Ku jejaki
pinggir kota saat pagi mentari bersemayam di langit. Ku tak lepas dengan
bagpack yang ku bawa saat hendak bersimpang dan seperti dugaanku bayangan itu
masih saja mengikutiku dari belakang. Ku alihkan pandangan ke samping kiri dan
mencari tempat yang pas untuk mulai menulis sebagai freelancer writer. Tapi
hanya kios-kios yang tak pantas untuk ku singgah. perlahan setapak demi setapak
suara langkah kakiku dengan sepatu cat yang berwarna merah terang dan putih
mengema debu jalanan yang tebal dan tertiup angin pagi yang terasa sejuk dan
anggun. Kurasa sedikit sulit mencari café favoritku. Hanya tampak kios baju dan
salon begitu dengan resto kecil yang tak banyak pengunjung menghiasi tempat
itu. Kurasa aku hanya perlu tempat singgah yang nyaman yang tersedia wifii gratis dengan ditemani cappucino
latte dan choco waffle yang menjadi dambaan setiap lidah. Itu yang
menjadi tempat favorit para freelancer.
Hampir ku melupakan bayangan itu. Tunggu kemana bayangan itu pergi. Tampak jelas tadi di belakangku dan kini bayangan itu bosan mengikutiku dari belakang. Saat ku berbelok dipinggir kios-kios bayangan itu berada tepat disampingku dan aku seolah bertanya pada bayangan itu.
“kenapa kau berhenti mengikutiku dari belakang?” aku mulai
menghentikan langkahku
“aku tak hidup juga tak
mati, aku bergerak kemana arah mentari itu menyorotiku.”
“lalu mengapa kau selalu berada di dekatku?”
“aku memang selalu
menjadi teman langkahmu, tapi sebenarnya aku terlahir dari dirimu yang tak
pernah tersentuh cahaya. Aku berpindah karena aku tak pernah ingin tersentuh
cahaya mentari itu. Makanya aku selalu bersembunyi di belakangmu, di samping,
bahkan di depanmu sekalipun.”
“kau seperti diriku yang pemalu. Enggan untuk terlalu
berpora-pora dan hanya tersenyum dan berekspresi. Tapi ku tak seperti dirimu
yang hidup bersembunyi dalam gelap dan membisu.”
“aku akan selalu berada
dalam kegelapan. Itu adalah sisi gelapmu yang tak pernah tersentuh cahaya. Aku
akan selalu menjadi bagian dari sisi gelapmu.”
Dalam
benakku terlintas tentang bayangan itu. Entah mengapa bayangan itu
mengingatkanku dengan seseorang yang pernah ku temui di salah satu StarBuck
Café. Dia yang menjadi inspirasi dalam cerita ku. Seorang gadis pendiam
yang hanya mengunjungi StarBuck Café saat sore hari. Ku
memperhatikannya tanpa menyapa karena dia berada di sebrang meja ku. Ku tak
tahu namanya siapa dan ku menyebutnya gadis berkacamata. Karena gadis itu hanya
memesan moccacino dengan vanilla yang menemaninya. Dan yang
tertuju pada pandanganku adalah sebuah novel yang berjudul “bayangan” dengan
cover bayangan gelap di sisi tubuh yang terhempas rintihan hujan dengan sinar
redup dari lampu jalan. Entah siapa penulisnya. Ku menebak isi cerita itu
bagaikan bayangan yang takkan pernah hidup dalam kegelapan tapi terlahir di
dalamnya. Tampak serius melihat novel itu yang sesekali membetulkan kacamatanya
yang kutebak itu silinder, tapi tak kusangka terlihat manis dengan kacamata
itu. Dengan tidak menolehkan pandangannya ke novel itu dia lupa bahwa moccacino
yang ia minum masih panas yang membuat dia tersedak dan menghentikan sensasi membaca
pada novel itu.
Dia membuat
jari-jariku berhenti diatas keyboard ini. Pandanganku saat itu tak terlepas
dari gadis itu dan dia tidak pernah sadar bahwa aku memperhatikannya terus
karena dia hanya terfokus pada novel “bayangan” itu. Tapi pertunjukan yang tak
penting itu harus ku akhiri karena ku harus melanjutkan langkahku untuk
menepati janji yang telah ku buat dengan seseorang. Dan ku habiskan sisa
terakhir tegukan cappucino latte di atas mejaku dan memandang pada gadis itu
yang terus terfokus pada bacaannya.
