“Misal kamu jadi hujan, apa yang akan kamu lakukan?” Ia
bertanya kepadaku.
“Tentu aku
akan cepat reda dan pergi jauh-jauh.” Singkatku.
Dia tertawa
sambil memejamkan matanya. Aku melihat wajahnya, ia beranggapan seolah ada yang
lucu dibalik perkataanku itu. Sambil menunggu hujan reda, kami duduk di beranda
sekolah dan bercerita kecil.
“Kenapa kamu
tertawa, memangnya ada yang lucu?” aku merayu.
“Aku tahu,
kamu berkata demikian karena tak ingin kebasahan kan? Hujan membuatmu menjadi
orang aneh ketika mereka membasahimu.”
Dia masih
tertawa, sedang aku tersenyum melihatnya tertawa. Ku julurkan tanganku ke arah
hujan dan menatap langit, berharap butiran air itu cepat berlalu.
“Kalau hujan
ini masih belum reda juga, kapan aku bisa pulang? Pasti sekarang orangtuaku
sedang menungguku di rumah.”
“Besok kamu benar mau pergi ke luar kota?”
“Ya, aku
ikut ayahku karena beliau mendapat tugas di luar kota untuk jangka waktu yang
lama. Dan kemungkinan aku akan kuliah di sana.”
Aku kembali
duduk di sebelahnya. Namun aku tak melihat tawa renyahnya lagi. Ia hanya
tersenyum, aku tahu ada yang berbeda dari senyuman itu.
“Berarti
kamu akan pindah rumah dan gak akan kembali lagi kesini dong.” Ia tersenyum
tipis. Aku hanya mengangguk dan menatap hujan.
“Kalau kamu,
misal kamu jadi hujan, apa yang akan kamu lakukan?” kini aku yang bertanya
kepadanya.
“Misal aku
jadi hujan, aku tidak akan berhenti menjatuhkan butiran-butiran ini, meski pada
akhirnya aku harus melakukannya, aku akan izin kepada Tuhan untuk menundanya
sehari ini saja, setidaknya aku ingin
memberi waktu lebih kepada dua orang yang duduk di sana untuk menghabiskan
waktu bersama, sebelum salah satu dari mereka akan meninggalkannya pergi.