika berasa sempit.
Percakapan
pun berhenti. Bus hampir sampai di depan Perumahan Bukit Cimanggu Villa. Icha
dan temannya beranjak dari kursi dan bersiap-siap untuk turun. Bus pun menepi,
Icha dan temannya turun. Ia melihat saya masih duduk di kursi bus, terlihat
dari wajahnya mengerutkan dahi seperti aneh melihat saya tanpa ada sepatah
kata, atau setidaknya ada ucapan “duluan.”
Lantas
bagaimana dengan saya? bukankah seharusnya saya juga ikut turun di depan
Perumahan tersebut? saya punya alasan kenapa tidak turun di tempat yang
seharusnya saya turun, bukan karena saya hendak pergi atau singgah ke suatu
tempat sebelum pulang, tapi ada perihal yang tidak setuju ketika saya turun di
sana. Saya tetap pulang, tapi tidak turun di sana. Ribet ya, emang.
***
Pagi-pagi
sekali saya sudah berada di depan kelas. Melihat anak-anak berlarian masuk kelas
masing-masing karena waktu sudah menandakan jam masuk kelas pelajaran. Kelas
saya? tenang saja, selagi guru kami masih belum datang atau masih sibuk dengan
sarapan mereka atau terjebak macet di jam pagi, kelas kami melakukan hal
seenaknya jika guru belum masuk kelas.
Saya
melihat bidadari. Hem maksud saya, seorang yang saya kenal, Icha terlambat
berlari menuju kelasnya. Saya tidak menegurnya, saya rasa guru sudah berada di
kelasnya.
Jam pulang
sekolah pun tiba. Seperti biasa Eza dkk mengajak untuk main ke warnet, namun
lagi-lagi saya menolak karena saya ingin bertemu lagi dengan Icha. Dengan
refleks saya menunggunya di gerbang sekolah, namun ia tak menampakan diri.
Apakah Icha sudah pulang duluan. Jika benar begitu saya terlambat. Akhirnya
saya berjalan seperti biasa menuju halte.
Tak butuh
waktu lama menunggu bus pusaka, Kendaraan tua itu sudah mengetem di depan
halte, saya memasuki, semua tempat sudah terisi dengan orang-orang, dan
pengamen kemarin kembali meramaikan dengan lagu gajebo mereka. Saya berjalan
menuju belakang bus. Moment tak terduga. Seperti di FTV, saya kembali bertemu
dengan Icha di dalam bus. Ternyata ia sudah berada di dalam bus sebelum saya
masuk. Kami berdiri sambil berpegangan pada besi atap bus.
“Eh, ketemu
lagi. Haha.” Saya menegur duluan.
“Iya kak.” Jawab
Icha singkat.
Hanya ada
senyum tipis di antara kita. Entah kenapa tiap kali saya dekat Icha dada saya
berdebar kencang sekali. Rasanya malu sekali jika ia tahu hal itu. Sesekali
saya melihat perempuan imut dan lucu itu. Saya benar-benar kagum karena Icha
benar-benar perempuan yang menyenangkan jika di ajak bicara, ramah dan murah
tersenyum.
“Kak, aku
mau nanya. Kok kemaren kaka gak ikut turun juga? Katanya rumahnya di Bukit
Cimanggu.”
“Rumah aku
emang di Bukit kok, Cuma aku pulang gak biasa lewat situ.”
Saya
menjelaskan kepadanya kejadian kemarin. Tak butuh waktu lama kami mengobrol
seperti sudah kenal lama.
“Emang kaka
lewat mana?”
“Tau kan
dari depan perum bukit sampai ke arah blok rumah kita itu jauh banget, dan
mesti naik ojek? Mahal banget, Ca. Nah aku lewat daerah Taman Sari buat jalan
kaki, lewat sana itu dekat tembusannya di belakang rumah aku.”
“Oh gitu,
aku gak tau kak. Aku tiap hari jalan loh jauh banget emang sampe rumah juga
pegel2 kadang, aku juga jarang naik ojek uangnya gak cukup hehe.”
—jalan
bareng.