Dan saat ku
pikir-pikir gadis itu seperti bayangan yang hanya mengikuti kemana arah tubuh
ini bergerak. Dia hanya mengikuti kemana cerita bayangan itu membawanya. Dan
hanya terdiam dan tersenyum dalam bayangan. Tak terasa aku berjalan dengan
bayanganku yang semakin mengecil karena mentari yang semakin tinggi. Bayangan
itu semakin ku perhatikan semakin memperhatikan ku kembali terfokus hanya pada
apa yang aku lakukan. Saat bayanganku ini hilang untuk sementara karena lenyap
oleh bayangan truk besar yang menutupi bayanganku. Dan kusadari bukan hanya
bayanganku saja yang mengitari setiap sisi gelap. Tapi setiap benda yang
mempunyai sisi gelap pasti mempunyai bayangan. Tampak lucu ketika bayangan
wanita-wanita itu yang tertawa saat menyebrang jalan tapi tak terlihat pada
bayangan orang-orang yang membuatnya diam karena berdiri di dekat penantian
bus. Kurasa orang dan benda itu mempunyai karakter bayangan mereka
masing-masing.
Langkahku
kembali terhenti saat mataku tertuju pada tulisan unik diatas itu “Maria’s
Coffe and Cake” dengan latar gambar wanita gemuk dengan cangkir coffe. Itu yang
menjadi tempat untukku singgah. Sebelum langkahku memasuki pintu itu bayangan
ini berpesan.
“saat kau melangkahkan
kakimu ke dalam sana. Kau perlahan melihatku hilang di dalam sana. Dan ku hanya
menunggu saat mentari itu kembali menyinarimu. Aku tak bisa menemanimu di dalam
sana sama seperti mentari itu. Dan kau akan melihatku lagi saat sisi gelapmu
berada di antara cahaya-cahaya.”
Ku buka
pintu café itu dan perlahan ku langkahkan kaki ke dalam sana dan benar bayangan
itu hilang perlahan. Tapi itu karena tiada cahaya yang mengitari sisi gelapku.
Ku menoleh pandangan ku pada meja yang masih kosong tak banyak orang disini.
Dan saatku memesan cappucino latte
favoritku ku melihat orang yang tak asing menghampiriku. Dan ku baru menyadarinya
itu saat ia berkata.
“pesan apa mas?”
“…cappucino latte”
perlahan ku diam menatap wanita ini dan mengingatnya aku pernah melihat wanita
ini.
Baru teringat dia gadis berkacamata dengan novel bayangannya
yang pernah ku temui di StarBuck Café waktu itu. Aku
terheran ternyata dia pemilik Maria’s
Coffe and Cake ini. itu membuatku berpikir lucu tentang gadis itu. Gadis
pembaca novel bayangan itu memang seperti bayangan yang terkadang tanpa sadar
muncul saat sisi gelap bertemu cahaya dan menghilang saat cahaya itu
menghilang.
Saat dia
mengantarkan cappucino latte ke mejaku dan kembali ke tempatnya lalu dia
kembali membaca novel bayangan itu lagi. Sempat terheran dia pemilik café ini
dan melayani sendiri tanpa pelayan seperti di café-café yang pernah aku kunjungi.
Ternyata dia seperti bayangan yang terlahir sendiri tapi mempunyai kesan yang
luarbiasa dibalik kesuksesannya. Mungkin aku bisa seperti dia yang tampak cool
dan punya café sendiri suatu hari nanti atau bahkan punya banyak café dan
restoran dan masih banyak lagi.
Dan
terkadang aku malah yang seperti bayangan yang hanya bisa mengikuti kesuksesan
gadis itu. Tapi sisi positifnya dia yang tak hanya menjadi inspirasiku tapi
juga bayangan yang luarbiasa. Saat ku mengangkat secangkir cappucino latte ini, ada bayangan berbentuk hati dan ku
tahu itu bayangan tangan gadis itu di hadapanku. Dan dia tahu bahwa aku pernah
memperhatikannya. Lalu saat ini juga aku masih memperhatikannya tetapi dia
malah tersenyum melihatku tersedak meminum cappucino latte yang masih panas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar