..Potongan novel "Dilemanisme" yang belum selesai---yang mungkin akan saya selesaikan untuk waktu yang tidak sebentar---masih dalam bentuk yang abstrak, masih sedikit liar, dan masih seperti fragmen yang belum utuh. Hal itu karena masih ada cinta yang belum terselesaikan dan luka karena patah hati yang tidak mudah disembuhkan.
saya pun masih mengadaptasikan apakah novel ini bisa dilanjutkan atau tidak. Saya masih melatih tokoh-tokoh di dalamnya agar bisa menjadi pemeran yang saya harapkan. namun dengan segenap hati saya mencoba membangun jantung cerita ini agar setidaknya bisa berdetak sehingga ketika saya memiliki cukup energi untuk bisa menyatukan antara cinta dan luka akibat patah hati, saya bisa melanjutkannya dengan sepenuh hati.
Maka dari itu, agar bisa membangun itu semua, saya ingin menyimpan fragmen yang tidak kompleks ini dalam bentuk prolog yang sangat singkat.
-Prolog-
Ketika Hujan Tak Bersama Cinta
Tetesan, sejuk, memori,
bagian dari kenangan hujan yang selalu datang bersamaan dengan cinta. Tetesan
yang jatuh berirama, menyampaikan berjuta makna dan menjadi arti kehadiran hujan. Sejuk
yang selalu mengingatkan saat kita melihat cinta berada di balik rintihan hujan itu. Dan kembali membawa
cerita, kau, aku dan hujan yang dulu pernah tersirat dalam sebuah memori…
Daun-daun yang
berdiskusi dengan angin dan titik-titik air membasahi permukaannya, mereka
membuatnya cemburu.
Sesuatu
yang ia takutkan kini benar-benar terjadi. Ia berusaha untuk menghindari
ketakutan di dalam benaknya, meski rasa itu kini datang menghampirinya. Ia tahu
apa yang telah ia lakukan saat itu, tapi itu tak lagi cukup untuk membendung
perasaannya. Mengapa waktu terlambat menghadirkan kata
“penyesalan” dalam hidupnya. Setidaknya beri sedikit waktu untuknya kembali
lagi. Tetapi waktu itu seperti tetesan hujan yang jatuh melintas begitu cepat
dan yang pasti takkan mungkin kembali. Dan kini ia teringat ketika hujan tak
bersama cinta..
Hujan
turun mendahului langkah Revan yang berusaha mengejar Diela keluar dari pintu. Ia
menarik lengan Diela yang sejak tadi melepaskan genggaman Revan. Sepertinya
hujan itu datang di saat yang tidak tepat, di saat Revan harus menerima apa
yang tidak ingin ia terima.
“Apa
semua itu kurang jelas.” Ujar Diela.
“Aku
tak ingin semua ini berakhir.”
Revan menggenggam
telapak tangan Diela dan menatap mata yang
telah lelah menunggu.
“Berakhir?
memang sudah sampai mana? Bahkan kita tak pernah memulainya?” Diela menahan
perasaannya dengan mata yang tajam menatap Revan.
“Ada
apa denganmu?” Revan terheran.
Diela perlahan melepaskan
genggaman Revan yang masih tersimpan harapan.
“Ada
apa denganku? Ada
apa denganmu. Apa kamu tak mengerti, Van? Aku sudah bilang
kita tak mungkin bisa bersama, apalagi menjalani sebuah hubungan. Itu akan
menyakitkan aku, juga kamu”
“Die, aku…
Diela memejamkan matanya sesaat dan mengangkat tangannya tepat di depan
wajah Revan.
“Stop. sudahlah Van, aku capek mengerti kamu. Tak ada gunanya lagi aku
terus bersamamu. Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. Dan kurasa itu lebih
baik” Diela tersenyum tipis menahan bendungan air
mata yang hampir
tak kuasa lagi ia
tahan.
Diela meninggalkan Revan di bawah
rintik hujan. Ia harus melupakan apa yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.
Berharap hujan ini menjadi saksi kali terakhir ia bertemu dengan Revan. Sebenarnya
perasaannya kini begitu menangis saat ia berkata seperti itu. Ia bertanya-tanya
mengapa aku begitu jahat kepadanya. “Apakah yang aku lakukan itu menyakitkan
hatinya? tapi tak ada lagi yang bisa ku perbuat, semua itu demi kebaikan aku dan
dirinya. Dan selanjutnya biarkan Revan bersama hujan ini…”
Hujan ini perlahan memisahkan Revan
dengan perempuan yang begitu ia cintai. Ia membiarkan hatinya terguyur tetesan
kecil yang semakin lama semakin deras hingga tak ada sedikit celah pun yang tak
tersentuh hujan. Tak ada lagi yang harus ia lakukan selain melihat Diela pergi
dari hadapannya,
dari hidupnya.
Hujan yang menyatu dengan air
matanya itu seolah menutupi harapan di pelupuk matanya. Seakan-akan ia melihat
begitu jauh dari ujung pandangannya, yang semakin lama semakin menjauh hingga
berupa sebuah titik terkecil dalam hidupnya.
Langit yang kelabu dan enggan
tersenyum melambangkan suasana hati Revan saat itu. Langit pun bahkan tak ingin
menghadirkan mentari di sisinya. Revan merasa langit itu tak seperti dulu yang
selalu ceria ketika ia bersama Diela. Tapi kini ia tahu langit lebih suka
menghadirkan hujan dari pada mentarinya.
Apa yang Revan lakukan kepada Diela,
hingga Diela begitu membencinya, bukankah cinta memberikan kebahagian saat dua
perasaan saling memiliki? Apakah perasaan mereka itu salah hingga tak punya
alasan untuk bersatu? Seharusnya cinta membiarkan mereka bersama atau setidaknya
biarkan persahabatan mereka tetap terjalin.Tapi mungkinkah hal tersebut bisa
terjadi? Antara hujan dan cinta memang selalu menyimpan sebuah misteri.