Hampir tiap
hari kami pulang bersama naik bus pusaka. Waktu begitu cepat berlalu. Hari
berikutnya kami ngobrol kecil sambil perjalanan pulang mulai dari tentang
pelajaran sekolah hingga topik apa saja yang ada di sekeliling kita.
“Oya kak,
kemaren aku cerita sama mama, kayanya aku mau lewat yang kakak pulang itu deh,
jadi lebih deket kan?”
“Mau bareng
aku?” refleks saya.
“Iya boleh,
kasih tau aku yah ka jalannya.”
Icha
tersenyum padaku, sepertinya akan ada moment tak terlupakan lagi terjadi
bersamanya. Kali ini Icha sendiri, ia tak bersama temannya. Entah apa yang saya
bayangkan saat itu. Tak menyangka bisa bersama icha. Kami pun pulang bersama,
Icha mengikutiku pulang. Ia merasa jalan yang baru ini lebih dekat daripada
jalan sebelumnya. Itu kali pertama kita jalan bersama lebih tepatnya jalan
berdua. Seperti biasa selama perjalanan selalu ada obrolan. Itu yang saya suka
darinya, orangnya lucu dan menyenangkan.
Lagi-lagi
saya bercerita yang bahagia. Terkadang kisah bahagia dan menyenangkan itu tak
berlangsung selamanya, mereka hanya sementara. Itu sebabnya saya ingin
bercerita dulu tentang hal yang senangnya sebelum menuju ke kisah luka yang
saya alami. Seperti kisah menyenangkan saya bersama Icha itu rasanya tak berlangsung
lama, hanya sementara, sesementara embun yang jatuh dari tepian daun. Sejuk
sesaat.
***
—R.M.S.
Tidak
seperti hari-hari biasa. Sudah tiga hari saya tak melihat dan bertemu Icha.
Bahkan di tempat yang biasa ia terlihat depan koridor kelas, tiada. Mungkinkah
ia tak masuk sekolah karena sakit. Saat pulang saya tak lagi menemukan di
gerbang sekolah ataupun halte tempat biasa saya menunggu bus. sebenarnya bukan
urusan saya, tapi rasa khawatir sering kali merayap ke pikiran saya.
Apakah saya
sudah benar-benar jatuh cinta padanya? Perasaan tersebut akan secara naluri
terjadi ketika orang yang kita tunggu tak ada. Padahal belum sempat memiliki
namun sudah merasa kehilangan.
Ketika
upacara pun saya tak melihatnya, saya lihat ke sekeliling barisan, Icha tak kunjung
terlihat, saya yakin ia selalu baris di belakang barisan setidaknya tak jauh
dari tempat saya berdiri.
“Lu nyariin
siapa?” seseorang berbicara pada saya.
Saya
melihat seseorang berdiri di samping saya berdiri. Saya melihat wajahnya, belum
pernah melihat orang itu sebelumnya. Melihat dari matanya, seperti seseorang
yang tak senang.
“Engga.”
Jawab saya singkat.
Laki-laki
itu memerhatikan saya tanpa henti. Saya tak mengerti apa ada yang salah dari
penampilan saya.
“Lu nyariin
Clarista?”
Dahi saya
tiba-tiba mengerut kuat. Apa yang barusan saya dengar, ia mengucapkan nama
Clarista? Bagaimana dia tahu kalau saya sedari tadi mencari Icha.
“Dia gak
ada, lagi sakit.” Laki-laki itu meneruskan bicaranya. “Lu tau gak gua siapa?
GUA COWOKNYA !”
Hal yang
tidak terpikirkan di benak saya ketika mendengar hal itu. Ternyata Icha sudah
punya pacar. Saya tidak tahu akan hal itu, Icha bahkan terlihat sedang tidak
menjalin hubungan dengan laki-laki. Saya tidak pernah melihatnya bersama
laki-laki ini, ketika datang ke sekolah, duduk di koridor kelas, jajan di
kantin, baris di lapangan, bahkan pulang sekolah. Saya tidak pernah sama sekali
melihat Icha bersamanya. Lantas, apa laki-laki ini adalah mantan kekasihnya?
Icha tidak pernah bercerita apa-apa soal pacar atau mantanya, karena obrolan
kami bukan tentang cinta ketika pulang bersama.
