Senin, 13 Maret 2017

[Fragmen] Prolog - Ketika HUjan Tak Bersama Cinta


..Potongan novel "Dilemanisme" yang belum selesai---yang mungkin akan saya selesaikan untuk waktu yang tidak sebentar---masih dalam bentuk yang abstrak, masih sedikit liar, dan masih seperti fragmen yang belum utuh. Hal itu karena masih ada cinta yang belum terselesaikan dan luka karena patah hati yang tidak mudah disembuhkan. 

saya pun masih mengadaptasikan apakah novel ini bisa dilanjutkan atau tidak. Saya masih melatih tokoh-tokoh di dalamnya agar bisa menjadi pemeran yang saya harapkan. namun dengan segenap hati saya mencoba membangun jantung cerita ini agar setidaknya bisa berdetak sehingga ketika saya memiliki cukup energi untuk bisa menyatukan antara cinta dan luka akibat patah hati, saya bisa melanjutkannya dengan sepenuh hati.

Maka dari itu, agar bisa membangun itu semua, saya ingin menyimpan fragmen yang tidak kompleks ini dalam bentuk prolog yang sangat singkat.
-Prolog-

Ketika Hujan Tak Bersama Cinta

Tetesan, sejuk, memori, bagian dari kenangan hujan yang selalu datang bersamaan dengan cinta. Tetesan yang jatuh berirama, menyampaikan berjuta makna dan menjadi arti kehadiran hujan. Sejuk yang selalu mengingatkan saat kita melihat cinta berada di balik rintihan hujan itu. Dan kembali membawa cerita, kau, aku dan hujan yang dulu pernah tersirat dalam sebuah memori…

Daun-daun yang berdiskusi dengan angin dan titik-titik air membasahi permukaannya, mereka membuatnya cemburu.

Sesuatu yang ia takutkan kini benar-benar terjadi. Ia berusaha untuk menghindari ketakutan di dalam benaknya, meski rasa itu kini datang menghampirinya. Ia tahu apa yang telah ia lakukan saat itu, tapi itu tak lagi cukup untuk membendung perasaannya. Mengapa waktu terlambat menghadirkan kata “penyesalan” dalam hidupnya. Setidaknya beri sedikit waktu untuknya kembali lagi. Tetapi waktu itu seperti tetesan hujan yang jatuh melintas begitu cepat dan yang pasti takkan mungkin kembali. Dan kini ia teringat ketika hujan tak bersama cinta..

Hujan turun mendahului langkah Revan yang berusaha mengejar Diela keluar dari pintu. Ia menarik lengan Diela yang sejak tadi melepaskan genggaman Revan. Sepertinya hujan itu datang di saat yang tidak tepat, di saat Revan harus menerima apa yang tidak ingin ia terima.
“Apa semua itu kurang jelas.” Ujar Diela.
“Aku tak ingin semua ini berakhir.”
Revan menggenggam telapak tangan Diela dan menatap mata yang telah lelah menunggu.
“Berakhir? memang sudah sampai mana? Bahkan kita tak pernah memulainya?” Diela menahan perasaannya dengan mata yang tajam menatap Revan.
“Ada apa denganmu?” Revan terheran.
Diela perlahan melepaskan genggaman Revan yang masih tersimpan harapan.
“Ada apa denganku? Ada apa denganmu. Apa kamu tak mengerti, Van? Aku sudah bilang kita tak mungkin bisa bersama, apalagi menjalani sebuah hubungan. Itu akan menyakitkan aku, juga kamu”
            “Die, aku… 

          Diela memejamkan matanya sesaat dan mengangkat tangannya tepat di depan wajah Revan.
         “Stop.  sudahlah Van, aku capek mengerti kamu. Tak ada gunanya lagi aku terus bersamamu. Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. Dan kurasa itu lebih baik” Diela tersenyum tipis menahan bendungan air mata yang hampir tak kuasa lagi ia tahan.

            Diela meninggalkan Revan di bawah rintik hujan. Ia harus melupakan apa yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Berharap hujan ini menjadi saksi kali terakhir ia bertemu dengan Revan. Sebenarnya perasaannya kini begitu menangis saat ia berkata seperti itu. Ia bertanya-tanya mengapa aku begitu jahat kepadanya. “Apakah yang aku lakukan itu menyakitkan hatinya? tapi tak ada lagi yang bisa ku perbuat, semua itu demi kebaikan aku dan dirinya. Dan selanjutnya biarkan Revan bersama hujan ini…”

            Hujan ini perlahan memisahkan Revan dengan perempuan yang begitu ia cintai. Ia membiarkan hatinya terguyur tetesan kecil yang semakin lama semakin deras hingga tak ada sedikit celah pun yang tak tersentuh hujan. Tak ada lagi yang harus ia lakukan selain melihat Diela pergi dari hadapannya, dari hidupnya.

            Hujan yang menyatu dengan air matanya itu seolah menutupi harapan di pelupuk matanya. Seakan-akan ia melihat begitu jauh dari ujung pandangannya, yang semakin lama semakin menjauh hingga berupa sebuah titik terkecil dalam hidupnya.

            Langit yang kelabu dan enggan tersenyum melambangkan suasana hati Revan saat itu. Langit pun bahkan tak ingin menghadirkan mentari di sisinya. Revan merasa langit itu tak seperti dulu yang selalu ceria ketika ia bersama Diela. Tapi kini ia tahu langit lebih suka menghadirkan hujan dari pada mentarinya.

            Apa yang Revan lakukan kepada Diela, hingga Diela begitu membencinya, bukankah cinta memberikan kebahagian saat dua perasaan saling memiliki? Apakah perasaan mereka itu salah hingga tak punya alasan untuk bersatu? Seharusnya cinta membiarkan mereka bersama atau setidaknya biarkan persahabatan mereka tetap terjalin.Tapi mungkinkah hal tersebut bisa terjadi? Antara hujan dan cinta memang selalu menyimpan sebuah misteri.
           


Kamis, 02 Maret 2017

Putri yang Bermimpi



Cerpen : Andri Mulyahadi

            ..Bermimpi, aku menyebutnya bereksplorasi.
         ..Batas antara sadar dan tidak sadar disaat terlelap adalah titik awal bertemunya sebuah mimpi. Setelah melewati fase-Rapid Eye Movement, perlahan aku akan memasuki dunia mimpi, dan aku mulai untuk bereksplorasi.
           ..Mimpi adalah saat dimana kau berada diantara dunia nyata dan maya, dunia tanpa batas ruang dan waktu, tanpa mengenal siapa dan dimana, bahkan bebas untuk bereksplorasi sesukamu. Melukis harapan dan cita-citamu atau bersandiwara dengan jati dirimu. Semua dapat kau lakukan dalam satu waktu, di dalam mimpi..
            ..Tetapi saat kau terlalu asik dalam dunia mimpimu, kau melupakan hal yang berada dalam dunia nyatamu, kau lupa bahwa kau masih punya batasan yang tak bisa kau bawa ke dunia mimpimu, itu mengapa kau tak bisa terus selamanya bermimpi, tak bisa selamanya bereksplorasi..
            ..Tapi aku, bisa melakukannya setiap malam.