Padahal saya sudah ada rencana untuk
menyatakan perasaan saya kepada Icha. Sepertinya itu tak terjadi untuk saat
ini. Salah satu hal yang membuat saya tidak suka adalah “bertengkar karena wanita.”
Rasanya saya akan mengubur niat saya dalam-dalam untuk nembak Icha, jika pada
akhirnya akan ada pertengkaran pertumpahan darah.
“Ya trus
hubungannya sama gua apa?” Saya membalas perkataannya.
“Belaga
Beg* lu.” Ujarnya sambil hormat ke bendera merah putih.
Kamu tahu
sekolah saya meski terkenal karena prestasinya di bidang pendidikan dan
ekstrakulikuler, juga terkenal anak-anaknya yang ikut tawuran pelajar. Saya
pernah ikut turun untuk membantu tawuran saat itu dengan sekolah tetangga. Dan
rasanya orang ini ingin saya hajar dengan kepalan tangan kanan saya saat itu
juga. Saya rasa laki-laki seperti itu lebih cocok jadi perempuan yang banyak
bicara daripada jadi laki-laki dengan mulut besarnya, dengan mudahnya berkata
kasar di depan muka saya.
Untungnya ini
adalah saat upacara, tidak mungkin ada keributan konyol terjadi saat upacara,
resikonya akan di-skor oleh kepala sekolah yang sedang berdiri di depan
memberikan amanat upacara.
“Lu siapa
sih, gak bisa bicara baik bukan? Masalah lu apa?” saya terpancing emosi.
“Sebelum
ada lu, Icha selalu terbuka sama gua, tapi semenjak ada lu, dia lebih tertutup
sama gua.” Ujar laki-laki itu. “Ada apa lu sama cewek gua. Gua ngeliat lu balik
bareng dia, itu yang gua liat, belum lagi yang gak gua liat.”
Laki-laki
itu menjelaskan panjang. Ia menganggap saya adalah orang ketiga di antara dia
dengan Icha. Ia takut saya merebut Icha darinya.
Perlu saya
akui. Awalnya saya memang menyukai Icha. Itu hal yang wajar menurut saya karena
selama saya mengenal Icha saya tidak pernah tahu bahwa Icha memiliki pacar
bahkan ia tak bercerita apa-apa tentang laki-laki itu. Seperti yang sudah saya
bilang tadi, saya tidak pernah melihatnya bersama Icha. Andaikan saya tahu Icha
sudah punya pacar, saya akan menghapus niat saya untuk menyatakan rasa suka
saya kepadanya.
***
Benih Luka mulai tumbuh di dalam hati dan
pikiran saya. Rasanya bak jamur yang tumbuh dari bibit spora yang lama-kelamaan
menjadi besar dan mewabah. Mengerikan sekali.
Rasanya
saya bertemu dengan rasa pahit ampas ketika sebuah mimpi tak berjalan sesuai
impian. Selalu ada konflik dalam sebuah kisah. Ekspektasi saya saat itu
berjalan indah, namun ternyata tak sesuai realita.
Pada jam
istirahat, saya sedang berdiri di depan koridor bersama Akbar untuk bermain
game klasik anak tahun 2000-an. Tiba-tiba teman Akbar dari kelas lain datang ke
depan kelas kami. Saya banyak mendengar tentang temannya Akbar itu, namanya
Richi—entah nama asli atau panggilan—bukan karena prestasi belajarnya, tapi sering bulak
balik masuk ruang bimbingan konseling karena kasus perkelahian antar pelajar
luar sekolah. Tapi saya melihat Richi itu anak yang santai dan tak ada tampang
seram-seramnya.
Richi
bersahabat baik dengan Akbar, seperti Akbar dengan saya.
“Eh, Bar,
Dri.” Richi bersalaman dengan saya dan Akbar.
“Ada apaan
lu ke sini, serius amat tampang lu, Chi?” Ujar Akbar.
“Kaga, Cuma
mau nanya aja. Maap-maap nih. Lu ada masalah apaan sama si RMS?” Richi
menanyakan kepada saya.
“RMS?” Saya
tidak mengerti.
Richi meski
anak yang sangar namun ketika ngobrol bersama Akbar, ia menjadi kalem. Akbar
itu meski tak ada tampang sangar ia memiliki postur tubuh besar dan gempal,
kulitnya sedikit coklat sawo busuk dengan rambut ikat potong pendek, lebih
terlihat anak SMA daripada anak SMP.
“Si Rizky.
Katanya lu deketin ceweknya?”
Oh mungkin
laki-laki menyebalkan yang kemarin saat baris di samping saya saat upacara
bendera. Saya baru tahu namanya Rizky, panggilannya RMS—entah itu singkatan atau panggilan, yang jelas saya
tidak peduli. RMS itu
temannya Richi, Akbar pun mengenalinya. Jadi ceritanya si RMS itu ngadu kepada
si Richi tentang kedekatan saya dengan Icha. Dan Richi hanya ingin memastikan
dan mengklarifikasi.
Laki-laki
macam apa yang tak berani datang menghampiri jika ada persoalan. Doi malah
mewakili lewat temannya. Berharap saya dihabisi oleh temannya itu. Namun
keadaannya tidak seperti itu. Kami bertiga hanya berbicara santai tanpa ada
emosi bahkan kekerasan. Saya menceritakan semuanya kepada Richi sesuai yang
terjadi.
“Ya awalnya
gua emang berencana buat deketin Icha, Itupun gua gak tau posisinya si Icha
udah punya pacar, dan juga urusan gua deket sama Icha juga engga karena saat
gua pulang bareng Icha, itu karena kebetulan kami bertemu di bus yang
jurusannya sama ke rumah kita, dan kita gak ada janjian sama sekali buat pulang
bersama.” Saya menjelaskan. “Dan satu lagi, Icha gak bercerita apa-apa soal
cowoknya itu, dan saya juga gak fudul kok urusan orang.”
“Sebenernya
emang si RMS sama si Icha udah putus, Cuma gitu, ceweknya udah gak mau sama si
RMS lagi, tapi si RMS masih gak nerima. Itu sih yang gua tau.” Richi
menganggapi.
“Wedan
drama sekolah, rumit amat wkwkw..” celetuk Akbar mencairkan suasana.
Kami sambil
tertawa bercanda di tengah keseriusan. Tak lama Richi pergi begitu saja tanpa
pamit.
Mungkinkah
saya lebih baik mundur untuk mengejar cinta saya? atau tetap berjuang sampai
titik darah penghabisan. Faktanya adalah saat saya mengenal Icha, ia dan
cowoknya yang nyebelin itu udah putus. So, saya bukan posisinya sebagai PHO
(penghancur hubungan orang). Ironinya, Icha sudah putus dengan RMS tapi RMS
belum bisa menerima kenyataan yang pahit itu.
Bagaimana
menurut kamu?
—Skakmat
Hari-hari
sekolah sedikit hambar, Ibarat sayur kurang garam. Sudah hampir seminggu Icha
tidak masuk sekolah. Saya tahu kabar tersebut dari teman kelasnya yang waktu
itu naik bus bareng. Namun hari itu saya melihat Icha di gerbang sekolah sedang
berbicara dengan temannya, itu Vena. Namun tampaknya ada percakapan serius di
antara mereka. Ada hal yang aneh, biasanya Icha selalu bersama Vena, namun kini
mereka sedikit renggang entah apa yang terjadi belakangan ini.
Tadinya
saya ingin menegur Icha, namun saya teringat kejadian kemarin masalah mantannya
yang menyebalkan itu. Mungkin akan lebih baik saya menjauhi Icha.
Saya
berjalan melewati Icha dan Vena. Namun tiba-tiba Icha melihat saya dan
memanggil.
“Ka? Ka
Andri..” Sahut Icha
Saya
berhenti melihat ke arah mereka.
“Tunggu
kak, Pulangnya bareng.” Teriak Icha.
Icha
berlari ke arah saya. Saya melihat Vena, seperti biasa sikapnya jutek sejak
awal saya mengechat nya. Saya tidak tahu apa vena punya masalah dengan saya.
mungkin suatu hari saya akan menanyakannya. Saya dan Icha berjalan menuju
Halte.
“Ca? Aku
boleh nanya sesuatu?”
“Iya, apa
kak?” Ia tersenyum pada saya.
Ingin saya
mengatakan tentang siapa RMS dan kenapa ia tidak pernah cerita kalau ia sudah
punya pacar tapi merahasiakannya dari saya. Dan saya ingin menanyakan
perasaannya kepada saya seperti apa.
“Kamu
kemana aja lima hari gak masuk sekolah? Sakit?” Aku bertanya hal lain.
Icha tidak
menjawab, ia hanya tersenyum dan menatap tajam ke arah saya. saya tak kuasa
tiap kali melihat Icha tersenyum manis seperti itu. Rasanya saya meleleh
diterpa kecantikan dan kelucuan ekspresinya.
“Kaka
nyariin aku yah, kangen ceritanya?” Icha menggoda.
Oke saya
diskakmat olehnya. Bahasa “kids jaman now” itu “tercyduk.”
“Apaan sih
kamu, geer banget haha.” Aku mengeles.
“Yah,
padahal aku juga kangen..” suaranya melambat.
“Hah..?”
“Kangen
ngeledekin kaka. Hahah” Icha tertawa.
Saya
tersenyum kecil. Kami berjalan perlahan sambil tertawa. Tiba-tiba Icha memegang
tangan saya dan melihat saya. Saya kaget ketika tangan halus Icha memegan
tangan saya dari belakang. Degup jantung saya mulai berdebar cepat. Saya grogi
dan tak menyangka ketika Icha tiba-tiba memegang tangan saya. Saya melihatnya,
ia meliihat balik saya.
“Kaaa..
Pegangin aku, nanti aku ketabrak.” Sahut Icha.
Kami
menyebrang jalan. Entah kenapa rasanya ingin saya tembak langsung perempuan
satu ini. Kelakuannya membuat saya tersenyum. Namun lagi-lagi pikiranku sedang
ada gangguan masalah kemarin.
—Konflik
Kami
berjalan menuju lorong biasa yang menuju ka arah halte. Jalanan yang sempit ini
tampak ramai, tidak hanya orang yang lalu lalang namun banyak pembeli yang
mengetem di depan tempat penjual kaset CD.
Icha
berlari duluan menuju halte saya mengikuti. Saya mengikuti, namun tiba tiba
saya melihat Icha ditarik oleh seseorang secara paksa. Rupanya si RMS. Mereka
sedang berbicara serius, saya melihatnya beberapa meter dari mereka. Tampaknya
RMS sedang bertengkar dengan Icha. Sesekali RMS melihat saya. Rasanya saya
ingin membela Icha namun saya tetap berjaga saja dan memerhatikan mereka.
Jaga-jaga jika RMS berbuat kasar saya harus ikut campur.
RMS lalu
menghampiri saya. menarik kerah baju saya dengan kepalan tangan kanannya.
“Maksud lu
apa, jalan sama cewek gua?” matanya melotot kepada saya.
“lepasin
gak?” Tegas saya kepada RMS.
“Gua udah
bilang sama lu, Jauhin Icha. Masih tengil aja lu.”
Saya
melepaskan tangan cowok nyebelin itu dari kerah baju saya. Jujur saja mendengar
dia banyak ngomong rasanya saya ingin menonjok mulutnya hingga tak tersisa satu
buah gigi di dalam mulutnya, setidaknya agar dia tak banyak bicara seenaknya.
Saya memilih untuk sabar. Kepalan tangan saya yang sedari tadi memerah sebenarnya sudah siap untuk singgah
di pipinya.
Saya
melihat Icha. Emosi saya sedikit meredup. Tak ingin rasanya berkelahi di depan
seorang perempuan apalagi di depan umum orang banyak. Sebagian orang pun
melihat tingkah cowok menyebalkan ini.
“lu mau
ajakin gua ribut. Gua gak pernah takut sama orang macam lu. Gua bisa aja
ngehantem mulut lu yang kaya cewek ini, gak perlu sampe berdarah-darahlah,
seengganya lu bisa diem dan bicara baik-baik. Gak guna rasanya buat ribut sama
lu, apalagi gegara cewek. Kalo lu mau bener ribut sama gua, gua terima tapi
alasannya bukan karena cewek, karena lu gak punya rasa sopan santun dan
tatakrama yang baik, ngerti lu.” Saya membisiki di depan wajahnya.
RMS
langsung diam, ia perlahan meninggalkan saya juga Icha. Saya langsung menaiki
bus yang hendak berangkat, Icha ikut menyusul saya. Ia melihat saya. Ia
membetulkan kancing saya yang terbuka akibat diremas oleh cowok yang nyebelin
itu.
“Ka Rizky
tadi ngapain Ka Andri? Kaka gak apa-apa?”
Saya
melihat mata Icha. Penuh kekhawatiran membenam di sana. Perlahan saya menghapus
setiap kekhawatiran itu dengan memberikan senyuman kepadanya.
“Aku gak
apa-apa kok.” Aku bertanya kepadanya. “Dia itu pacar kamu?”
“Tadinya.
Aku udah putus sama dia kak.”
“Baru aja?
Gara-gara aku? Kalian kayanya tadi lagi konflik gitu? Sory klo aku ikut
campur.”
“Aku putus
udah lama kak, bahkan sebelum aku kenal sama ka Andri. Gak ada hubungannya sama
ka Andri kok. Aku emang udah gak nyaman sama dia, karena selalu turutin apa
kata dia. Akunya jadi males.”
Icha
menceritakan kisahnya ketika putus dengan RMS. Ternyata benar yang dikatakan
Richi bahwa RMS itu berkata dusta, mereka sudah menjadi mantan. Apa hak dia
berkata seenaknya tadi sewaktu di halte?
Saya
menenangkan Icha dan melupakan permasalahan tadi. Melihat sikap Icha yang
semakin ke sini semakin perhatian kepada saya, saya merasa nyaman, namun rasa
gundah di hati saya masih berputar-putar. Rasanya aneh sekali, yang seharusnya
mencari perhatian dan mendekati itu adalah saya. Karena saya yang ingin
mendekatinya, namun kali ini malah sebaliknya. Bukankah seharusnya saya senang?
Lantas bagaimana dengan si cowok menyebalkan itu? Biarlah saya tak peduli..
—Vena
Hari sabtu.
Saya mendapat tugas untuk ikut lomba cerdas cermat di bidang Ilmu Pengetahuan
Alama bersama teman-teman ekstrakulikuler saya. Saya mengikuti kegiatan
ekstrakulikuler di bidang biologi dan fisika di kelas 9 ini. Kami pun
dispensasi untuk pergi ke bandung, tentunya saya tidak akan masuk kelas untuk
satu hari itu.
Kegiatan
kami di sana lancar, meski kami hanya mendapat juara harapan pada bidang fisika
tentang praktikum mengenai arus listrik, kami bersyukur bisa ikut
berpartisipasi menjadi salah satu perwakilan Kota Bogor di Bandung. Sebuah
pengalaman yang hebat bisa menjadi salah satu murid berprestasi di sekolah.
Saya
kembali masuk sekolah pada hari senin. Seperti biasa saya mengikuti upacara
bendera. Ada sesuatu yang tak biasa. Saya tak melihat Icha juga mantannya yang
menyebalkan itu. Sepulang sekolah saya tak juga melihat Icha padahal hari itu
saya ingin mengutarakan perasaan saya kepadanya. Saya rasa Icha juga mempunyai
perasaan yang sama kepada saya.
“Ka Andri..
kak tunggu..?” seseorang memanggil saya.
Saya
menduga itu Icha, namun seseorang yang berbeda. Itu Vena
“Ka Andri
mau pulang? Ini ada surat buat kakak.” Vena memberikan sepucuk surat kepada saya.
Saya tidak
habis pikir, tiba-tiba saja Vena tak lagi jutek kepada saya, biasanya hampir
tidak pernah mau berbicara kepada saya. Namun, ia memberi saya sebuah surat.
“Eh, Vena.
Surat apa ini?” Saya menerima surat tersebut.
“Itu surat
dari Clarista Kak. Kemarin itu hari terakhir ia masuk kelas. Dia berpamitan
kepada kita, katanya ia akan pindah sekolah. Ia berpesan sama aku buat ngasihin
surat ini buat kakak.”
Saya
melihat Vena, ada sesuatu yang membuat saya iba. Tiba-tiba saja matanya menatap
saya dengan berkaca-kaca, perkataannya terbata-bata.
“Kamu ini
kenapa, Vena?”
“Maafin aku
yah kak, selama ini aku selalu jutek sama kamu. Bukan karena aku ini benci sama
kamu, kak. Engga, engga sama sekali. Tapi aku kesel sama diri aku sendiri. Ka
Andri udah lama kenal sama aku kan jauh sebelum kenal Clarista?”
Vena
meneteskan air mata. Ia bercerita yang selama ini tak pernah ia ceritakan
kepada saya. Saya tidak pernah melihat Vena sesedih itu ketika meneteskan air
mata. Kedua matanya yang memerah seperti membendung seluruh air mata yang
pernah ia rasakan selama ini. Menetes perlahan melalui pipinya. Seraya sebuah
lagu mengiringi cerita sedihnya.
When you love someone just be brave to say
That you want him to be with you
When you hold your love
Dont ever let it go
Or you will loose your chance
To make your dreams come true..
Endah n Rhesa – When You Love Someone
“Kamu tau
gak? Setiap kali kamu nanyain Clarista sama aku, aku gak pernah mau kasih tau
kamu, bahkan pesan salam kamu buat dia aku gak pernah sampein. Kamu tau apa
yang aku rasain, sakit kak. Tiap kali kamu ketemu aku kamu selalu nanyain
Clarista. Setiap kamu chat aku cuma buat nanyain dia, kamu tau gak aku kenapa?
Aku sedih kak. Saat di kantin kamu selalu nanyain dia ke aku, saat di depan
koridor kelas kamu selalu merhatiin dia. Pernah gak sekali aja kamu tau
perasaan aku kaya gimana. Ketika kamu selalu jalan pulang sama dia, aku sakit. Sakit
tapi gak berdarah. Dan saat aku tau kamu suka sama dia, aku terluka.
Aku gak
pernah punya kesempatan buat menjadi seorang yang berarti di mata kamu. Bahkan
kamu gak tau, kalau aku itu suka sama kamu kak. Itu kenapa aku menjauh dari
kalian berdua, karena aku gak ingin luka hati aku semakin besar. Namun luka
hati aku sudah di puncaknya ketika aku baca surat itu.. maafin aku yah kak,
harusnya aku sadar diri, orang yang aku suka itu menyukai orang lain.” Vena
melanjutkan perkataanya.
Vena
berjalan meninggalkan saya dengan penuh air mata.
“Vena..
Venaa..” Teriak saya.
Apa yang
telah saya perbuat. Lagi-lagi saya membuat perempuan menangis. Pantaskah saya
menjadi laki-laki baik jika saya selalu melakukan hal itu. Apakah lebih pantas
saya menjadi laki-laki yang tak baik. Bagaimana agar saya mengembalikan keadaan
yang rumit ini? Tak hanya Vena, saya pun merasakan luka ketika seorang
perempuan terluka karena perbuatan saya.
Jangan berakhir Aku tak ingin berakhir
Satu jam saja ku ingin diam berdua
mengenang yang pernah ada
Jangan berakhir Karena esok takkan lagi
Satu jam saja hingga ku rasa bahagia
Mengakhiri segalanya..
Tapi kini tak mungkin lagi
Katamu semua sudah tak berarti lagi
Satu jam saja itu pun tak mungkin
Tal mungkin lagi..
Satu jam saja ingin aku merasa
Rasa itu pernah ada..
Audy – Satu
Jam Saja
—surat.
Dear, kak Andri
Sebelumnya aku minta maaf karena aku gak sempat
memberikan surat ini langsung sama kakak. Aku sempat nungguin kakak di sekolah sebelum
aku pergi, tapi kakak gak ada. Aku susulin ke kelas kakak, kakak gak ada. Aku
coba minta kontak telpon kakak tapi nomornya gak aktif. Aku nunggu di gerbang
sekolah kakak gak ada, sampai akhirnya aku ngasih surat ini ke Vena buat
dikasihin ke kakak. Aku masih nunggu di halte dan bus pusaka, tempat dimana
kita pertama kali kenal, agak lucu juga sih. Tapi aku tau kaka juga gak ada.
Aku mau pindah sekolah
kak. Aku akan kembali lagi ke Jawa Tengah aku akan ikut Papa dinas di sana.
Itupun mendadak. Sedih sih tapi yah mau gimana. Sebenarnya aku ingin lebih lama
di Bogor. Namun hanya satu semester aku bisa sekolah di Bogor. Sayangnya aku
belum sempat pamitan sama kakak.
Makasih banyak yah kak. Selama aku di Bogor aku bisa
kenal sama kakak. Kakak udah baik banget sama aku, selalu jagain aku. Bahkan
aku selalu ngerepotin kakak yah. Makasih juga kakak udah suka sama aku, ya
meski kakak gak pernah mau jujur bilang itu ke aku. Tapi aku tau, tau dari mata
kakak, aku bisa melihat mata kakak gak bisa bohong saat ngeliat aku waktu
upacara bareng, makan di kantin, liatin aku dari atas kelas dan pulang bareng.
Lucu juga yah haha.
Tapi ada seorang yang lebih pantes kaka perjuangin
daripada aku. perempuan yang udah lama suka sama kakak. Rasanya aku bakal
ngelakuin hal yang salah kalau aku egois. Sahabat aku lebih pantes dapetin
cinta kakak. Aku ikhlas kok kalau kaka sama dia, malahan aku seneng melihat
sahabat aku seneng.
Dan aku sama kakak itu kayanya gak cocok kak. Kita gak
akan bisa bersama. Sulit banget kayanya buat bisa sama-sama, suliiiiit banget
kak. Andai kita bersama, pasti akan ada hati yang terluka dan ada aja konflik.
Aku gak mau gara-gara aku kakak jadi ngalamin itu semua. Tentang kita, kita
sudah berbeda kak sejak awal. Kakak anak Rohis dan pintar. Agama kita aja sudah
berbeda kak. Kakak agamanya Islam, aku agamanya Kristen. Sebenarnya aku ingin
ngasih tau kakak sejak awal untuk jangan deketin aku atau gak perlu baik sama
aku. Tapi aku gak rela liat kaka sedih kalau tau kenyataan ini. Kakak udah baik
banget sama aku. bagaimana bisa aku jahat sama kakak?
Maafin aku yah kak, sekali lagi. Perpisahan ini hanya
bisa lewat surat. Tapi aku gak akan lupain kebaikan kakak. Aku seneng bisa
kenal sama ka Andri. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu. Mungkin aku
bakal ke Bogor lagi suatu hari. Saat kakak sudah sekolah di SMA, atau mungkin
Kuliah, atau kerja haha. Semua kita serahkan pada Tuhan. Hanya Tuhan yang tau
segalanya.
Salam,
Clarista
Vionita
Saya membaca surat dari Icha. Tak ada
kata-kata yang terucap dari mulutku. Saat pulang aku bergegas menuju rumah nya.
Ternyata rumahnya terkunci, tetangganya bilang Icha dan keluarganya sudah
berangkat ke Jawa kemarin pagi-pagi sekali. Saya sedih mungkin saya tak akan
pernah bertemu dengan Icha lagi. Saya belum sempat berpamitan, dan yang paling
penting saya belum sempat mengutarakan perasaan saya.
Saya
kembali terluka. Kenapa kita selalu ditinggalkan disaat kita lagi
sayang-sayangnya kepada seseorang. Padahal biarkanlah rasa itu tercurahkan
sebelum pada akhirnya salah satu dari kita akan pergi.
—kelulusan.
Tiga
bulan kemudian.
Waktu begitu
cepat berlalu, akhirnya saya lulus dari sekolah menengah pertama (SMP). Dan saya
akan melanjutkan ke sekolah menengah umum (SMU). Saya bertemu dengan Vena. Saya
tak lagi melihat kesedihan di matanya, sebaliknya ia begitu bahagia. Ia sudah
bersama lelaki lain yang telah menjadi pacarnya.
Meski ada rasa aneh di dalam hati saya ketika
melihat Vena. saya membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Saya yakin
Tuhan lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-hambanya..
..bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar